Share

Sanggahan

Sanggahan

Dias masih terdiam di sebelah Soraya. Matanya memandang jauh ke depan, wajahnya terlihat kalut. Tentu saja dia tidak menyangka akan mendapat berita se-mengejutkan ini. Sulit baginya untuk bisa memercayai perkataan Soraya. Apa gadis itu berbohong? Tapi buat apa? Dias mencoba mencari sebab yang bisa membuat pacarnya berkata seperti itu. Ulang tahunnya sudah terlewat, anniversary jadian mereka juga masih lama. Mana mungkin Soraya hanya iseng mengerjainya?

Dias melirik Soraya yang kini tengah menangis hingga kulit di wajahnya merah padam. Ia baru menyadari kalau gadis itu jadi lebih kurus. Dias menatap lama perut Soraya yang masih rata. Ia benar-benar tidak yakin jika perbuatannya bersama Soraya membuahkan janin di sana. Tiba-tiba Dias beralih menatap mata Soraya dengan tatapan marah.

“Aku nggak nyangka kamu yang kelihatan lugu ternyata munafik, Ra! Tega banget kamu mau manfaatin aku!”

Soraya terkesiap akibat bentakan Dias. Ke mana laki-laki yang merayunya dengan kalimat semanis gula tadi?

“Maksud kamu apa, Yas? Manfaatin kamu?” Suara Soraya gemetar, begitu juga tubuhnya. Tetesan air mata semakin deras mengalir di pipinya. “Aku nggak pernah disentuh laki-laki selain kamu!”

“Tapi kita nggak sampai melakukan itu! Kamu pasti ngelakuinnya sama cowok lain, iya, kan?” sanggah Dias meradang.

Soraya cepat-cepat mengambil ponselnya dan mengetik sesuatu. “Lihat!” tunjuk Soraya yang menyodorkan ponselnya ke muka Dias. “Apa yang kita lakukan kemarin sangat mungkin menyebabkan kehamilan! Ada banyak artikel tentang ini!”

Dias membaca tulisan yang terbuka di depan matanya. Ia lalu tertunduk sambil mengacak-acak rambutnya sendiri. “Nggak. Nggak mungkin. Bisa aja ada kesalahan. Kita periksa ke dokter!”

Soraya menutup wajahnya dengan telapak tangan. Ia semakin tergugu. Hatinya begitu sakit karena sikap dan ucapan Dias. Ia kira, Dias akan bisa menjadi tempatnya bersandar. Ternyata ia salah. Dias tak lebih hanyalah lelaki yang masih labil.

“Kalaupun kamu beneran hamil, aku yakin itu bukan anakku.”

Soraya menurunkan tangannya dan memandang Dias kecewa. “Aku nggak nyangka kamu bisa sejahat ini, Yas. Kamu boleh nggak percaya, tapi aku nggak pernah bohong.” Gadis itu segera berlari menjauh. Tak dihiraukannya tubuhnya yang terasa lemas. Yang ia inginkan hanya kembali ke kamarnya dan tidur. Jika bisa, ia ingin tidur selamanya, tanpa harus bangun lagi. Rasanya dunia sudah berakhir.

Soraya memesan ojek online setelah berhenti di dekat halte. Ia merasa malu jika harus naik angkutan umum dengan muka sembab. Penumpang lain bisa saja menaruh perhatian padanya, lalu menanyakan apa yang terjadi. Biasanya, penumpang ibu-ibu setengah baya yang terlalu perhatian.

Pengemudi ojek online adalah bapak-bapak empat puluh tahunan yang ramah. Ia menyapa Soraya dan memberikan helm untuknya. Soraya jadi teringat pada sang ayah. Akankah ayahnya marah jika tahu keadaannya? Gadis itu menangis lagi di atas motor. Ia tak tahu kenapa perasaannya mellow sekali. Padahal, biasanya ia sanggup menahan tangis demi terlihat kuat, seperti saat ia mengantar jenazah Wiliam ke pemakaman dulu.

Soraya turun di pinggir jalan tak jauh dari rumahnya. Saat ia mengembalikan helm, bapak pengemudi ojek berkata, “Cuci muka dulu, Neng. Itu ada musola. Siapa tahu mau sekalian salat. Bapak doakan masalahnya cepat selesai, ya.”

