Share

🖤 EPISODE 8

last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-31 12:10:25

Kehangatan momen antara Rani dan Dimas seketika pecah oleh gangguan tak terduga. Tasya muncul di ambang pintu, lengannya bergandengan dengan Elano. Keduanya tertatih masuk sambil terbahak-bahak, jelas sedang mabuk.

Refleks, Rani melangkah mundur, mendekap nampan teh ke dadanya seolah jadi perisai. Matanya tak lepas mengawasi saat Tasya dan Elano masuk ke ruang kerja, tawa mereka makin keras, makin riuh.

Dimas menegakkan tubuh, ekspresinya mengeras jadi topeng dingin penuh ketidaksetujuan. Tatapannya sempat melirik Rani sekilas, lalu kembali menancap ke Tasya. Rahangnya terlihat menegang.

"Tasya," ucapnya tajam, suaranya membelah riuh tawa seperti pisau. "Kamu mabuk."

Tasya sedikit oleng, tapi tetap tersenyum menantang. "Lalu kenapa kalau iya?" katanya sengau. "Aku juga berhak bersenang-senang, Dimas. Tidak seperti kamu... yang selalu terlalu serius."

Elano terkekeh di sampingnya, tangannya melingkar posesif di punggung Tasya. Sorot mata Dimas menyempit menanggapi gerakan itu, ketidaksukaannya jelas terlihat.

"Dan kamu," lanjutnya dingin, kini menatap Elano. "Seharusnya tahu diri. Membawa istriku pulang dalam keadaan begini?"

Elano hanya mengangkat bahu, sama sekali tak terpengaruh tatapan tajam Dimas. "Ayolah, Dimas," katanya dengan nada dibuat-buat ramah. "Kamu tahu Tasya cuma butuh rileks. Dia hanya bersenang-senang."

Mata Dimas berkilat marah, tapi suaranya tetap terkendali. "Ini bukan pertama kalinya kau 'bersenang-senang' dengan istriku, Elano," ujarnya tajam. "Dan akan jadi yang terakhir kalau aku turun tangan."

Tasya terkikik, lalu menempel lebih erat ke sisi Elano. "Astaga, Dimas," katanya mengejek. "Kamu ini cemburuan sekali. Lucu, tahu?"

Di sudut ruangan, Rani terpaku. Jantungnya berdegup kencang melihat ketegangan yang memanas di depan matanya. Ia merasa seperti orang asing yang tak seharusnya ada di sana. Pandangannya jatuh ke nampan di tangannya, tiba-tiba terasa berat—seolah mengingatkan kembali pada posisinya di rumah itu. Ia ingin pergi, memberi mereka ruang, tapi entah kenapa kakinya masih terpaku di tempat.

Tatapan Dimas sempat beralih padanya. Wajahnya sedikit melunak melihat kegugupan Rani. "Rani," katanya lebih tenang. "Kamu boleh istirahat malam ini. Terima kasih."

Rani buru-buru mengangguk, lega dengan kata-kata itu. Ia segera meninggalkan ruangan, meninggalkan Tasya dan Elano dengan pesta mabuknya, serta Dimas dengan amarah yang menunggu meledak.

Keesokan paginya, Rani sudah berada di kebun, membantu Danish mengurus tanaman. Ia tengah serius memangkas mawar ketika tanpa sadar guntingnya mengenai cabang yang masih muda.

"Oh tidak..." Rani terperanjat, wajahnya pucat melihat ranting halus yang terpotong. "Maaf, Danish, aku tidak sengaja..."

Danish menoleh, lalu tersenyum kecil begitu melihat wajah Rani yang panik. "Tidak apa-apa, Rani," ucapnya lembut. "Namanya juga belajar. Yang penting kamu tahu kesalahannya, jadi tidak terulang."

Rani mengangguk, masih merasa bersalah, tapi lega dengan sikapnya yang pengertian. Hati-hati ia menyingkirkan ranting rusak itu, lalu kembali fokus bekerja dengan tekad lebih berhati-hati.

Namun, entah sejak kapan, ia merasakan tatapan. Ketika menoleh, dilihatnya Dimas berdiri tak jauh dari sana, mengamati dirinya dan Danish dalam diam. Perut Rani langsung mengerut cemas.

Tak lama kemudian, Dimas melangkah mendekat dengan wajah yang sulit ditebak. "Danish," sapanya singkat. "Sepertinya kebun ini makin rapi."

Danish berdiri, menyeka peluh dari dahinya. "Ya, Tuan. Dengan bantuan Rani, banyak yang bisa dibereskan."

Dimas mengangguk. Matanya sempat melirik ke arah Rani sebelum kembali ke Danish. "Bagaimana menurutmu?" tanyanya datar. "Apakah dia cukup bisa diandalkan?"

Rani menahan napas, jantungnya berdebar menunggu jawaban.

