Rani mengangguk patuh, segera melangkah ke lemari minuman.
“Tentu, Kak. Wiski atau vodka?” Ia membungkuk mengambil botol dari rak bawah. Gaunnya sedikit terangkat, menampakkan bagian pahanya. Rani sendiri tidak menyadari, sibuk mencari botol yang diminta. Namun Dimas yang melihat menahan napas, buru-buru memalingkan wajah ketika Rani kembali berdiri dan menyerahkan botol wiski. “Wiski saja,” ucapnya cepat, lalu menuang segelas besar untuk dirinya. Rani memperhatikan ketika Dimas menyesap minuman itu perlahan, membiarkan panasnya mengalir di tenggorokan. Ia tahu alkohol itu tidak akan benar-benar meredakan sesuatu yang jelas lebih berat di dalam diri lelaki itu. Dari cara ia duduk, dari caranya menahan rahang, Rani bisa merasakan betapa ia sedang berusaha keras menahan sesuatu. Sambil merapikan botol di rak, Rani akhirnya memberanikan diri bertanya, suaranya pelan. “Jam berapa Kak Dimas pulang tadi? Biasanya lebih awal.” Dimas mengangkat bahu, kembali meneguk wiski sebelum menjawab. “Tasya ingin keluar. Kami pergi ke klub di pusat kota.” Rani menunduk sedikit, menyembunyikan perubahan di matanya. Ia tak bertanya lebih jauh, hanya mengangguk pelan. “Begitu… Apakah Kakak… bersenang-senang?” Nada polosnya menyelipkan kekhawatiran yang tidak bisa ia sembunyikan. Ia sudah lama melihat retakan di pernikahan itu, dan pertanyaannya hanyalah cermin dari hatinya yang ikut resah. Dimas mendengus getir. Ia menghabiskan isi gelas dalam satu tegukan, lalu menaruhnya dengan keras di meja. Suara benturan itu membuat Rani tersentak kaget, matanya membesar. “Bersenang-senang?” ulangnya dengan nada tajam. “Tidak, Rani. Sama sekali tidak. Malam ini… bencana.” Refleks, Rani mendekat. “Maaf… aku tidak bermaksud menyinggung.” Suaranya penuh ketulusan. Dengan ragu, ia mengulurkan tangan, menyentuh lengan Dimas. Sentuhan ringan itu dimaksudkan hanya sebagai dukungan sederhana, tapi Rani merasakan sendiri bagaimana tubuh lelaki itu menegang di bawah jemarinya. “Tidak apa-apa,” jawab Dimas pelan. Kali ini suaranya lebih lembut. “Kamu tidak salah. Kamu tidak perlu merasa bersalah. Tapi… terima kasih. Karena kamu di sini.” Tatapan Rani melembut. Ia bisa melihat jelas kelelahan di wajah Dimas, jauh berbeda dari sosok yang biasanya tegar di hadapan orang lain. Ada luka yang dalam di balik kata-katanya, dan untuk sesaat Rani merasa seolah ia memegang rahasia yang tidak dimiliki siapa pun. “Aku melihat mereka,” ucap Dimas akhirnya, hampir berbisik. Mata Rani membulat, tangannya yang masih menyentuh lengan lelaki itu mengejang. “Mereka?” tanyanya hati-hati, takut mendengar jawaban. Dimas mengangguk, rahangnya mengeras. “Ya. Elano. Teman istriku. Aku melihat mereka… dan aku tahu.” Ia tidak melanjutkan dengan kata-kata, namun retakan di suaranya cukup menjelaskan segalanya. Pagi itu, bahkan sinar matahari terasa dingin bagi Rani. Kata-kata yang ia dengar semalam tentang Dimas dan Tasya terus menempel di kepalanya, seperti bayangan yang tak bisa ia singkirkan. Setiap langkah Dimas, setiap tatapannya… membuat rahasia itu terasa lebih nyata. Tiba-tiba, langkah kaki lain bergema di belakangnya. Rani berputar, terkejut melihat Tasya berdiri di ambang pintu. Bibir kakaknya tersenyum tipis, matanya berkilat geli. "Rani, ada apa? Kamu terlihat seperti baru melihat hantu." Tasya melangkah mendekat, sepatu haknya mengklik lantai marmer. "Atau… mungkin kamu sedang memikirkan suamiku?" Nada manisnya menusuk, tapi ada ketajaman yang tak bisa diabaikan. Rani merasakan hawa dingin merayap ke tulang punggungnya. "Tidak… tentu saja tidak," tergagap Rani, menunduk ke vas bunga untuk menyembunyikan pipinya yang memerah. "Aku… hanya menata bunga lili." Tasya tersenyum lebih lebar, kilatan tajam di matanya. Ia melangkah lebih dekat, memetik satu bunga lili dan memutarnya di antara jarinya. "Benarkah? Karena