Dimas berlutut di sampingnya. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya, membuat Rani merasa terkurung dalam ruang kecil hanya berisi mereka berdua. Ia membuka balutan seadanya, meneliti luka dengan kening berkerut.
“Cukup dalam,” gumamnya sambil mengambil kapas antiseptik. “Kamu beruntung tidak terluka lebih parah.” Rani terdiam, memperhatikan setiap gerakannya. Cekatan, telaten, tapi juga lembut. Kontras dengan sikap kerasnya yang biasanya dingin. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya akhirnya, lirih. “Aku bisa membersihkannya sendiri.” Dimas sempat terhenti, lalu menautkan tatapannya pada mata Rani. Degup jantung Rani makin kacau. “Kamu tidak seharusnya melakukannya sendirian,” ucapnya dalam. “Selama kamu di bawah atapku, aku yang bertanggung jawab menjagamu.” Kata-kata itu membuat Rani menggigil tipis. Ia menunduk, berbisik, “Tapi aku hanya saudara iparmu… Aku bukan tanggung jawabmu.” Namun genggaman Dimas justru mengencang. Tatapannya tajam. “Kamu bukan sekadar adik iparku. Kamu… sesuatu yang berbeda.” Kalimat itu menghantam Rani begitu saja, tanpa sempat ia pahami sepenuhnya. Jarum jam hampir menyentuh pukul satu dini hari. Rani yang setengah tertidur di sofa terlonjak ketika pintu depan terhempas kasar. Bau alkohol segera memenuhi ruang tamu. Tasya masuk dengan langkah terhuyung. Gaun hitamnya kusut, lipstiknya memudar, rambut berantakan. Ia terkekeh pelan sendiri, lalu melemparkan tasnya sembarangan ke lantai marmer. “Kenapa lampu masih nyala? Oh… kau.” Tatapannya hanya sekilas ke arah Rani, lalu berpaling begitu saja. Rani buru-buru meraih tas itu, tapi sebelum sempat berkata apa-apa, terdengar langkah lain dari arah tangga. Dimas turun perlahan. Piyama hitamnya rapi, wajahnya dingin tanpa ekspresi. Ia berhenti di anak tangga terakhir, menatap Tasya dari ujung kepala hingga kaki. “Kau pulang terlalu larut.” Tasya mendengus, menendang sepatunya dengan kasar. “Aku nggak butuh ceramah. Hidupku, aturanku.” Ia berjalan melewati Rani, hampir menabraknya, lalu menjatuhkan diri di sofa. Rani menunduk, menahan napas, tak berani menatap. Namun Dimas tidak melihat ke arah istrinya. Tatapannya justru jatuh pada Rani, lama, berat, penuh arti yang tak terucap. Jantung Rani berdegup tak wajar. "Kenapa… kenapa aku lebih takut dengan tatapannya daripada mabuknya Tasya?" Tatapan Dimas masih melekat padanya sebelum akhirnya berpaling kembali ke Tasya, yang kini tergeletak di sofa dengan mata terpejam dan napas berat. “Kau berbau alkohol… dan parfum yang bukan milikmu. Kau tahu jam berapa sekarang? Apa itu contoh yang pantas untuk staf?” Tasya terkekeh sinis, tak membuka mata. “Aku istrimu, bukan pegawaimu. Aku nggak perlu izinmu untuk keluar masuk rumah ini.” Keheningan menggantung lagi. Dengan ragu, Rani maju selangkah. “Maaf, Kak… apakah saya perlu menyiapkan kopi atau teh? Mungkin bisa membantu menenangkan suasana.” Tatapan Dimas kembali padanya. Sejenak, Rani menangkap sesuatu di matanya, terima kasih, atau hanya bayangan imajinasinya? Ia mengangguk tipis. “Teh saja. Terima kasih.” Rani cepat-cepat menuju dapur, mencari pelarian dari ketegangan ruang tamu. Jantungnya masih berdebar. Saat mengisi ketel dan menyalakan kompor, rasa tak nyaman menyelimuti dirinya. Ia melirik ke ruang tamu, bertanya-tanya apa yang terjadi di sana. Sebagian dirinya ingin memastikan keadaan, tapi ia tahu itu bukan urusannya. Tiba-tiba suara benturan keras, diikuti teriakan Tasya. Rani terhenti, hatinya mencelos. “Jangan berani mengabaikanku! Aku bicara sama kamu!” Ada jeda singkat. Suara Dimas terdengar rendah dan terkendali. “Aku tidak mengabaikanmu. Aku hanya lelah dengan pertengkaran larut malam seperti ini. Sudah terlalu sering.” Lalu suara pecahan kaca. Jeritan Tasya menggema. Rani panik, berlari kembali ke ruang tamu. Ia menemukan Tasya berdiri di hadapan Dimas yang duduk di sofa, wajah memerah, napas berat. Pecahan kaca berserakan di lantai. “Apa yang terjadi?! Kalian baik-baik saja?” seru Rani, suaranya bergetar. Tasya berbalik menatapnya, mata liar oleh amarah dan alkohol. “Jangan ikut campur! Ini urusan aku sama suamiku!” Dimas mengangkat tangan, menenangkan ledakan istrinya. Ia menatap Rani, dan sorot matanya sedikit melunak melihat kekhawatiran di wajahnya. “Tidak apa-apa.” suaranya