Rani duduk di lantai, lututnya gemetar, masih terhuyung oleh kata-kata Tasya yang menusuk.
Setelah beberapa saat, perlahan ia berdiri, merapikan gaunnya, dan menatap keluar jendela. Sinar pagi menembus tirai tipis, seakan menawarkan hari baru yang tak peduli dengan drama kemarin. Dengan langkah ringan, meski hati masih campur aduk, ia menuju dapur. Pintu terbuka perlahan, dan aroma kopi hangat menyambutnya. Matanya menangkap Dimas yang sudah duduk di sana, ekspresinya tegang, seolah malam sebelumnya belum benar-benar pergi dari tubuhnya. Suara detak mesin kopi seakan menenangkan, memberi jeda dari gema kata-kata yang masih menempel di kepalanya. “Selamat pagi, Kak Dimas.” Suaranya pelan, hampir hanya bisikan. Ia sendiri tak menyangka akan mendapati Dimas sudah duduk di sana sepagi itu. Matanya menangkap sejenak ekspresi kakak iparnya yang tampak tegang, seolah masih membawa beban dari malam sebelumnya. Ia pura-pura tidak terlalu memperhatikan, lalu melangkah ke arah mesin kopi. Setiap langkahnya terasa ringan, meski ia menyadari benar bahwa gerakan pinggulnya kadang tak sengaja membuat gaun tipis itu mengikuti lekuk tubuh. Ada perasaan aneh menggelitik di dada, terlebih ketika ia merasa tatapan Dimas terus mengikuti geraknya. Rani menuang kopi untuk dirinya sendiri, mencoba bersikap wajar. Saat menyesap, ia bersandar di meja. Gerakan sederhana itu justru membuat kerah gaunnya sedikit melorot. Ia merasakan hawa panas di pipinya ketika menyadari arah pandang Dimas. Cepat-cepat ia menunduk, jari-jarinya meremas cangkir, pura-pura tak sadar. “Jadi… ada rencana untuk hari ini?” suara Dimas memecah kesunyian. Rani mengangkat kepala, mendapati rahang kakak iparnya mengeras, tatapannya menghindar. Ia tahu betul kenapa, wajahnya memerah lagi, mengingat dirinya kemarin sempat berlama-lama di tepi kolam hanya dengan bikini tipis. “Tidak juga,” jawab Rani pelan. Ia memeluk cangkir, menahannya di dada, seolah itu bisa melindunginya dari sorotan Dimas. “Aku cuma kepikiran untuk berenang sambil membersihkan kolam renangnya.” Bibirnya digigit pelan tanpa sadar, jemari mengutak-atik ujung gaun. Ia bisa merasakan betapa sorot mata Dimas sempat jatuh ke bibirnya. Jantungnya berdegup lebih cepat dari yang ia harapkan. “Kedengarannya… bagus,” sahut Dimas, suaranya serak. Rani menunduk lagi. Udara di antara mereka seolah menegang, ada sesuatu yang menggantung. Kemudian Dimas berkata tiba-tiba, “Kalau begitu… mungkin sebaiknya kamu pakai baju renang saja.” Rani spontan menoleh, matanya sedikit melebar. Ia melihat penyesalan cepat terlintas di wajahnya, seakan kata-kata itu lepas tanpa dikendalikan. Rani menatap gaunnya sekilas, lalu melirik Dimas dari balik bulu mata. “Oh… iya. Benar juga.” Ia meletakkan cangkir, lalu berdiri. Kain tipis gaunnya menempel erat, dadanya ikut terangkat ketika ia bergerak. Ia bisa merasakan tatapan Dimas menempel di tubuhnya saat ia melangkah pergi menuju tangga. “Kalau begitu, aku ganti dulu,” ucapnya pelan. Ada sensasi campur aduk, antara malu, gugup, sekaligus rasa ingin tahu saat meninggalkan dapur. Di kamar, ia memilih bikini hitam sederhana. Tidak seronok, bahkan bisa dibilang polos, tapi ia tahu justru itu yang membuatnya terlihat… berbeda. Rani menatap pantulannya di cermin sesaat, pipinya merona sendiri. Ia menggigit bibir, menarik napas panjang, lalu menuruni tangga dengan langkah hati-hati. Saat tiba di ruang bawah, ia menangkap ekspresi Dimas. Matanya melebar, terdiam, seolah kehabisan kata. Rani menunduk sambil tersenyum kecil, tubuhnya terasa panas oleh tatapan itu. Ia berjalan melewati Dimas menuju kolam. Pinggulnya bergoyang ringan mengikuti langkah, entah karena kebiasaan atau karena ia sadar betul Dimas masih memperhatikannya. Saat ia membungkuk merapikan celana bikininya, jantungnya ikut berpacu cepat, ia bisa merasakan berat tatapan di punggungnya. “Kalau ada yang kamu butuhkan, panggil saja,” kata Dimas