sepertinya kamu tenggelam dalam pikiran lain… atau mungkin seseorang lain?" Rani menelan ludah, pikirannya berpacu. "Aku… aku tidak tahu maksudmu. Aku di sini hanya untuk membantu, dan… mencari pekerjaan serta tempat tinggal." Mata Tasya menyipit. Cengkeramannya pada bunga bakung menegang sampai kelopaknya robek. "Benarkah? Karena sepertinya kamu cukup nyaman di sini… di rumahku." Ia melempar bunga yang hancur ke meja, kelopaknya berserakan. "Kamu selalu mengikuti Dimas, memandangnya ketika dia tidak melihat. Aku sudah melihat caramu." Jantung Rani berdegup kencang. Ia mundur selangkah, menempatkan jarak antara dirinya dan tatapan Tasya. "Aku… aku tidak tahu apa yang kau bicarakan. Aku hanya berusaha membantu, dan berterima kasih atas keramahanmu." Bibir Tasya meringkuk, matanya menatap dengan kemarahan dan sesuatu yang lebih gelap. "Keramahan? Benarkah itu yang kamu pikirkan?" Suaranya menurun, mendekatkan tubuhnya hanya beberapa inci dari Rani. "Ini peringatan, Rani. Jauhi suamiku. Dimas mungkin dibutakan oleh apa pun yang kamu lemparkan padanya, tapi aku melihat langsung melalui kamu. Aku tahu kau menyembunyikan sesuatu. Dan ketika aku tahu… Dimas tidak akan punya pilihan selain mengusirmu." Rani menahan napas. "Aku… aku tidak mencoba mengambil apa pun darimu. Tolong, percayalah." Tasya tertawa, pahit dan keras, bergema di ruangan. "Simpan kebohonganmu untuk orang lain. Aku tidak tertipu oleh kepolosanmu." Ia berputar dan keluar, meninggalkan Rani sendirian. Rani merosot ke lantai, lutut gemetar, air mata menetes, pelukan menahan isak yang tak tertahankan. Kata-kata Tasya terus bergema, pengingat kejam akan rahasia yang tak bisa ia ingat. Ia tidak mengerti mengapa Tasya begitu cemburu, begitu bertekad mendorongnya menjauh dari Dimas. Meski tanpa ingatan itu, Rani merasakan tarikan aneh terhadap Dimas.Keesokan paginya, Rani bangun lebih awal. Sejak semalam pikirannya dipenuhi rasa penasaran tentang liontin itu. Ia pun memutuskan untuk menanyakannya langsung pada Tasya. Saat masuk ke dapur, ia menemukan Tasya sedang duduk santai, menyeruput kopi sambil menggulir ponselnya.“Selamat pagi, Mbak Tasya. Boleh aku tanya sesuatu?” Rani membuka percakapan hati-hati.Tasya mendongak, wajahnya tampak agak jengkel. “Apa? Cepat saja, aku sibuk hari ini.”Rani sempat ragu, lalu mengeluarkan liontin yang ditemukannya. “aku menemukan ini tadi malam di tepi kolam renang. Mbak tahu ini milik siapa?”Mata Tasya sempat melebar sebelum kemudian menyipit curiga. “Kamu menemukannya di mana?”“Di tepi kolam renang,” jawab Rani pelan. “Ada inisial kita di sini… RP dan DES.”Tasya tiba-tiba meraih liontin itu dengan kasar. “Berikan padaku!”Rani terkejut oleh sikapnya yang mendadak agresif. “M-Mbak Tasya? Kenapa? Apa ini milik Mbak?”Tasya menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri. “Bukan. Itu b
Dimas mengambil ponsel dari Rani, rahangnya menegang saat menatap layar. "Ini semakin sering terjadi," jawabnya pelan, nada muram. "Tasya banyak berpesta akhir-akhir ini. Pulang terlambat, kadang bahkan tidak pulang sama sekali." Dia meletakkan ponsel di atas meja, kemudian mengusap rambutnya dengan frustrasi. "Aku benar-benar tidak tahu harus bagaimana," katanya, suaranya berat karena kekhawatiran. "Dia tidak mau mendengarkanku. Dia… dia terus mendorongku menjauh." Rani menaruh tangan secara naluriah di lengan Dimas, memberi sentuhan yang menenangkan. "Maaf," gumamnya lembut. "Pasti sangat sulit bagimu." Dimas tampak mengalami sesuatu yang aneh di dadanya, kehangatan yang sepertinya sudah lama hilang darinya. Matanya menatap Rani benar-benar menatapnya dan Rani bisa merasakan kepedulian dan empati yang tulus di sorot matanya. Sesuatu yang begitu berbeda dari sikap dingin dan egois Tasya. Dimas mengulurkan tangannya dan dengan lembut mengambil gelas dari tangan Rani yang gemetar.
