Share

🖤 Episode 6

last update Last Updated: 2025-08-23 09:02:48

Rani dengan cepat dan diam-diam menjauh dari pintu, tidak ingin ketahuan menguping. Pikirannya dipenuhi dengan implikasi dari pertengkaran mereka—kecurigaan Dimas, ancaman terselubung Tasya, dan ketegangan yang mendasari yang tampaknya meresap ke setiap aspek pernikahan mereka.

Ia memasuki dapur dan mulai menyiapkan makanan sederhana, tangannya bergerak secara otomatis saat ia memproses apa yang didengarnya. Sebagian dari dirinya merasa lega bahwa kecurigaan Dimas tampaknya hanya terfokus pada kegiatan ekstrakurikuler Tasya, tetapi bagian lain bertanya-tanya berapa lama lagi tatapannya akan beralih ke tempat lain.

Jam berdetak terus-menerus di dinding saat Rani menyajikan makanan dan menyisihkannya agar dingin. Ia tahu ia harus makan sesuatu sendiri, tetapi nafsu makannya telah menghilang karena wahyu baru-baru ini.

Suara tiba-tiba dari lorong mengejutkannya dari pikirannya—langkah kaki mendekati dapur. Rani membeku, jantungnya berdebar kencang di dadanya saat ia menunggu siapa pun yang akan masuk.

Langkah kaki semakin keras, berhenti tepat di luar pintu dapur. Napas Rani tercekat saat pintu terbuka, memperlihatkan Tasya berdiri di ambang pintu. Matanya merah dan bengkak, pertanda pasti bahwa ia telah menangis.

"Rani," bisiknya serak, suaranya pecah karena emosi. "Apakah kamu melihat ponselku? Aku tidak bisa menemukannya di mana pun."

Rani menggelengkan kepalanya perlahan, tatapannya melirik gugup antara wajah Tasya dan makanan yang tidak tersentuh di konter. "Aku.. aku belum melihatnya. Mungkin kamu meninggalkannya di kamar tidurmu?"

Tasya menggigit bibirnya, tampak ragu. Ia melirik ke sekeliling dapur, matanya terpaku pada makanan yang tersaji sesaat sebelum kembali menatap Rani. "Tidak... tidak, kurasa tidak. Aku yakin tadi aku membawanya." Ia melangkah masuk ke dapur, tumitnya berdetak pelan di lantai marmer.

Rani memperhatikannya dengan waspada, tubuhnya menegang saat Tasya mendekat. Udara di antara mereka dipenuhi dengan ketegangan yang tak terucapkan—campuran kecurigaan, kecemburuan, dan kesadaran terus-menerus akan rahasia yang mereka bagi.

"Kamu tidak melihat orang lain membawanya?" tanya Tasya, nadanya sangat netral. "Afqlah, mungkin? Atau mungkin salah satu pelayan meminjamnya tanpa bertanya?"

Rani menggelengkan kepalanya dengan cepat. "Tidak. Aku tidak melihat siapa pun membawa ponselmu." Ia berhenti sejenak sebelum menambahkan dengan tenang, "Apakah kamu baik-baik saja? kau tampak... kesal."

Kata itu menggantung di udara di antara mereka, pertanyaan berat yang Rani tahu mungkin tidak ingin dijawab oleh Tasya. Ia memperhatikan saudaranya dengan saksama, mencari tanda apa pun tentang apa yang mungkin mengganggunya.

Ekspresi Tasya berkedip singkat, kilatan kerentanan melintas di wajahnya sebelum ia mengendalikan kembali fitur-fiturnya menjadi topeng ketidakpedulian yang tenang. "Aku baik-baik saja," katanya singkat. "Hanya... frustrasi. Kamu tahu bagaimana rasanya ketika kamu tidak dapat menemukan sesuatu yang penting."

Ia bergerak lebih jauh ke dapur, matanya memindai konter dan rak seolah mengharapkan ponselnya tiba-tiba terwujud. Rani tetap terpaku di tempatnya, tidak yakin apakah akan menawarkan kenyamanan atau hanya menghilang ke latar belakang.

Saat Tasya mencari, ia tampaknya melupakan keberadaan Rani sepenuhnya. Ia bergumam pada dirinya sendiri, menjalankan daftar periksa mental tentang di mana ia mungkin telah meninggalkan ponselnya. Rani memperhatikannya dalam diam, merasakan sengatan simpati meskipun sifat rumit dari hubungan mereka.

Dering melengking telepon rumah menusuk keheningan tegang di dapur. Rani sedikit tersentak, terkejut dari pikirannya. Ia melirik Tasya, yang tampaknya sama terkejutnya dengan gangguan itu.

"Siapa itu?" gumam Tasya, alisnya berkerut saat ia melihat Rani bergerak untuk menjawab telepon. "Kupikir semua orang tahu untuk meneleponku di ponselku."

Rani mengangkat gagang telepon, menekannya dengan lembut ke telinganya. "Halo? Kediaman Satya."