buru-buru, berpaling sambil memeriksa arloji. Rani mengangguk kecil, lalu masuk ke kolam. Air dingin menyelimuti tubuhnya, memberi sedikit kelegaan dari panas yang tadi terasa di kulit. Jam-jam berikutnya, ia berenang dan kadang berjemur di tepi kolam. Sesekali ia menoleh ke arah jendela besar di lantai atas, dan sering kali mendapati bayangan Dimas di sana. Ada sensasi aneh tiap kali mata mereka bertemu meski hanya sekilas. Ia tahu Dimas berusaha sibuk dengan pekerjaannya, tapi ia juga tahu tatapan itu tidak pernah benar-benar pergi. Lalu ponselnya bergetar. Pesan singkat dari Dimas: “Bisa tolong bawakan dokumen yang ada di meja kopi ruang tamu? Aku butuh untuk rapat.” Rani menghela napas ringan, merasa jantungnya kembali berdebar, entah kenapa. Ia mengambil dokumen itu dan berjalan menuju ruang kerja. “Ini dokumennya, Kak Dimas,” ucapnya lembut, melangkah masuk. Ia menyerahkan map, dan saat tangan mereka bersentuhan, ia merasakan Dimas sengaja memperlambat gerakan. Jemari hangatnya menahan sedikit lebih lama dari yang seharusnya. Rani menunduk, pipinya panas, tak berani menatap langsung. Namun ketika ia mengangkat wajah, ia mendapati sorot mata Dimas sepenuhnya tertuju padanya. Ada sesuatu yang berat dalam tatapan itu, membuat napasnya tercekat. Rambutnya masih lembap, menempel di kulit, dan ia sadar dirinya terlihat sangat… rentan. Tiba-tiba suara gemerisik terdengar dari luar jendela. Rani menoleh, melihat Danish, si tukang kebun, tengah merapikan semak. Sekilas ia menangkap bagaimana pria itu sempat menoleh ke arah mereka. Wajahnya memanas lagi, kali ini bercampur malu. “Terima kasih,” kata Dimas datar, menarik tangannya cepat, lalu duduk. Rani hanya bisa mengangguk, menahan semua yang bergejolak di dadanya. Ia berbalik, melangkah keluar ruangan dengan langkah kecil, meninggalkan Dimas sendiri bersama pikirannya dan dirinya sendiri yang masih berdebar hebat.Keesokan paginya, Rani bangun lebih awal. Sejak semalam pikirannya dipenuhi rasa penasaran tentang liontin itu. Ia pun memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Tasya. Saat masuk ke dapur, ia menemukan Tasya sedang duduk santai, menyeruput kopi sambil menggulir ponselnya.“Selamat pagi, Mbak Tasya. Boleh aku tanya sesuatu?” Rani membuka percakapan hati-hati.Tasya mendongak, wajahnya tampak agak jengkel. “Apa? Cepat saja, aku sibuk hari ini.”Rani sempat ragu, lalu mengeluarkan liontin yang ditemukannya. “aku menemukan ini tadi malam di tepi kolam renang. Mbak tahu ini milik siapa?”Mata Tasya sempat melebar sebelum kemudian menyipit curiga. “Kamu menemukannya di mana?”“Di tepi kolam renang,” jawab Rani pelan. “Ada inisial kita di sini… RP dan DES.”Tasya tiba-tiba meraih liontin itu dengan kasar. “Berikan padaku!”Rani terkejut oleh sikapnya yang mendadak agresif. “M-Mbak Tasya? Kenapa? Apa ini milik Mbak?”Tasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Bukan. Itu b
Dimas mengambil ponsel dari Rani, rahangnya menegang saat menatap layar. "Ini semakin sering terjadi," jawabnya pelan, nada muram. "Tasya banyak berpesta akhir-akhir ini. Pulang terlambat, kadang bahkan tidak pulang sama sekali." Dia meletakkan ponsel di atas meja, kemudian mengusap rambutnya dengan frustrasi. "Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," katanya, suaranya berat karena kekhawatiran. "Dia tidak mau mendengarkanku. Dia… dia terus mendorongku menjauh." Rani menaruh tangan secara naluriah di lengan Dimas, memberi sentuhan yang menenangkan. "Maaf," gumamnya lembut. "Pasti sangat sulit bagimu." Dimas tampak mengalami sesuatu yang aneh di dadanya, kehangatan yang sepertinya sudah lama hilang darinya. Matanya menatap Rani benar-benar menatapnya dan Rani bisa merasakan kepedulian dan empati yang tulus di sorot matanya. Sesuatu yang begitu berbeda dari sikap dingin dan egois Tasya. Dimas mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengambil gelas dari tangan Rani yang gemetar.