tenang dan mantap meski situasi mencekam. “Kembali ke dapur, Rani. Aku akan mengurus ini.” Rani ragu sejenak. Hatinya terbelah antara keinginan untuk ikut campur dan naluri untuk menuruti perintah Dimas. Akhirnya, ia menunduk pelan, mundur kembali ke dapur dengan jantung yang masih berdegup kencang. Saat ia hendak membawa nampan teh, suara benturan keras mengguncang rumah, diikuti jeritan melengking Tasya. Rani tersentak, jantungnya melompat ke tenggorokan. Ia meletakkan nampan dengan tergesa lalu berlari kembali ke ruang tamu. Di sana, Tasya tergeletak di lantai, merintih sambil memegangi kepalanya. Dimas berlutut di sampingnya, wajahnya diliputi kekhawatiran ketika memeriksa dahinya. “Rani, ambilkan es,” ujarnya cepat tanpa menoleh. “Dia membenturkan kepala ke meja kopi.” Tanpa banyak pikir, Rani berlari ke dapur, mengambil sekantong es dari freezer, lalu menyerahkannya kepada Dimas. Ia hanya bisa berdiri di sisi ruangan, merasa tidak berdaya saat Dimas menempelkan es ke pelipis Tasya. Suasana menegang kembali ketika tiba-tiba tangan Tasya meraih pergelangan kakinya. Rani terlonjak, kaget melihat mata Tasya yang berkaca-kaca namun menyimpan api amarah. “Kau… kau menikmatinya, kan?” suaranya bergetar tapi mengandung tuduhan. “Melihatku seperti ini… melihat dia peduli padaku…” Mata Rani membelalak. “Apa? Tidak! Tentu saja tidak!” serunya panik, berusaha melepaskan diri dari cengkeraman itu. “Aku tidak pernah ingin sesuatu yang buruk menimpamu!” Dimas menoleh cepat, sorot matanya tajam. “Tasya, hentikan. Rani tidak ada hubungannya dengan ini. Kau jatuh sendiri.” Tasya tertawa getir, genggamannya justru semakin menguat. “Oh, jangan bodoh. Aku melihat cara dia memandangmu saat mengira aku tidak memperhatikan. Selalu melayang-layang, selalu siap memenuhi setiap kebutuhanmu.” Rahang Dimas menegang. Ia perlahan membuka jari-jari Tasya dari pergelangan kaki Rani. “Cukup,” ucapnya tegas. “Sekarang, kau harus fokus untuk pulih.” Ia membantu Tasya berdiri, menopangnya dengan sabar menuju tangga. Namun sebelum menapak anak tangga pertama, Dimas menoleh lagi. Tatapannya menancap pada Rani, dalam dan sulit terbaca, membuat napasnya tercekat. “Rani,” ucapnya perlahan, “rapikan ruang tamu, lalu istirahatlah. Sudah terlalu larut.”Keesokan paginya, Rani bangun lebih awal. Sejak semalam pikirannya dipenuhi rasa penasaran tentang liontin itu. Ia pun memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Tasya. Saat masuk ke dapur, ia menemukan Tasya sedang duduk santai, menyeruput kopi sambil menggulir ponselnya.“Selamat pagi, Mbak Tasya. Boleh aku tanya sesuatu?” Rani membuka percakapan hati-hati.Tasya mendongak, wajahnya tampak agak jengkel. “Apa? Cepat saja, aku sibuk hari ini.”Rani sempat ragu, lalu mengeluarkan liontin yang ditemukannya. “aku menemukan ini tadi malam di tepi kolam renang. Mbak tahu ini milik siapa?”Mata Tasya sempat melebar sebelum kemudian menyipit curiga. “Kamu menemukannya di mana?”“Di tepi kolam renang,” jawab Rani pelan. “Ada inisial kita di sini… RP dan DES.”Tasya tiba-tiba meraih liontin itu dengan kasar. “Berikan padaku!”Rani terkejut oleh sikapnya yang mendadak agresif. “M-Mbak Tasya? Kenapa? Apa ini milik Mbak?”Tasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Bukan. Itu b
Dimas mengambil ponsel dari Rani, rahangnya menegang saat menatap layar. "Ini semakin sering terjadi," jawabnya pelan, nada muram. "Tasya banyak berpesta akhir-akhir ini. Pulang terlambat, kadang bahkan tidak pulang sama sekali." Dia meletakkan ponsel di atas meja, kemudian mengusap rambutnya dengan frustrasi. "Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," katanya, suaranya berat karena kekhawatiran. "Dia tidak mau mendengarkanku. Dia… dia terus mendorongku menjauh." Rani menaruh tangan secara naluriah di lengan Dimas, memberi sentuhan yang menenangkan. "Maaf," gumamnya lembut. "Pasti sangat sulit bagimu." Dimas tampak mengalami sesuatu yang aneh di dadanya, kehangatan yang sepertinya sudah lama hilang darinya. Matanya menatap Rani benar-benar menatapnya dan Rani bisa merasakan kepedulian dan empati yang tulus di sorot matanya. Sesuatu yang begitu berbeda dari sikap dingin dan egois Tasya. Dimas mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengambil gelas dari tangan Rani yang gemetar.
