Share

🖤 EPISODE 9

last update Last Updated: 2025-08-31 13:43:56

Rani sedang di dapur, menyiapkan makan siang, ketika tiba-tiba Zenira masuk lewat pintu belakang, wajahnya berseri-seri penuh semangat.

“Oh, Rani!” serunya dengan napas terengah. “Kamu nggak bakal percaya apa yang baru aja aku dengar!”

Rani menoleh ke arah tetangganya dengan ekspresi waspada. “Apa itu?” tanyanya hati-hati.

Zenira mendekat, menurunkan suaranya seperti sedang membocorkan rahasia besar. “Ini tentang Tasya,” bisiknya sambil melirik sekeliling, memastikan mereka berdua saja. “Katanya, dia keliatan jalan sama laki-laki lain.”

Mata Rani membesar karena terkejut, tapi cepat-cepat ia kendalikan ekspresinya agar tetap tenang. “Oh, begitu ya…” jawabnya datar, berusaha terdengar biasa saja. “Menarik.”

Zenira mengangguk cepat, jelas makin terbawa suasana gosip. “Dan tebak siapa laki-laki itu? Elano Hartono!” katanya dengan nada penuh sensasi.

Nama itu membuat Rani tidak nyaman. Ingatannya langsung melayang pada kejadian mabuk Tasya di ruang kerja Dimas bersama Elano. Ia menggigit bibir, bertanya-tanya apakah sebenarnya ada sesuatu yang lebih dari sekadar kebetulan.

“Hmm,” gumamnya sambil kembali sibuk dengan urusan makan siangnya, berusaha menutupi kegelisahan. “Tapi bukan urusanku ikut campur dalam gosip itu.”

Zenira jelas tidak puas dengan jawaban itu. Ia menyandarkan diri di meja dapur, matanya tak lepas dari wajah Rani.

“Ayolah, Rani,” bujuknya. “Masa kamu nggak lihat ada yang aneh? Dimas kan selalu dingin begitu. Dan Tasya… yah, dia memang bukan tipe istri yang setia.”

“Tidak,” jawab Rani agak keras, lebih ketus dari yang ia maksudkan. “Aku nggak pernah lihat hal aneh apa-apa.” Ia lalu memalingkan wajah, sibuk menata piring makan siang di atas nampan dengan gerakan yang terlalu hati-hati.

Zenira hanya mengangkat bahu, tidak gentar sedikit pun. “Ya sudah, terserah. Tapi ingat kata-kata aku, ada sesuatu yang sedang terjadi di rumah itu. Kalau nanti semuanya terbongkar, jangan bilang aku nggak pernah kasih peringatan.”

Dengan kalimat penutup itu, ia pun berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Rani sendiri dengan pikirannya.

Tiba-tiba suara langkah mendekat memecah lamunannya. Ia menoleh, dan di sana berdirilah Dimas, masuk ke dapur dengan ekspresi sulit ditebak, matanya menyorot pemandangan di hadapannya.

“Rani,” suara Dimas terdengar halus namun tegas saat ia mendekat. “Aku tidak bisa tidak mendengar percakapanmu dengan Zenira.” Sekilas matanya melirik ke arah pintu tempat Zenira tadi keluar, lalu kembali menatap Rani.

“Aku… aku tidak bermaksud…” suaranya terputus-putus, berusaha mencari kata yang tepat. Ia tahu, ia seharusnya membela Tasya, menjaga kesetiaan pada saudara perempuannya. “...ikut bergosip,” akhirnya ia menutup kalimatnya dengan canggung, mengutuk dirinya sendiri karena terdengar begitu lemah. Ia memberanikan diri melirik Dimas, menanti reaksi.

Dimas diam sejenak, matanya seakan meneliti wajah Rani, mencoba membaca ketulusannya. Saat kembali bicara, nada suaranya lebih lembut, hampir seperti bisikan.

“Itu bukan tugasmu untuk membelanya,” katanya perlahan. “Bukan ketika dia sendiri belum pantas dibela.”

Mata Rani membesar mendengar kepahitan yang terselip dalam nada suara Dimas. Ia ragu sejenak sebelum akhirnya bertanya, dengan hati-hati.