Sebuah suara yang dalam dan familiar menjawab dari ujung sana—suara yang mengirimkan getaran ke tulang punggung Rani dan menyebabkan mata Tasya membelalak karena pengenalan. "Apakah Tasya ada di sana?"

Tangan Tasya terbang ke mulutnya, menahan napas saat ia menyadari siapa yang ada di ujung telepon. Rani menatap saudara iparnya, menyaksikan warna menghilang dari wajahnya dan rasa bersalah berkedip di matanya.

"Elano?" bisik Rani ke telepon, suaranya nyaris tidak terdengar. Ia melirik gugup ke arah Tasya, bertanya-tanya seberapa banyak yang harus ia ungkapkan. "Ya, dia... dia di sini. Sebentar, ya."

Ia mengulurkan telepon ke Tasya, jari-jari mereka bersentuhan singkat saat ia memindahkannya. Tasya ragu-ragu sepersekian detik sebelum mengambil gagang telepon, tangannya sedikit gemetar.

"Elano," katanya lembut, berbalik dari Rani untuk menghadap dinding. "Aku... aku tidak bisa bicara sekarang. Aku tidak sendirian."

Suara Tasya berubah menjadi bisikan, kata-katanya tergesa-gesa dan mendesak. "Temui aku di tempat biasa malam ini. Aku akan memastikan Dimas sibuk dengan pekerjaan." Ada jeda saat ia mendengarkan tanggapan Elano, rona merah samar merayap di lehernya.

"Aku juga mencintaimu," gumamnya sebelum menutup telepon dengan tiba-tiba. Ia berbalik menghadap Rani, ekspresinya campuran antara rasa malu dan penolakan. "Itu... itu hanya panggilan bisnis."

Rani mengangguk perlahan, tidak sepenuhnya yakin tetapi tidak mau mempermasalahkannya lebih jauh. Ia tahu betul bahaya menggali terlalu dalam ke dalam rahasia Tasya.

"Aku harus pergi," kata Tasya tiba-tiba, melirik jam di dinding. "Dimas akan bertanya-tanya di mana aku berada."

Tasya berbalik dengan tumitnya, sepatu hak tingginya berdetak tajam di lantai marmer saat ia berjalan keluar dari dapur. Rani memperhatikannya pergi, ketidaknyamanan menetap di lubang perutnya.

Keheningan yang menyusul kepergian Tasya memekakkan telinga, hanya dipecah oleh dengungan lembut lemari es dan gumaman suara dari jauh di suatu tempat yang lebih dalam di rumah.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 43

    Saat cahaya fajar pertama menyaring melalui celah-celah pintu, tatapan Dimas melayang di atas tubuh Rani, menangkap banyak bekas ciuman dan gigitan cinta yang menghiasi kulitnya. Gelombang posesif menyelimuti dirinya, kepuasan primal menyebar saat melihat jejaknya padanya. Ia menggerakkan jarinya perlahan di atas memar, mengagumi kontras antara kulit halus dan bukti pertemuan mereka. Rani bergerak di sisinya, matanya terbuka untuk bertemu tatapan intens Dimas. “Dimas…” gumamnya, rona merah merayap di pipinya. “Apa yang… kamu lihat?” Dimas tersenyum nakal, membungkuk untuk mencium tulang selangkanya. “Mahakaryaku,” bisiknya di kulitnya. Namun, ketenangan itu segera terganggu. Suara langkah kaki tiba-tiba terdengar dari luar ruangan. Rani dan Dimas membeku, jantung mereka berdegup kencang, telinga mereka menangkap setiap hentakan. Langkah itu semakin keras, berhenti tepat di luar pintu. Napas Rani tersangkut saat ia mengenali suara polos itu. “Tahte Rani?” Afqlah memanggil

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 42

    Jantung Rani berdebar hebat mendengar kata-katanya. Ia mendekat tanpa ragu, lalu melingkarkan tangannya ke leher pria itu, menempelkan tubuhnya erat. “Aku merindukanmu,” bisiknya di dada Dimas. “Malam ini kacau. Tasya menyuruhku mengantarkan paket, dan ternyata… itu semacam dokumen pemerasan.” Lengan Dimas menegang, memeluknya lebih kuat. Rahangnya mengeras saat mendengar nama Tasya. “Pemerasan?” suaranya pelan tapi berbahaya. “Paket macam apa itu?” Rani ragu sejenak sebelum mundur sedikit, menatap Dimas dengan hati-hati. “Aku tidak tahu,” akunya pelan. “Tapi Meisya memperingatkanku… katanya paket itu berisi informasi yang bisa menghancurkan perusahaanmu kalau jatuh ke tangan yang salah. Dia bilang Tasya mencoba memeras seseorang.” Mata Dimas menggelap saat nama Meisya disebut. Otot di rahangnya menegang. “Meisya?” ulangnya dengan nada dingin. “Apa hubungannya dengan semua ini?” Rani menggeleng, alisnya berkerut. “Aku juga tidak yakin,” katanya jujur. “Tapi dia terlihat b