Pertanyaan itu menggantung, berat dan penuh makna yang tak terucap. Tatapan Dimas semakin dalam, lengannya menegang seolah takut melepaskan. "Baik?" ia mengulang, dengan senyum tipis yang getir. "Itu yang kamu pikir ini? Sekadar baik?" Ia menggeleng, lirih. "Tidak, Rani. Jauh dari sekadar baik." Tangannya terangkat, menyentuh wajahnya. Ibu jarinya menyapu pelan bibir bawahnya, membuat napas Rani tercekat. "Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakukan padaku?" suaranya semakin rendah, nyaris berbisik. "Setiap kali aku melihatmu... rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Setiap senyummu, tawamu, semua tentangmu... membuatku gila." Dimas tampak menyadari ketegangan momen itu, lalu cepat-cepat menjauh sambil berdehem. "Ayo," katanya dengan nada kasar, berdiri sambil menawari tangannya pada Rani. "Mari kita hangatkan tubuhmu dengan sedikit makanan." Rani menggenggam tangannya, membiarkannya membantunya berdiri. Dia bersandar padanya, kaki yang berdenyut nyeri membuatnya bergantung
Pagi itu cerah. Rani menyapu halaman dengan tenang, poni jatuh ke wajah hingga ia menggulung rambut memakai jepit plastik bening. Dimas yang hendak berangkat kerja terhenti di ambang pintu, menatapnya dengan sorot aneh, seolah pernah melihat gerakan itu sebelumnya. “Kau selalu rapi,” ucapnya singkat, suaranya dingin. Rani menoleh cepat, kaget mendengar suaranya. “Oh… maaf kalau aku menghalangi jalan Kak Dimas.” “Tidak.” Tatapan Dimas bertahan sedikit terlalu lama sebelum akhirnya ia berbalik menuju mobilnya. Rani mengikuti punggungnya dengan pandangan penuh tanya. Dadanya berdebar karena intensitas sorot mata itu. "Kenapa dia melihatku seperti itu? Seolah aku… lebih dari sekadar orang baru di rumah ini." Degup jantung Rani masih berderu saat bayangan Dimas menghilang. Kata-katanya terngiang, membuatnya yakin tatapan itu menyimpan sesuatu yang tak ia mengerti. Sambil menyapu, matanya jatuh pada jepit rambut plastik bening di tangannya, tiba-tiba terasa berat, seolah menyimpan
Dimas berlutut di sampingnya. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya, membuat Rani merasa terkurung dalam ruang kecil hanya berisi mereka berdua. Ia membuka balutan seadanya, meneliti luka dengan kening berkerut. “Cukup dalam,” gumamnya sambil mengambil kapas antiseptik. “Kamu beruntung tidak terluka lebih parah.” Rani terdiam, memperhatikan setiap gerakannya. Cekatan, telaten, tapi juga lembut. Kontras dengan sikap kerasnya yang biasanya dingin. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya akhirnya, lirih. “Aku bisa membersihkannya sendiri.” Dimas sempat terhenti, lalu menautkan tatapannya pada mata Rani. Degup jantung Rani makin kacau. “Kamu tidak seharusnya melakukannya sendirian,” ucapnya dalam. “Selama kamu di bawah atapku, aku yang bertanggung jawab menjagamu.” Kata-kata itu membuat Rani menggigil tipis. Ia menunduk, berbisik, “Tapi aku hanya saudara iparmu… Aku bukan tanggung jawabmu.” Namun genggaman Dimas justru mengencang. Tatapannya tajam. “Kamu bukan sekadar adik ipark
Dimas mendekat, mengambil pisau lain untuk memotong bawang di sebelahnya. Ruang di antara mereka terlalu sempit. Sesekali lengan pria itu menyentuh bahunya. Rani menahan napas. Lalu, tanpa sengaja jari mereka bersentuhan saat sama-sama meraih piring kecil di meja. Waktu seolah berhenti. Pisau di tangan Dimas berhenti bergerak. Rani refleks menarik tangannya, tapi gerakan itu justru membuat pisau menyayat ujung jarinya. Rani berbisik pelan, menahan perih. “Ah…” Setetes darah muncul di ujung jarinya. Dimas langsung meraih tangannya tanpa ragu. Genggamannya hangat, kuat, terlalu intim untuk dapur yang dingin itu. “Kau ceroboh. Jangan biarkan darahmu menodai meja ini,” katanya dingin tapi tegas. Kalimatnya terdengar keras, tapi caranya menekan luka dengan tisu justru sangat teliti. Rani menatap wajahnya, dingin dan serius, namun ada sesuatu di balik sorot mata itu… sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Rani buru-buru menarik tangannya kembali, berusaha menenangkan diri. Tapi ra