Beberapa saat kemudian, kasak-kusuk di antara karyawan kian kencang ketika sebuah mobil mewah berwarna hitam perlahan berhenti tepat di depan lobby gedung.
Ketika pintu terbuka, serentak semua mata karyawan tertuju pada sosok yang keluar dari mobil tersebut. Aku pun ingin melihatnya. Namun, karena jarak yang masih cukup jauh, aku belum bisa melihat dengan jelas. “Itu bos baru kita?” bisik seseorang di sampingku. "Iya, itu Pak Adrian Devan Pratama." Mendengar nama itu disebut kembali, otakku seketika berpikir keras, sembari mengingat lembar demi lembar masa lalu yang pernah kulewati. Entah mengapa nama itu, sepertinya tak asing. Namun, pernah terpatri di sudut ingatan. Seiring berjalannya sosok Adrian menuju gedung, akhirnya dari balik kerumunan, aku bisa melihat sosok tersebut. Akan tetapi, saat melihat sosok itu, seketika mataku terbuka lebar, diiringi tanda tanya yang menyeruak di dalam dada. Rasanya, aku tak percaya, siapa laki-laki yang menjadi bosku. Namun, mataku tak mungkin salah. Aku tak mungkin salah mengenali dirinya. Dia, ya dia, laki-laki pemilik sorot mata tajam, garis rahang tegas, itu begitu kukenal. Dari caranya melangkah pun semua terasa begitu familiar. Hanya untuk kali ini, dia tampak jauh lebih matang, berwibawa, dan dewasa. Adrian Devan Pratama. Atau lebih tepatnya, aku dulu mengenalnya sebagai Devan. Devan, dulu tetangga apartemenku. Namun, Devan yang kukenal dulu, hanyalah lelaki sederhana, ketika aku masih tinggal sendirian, dan masih berstatus single. Sedangkan dia, seorang mahasiswa tingkat akhir yang sibuk dengan skripsi dan pekerjaan paruh waktunya. Lelaki yang dulu pernah kutolong saat dia kesulitan membiayai akhir kuliah, dan kini dia menjadi bos di perusahaanku. Semuanya, benar-benar di luar dugaanku, dan rasanya tidak salah jika aku terkejut dengan kenyataan ini. Akan tetapi, aku harus menutupi gejolak rasa di dada. Aku harus tetap profesional, apalagi kini dia sudah berdiri di depan kami semua. Devan, bukan lagi mahasiswa tetangga apartemen yang suka menyapa ramah sambil membawa kardus mie instan, melainkan seorang bos baru dengan auranya yang penuh wibawa. “Selamat pagi semua.” Suara Devan terdengar lantang, dan di antara kerumunan itu, tatapannya sekilas berhenti padaku. Entah apa maksudnya, yang jelas dadaku terasa diremas. Apakah dia juga mengenaliku? Tatapan itu hanya berlangsung beberapa detik, tapi rasanya waktu seketika terhenti. Kucoba mengalihkan pandangan untuk meredam rasa gugup. Aku melirik Dea dan beberapa rekan lainnya, mencoba memasang senyum profesional, tapi sulit menyembunyikan kegugupan yang tiba-tiba menyerang. Jantungku berdegup terlalu cepat, telapak tangan berkeringat dingin. Tiba-tiba Devan kembali melirik padaku. Mungkin aku terlalu percaya diri, tapi sorot matanya jelas tertuju padaku. “Perkenalkan, saya Adrian Devan Pratama. Mulai hari ini saya akan mendampingi kalian semua sebagai pimpinan baru di perusahaan ini menggantikan Papa saya, yang sekarang fokus dengan kondisi kesehatannya yang sedang menurun." Suara tepuk tangan riuh, disertai ucapan agar Pak Baskoro, bos lama di perusahaan kami agar cepat sembuh pun terdengar. Sedangkan aku, tentunya hanya bisa terdiam. Aku, nyaris kehilangan ekspresi. Putra Pak Baskoro? Jadi, selama ini dia pewaris perusahaan ini? Ingatanku langsung melayang ke masa lalu. Dia tidak pernah sekali pun memberi tanda bahwa dirinya adalah anak dari seorang pengusaha besar, apalagi calon penerus perusahaan ternama. Aku menunduk pelan, berusaha menyembunyikan keterkejutanku. Jadi selama ini dia menyembunyikan jati dirinya dariku. Sementara itu, di atas podium, Devan menambahkan dengan suara mantap, “Saya belajar banyak dari ayah saya, tapi perjalanan saya dimulai bukan di belakang meja besar ini. Saya pernah merasakan bagaimana susahnya hidup mandiri, bagaimana harus bertahan