Share

🖤 EPISODE 7

last update Terakhir Diperbarui: 2025-08-31 11:49:26

Ketika Rani sedang menata pakaian di kamar tidur, Dimas muncul dari ruang gantinya. Wajah tampannya mengeras, garis kerutan terlihat jelas di keningnya. Matanya sempat menyipit melihat kegugupan Rani.

"Rani," panggilnya tiba-tiba, membuatnya tersentak. "Ikut aku. Aku butuh pendapatmu."

Rani menurut, masuk ke ruang ganti yang wangi cologne maskulin dan aroma kulit. Ruangan itu rapi sempurna: jas dan kemeja tergantung lurus di lemari mahoni, dasi tersusun rapi berdasarkan warna di laci beludru.

Dimas berdiri di depan cermin panjang, membuka kancing kemejanya satu per satu sambil menatap bayangannya. Rani berusaha menahan pandangan, tapi matanya sempat terpaku pada dada bidang yang kian terbuka.

"Bagaimana menurutmu?" tanyanya tiba-tiba, berbalik menghadap Rani dengan kemeja setengah terlepas.

Rani mengerjap, sadar ia tadi lebih sibuk melirik tubuh Dimas daripada memperhatikan kemeja yang dipegangnya. Cepat-cepat ia mengalihkan pandangan pada kain putih yang bersih itu.

"Bagus," jawabnya pelan, mencoba terdengar tenang. "Elegan sekali."

Dimas mengernyit tipis sambil menyingkirkan kemejanya.

"Bagus?" ulangnya skeptis, satu alis terangkat. "Hanya itu yang bisa kau katakan?"

Pipi Rani memanas, rasa malu menjalar sampai ke lehernya. Jawabannya tadi terdengar terlalu singkat, terlalu hambar. Ia menarik napas dalam-dalam lalu melangkah sedikit lebih dekat, mengulurkan tangan untuk meraba kain itu.

"Maksudnya... bahannya indah sekali," ujarnya pelan, jemarinya menyusuri permukaan kapas halus. "Potongannya juga pas, bisa membuatmu terlihat makin berwibawa."

Tatapan Dimas mengikuti gerakan tangannya. Untuk sesaat, ketegangan di wajahnya mengendur, seolah penilaian Rani yang lebih tulus mampu meredakan amarahnya.

"Kau sungguh berpikir begitu?" tanyanya lebih lembut, nadanya jauh berbeda dari sebelumnya.

Rani mengangguk mantap, matanya bertemu dengan pantulan Dimas di cermin. "Tentu. Seleramu memang tak pernah salah."

Ada jeda yang sarat sesuatu di antara mereka. Ruang ganti yang sempit seolah semakin menyusut, udara di dalamnya menegang oleh sesuatu yang sulit dijelaskan.

Dimas berbalik, menatapnya langsung. Lalu, dengan nada datar tapi penuh kendali, ia berkata, "Bawakan aku teh ke ruang kerja."

Rani mengangguk cepat, hampir lega mendapat alasan untuk keluar dari situasi yang mencekam. "Baik, Kak. Segera aku bawakan."

Ia bergegas ke dapur, berusaha menenangkan detak jantungnya yang masih tak beraturan.

Dengan hati-hati ia mengetuk pintu ruang kerja sebelum masuk. Dimas sudah duduk di balik meja mahoninya, dikelilingi rak buku tinggi dan lukisan yang menghiasi dinding. Ia tampak begitu fokus pada dokumen-dokumen di depannya hingga tidak mengangkat kepala ketika Rani meletakkan cangkir teh di meja.

Rani ragu sejenak, tak tahu apakah harus menunggu atau segera pergi. Tepat ketika ia hendak mundur, tangan Dimas terulur mengambil cangkir. Ujung jarinya bersentuhan dengan jari Rani.

Sentuhan singkat itu terasa seperti aliran listrik yang membuatnya terpaku. Bahkan saat cangkir sudah aman di genggaman Dimas, jemarinya masih menahan pergelangan tangan Rani sedetik lebih lama dari yang diperlukan. Tatapannya akhirnya terangkat, menancap langsung ke mata Rani—tajam, intens, membuat napasnya tercekat.

"Biarkan pintunya terbuka," katanya rendah, serak. "Dan... tetaplah di sini."

Kata-kata itu jatuh berat di udara, sarat makna yang tak terucapkan. Rani menelan ludah, tubuhnya tegang. Namun bibirnya bergetar pelan mengucap, "Baiklah, sesuai dengan perintahmu."

Dimas melepaskan pergelangan tangannya, lalu kembali menekuni dokumen di depannya, seolah tidak ada apa-apa. Tapi bagi Rani, sisa hangat sentuhan itu masih membekas di kulitnya, membakar samar.

Ia menarik kursi di sudut ruangan, duduk dengan canggung di tepi dudukan, tangan terlipat erat di pangkuannya. Matanya, tanpa bisa ditahan, sesekali melirik siluet Dimas yang tampak tenang bekerja, meski atmosfer di ruangan itu terasa jauh dari biasa.