Danish meliriknya sebentar, lalu tersenyum. "Sangat bisa, Tuan. Dia cepat belajar, teliti, dan penuh perhatian. Benar-benar jadi bantuan besar di sini."

Pipi Rani memanas mendengar pujian itu. Ia menunduk dalam-dalam, berusaha menyembunyikan rasa bangga yang merayap.

Tatapan Dimas bertahan sedikit lebih lama pada Rani sebelum kembali netral. "Bagus," katanya singkat, nada suaranya tetap terukur. "Orang seperti itu memang kita butuhkan di rumah ini."

Namun Rani sadar—cara Dimas berbicara pada Danish terdengar formal, kaku, berbeda jauh dari sikap yang kadang ia tunjukkan padanya di saat-saat pribadi.

Dimas berdeham, seolah mengakhiri percakapan. "Kalau begitu, lanjutkan saja pekerjaan kalian." Ia berbalik, melangkah kembali ke rumah. Suara langkahnya makin menjauh, meninggalkan udara lega di belakangnya.

Rani menghela napas panjang, bahunya terasa lebih ringan begitu ketegangan mereda.

Danish menoleh padanya, senyumnya hangat penuh pengertian. "Dia tidak seburuk yang kamu kira," katanya pelan, cukup lirih agar hanya Rani yang mendengar. "Tuan Dimas. Memang rumit, tapi... dia punya sisi lain."

Rani terbelalak, menatapnya ragu. "Kamu benar-benar percaya begitu?" tanyanya hati-hati.

Danish mengangguk, matanya menyiratkan sedikit kenakalan. "Aku sudah lama bekerja di rumah ini. Aku tahu sisi terbaik dan terburuknya. Dia memang sulit ditebak, tapi bukan berarti tidak ada kebaikan di dirinya."

Rani menggigit bibirnya, merenungkan kata-kata itu. Ia tahu betul Tasya tidak bisa dipercaya. Namun, jauh di dalam dirinya, ada bagian kecil yang ingin yakin kalau Dimas bukan hanya sekadar sosok dingin yang ia kenal.

"Aku mengerti," gumamnya, pandangannya melayang ke arah rumah, seolah menunggu bayangan Dimas muncul lagi di ambang pintu.

Danish menepuk lembut bahunya sebelum kembali bekerja. "Yang penting, jangan buru-buru menilai," katanya samar. "Di rumah ini... banyak hal tak selalu seperti kelihatannya."

Rani mengangguk perlahan. Kata-kata itu terus terngiang, menambah lapisan misteri yang sudah ia rasakan sejak pertama kali menjejakkan kaki di rumah keluarga Satya. Ia sadar, dirinya baru menyentuh permukaan dari segala kerumitan yang tersembunyi di balik dinding megah itu.

,

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 66

    Elano bersandar santai di dinding kamar pribadi Tasya, tangannya dilipat di dada sambil memperhatikan Tasya yang berjalan gelisah bolak-balik. "Kamu terlalu memikirkan hal ini," katanya dengan suara tenang, sangat kontras dengan energi gelisah Tasya. Tasya berbalik menatapnya, matanya berkedip marah. "Terlalu banyak mikir? Bentaknya. "Pelacur kecil itu mencoba mencuri suamiku dari bawah hidungku, dan kamu bilang aku terlalu memikirkannya?" Elano mengangkat bahu santai, tidak terganggu oleh kemarahan Tasya. "Dia cuma seorang gadis," ujarnya datar. "Gadis naif dan bodoh yang nggak tahu tempatnya." "Dan bagaimana dengan Dimas?" Tasya menuntut, suaranya meninggi. "Dia yang menyemangatinya, memberi harapan bahwa mungkin ada sesuatu di antara mereka." Ekspresi Elano jadi gelap, senyum kejam menyungging di bibirnya. "Mungkin sudah saatnya mengingatkan Dimas tentang tugasnya," katanya lembut, melangkah dari dinding dan mendekati Tasya. "Mengingatkannya bahwa kesetiaannya ada di keluarga,

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 65

    Rani menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Aku nggak tahu apa yang kamu omongin, Tasya." Mata Tasya menyipit berbahaya saat Rani terus menyangkal. Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang mengancam. "Jangan bohong sama aku," desisnya. "Aku tahu ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Dimas." Darah Rani membeku saat mendengar nama Dimas, dan ia berusaha tetap tenang. "Itu nggak masuk akal," ucapnya, berusaha meyakinkan. "Dimas itu suami kamu. Kenapa aku harus ada hubungan sama dia?" Bibir Tasya menyunggingkan senyum sinis, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Rani. "Karena kamu itu cewek bodoh yang ngira bisa dapetin semuanya," ejeknya. "Kamu pikir aku nggak tahu soal tatapan-tatapan curi pandang itu? Percakapan bisik-bisik? Cara dia ngeliatin kamu pas aku nggak merhatiin?" "Dan kamu cemburu cuma karena dia ngeliatin aku? Aduh, bukan salahku kalau dia ngelakuin itu, kan kamu sendiri yang bawa aku ke rumah ini." Wajah Tasya memerah karena