dari bawah. Itu membentuk saya menjadi diri saya hari ini.” Kata-katanya terdengar jujur, tapi justru membuat hatiku makin berdesir. Karena aku tahu, sebagian dari perjalanan itu, aku pernah ada di sisinya, meski hanya sebagai tetangga biasa. Devan masih memberikan sambutan, sedangkan aku hanya bisa menatapnya diam-diam. Hatiku terasa penuh dengan berbagai pertanyaan, apakah dia masih orang yang sama seperti dulu? Devan yang suka menawari segelas kopi instan saat aku pulang larut malam. Devan yang sesekali meminjamkan charger laptop, atau menawarkan mie rebus ketika aku kehabisan stok makanan tengah malam. Dalam hati, aku berbisik pada diri sendiri, "Aku tetap harus profesional, dia bos, dan aku hanyalah bawahan. Sikapku tidak boleh berlebihan, meskipun aku mengenalnya. Apalagi, aku sudah punya kehidupan baru sekarang." Selang beberapa menit, akhirnya Devan mengakhiri sambutannya. Satu per satu karyawan mulai bubar dari lobby menuju meja kerja masing-masing. Aku pun berjalan beriringan bersama Dea, berusaha membaur dengan kerumunan karyawan lain. Tak lagi kulihat sosok Devan, atau lebih tepatnya sekarang aku harus memanggil Pak Adrian. Mungkin, dia sudah mulai sibuk dengan urusannya. "Cleo, kenapa? Kok tiba-tiba jadi diem?" Suara Dea seketika membuatku terkejut. Aku pun menoleh. "Nggak apa-apa. Cuma lagi keinget masa lalu, waktu aku masih tinggal sendiri, dan belum nikah." "Oh ...." *** Suasana basement parkir sore ini sudah sepi. Aku memang pulang sedikit terlambat, karena ada pekerjaan yang harus kuselesaikan hari ini juga. Ketika tanganku baru saja meraih gagang pintu mobil, tiba-tiba terdengar sebuah suara memanggil. “Cleo.” Tubuhku sontak menegang. Suara itu ... aku mengenalnya.Aku spontan menoleh, meskipun ada rasa tegang menyergap.“Kita sudah sampai.”Aku buru-buru mengalihkan pandangan ke luar jendela. Benar saja, mobil sudah berhenti di lokasi rapat yang disebutkan Pak Andra tadi.“Oh ....” Aku berusaha terdengar biasa, walau suaraku sedikit serak. “Baik.”Aku segera meraih tas, membuka pintu mobil. Seketika, angin luar menerpa wajahku, membawa sedikit kelegaan.Devan keluar lebih dulu, memberi isyarat singkat pada staf yang sudah menunggu, lalu berjalan mendahuluiku menuju pintu gedung.Aku menarik napas panjang, mengumpulkan ketenangan. "Profesional, Cleo. Ingat, kamu ada di sini untuk bekerja," batinku dalam hati Aku pun mengikuti di belakangnya, bersiap menghadapi rapat, dan juga menghadapi diriku sendiri.Begitu memasuki gedung, kami diarahkan ke lift untuk menuju ruang rapat di lantai atas. Aku melangkah masuk bersama Devan, hanya berdua kali ini, karena staf yang mengantar, harus menjemput rekan bisnis yang lain. Awalnya semua berjalan normal
Pagi ini, aku duduk di depan meja rias cukup lama. Bedak tipis, dan lipstik samar sudah kupulas, tapi wajahku masih saja terlihat sendu. Semalaman aku hampir tak tidur, bukan hanya karena pikiranku sendiri yang kalut, tapi juga karena Mas Ethan. Dia sangat gelisah, berulang kali bangun, dan aku langsung memeluknya, mengusap punggungnya, sambil berusaha menenangkan. Aku paham bagaimana kondisi mentalnya yang cukup tertekan, dan juga amarah yang masih menggeloraAku menarik napas panjang, lalu bangkit dari meja rias, dan meraih tas kerja. Mas Ethan masih tertidur, wajahnya pun tampak letih. Sebelum pergi, aku sempat menatapnya lama dari ambang pintu kamar, ingin membangunkannya hanya untuk berkata aku berangkat dulu, tapi kuurungkan. Aku tak mau mengganggunya. Biarlah, dia butuh istirahat untuk menenangkan tubuh, dan jiwanya. Perjalanan menuju kantor pagi ini, terasa lebih lama dari biasanya. Mungkin, sebenarnya sama seperti hari-hari kemarin. Hanya saja, otak dan hatiku terasa penu