Beberapa menit kemudian, setelah menyesap tehnya, Dimas membuka laci meja. Ia mengeluarkan sebuah kotak kecil berbalut kertas mewah dan menggesernya ke arah Rani.

Rani menatap kotak itu, matanya melebar. Ia menoleh ke Dimas, mencari petunjuk dari ekspresinya yang nyaris tak terbaca.

"Buka," perintahnya tenang, tapi penuh bobot.

Dengan jemari sedikit gemetar, Rani mengangkat tutupnya. Di dalamnya terletak sebotol parfum berdesain indah, kristal berukir rumit dengan kilau lembut. Dari botol itu menguar aroma mewah—paduan bunga eksotis dan rempah yang hangat, menggoda indera.

"Ini... indah sekali," bisik Rani, memegang botol itu dengan hati-hati seakan takut menjatuhkannya. Ada rasa kagum dan syukur yang membuncah di dadanya, tapi bersamaan dengan itu, rasa bersalah ikut menggerogoti.

"Kak Dimas, aku... aku tidak bisa menerimanya," ucapnya terbata, buru-buru mengembalikan botol itu ke dalam kotak. "Hadiah ini terlalu mewah. Terlalu mahal untukku."

Dimas mengernyit tipis, lalu condong ke depan. "Aku bersikeras," katanya mantap. "Anggap saja ini bentuk penghargaan atas kerja kerasmu."

"Aku... aku bahkan tidak tahu harus berkata apa," lirihnya, menunduk menatap jemarinya yang saling meremas. Matanya mulai terasa panas, air mata nyaris menetes karena terharu sekaligus bingung dengan kebaikan Dimas yang tak terduga.

"Tidak perlu berkata apa-apa," jawab Dimas lembut, nada suaranya berbeda dari biasanya. "Kau juga berhak dimanjakan sesekali, Rani."

Kata-kata itu menyusup begitu dalam hingga membuat tubuh Rani merinding. Ia menoleh perlahan, menatap Dimas dari balik bulu matanya. Saat itu, tangannya disentuh—hangat, tegas, namun lembut. Ibu jari Dimas mengusap punggung tangannya, membuat aliran listrik menjalari tubuhnya.

Rani menatapnya, napasnya tercekat, jantungnya berdebar tak terkendali.

"Kau benar..." bisiknya hampir tak terdengar. "Terima kasih, Kak Dimas."

Sudut bibir pria itu melengkung tipis, senyum samar yang hanya bertahan sekejap. Ia menekan jemarinya pelan di tangan Rani sebelum akhirnya melepaskannya. Rani memeluk kotak parfum itu ke dadanya, merasakan kehangatan mengalir—bukan karena hadiah mahal, tapi karena perhatian di baliknya.

Lanjutkan membaca buku ini secara gratis
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terbaru

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 66

    Elano bersandar santai di dinding kamar pribadi Tasya, tangannya dilipat di dada sambil memperhatikan Tasya yang berjalan gelisah bolak-balik. "Kamu terlalu memikirkan hal ini," katanya dengan suara tenang, sangat kontras dengan energi gelisah Tasya. Tasya berbalik menatapnya, matanya berkedip marah. "Terlalu banyak mikir? Bentaknya. "Pelacur kecil itu mencoba mencuri suamiku dari bawah hidungku, dan kamu bilang aku terlalu memikirkannya?" Elano mengangkat bahu santai, tidak terganggu oleh kemarahan Tasya. "Dia cuma seorang gadis," ujarnya datar. "Gadis naif dan bodoh yang nggak tahu tempatnya." "Dan bagaimana dengan Dimas?" Tasya menuntut, suaranya meninggi. "Dia yang menyemangatinya, memberi harapan bahwa mungkin ada sesuatu di antara mereka." Ekspresi Elano jadi gelap, senyum kejam menyungging di bibirnya. "Mungkin sudah saatnya mengingatkan Dimas tentang tugasnya," katanya lembut, melangkah dari dinding dan mendekati Tasya. "Mengingatkannya bahwa kesetiaannya ada di keluarga,

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 65

    Rani menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Aku nggak tahu apa yang kamu omongin, Tasya." Mata Tasya menyipit berbahaya saat Rani terus menyangkal. Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang mengancam. "Jangan bohong sama aku," desisnya. "Aku tahu ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Dimas." Darah Rani membeku saat mendengar nama Dimas, dan ia berusaha tetap tenang. "Itu nggak masuk akal," ucapnya, berusaha meyakinkan. "Dimas itu suami kamu. Kenapa aku harus ada hubungan sama dia?" Bibir Tasya menyunggingkan senyum sinis, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Rani. "Karena kamu itu cewek bodoh yang ngira bisa dapetin semuanya," ejeknya. "Kamu pikir aku nggak tahu soal tatapan-tatapan curi pandang itu? Percakapan bisik-bisik? Cara dia ngeliatin kamu pas aku nggak merhatiin?" "Dan kamu cemburu cuma karena dia ngeliatin aku? Aduh, bukan salahku kalau dia ngelakuin itu, kan kamu sendiri yang bawa aku ke rumah ini." Wajah Tasya memerah karena