“Aku… aku tidak mengerti. Jika kamu tahu tentang… ketidaksetiaan Kak Tasya… kenapa masih bertahan dalam pernikahan ini?”

Dimas tertawa hambar, menoleh ke arah jendela. “Itu rumit,” ujarnya singkat. “Ada hal-hal yang tidak akan bisa kau pahami.”

Saat ia berbalik lagi, wajahnya kembali keras. Rani mengangguk pelan, merasakan ada luka yang tersembunyi di balik sikap dinginnya. Ia ingin mengulurkan tangan, ingin menghiburnya, tapi ia tahu batasnya.

“Baiklah,” gumamnya pelan, menunduk lagi pada nampan. “Maaf, aku tidak bermaksud lancang.”

Dimas menghela napas, jarinya menyapu rambutnya sebentar. “Bukan salahmu,” katanya lembut. “Kau… berbeda darinya.” Ia terhenti sejenak, matanya menatap tajam ke wajah Rani. “Kau peduli.”

Ada sesuatu yang bergetar di dada Rani mendengar itu, kehangatan yang pelan-pelan menyebar. Ia mendongak, matanya mencari kepastian dalam tatapan Dimas.

“Benarkah begitu?” suaranya hampir berbisik. “Kadang aku merasa… hanya membodohi diri sendiri.”

Dimas menggeleng, lalu melangkah lebih dekat hingga berdiri tepat di depannya. Ia mengulurkan tangan, jemarinya bersentuhan singkat dengan tangan Rani saat mengambil nampan darinya.

“Tidak,” ucapnya tegas. “Kau punya hati yang baik, Rani. Jangan biarkan siapa pun membuatmu ragu akan itu.”

Napas Rani tercekat saat merasakan sentuhan itu, bulu kuduknya berdiri. Ia hanya bisa terpaku, menyaksikan Dimas menyingkirkan nampan dengan gerakan tenang namun penuh wibawa.

Saat ia kembali menghadap, Rani melihat sesuatu berkilau di tangannya. Dimas membuka telapak, memperlihatkan sebuah kalung perak d dengan liontin berbentuk bulan sabit.

“Indah sekali…” bisik Rani, jemarinya ragu-ragu menyentuh liontin dingin itu, merasakan hangatnya momen yang tercipta.

Dimas tersenyum tipis, matanya tetap melekat pada wajah Rani. Ia menyodorkan kalung itu padanya. “Aku pikir kau akan menyukainya. Anggap saja sebagai pengingat… bahwa kau berharga.”

Air mata menggenang di sudut mata Rani. Dengan hati-hati ia mengambil kalung itu, mengangkatnya ke arah cahaya. Kilau peraknya memantulkan sinar matahari, seakan ikut berbicara padanya.

“Itu terlalu berlebihan,” bisik Rani, meski hatinya diam-diam berharap bisa langsung mengalungkannya ke leher. “Aku tidak bisa menerimanya.”

Senyum Dimas melembut, matanya dipenuhi kehangatan yang membuat jantung Rani berdetak tak beraturan. “Tolong,” katanya pelan. “Izinkan aku memberikannya padamu.”

Tanpa menunggu jawaban, ia mengambil kalung itu dari tangan Rani yang gemetar. Rani menahan napas saat Dimas melangkah ke belakangnya, jari-jarinya cekatan namun lembut saat mengaitkan penguncinya di lehernya.

“Indah sekali,” bisiknya, berbalik menatap Dimas. “Terima kasih.”

Kini wajah mereka hanya terpaut beberapa inci, napas saling beradu di antara keduanya. Saat bibir mereka hampir bersentuhan, waktu seolah berhenti— Sampai dering telepon memecah momen itu.

Keduanya terlonjak, mundur terburu-buru, napas terengah. Rani meremas lengannya sendiri, seakan berusaha menggantikan hangatnya sentuhan Dimas yang mendadak hilang.

“Tak apa,” gumam Rani dengan suara nyaris tak terdengar. Jemarinya menyentuh liontin di lehernya, perasaan asing menyeruak bersama kesadaran akan tatapan Dimas yang kini penuh kontrol.

