Masuk
Perlahan kubuka kedua mata, setelah terbangun dari tidur lelapku. Pagi ini, aku terbangun, bersamaan dengan senyum yang juga merekah di bibir. Sebuah senyum bahagia, yang selalu kurasakan setiap hari, setelah aku menikah dengan suamiku.
Aku pun menoleh ke samping, dan di sanalah dia, lelaki yang paling kucintai, suamiku, yang masih terlelap. Mas Ethan, laki-laki tampan berusia 30 tahun yang sudah menikahiku selama tiga tahun ini tampak masih tertidur pulas. Ada rasa syukur yang menyeruak di dada. Melihat betapa damai wajahnya saat terlelap, dan membuatku merasa ini adalah kebahagiaan paling sederhana sekaligus paling mewah yang Tuhan titipkan padaku. Aku masih menatap Mas Ethan, hingga tanganku refleks menyentuh rambutnya yang sedikit berantakan. “Terima kasih, Tuhan. Karena telah menyatukan kami.” Saat masih tengah asyik menikmati wajah tampan suamiku, tiba-tiba matanya terbuka. Aku merasa sedikit terkejut karena tertangkap basah sedang menikmati indahnya ciptaan Tuhan yang ada di depanku. "Kamu udah bangun, Sayang? Kamu lagi ngapain? Kok dari tadi liatin terus?" tanya Mas Ethan yang membuatku merasa malu. Aku tak tahu, entah sudah semerah apa wajahku, yang jelas pipiku rasanya seperti sedang terbakar, dan membuat jantungku berdegup begitu kencang, karena saat ini Mas Ethan balas menatapku dengan tatapan hangatnya yang terasa begitu mematikan. "Kok kamu diem aja, Sayang? Kamu kenapa?" tanya Mas Ethan kembali. Aku hanya menggelengkan kepala, lalu menarik kedua sudut bibir, mencetak sebuah senyuman khas dengan lesung pipit yang menghiasi wajah. "Kamu ngegemesin banget sih," timpalnya kembali, lalu tanpa aba-aba, dia mendaratkan bibirnya di bibirku, dan melumat bibir tipis ini dengan lembut, tapi juga dengan sedikit hasrat. Hangatnya cahaya matahari menembus tirai tipis kamar, memantul lembut hingga sinarnya menghangatkan ruang kamar ini, sehangat ciuman manis di pagi ini. Namun, keintiman di antara kami tiba-tiba terhenti, tatkala terdengar dering dari ponselku. Meskipun rasanya enggan, tapi aku akhirnya berinisiatif untuk melepaskan tautan bibir kami. "Mas, aku angkat dulu siapa tau penting!" Dengan sedikit enggan, aku meraih ponsel itu dan melihat nama Dea terpampang di layar. “Halo, Dea?” “Cleo, maaf banget ganggu pagi-pagi, aku cuma mau ingetin kamu, kita harus ke kantor lebih awal hari ini. Kamu inget kan hari ini penyambutan CEO baru.” Suara Dea terdengar agak tergesa. Aku menoleh lagi pada suamiku, jujur saja ada rasa enggan, karena ingin tetap berada di sampingnya lebih lama. “Iya aku inget kok, ini udah mau siap-siap.” Setelah itu, telepon kututup pelan. Sesaat aku menatap layar yang padam, lalu kembali memandang suamiku. "Mas aku siap-siap dulu ya. Hari ini aku harus berangkat lebih pagi." Kening Mas Ethan terlihat mengerut. “Kamu ada meeting pagi?” Aku menoleh, lalu menggeleng. “Ada penyambutan bos baru, jadi aku harus berangkat lebih dulu ke kantor,” jelasku sambil mengusap lembut rambutnya yang sedikit berantakan. Dia menghela napas, lalu meraih tanganku dan menggenggamnya erat. “Padahal aku pengin kamu tetap di sini sebentar lagi.” Aku terkekeh pelan. “Kalau aku telat, nanti bos baruku langsung ilfeel sama aku. Gimana coba?” Dia hanya menggeleng kecil, lalu menarik tengkukku, hingga aku sedikit condong ke arahnya. Dengan cepat dia mengecup keningku, dan seketika membuat dadaku terasa hangat. “Ya udah sana mandi dulu, aku buatin sarapan ya.” Aku menunduk, lalu membalas dengan kecupan singkat di keningnya. “Iya, makasih banyak ya, Mas. Aku mandi dulu.” *** Satu jam kemudian, mobilku sudah memasuki area parkir kantor, aku bisa merasakan atmosfer yang berbeda dari biasanya. Pagi ini, jam baru menunjukkan pukul 07.30, tapi kali ini suasananya sudah ramai dan riuh. Beberapa rekan kerja terlihat berjalan cepat menuju lobby. Sedangkan di dalam lobby, sudah ada yang bergerombol sambil membicarakan sesuatu dengan ekspresi berbeda. Ada yang terlihat tegang, tapi ada juga yang terlihat antusias menebak-nebak bos baru mereka. Ketika aku mulai melangkah masuk, kasak-kusuk pun mulai terdengar. “Katanya bos baru itu tegas banget .