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 64

    Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Rani. Ia merasa Tasya terus mengawasinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan intensitas yang membuatnya merinding. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para staf rumah tangga, percakapan yang tiba-tiba berhenti saat Rani masuk ke ruangan, tatapan curiga yang mengikutinya saat ia berjalan di lorong. Rani berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman itu, dan fokus pada tugasnya dan hubungannya dengan Dimas. Namun, semakin sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, karena setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk lari, menjauh dari suasana curiga dan tidak percaya yang mencekik itu. Suatu malam, saat Rani membantu Afqlah mengerjakan pekerjaan rumah di perpustakaan, ia melihat Tasya berdiri di ambang pintu, mengamati mereka dalam diam. Bulu kuduk Rani meremang saat merasakan tatapan Tasya yang dingin dan menusuk. Rani berusaha fokus pada soal matematika di hadapan Afqlah, tangannya sedikit gemetar saat meraih p

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 63

    "Apa yang mau kamu omongin?" tanya Rani hati-hati, berusaha menenangkan diri. Tasya menatap Rani dengan tajam, seolah bisa melihat menembus dirinya. "Aku perhatiin ada yang berubah dari kamu belakangan ini," ucapnya perlahan sambil duduk di kursinya dan meletakkan jari-jarinya di bawah dagu. Rani menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Berubah?" tanyanya, berharap suaranya terdengar acuh tak acuh. "Iya," lanjut Tasya sambil bersandar di kursinya. "Kamu kelihatan... beda. Lebih gelisah. Dan kamu jadi deket banget sama Afqlah." Rani merasakan keringat dingin di lehernya. Ia tahu ia harus berhati-hati agar Tasya tidak semakin curiga. "Aku... mungkin lagi banyak pikiran belakangan ini," aku Rani hati-hati. "Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirin kok... cuma stres karena harus menyesuaikan diri sama peran baru di sini," lanjut Rani sambil tersenyum kecil. "Dan Afqlah itu anak yang manis. Gampang banget sayang sama dia." Tasya menyipitkan matanya, menatap wajah Rani. "Sayang?" ulangny

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 62

    "Selamat pagi," sapa Rani sambil tersenyum, berusaha menghilangkan sisa-sisa hasratnya dan fokus pada tugasnya. Aysha mendongak dan membalas senyum Rani. "Pagi, Rani. Nyenyak tidurnya?" Rani mengangguk, mendekati Aysha. "Iya, makasih." Ia terdiam sejenak sebelum bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Sebenarnya ada," jawab Aysha, menyodorkan semangkuk buah ke Rani, "Bisa tolong buat salad buah? Kayaknya enak kalau dimakan sama pancake." "Boleh," jawab Rani, mulai memotong stroberi dan pisang. Sambil bekerja, ia berusaha fokus pada tugasnya dan tidak memikirkan Dimas. Tapi itu sulit, sentuhan Dimas masih terasa di kulitnya, bisikannya terngiang di telinganya "Rani?" Suara Aysha membuyarkan lamunan Rani, dan Rani tersadar bahwa ia sedang menatap talenan tanpa memotong apa pun. "Ya?" jawabnya, memaksakan senyum. "Maaf, aku cuma... lagi banyak pikiran." Aysha menatap Rani dengan khawatir. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya lembut. "Kamu kelihatan nggak fokus hari ini." "Aku b

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 61

    Pagi itu, Rani terbangun dengan rasa pegal di sekujur tubuhnya dan rasa ngilu di antara kedua kakinya, kenangan indah dari malam sebelumnya. Ia menggeliat malas, meringis kecil saat merasakan otot-ototnya tertarik. Di sampingnya, Dimas masih terlelap, tangannya melingkari pinggang Rani. Rani tersenyum lembut, mengamati wajah Dimas. Bahkan saat tidur, ia terlihat gagah dan berwibawa. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan Dimas, Rani melepaskan diri dari pelukannya dan diam-diam pergi ke kamar mandi. Ia menyalakan shower, merasakan kelegaan saat air hangat itu membasahi tubuhnya dan meredakan rasa pegal. Sambil mandi, pikiran Rani melayang ke pertemuan mereka semalam, tangan Dimas di kulitnya, bibirnya menjelajahi setiap inci tubuhnya, dan tubuhnya yang mengisi dirinya sepenuhnya. Ia merinding membayangkan semua itu. Tangan Rani menyentuh perutnya yang masih rata. Di bawah telapak tangannya, ia seolah bisa merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya, hasil dari cin

Bab Lainnya
Jelajahi dan baca novel bagus secara gratis
Akses gratis ke berbagai novel bagus di aplikasi GoodNovel. Unduh buku yang kamu suka dan baca di mana saja & kapan saja.
Baca buku gratis di Aplikasi
Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status