Pertanyaan itu menggantung, berat dan penuh makna yang tak terucap. Tatapan Dimas semakin dalam, lengannya menegang seolah takut melepaskan. "Baik?" ia mengulang, dengan senyum tipis yang getir. "Itu yang kamu pikir ini? Sekadar baik?" Ia menggeleng, lirih. "Tidak, Rani. Jauh dari sekadar baik." Tangannya terangkat, menyentuh wajahnya. Ibu jarinya menyapu pelan bibir bawahnya, membuat napas Rani tercekat. "Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakukan padaku?" suaranya semakin rendah, nyaris berbisik. "Setiap kali aku melihatmu... rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Setiap senyummu, tawamu, semua tentangmu... membuatku gila." Dimas tampak menyadari ketegangan momen itu, lalu cepat-cepat menjauh sambil berdehem. "Ayo," katanya dengan nada kasar, berdiri sambil menawari tangannya pada Rani. "Mari kita hangatkan tubuhmu dengan sedikit makanan." Rani menggenggam tangannya, membiarkannya membantunya berdiri. Dia bersandar padanya, kaki yang berdenyut nyeri membuatnya bergantung
Pagi itu cerah. Rani menyapu halaman dengan tenang, poni jatuh ke wajah hingga ia menggulung rambut memakai jepit plastik bening. Dimas yang hendak berangkat kerja terhenti di ambang pintu, menatapnya dengan sorot aneh, seolah pernah melihat gerakan itu sebelumnya. “Kau selalu rapi,” ucapnya singkat, suaranya dingin. Rani menoleh cepat, kaget mendengar suaranya. “Oh… maaf kalau aku menghalangi jalan Kak Dimas.” “Tidak.” Tatapan Dimas bertahan sedikit terlalu lama sebelum akhirnya ia berbalik menuju mobilnya. Rani mengikuti punggungnya dengan pandangan penuh tanya. Dadanya berdebar karena intensitas sorot mata itu. "Kenapa dia melihatku seperti itu? Seolah aku… lebih dari sekadar orang baru di rumah ini." Degup jantung Rani masih berderu saat bayangan Dimas menghilang. Kata-katanya terngiang, membuatnya yakin tatapan itu menyimpan sesuatu yang tak ia mengerti. Sambil menyapu, matanya jatuh pada jepit rambut plastik bening di tangannya, tiba-tiba terasa berat, seolah menyimpan
Dimas berlutut di sampingnya. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya, membuat Rani merasa terkurung dalam ruang kecil hanya berisi mereka berdua. Ia membuka balutan seadanya, meneliti luka dengan kening berkerut. “Cukup dalam,” gumamnya sambil mengambil kapas antiseptik. “Kamu beruntung tidak terluka lebih parah.” Rani terdiam, memperhatikan setiap gerakannya. Cekatan, telaten, tapi juga lembut. Kontras dengan sikap kerasnya yang biasanya dingin. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya akhirnya, lirih. “Aku bisa membersihkannya sendiri.” Dimas sempat terhenti, lalu menautkan tatapannya pada mata Rani. Degup jantung Rani makin kacau. “Kamu tidak seharusnya melakukannya sendirian,” ucapnya dalam. “Selama kamu di bawah atapku, aku yang bertanggung jawab menjagamu.” Kata-kata itu membuat Rani menggigil tipis. Ia menunduk, berbisik, “Tapi aku hanya saudara iparmu… Aku bukan tanggung jawabmu.” Namun genggaman Dimas justru mengencang. Tatapannya tajam. “Kamu bukan sekadar adik ipark
Dimas mendekat, mengambil pisau lain untuk memotong bawang di sebelahnya. Ruang di antara mereka terlalu sempit. Sesekali lengan pria itu menyentuh bahunya. Rani menahan napas. Lalu, tanpa sengaja jari mereka bersentuhan saat sama-sama meraih piring kecil di meja. Waktu seolah berhenti. Pisau di tangan Dimas berhenti bergerak. Rani refleks menarik tangannya, tapi gerakan itu justru membuat pisau menyayat ujung jarinya. Rani berbisik pelan, menahan perih. “Ah…” Setetes darah muncul di ujung jarinya. Dimas langsung meraih tangannya tanpa ragu. Genggamannya hangat, kuat, terlalu intim untuk dapur yang dingin itu. “Kau ceroboh. Jangan biarkan darahmu menodai meja ini,” katanya dingin tapi tegas. Kalimatnya terdengar keras, tapi caranya menekan luka dengan tisu justru sangat teliti. Rani menatap wajahnya, dingin dan serius, namun ada sesuatu di balik sorot mata itu… sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Rani buru-buru menarik tangannya kembali, berusaha menenangkan diri. Tapi ra