Dimas hanya mengangguk tipis sebelum meraih ponsel dan mengangkatnya. “Satya,” ucapnya singkat, suaranya kembali dingin dan penuh wibawa. “Baik.” Dimas menutup telepon dengan tajam, lalu menoleh pada Rani. Ekspresinya kembali terjaga.

“Aku harus pergi,” katanya singkat. “Ada urusan.”

Rani mengangguk, menelan rasa kecewa yang menggumpal. “Tentu,” jawabnya pelan. “Sampai nanti?”

Sekilas, Dimas terdiam. Matanya mencari matanya, seakan ingin mengatakan sesuatu yang tak terucapkan. “Ya,” katanya akhirnya, lebih lembut dari sebelumnya. “Nanti.”

Ia pun berbalik dan melangkah keluar, meninggalkan Rani sendirian di dapur.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 66

    Elano bersandar santai di dinding kamar pribadi Tasya, tangannya dilipat di dada sambil memperhatikan Tasya yang berjalan gelisah bolak-balik. "Kamu terlalu memikirkan hal ini," katanya dengan suara tenang, sangat kontras dengan energi gelisah Tasya. Tasya berbalik menatapnya, matanya berkedip marah. "Terlalu banyak mikir? Bentaknya. "Pelacur kecil itu mencoba mencuri suamiku dari bawah hidungku, dan kamu bilang aku terlalu memikirkannya?" Elano mengangkat bahu santai, tidak terganggu oleh kemarahan Tasya. "Dia cuma seorang gadis," ujarnya datar. "Gadis naif dan bodoh yang nggak tahu tempatnya." "Dan bagaimana dengan Dimas?" Tasya menuntut, suaranya meninggi. "Dia yang menyemangatinya, memberi harapan bahwa mungkin ada sesuatu di antara mereka." Ekspresi Elano jadi gelap, senyum kejam menyungging di bibirnya. "Mungkin sudah saatnya mengingatkan Dimas tentang tugasnya," katanya lembut, melangkah dari dinding dan mendekati Tasya. "Mengingatkannya bahwa kesetiaannya ada di keluarga,

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 65

    Rani menelan ludah, pikirannya berpacu mencari alasan yang masuk akal. "Aku nggak tahu apa yang kamu omongin, Tasya." Mata Tasya menyipit berbahaya saat Rani terus menyangkal. Ia mendekat, suaranya berubah menjadi bisikan yang mengancam. "Jangan bohong sama aku," desisnya. "Aku tahu ada sesuatu yang terjadi antara kamu dan Dimas." Darah Rani membeku saat mendengar nama Dimas, dan ia berusaha tetap tenang. "Itu nggak masuk akal," ucapnya, berusaha meyakinkan. "Dimas itu suami kamu. Kenapa aku harus ada hubungan sama dia?" Bibir Tasya menyunggingkan senyum sinis, tatapannya tak pernah lepas dari wajah Rani. "Karena kamu itu cewek bodoh yang ngira bisa dapetin semuanya," ejeknya. "Kamu pikir aku nggak tahu soal tatapan-tatapan curi pandang itu? Percakapan bisik-bisik? Cara dia ngeliatin kamu pas aku nggak merhatiin?" "Dan kamu cemburu cuma karena dia ngeliatin aku? Aduh, bukan salahku kalau dia ngelakuin itu, kan kamu sendiri yang bawa aku ke rumah ini." Wajah Tasya memerah karena

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 64

    Hari-hari berikutnya terasa seperti mimpi buruk bagi Rani. Ia merasa Tasya terus mengawasinya, memperhatikan setiap gerakannya dengan intensitas yang membuatnya merinding. Bisik-bisik mulai terdengar di antara para staf rumah tangga, percakapan yang tiba-tiba berhenti saat Rani masuk ke ruangan, tatapan curiga yang mengikutinya saat ia berjalan di lorong. Rani berusaha mengabaikan perasaan tidak nyaman itu, dan fokus pada tugasnya dan hubungannya dengan Dimas. Namun, semakin sulit untuk berpura-pura bahwa semuanya baik-baik saja, karena setiap sel dalam tubuhnya berteriak untuk lari, menjauh dari suasana curiga dan tidak percaya yang mencekik itu. Suatu malam, saat Rani membantu Afqlah mengerjakan pekerjaan rumah di perpustakaan, ia melihat Tasya berdiri di ambang pintu, mengamati mereka dalam diam. Bulu kuduk Rani meremang saat merasakan tatapan Tasya yang dingin dan menusuk. Rani berusaha fokus pada soal matematika di hadapan Afqlah, tangannya sedikit gemetar saat meraih p