Langit terlihat berwarna jingga keemasan, saat aku tiba di rumah. Bagiku, hari ini adalah hari terburuk yang pernah kualami.Sepintas aku menoleh ke arah garasi, dan tak melihat mobil suamiku terparkir di sana. Ini artinya, Mas Ethan belum pulang.Aku pun bergegas melangkah masuk ke rumah. Begitu pintu rumah tertutup rapat, aku langsung menjatuhkan tubuhku ke sofa, lalu menangis.Tangisan yang mati-matian kutahan sejak berada di rumah sakit, dan di kantor.Sungguh rasanya begitu berat. Bekerja di tengah campur aduknya perasaan membuatku tak fokus. Namun, sebagai seorang budak corporate, aku bisa apa? Selain berusaha meredam gejolak emosional yang bergelayut di dada.Dengan tangan gemetar, aku meraih tas, menarik map cokelat. Map yang sejak siang tadi terasa seperti bom waktu di hidupku.Perlahan kubuka amplop itu kembali, meski aku tahu apa yang kulihat, hasilnya tak akan berubah.Mataku menelusuri tulisan dokter—hitam, tegas, dan kejam.“Azoospermia. Jumlah sperma: 0. Kualitas sperma
Pagi ini, saat berangkat ke kantor, aku berusaha sebisa mungkin terlihat biasa. Ketika berpamitan dengan Mas Ethan, wajah kubuat seceria mungkin, seperti tak ada beban. Meskipun sebenarnya dalam hati, aku berusaha menekan dalam-dalam semua gejolak yang masih tersisa sejak kemarin. Lebih tepatnya sejak Devan menemuiku di basement.Aku berharap dia sudah lupa jika kami pernah dekat, dan menganggap aku hanyalah sebatas kenangan tak berharga di masa lalu. Namun, harapan itu sepertinya berbanding terbalik dengan kenyataan. Dia masih mengingat semua itu, dan sepertinya ingin membahas kenangan yang ingin kukubur dalam-dalam. Sesampainya di kantor, aku berjalan cepat menuju kubikel. Menata meja, membuka laptop, serta menyiapkan dokumen yang harus kukerjakan.Namun, saat aku baru saja duduk, suasana yang tadinya penuh perbincangan ringan di antara karyawan sebelum bekerja, mendadak sedikit heningBeberapa karyawan mulai membetulkan postur tubuh, sebagian lagi sengaja menunduk dengan pura-p
Perlahan aku menoleh, dan benar saja, di antara deretan mobil yang terparkir di basement, sosok tinggi dengan jas yang kini sudah dilepas dan dasi yang longgar berdiri menatapku.Dialah Devan.Dia berjalan mendekat, langkahnya tenang, dengan sorot mata tajam yang tak pernah berubah sejak dulu."Cleo, apa kabar? Kamu masih inget aku, 'kan?" Aku menelan ludah, mencoba meredam degup jantungku yang kian kencang."Iya, aku ingat. Kamu keliatan berbeda."Senyum tipis pun tersungging di bibir Devan. Laki-laki yang usianya jauh lebih muda di bawahku itu, kini berjalan mendekat. “Cleo, saat itu sebenarnya ada yang ingin aku bicarakan, tapi ....”Dadaku serasa diremas. Meskipun aku tak tahu apa yang akan dia katakan, tapi mungkin aku tahu ke mana arahnya."Saat itu kamu tiba-tiba pergi ....” Aku langsung memotong pembicaraannya, seolah tak ingin memberi kesempatan untuk membahas masa lalu. Ada jeda hening yang panjang. Kudengar hembusan napasnya berat. "Iya, saat itu aku yang udah janji, ta
Beberapa saat kemudian, kasak-kusuk di antara karyawan kian kencang ketika sebuah mobil mewah berwarna hitam perlahan berhenti tepat di depan lobby gedung.Ketika pintu terbuka, serentak semua mata karyawan tertuju pada sosok yang keluar dari mobil tersebut. Aku pun ingin melihatnya. Namun, karena jarak yang masih cukup jauh, aku belum bisa melihat dengan jelas.“Itu bos baru kita?” bisik seseorang di sampingku."Iya, itu Pak Adrian Devan Pratama."Mendengar nama itu disebut kembali, otakku seketika berpikir keras, sembari mengingat lembar demi lembar masa lalu yang pernah kulewati. Entah mengapa nama itu, sepertinya tak asing. Namun, pernah terpatri di sudut ingatan. Seiring berjalannya sosok Adrian menuju gedung, akhirnya dari balik kerumunan, aku bisa melihat sosok tersebut.Akan tetapi, saat melihat sosok itu, seketika mataku terbuka lebar, diiringi tanda tanya yang menyeruak di dalam dada. Rasanya, aku tak percaya, siapa laki-laki yang menjadi bosku.Namun, mataku tak mungkin sa