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 41

    Rani ragu sejenak, terbelah antara tugasnya kepada Tasya dan kerinduannya untuk bertemu Dimas. Ia tahu tidak bisa mengabaikan paket itu begitu saja, tetapi mungkin ada cara untuk menyelesaikannya dengan cepat dan tetap sampai ke pertemuan mereka. “Aku akan kembali sesegera mungkin,” gumamnya pada diri sendiri, menyelipkan paket itu dengan aman di bawah lengannya. Dengan napas dalam-dalam, ia menyelinap keluar rumah, hati-hati agar tidak terlihat oleh pelayan yang masih berada di sekitar. Udara malam yang sejuk menyentuh kulitnya saat Rani bergegas menuju gerbang. Ia menundukkan kepala dan melangkah cepat, berharap tidak menarik perhatian. Leganya terasa saat Zafla, yang sedang sibuk dengan ponselnya, hampir tidak menoleh saat ia melambaikan tangan. Jantung Rani berdebar kencang saat ia melangkah ke jalan-jalan yang gelap, paket berat di pelukannya. Tiba-tiba, suara lembut terdengar dari bayangan: “Ya?” Nada itu hati-hati, penuh waspada. Rani menelan ludah, genggamannya pada

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 40

    Penthouse rahasia itu adalah tempat perlindungan bagi Rani, tempat ia bisa melarikan diri dari suasana rumah utama yang mencekik dan dari kesendirian pikirannya sendiri. Dimas telah menyiapkannya dengan segala kenyamanan yang ia sukai: sofa mewah, TV layar datar besar, dapur kecil lengkap, dan kamar tidur luas dengan kamar mandi dalam. Di sinilah Rani dan Dimas bisa benar-benar jujur satu sama lain, tanpa takut dihakimi atau dibalas dendam. Rani duduk di sofa, menyeruput segelas anggur sambil menatap lampu kota yang berkelap-kelip melalui jendela dari lantai hingga langit-langit. Ia tidak bisa menahan rasa bersalah yang terus menghantuinya. Ia tahu apa yang dilakukannya salah—mengkhianati kepercayaan saudara perempuannya dan merusak fondasi keluarga mereka. Namun, di sisi lain, cintanya pada Dimas terlalu kuat untuk ditolak. Suara pintu penthouse yang terbuka menarik Rani keluar dari pikirannya. Ia menoleh dan melihat Dimas masuk, tubuhnya yang tinggi bersiluet di lorong. Ia mengu

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 39

    Afqlah keluar dari kamar, wajahnya masih berkerut karena baru bangun tidur. Dia mendekati Ayah yang sedang membaca koran di ruang tamu, tangan mungilnya memeluk boneka beruang. "Ayah," kata Afqlah mengantuk sambil menggosok matanya dengan tangan yang bebas, "kenapa Tante Rani selalu menghabiskan lebih banyak waktu denganku daripada Mommy?" Dimas menurunkan korannya perlahan, menatap Tasya yang duduk di meja makan, asyik dengan ponselnya seperti biasa. Ia menghela napas pelan sebelum kembali menoleh ke Afqlah. "Baiklah, sayang," katanya lembut. "Ibumu sangat sibuk. Dia punya banyak tanggung jawab yang menyita waktunya." Afqlah mengangguk perlahan, mencerna kata-kata ayahnya. "Tapi Tante Rani sepertinya tidak sibuk," katanya, alis mungilnya berkerut kebingungan. "Dia selalu di sini, bermain denganku dan membantuku mengerjakan pekerjaan rumah." Ekspresi Dimas melunak mendengar pengamatan polos Afqlah. Ia tahu Rani memang menghabiskan jauh lebih banyak waktu dengan putrinya dibandingk

  • Benih Yang Ditinggalkan Kakak Ipar   🖤 EPISODE 38

    Dimas dan Rani duduk di ruang tamu, tenggelam dalam percakapan tenang ketika suara sepatu hak tinggi beradu dengan marmer menandakan kedatangan Tasya. Ia melangkah masuk dengan anggun—gaunnya berkilau, riasannya sempurna—namun ada sedikit goyangan di langkahnya yang menandakan ia sudah terlalu banyak minum di pesta tadi. “Wah, wah,” ucapnya dengan suara tidak jelas, matanya menyipit melihat Dimas dan Rani yang duduk begitu dekat. “Apa yang kita punya di sini?” Dimas berdiri dengan tenang, ekspresinya tetap netral. “Hanya membicarakan beberapa urusan rumah tangga,” katanya datar. “Rani sangat membantu di rumah… sesuatu yang tampaknya sering kamu lupakan.” Bibir Tasya melengkung sinis. “Oh, begitu? Dia?” tanyanya tajam. “Saya yakin dia senang sekali bermain peran sebagai pengurus rumah tangga kita.” Mata Dimas menajam menanggapi nada meremehkannya. “Rani bukan sekadar pengurus rumah tangga,” ucapnya tegas. “Dia keluarga—sesuatu yang sepertinya sudah kamu lupakan dalam usahamu men

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status