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 63

    "Apa yang mau kamu omongin?" tanya Rani hati-hati, berusaha menenangkan diri. Tasya menatap Rani dengan tajam, seolah bisa melihat menembus dirinya. "Aku perhatiin ada yang berubah dari kamu belakangan ini," ucapnya perlahan sambil duduk di kursinya dan meletakkan jari-jarinya di bawah dagu. Rani menelan ludah, berusaha tetap tenang. "Berubah?" tanyanya, berharap suaranya terdengar acuh tak acuh. "Iya," lanjut Tasya sambil bersandar di kursinya. "Kamu kelihatan... beda. Lebih gelisah. Dan kamu jadi deket banget sama Afqlah." Rani merasakan keringat dingin di lehernya. Ia tahu ia harus berhati-hati agar Tasya tidak semakin curiga. "Aku... mungkin lagi banyak pikiran belakangan ini," aku Rani hati-hati. "Tapi nggak ada yang perlu dikhawatirin kok... cuma stres karena harus menyesuaikan diri sama peran baru di sini," lanjut Rani sambil tersenyum kecil. "Dan Afqlah itu anak yang manis. Gampang banget sayang sama dia." Tasya menyipitkan matanya, menatap wajah Rani. "Sayang?" ulangny

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 62

    "Selamat pagi," sapa Rani sambil tersenyum, berusaha menghilangkan sisa-sisa hasratnya dan fokus pada tugasnya. Aysha mendongak dan membalas senyum Rani. "Pagi, Rani. Nyenyak tidurnya?" Rani mengangguk, mendekati Aysha. "Iya, makasih." Ia terdiam sejenak sebelum bertanya, "Ada yang bisa kubantu?" "Sebenarnya ada," jawab Aysha, menyodorkan semangkuk buah ke Rani, "Bisa tolong buat salad buah? Kayaknya enak kalau dimakan sama pancake." "Boleh," jawab Rani, mulai memotong stroberi dan pisang. Sambil bekerja, ia berusaha fokus pada tugasnya dan tidak memikirkan Dimas. Tapi itu sulit, sentuhan Dimas masih terasa di kulitnya, bisikannya terngiang di telinganya "Rani?" Suara Aysha membuyarkan lamunan Rani, dan Rani tersadar bahwa ia sedang menatap talenan tanpa memotong apa pun. "Ya?" jawabnya, memaksakan senyum. "Maaf, aku cuma... lagi banyak pikiran." Aysha menatap Rani dengan khawatir. "Kamu baik-baik aja?" tanyanya lembut. "Kamu kelihatan nggak fokus hari ini." "Aku b

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 61

    Pagi itu, Rani terbangun dengan rasa pegal di sekujur tubuhnya dan rasa ngilu di antara kedua kakinya, kenangan indah dari malam sebelumnya. Ia menggeliat malas, meringis kecil saat merasakan otot-ototnya tertarik. Di sampingnya, Dimas masih terlelap, tangannya melingkari pinggang Rani. Rani tersenyum lembut, mengamati wajah Dimas. Bahkan saat tidur, ia terlihat gagah dan berwibawa. Dengan hati-hati, agar tidak membangunkan Dimas, Rani melepaskan diri dari pelukannya dan diam-diam pergi ke kamar mandi. Ia menyalakan shower, merasakan kelegaan saat air hangat itu membasahi tubuhnya dan meredakan rasa pegal. Sambil mandi, pikiran Rani melayang ke pertemuan mereka semalam, tangan Dimas di kulitnya, bibirnya menjelajahi setiap inci tubuhnya, dan tubuhnya yang mengisi dirinya sepenuhnya. Ia merinding membayangkan semua itu. Tangan Rani menyentuh perutnya yang masih rata. Di bawah telapak tangannya, ia seolah bisa merasakan kehidupan kecil yang tumbuh di dalam dirinya, hasil dari cin

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status