…” “Ya ampun, aku belum siap kalau ditanya-tanya langsung!” "Bukannya bos baru itu masih muda? Apa dia udah punya cukup pengalaman buat mimpin perusahaan sebesar ini?" Aku tersenyum tipis, menarik napas panjang untuk menenangkan diri. Jujur saja, mendengar pembicaraan mereka, aku pun jadi merasa gugup. Suara derap langkah dan percakapan semakin ramai ketika aku melewati lorong menuju ruang utama. Begitu memasuki area lobby, aku melihat beberapa staf sudah sibuk menata meja penyambutan, ada karangan bunga, hidangan ringan, dan spanduk bertuliskan “Welcome, Mr. Adrian Devan Pratama”. Aku sedikit terkejut membaca namanya. Nama tersebut, entah mengapa terdengar tidak asing bagiku. Namun, saat aku mencoba mengingat sosok itu, Dea memanggil lirih, dan melambaikan tangannya, seolah memberi isyarat agar aku mendekat padanya. “Cleo! Cepat sini, kita disuruh baris depan buat nyambut langsung!” Aku menelan ludah, merapikan blazer sekali lagi, sebelum melangkah ke arahnya. Jantungku mulai berdegup lebih cepat, entah karena suasana formal ini atau, firasat aneh saat mendengar nama bos baru itu. "Adrian Devan Pratama? Rasanya memang nggak asing, tapi siapa?"Di ruang perawatan yang tenang, lampu temaram memantul lembut di dinding putih. Aroma antiseptik masih samar terasa. Cleo, yang tampak sangat letih, perlahan membuka mata. Kelopak matanya berat, tubuhnya masih lemah setelah perjuangan panjang beberapa jam sebelumnya.Napasnya teratur, meski dada masih terasa sesak oleh campuran rasa sakit dan kelegaan. Awalnya pandangannya buram, tapi perlahan-lahan fokusnya kembali.Hal pertama yang pertama dia sadari, adalah rasa nyeri sisa kontraksi yang masih tertinggal di perutnya.Cleo menggerakkan jari sedikit yang terasa kaku, dan lelah. Kemudian, dia berusaha menoleh pelan ke sisi kanan tempat tidur.Di sana bayi kecil itu terlelap di boksnya, dibungkus selimut lembut warna pastel. Pipinya kemerahan, dadanya naik turun hingga membuat hati Cleo hangat seketika. Senyuman kecil, penuh haru, pun terbit di wajahnya."Kamu sudah lahir, Nak. Akhirnya kamu di sini. Mama kuat karena kamu," batin Cleo.Dia menoleh ke sisi kiri, dan detik itu jantungnya
Di sisi lain, di dalam kamar yang sudah dihias indah dengan nuansa putih dan berbagai macam bunga, tirai tipis tergerai pelan tertiup angin dari AC. Kamar itu seharusnya menjadi ruang penuh kebahagiaan pengantin baru. Namun, yang terjadi justru sebaliknya.Chelsea berjalan mondar-mandir. Langkahnya cepat, gelisah, hampir seperti binatang yang terjebak. Kebaya untuk proses siraman sudah menempel sempurna di tubuh, tapi wajahnya pucat dan tegang. Tangannya meremas ponsel tanpa henti.Suara kabar yang dia dengar beberapa saat lalu masih terngiang jelas:“Devan tiba-tiba pergi, Neng. Katanya bawa seorang perempuan hamil yang kontraksi. Dari tadi keluarganya panik nyariin dia.”Chelsea berhenti di tengah kamar, dadanya naik turun cepat.“Perempuan hamil? Itu pasti Cleo! Apa Devan udah gila?” gumamnya, dengan suara bergetar antara marah dan cemas.Chelsea menatap cermin besar di depannya. Riasan yang dia pakai tampak sempurna, bedak, eyeshadow, dan lipstik elegannya tak berubah. Namun tidak