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 64

    Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Rani. Ia merasa Tasya terus mengawasinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan intensitas yang membuatnya merinding. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para staf rumah tangga, percakapan yang tiba-tiba berhenti saat Rani masuk ke ruangan, tatapan curiga yang mengikutinya saat ia berjalan di lorong. Rani berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman itu, dan fokus pada tugasnya dan hubungannya dengan Dimas. Namun, semakin sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, karena setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk lari, menjauh dari suasana curiga dan tidak percaya yang mencekik itu. Suatu malam, saat Rani membantu Afqlah mengerjakan pekerjaan rumah di perpustakaan, ia melihat Tasya berdiri di ambang pintu, mengamati mereka dalam diam. Bulu kuduk Rani meremang saat merasakan tatapan Tasya yang dingin dan menusuk. Rani berusaha fokus pada soal matematika di hadapan Afqlah, tangannya sedikit gemetar saat meraih p

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 63

    "Apa yang mau kamu omongin?" tanya Rani hati-hati, berusaha menenangkan diri. Tasya menatap Rani dengan tajam, seolah bisa melihat menembus dirinya. "Aku perhatiin ada yang berubah dari kamu belakangan ini," ucapnya perlahan sambil duduk di kursinya dan meletakkan jari-jarinya di bawah dagu. Rani menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Berubah?" tanyanya, berharap suaranya terdengar acuh tak acuh. "Iya," lanjut Tasya sambil bersandar di kursinya. "Kamu kelihatan... beda. Lebih gelisah. Dan kamu jadi deket banget sama Afqlah." Rani merasakan keringat dingin di lehernya. Ia tahu ia harus berhati-hati agar Tasya tidak semakin curiga. "Aku... mungkin lagi banyak pikiran belakangan ini," aku Rani hati-hati. "Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirin kok... cuma stres karena harus menyesuaikan diri sama peran baru di sini," lanjut Rani sambil tersenyum kecil. "Dan Afqlah itu anak yang manis. Gampang banget sayang sama dia." Tasya menyipitkan matanya, menatap wajah Rani. "Sayang?" ulangny

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 62

    "Selamat pagi," sapa Rani sambil tersenyum, berusaha menghilangkan sisa-sisa hasratnya dan fokus pada tugasnya. Aysha mendongak dan membalas senyum Rani. "Pagi, Rani. Nyenyak tidurnya?" Rani mengangguk, mendekati Aysha. "Iya, makasih." Ia terdiam sejenak sebelum bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Sebenarnya ada," jawab Aysha, menyodorkan semangkuk buah ke Rani, "Bisa tolong buat salad buah? Kayaknya enak kalau dimakan sama pancake." "Boleh," jawab Rani, mulai memotong stroberi dan pisang. Sambil bekerja, ia berusaha fokus pada tugasnya dan tidak memikirkan Dimas. Tapi itu sulit, sentuhan Dimas masih terasa di kulitnya, bisikannya terngiang di telinganya "Rani?" Suara Aysha membuyarkan lamunan Rani, dan Rani tersadar bahwa ia sedang menatap talenan tanpa memotong apa pun. "Ya?" jawabnya, memaksakan senyum. "Maaf, aku cuma... lagi banyak pikiran." Aysha menatap Rani dengan khawatir. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya lembut. "Kamu kelihatan nggak fokus hari ini." "Aku b

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 61

    Pagi itu, Rani terbangun dengan rasa pegal di sekujur tubuhnya dan rasa ngilu di antara kedua kakinya, kenangan indah dari malam sebelumnya. Ia menggeliat malas, meringis kecil saat merasakan otot-ototnya tertarik. Di sampingnya, Dimas masih terlelap, tangannya melingkari pinggang Rani. Rani tersenyum lembut, mengamati wajah Dimas. Bahkan saat tidur, ia terlihat gagah dan berwibawa. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan Dimas, Rani melepaskan diri dari pelukannya dan diam-diam pergi ke kamar mandi. Ia menyalakan shower, merasakan kelegaan saat air hangat itu membasahi tubuhnya dan meredakan rasa pegal. Sambil mandi, pikiran Rani melayang ke pertemuan mereka semalam, tangan Dimas di kulitnya, bibirnya menjelajahi setiap inci tubuhnya, dan tubuhnya yang mengisi dirinya sepenuhnya. Ia merinding membayangkan semua itu. Tangan Rani menyentuh perutnya yang masih rata. Di bawah telapak tangannya, ia seolah bisa merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya, hasil dari cin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status