Soraya terpaku karena kata-kata yang diucapkan bapak ojek itu. Bagaimana bisa beliau tahu jika ia sedang bermasalah? Apa ada tulisan di dahinya? Soraya membatin sambil mengambil ponselnya. Ia berkaca di layar menggunakan kamera depan, lalu tersadar kalau mukanya benar-benar kacau saat ini. Matanya merah dan bengkak, begitupun area hidung. Rambutnya sedikit kusut dan kardigan yang dipakainya tidak rapi.

Soraya menghela napas seraya melihat ke arah musala yang ditunjuk bapak tadi. Tempat itu masih sepi karena belum tiba waktunya salat. Soraya melangkah ke sana dan langsung mencuci wajah di keran untuk wudu. Ia mengusap kulitnya berkali-kali, berharap hal itu bisa menghilangkan jejak air matanya. Ia sempat berpikir untuk salat dan berdoa. Namun, hatinya mengatakan bahwa ia terlalu kotor untuk meminta pertolongan Tuhan. ‘Apa Tuhan mau mendengarku? Apa Tuhan akan mengampuniku? Kenapa Ia menghukumku seberat ini?’ Akhirnya, ia memilih untuk pulang saja setelah memastikan penampilannya sudah lebih baik.

Soraya berjalan pelan seolah tak punya tenaga. Ia belum makan siang ini, hanya setangkup roti panggang tadi pagi. Sekarang sudah jam dua siang lebih, wajar saja kalau ia tak bertenaga.

“Baru pulang, Neng?” sapa Bu Yati, tetangga depan rumah Soraya.

“Iya, Bu. Permisi,” jawab Soraya sambil tersenyum dan mengangguk sopan.

“Ibu kamu lagi di rumah Bu RT, ada demo masak.”

Soraya mengangguk sekali lagi dan langsung masuk ke rumahnya menggunakan kunci cadangan yang selalu ada di dalam tas. Ia merasa beruntung ibunya tidak ada di rumah sekarang, sehingga ia tak perlu repot menyembunyikan wajah sembabnya. Meski ia sudah mencuci muka berkali-kali di musala, matanya yang kadung membengkak dan merah tidak bisa hilang dalam waktu singkat.

Gadis itu merebahkan diri tanpa mengganti baju. Perutnya terasa sangat lapar hingga terasa mual. Namun, ia tak punya keinginan sedikit pun untuk makan. Bukankah bagus jika ia kelaparan sampai mati? Toh, Dias tidak mau bertanggung jawab. Bagi Soraya, hidupnya sudah selesai. Ia tidak tahu apakah ia sanggup bertahan menjalani hidup setelah ini.

Soraya memejamkan mata. Ia lelah memikirkan semua yang terjadi. Dunia tiba-tiba gelap, dan ia terpuruk dalam lubang dosa tanpa ada satu orang pun yang bisa menolongnya. Ia sangat ingin mati, tapi ia tahu ia akan dibakar selamanya di neraka jika berani mengakhiri hidupnya sendiri. Ia tak sanggup menanggung dosa yang lebih besar dari ini.

***

“Nak! Akhirnya kamu sadar juga!” pekik Tanti lega ketika melihat Soraya membuka mata.

Tanti baru saja pulang dari rumah Bu RT ketika mendapati putrinya demam tinggi sore itu. Soraya juga terus mengigau dan menangis dalam tidurnya. Tanti tentu amat panik. Ia segera menelepon ayah Soraya agar lekas pulang dan membawa putrinya ke rumah sakit.

Soraya mengernyit saat cahaya menyilaukan memasuki penglihatannya. Ia mengucek mata dan sadar bahwa ia tidak berada di kamarnya lagi. Pakaiannya juga sudah diganti.

“Kamu demam tinggi sampai mengigau, Ra. Jadi Ibu langsung bawa kamu ke rumah sakit,” terang Tanti pada anak gadisnya yang tampak linglung.

“Rumah sakit?” Soraya tiba-tiba ketakutan. Apakah orang tuanya sudah tahu?

Gadis itu menatap wajah Ibunya. Ada kelegaan di sorot mata ibunya, tapi bekas-bekas air mata juga ada di sana. Kemudian ia berpindah ke ayahnya. Laki-laki yang masih terlihat gagah itu juga menunjukkan tanda habis menangis. Hidungnya merah, disertai suara ingus tiap kali menarik napas. Lelaki itu menatap balik Soraya dengan tatapan teduh.

“Kamu nggak perlu mengkhawatirkan apa pun, Sora. Apa pun yang terjadi nanti, ayah akan selalu di pihakmu.”

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status