Bu Dina menghela napas napas panjang, dan penuh beban yang dia simpan. Wanita itu menunduk, mencoba menstabilkan emosinya sebelum menjawab.“Devan, sebenarnya Cleo sedang ada masalah rumah tangga.”Devan menatap Bu Dina lebih serius. Seketika dia perasaannya tiba-tiba berubah, antara terkejut, marah, sekaligus bingung.“Masalah apa?”Bu Dina menggigit bibir, menahan tangis yang tiba-tiba menyeruak.“Ethan dan Cleo, sudah lama tidak satu rumah.”Hening menyelimuti ruang tunggu. Devan mematung. Bu Dina melanjutkan, kini dengan mata berkaca-kaca.“Sejak beberapa bulan lalu, Cleo tinggal sendiri.”Devan mengerutkan dahi, hatinya mencelos.“Jadi, selama ini dia nggak sama Ethan?”“Ya, sekitar tiga bulan ini dia hidup terpisah dengan Ethan.”Bu Dina menatap Devan penuh luka, seolah berharap Devan mengerti sesuatu yang tidak dia ucapkan."Dia mengandung tanpa suami di sisinya. Menahan semua sendiri. Bahkan saat sakit pun dia diam. Ibu juga baru tahu dari salah seorang temannya saat Ethan men
Suara Cleo yang melengking lirih itu rupanya terdengar oleh beberapa orang yang sedang menata karpet dan dekorasi di halaman rumah. Tanpa pikir panjang, mereka pun mendekat.Bu Dina panik bukan main, wajahnya berubah merah dan pucat bergantian. Cleo berpegangan pada lengannya, tubuhnya lemas.“Bu, mau saya bantu ke rumah sakit pake mobil? Atau ambulans?”"Minta tolong antar ke rumah sakit ya." "Sebentar ya, saya pinjamkan dulu mobilnya ke pemilik rumah." Satu rasa kencang menghantam lagi, lebih kuat dari sebelumnya."Bawa ke sana dulu aja, Bu!" ujar salah seorang pemuda, sembari menunjuk ke sebuah bangku panjang.Mereka pun membantu memapah Cleo untuk duduk di tempat yang lebih nyaman. Mata Cleo memanas, bukan hanya karena rasa sakit, tapi karena malu, karena tepat di depan rumah Devan, di hari persiapan pernikahan Devan, dia harus mengalami ini.Air mata mengalir, bukan hanya karena kontraksi. Bu Dina berlutut di depannya, memegang kedua tangannya erat-erat.Sementara itu, Devan ya
Dua bulan berlalu, menyisakan jejak waktu yang cukup untuk mengubah hidup Cleo sepenuhnya.Di ruang tengah kontrakan kecil itu, yang kini tampak jauh lebih rapi dan hidup, Cleo duduk di depan meja kayu sederhana. Di hadapannya, beberapa set seserahan kosmetik, baru saja selesai dirangkai.Kotak-kotak kecil berisi skincare, parfum, lipstik, cushion, dan juga berbagai produk perawatan tubuh, berjejer indah di atas tempat anyaman rotan yang dihiasi bunga kering. Sentuhan terakhir, pita satin putih yang dia ikat perlahan. Senyum pun merekah di wajah Cleo.Tangannya, otomatis turun mengelus perutnya yang kini makin membesar. Gerakan halus si kecil di dalam sana membuat dadanya menghangat.“Anak Mama pinter banget ya nggak rewel. Sebentar lagi selesai,” bisiknya lembut, seolah bayi itu mengerti.Tak jauh dari Cleo, Bu Dina sedang duduk bersila di lantai, sibuk membungkus paket-paket untuk dikirim ke reseller. Gunungan bubble wrap, label pengiriman, dan kotak-kotak kecil memenuhi sekitarnya.
Pagi ini, sinar matahari menembus tipis gorden kamar rumah sederhana Cleo. Dia terbangun perlahan, mengusap mata sambil menarik napas panjang. Tubuhnya terasa sedikit lebih berat, efek kehamilan yang semakin jelas, tapi hatinya entah mengapa terasa tenang hari ini.Dia mengambil ponsel yang terselip di bawah bantal. Layar menyala, menampilkan beberapa notifikasi yang menumpuk.“Hmm, banyak DM,” gumamnya pelan.Dia duduk, bersandar pada headboard, lalu mulai membuka satu per satu.DM pertama:Sebuah brand kecil skincare meminta Cleo untuk melakukan review produk mereka. Cleo tersenyum tipis seraya bersyukur.DM kedua:Seseorang menawarkan barter endorse untuk perhiasan handmade.Cleo mencatatnya di memo kecil.Lalu dia membuka DM berikutnya, dan di situlah jari Cleo terhenti. Pesan dari akun baru dengan foto profil random:> “Kak, boleh pesan lip tint-nya 50 pcs? Untuk reseller. Boleh minta pricelist grosirnya?”Cleo membelalakkan mata."Lima puluh?" batinnya seraya membaca ulang. Mema