Pertanyaan itu menggantung, berat dan penuh makna yang tak terucap. Tatapan Dimas semakin dalam, lengannya menegang seolah takut melepaskan. "Baik?" ia mengulang, dengan senyum tipis yang getir. "Itu yang kamu pikir ini? Sekadar baik?" Ia menggeleng, lirih. "Tidak, Rani. Jauh dari sekadar baik." Tangannya terangkat, menyentuh wajahnya. Ibu jarinya menyapu pelan bibir bawahnya, membuat napas Rani tercekat. "Kamu sadar nggak, apa yang kamu lakukan padaku?" suaranya semakin rendah, nyaris berbisik. "Setiap kali aku melihatmu... rasanya seperti ada yang menghantam dadaku. Setiap senyummu, tawamu, semua tentangmu... membuatku gila." Dimas tampak menyadari ketegangan momen itu, lalu cepat-cepat menjauh sambil berdehem. "Ayo," katanya dengan nada kasar, berdiri sambil menawari tangannya pada Rani. "Mari kita hangatkan tubuhmu dengan sedikit makanan." Rani menggenggam tangannya, membiarkannya membantunya berdiri. Dia bersandar padanya, kaki yang berdenyut nyeri membuatnya bergantung
Pagi itu cerah. Rani menyapu halaman dengan tenang, poni jatuh ke wajah hingga ia menggulung rambut memakai jepit plastik bening. Dimas yang hendak berangkat kerja terhenti di ambang pintu, menatapnya dengan sorot aneh, seolah pernah melihat gerakan itu sebelumnya. “Kau selalu rapi,” ucapnya singkat, suaranya dingin. Rani menoleh cepat, kaget mendengar suaranya. “Oh… maaf kalau aku menghalangi jalan Kak Dimas.” “Tidak.” Tatapan Dimas bertahan sedikit terlalu lama sebelum akhirnya ia berbalik menuju mobilnya. Rani mengikuti punggungnya dengan pandangan penuh tanya. Dadanya berdebar karena intensitas sorot mata itu. "Kenapa dia melihatku seperti itu? Seolah aku… lebih dari sekadar orang baru di rumah ini." Degup jantung Rani masih berderu saat bayangan Dimas menghilang. Kata-katanya terngiang, membuatnya yakin tatapan itu menyimpan sesuatu yang tak ia mengerti. Sambil menyapu, matanya jatuh pada jepit rambut plastik bening di tangannya, tiba-tiba terasa berat, seolah menyimpan
Dimas berlutut di sampingnya. Tubuh tegapnya menghalangi cahaya, membuat Rani merasa terkurung dalam ruang kecil hanya berisi mereka berdua. Ia membuka balutan seadanya, meneliti luka dengan kening berkerut. “Cukup dalam,” gumamnya sambil mengambil kapas antiseptik. “Kamu beruntung tidak terluka lebih parah.” Rani terdiam, memperhatikan setiap gerakannya. Cekatan, telaten, tapi juga lembut. Kontras dengan sikap kerasnya yang biasanya dingin. “Kenapa kamu melakukan ini?” tanyanya akhirnya, lirih. “Aku bisa membersihkannya sendiri.” Dimas sempat terhenti, lalu menautkan tatapannya pada mata Rani. Degup jantung Rani makin kacau. “Kamu tidak seharusnya melakukannya sendirian,” ucapnya dalam. “Selama kamu di bawah atapku, aku yang bertanggung jawab menjagamu.” Kata-kata itu membuat Rani menggigil tipis. Ia menunduk, berbisik, “Tapi aku hanya saudara iparmu… Aku bukan tanggung jawabmu.” Namun genggaman Dimas justru mengencang. Tatapannya tajam. “Kamu bukan sekadar adik ipark
Dimas mendekat, mengambil pisau lain untuk memotong bawang di sebelahnya. Ruang di antara mereka terlalu sempit. Sesekali lengan pria itu menyentuh bahunya. Rani menahan napas. Lalu, tanpa sengaja jari mereka bersentuhan saat sama-sama meraih piring kecil di meja. Waktu seolah berhenti. Pisau di tangan Dimas berhenti bergerak. Rani refleks menarik tangannya, tapi gerakan itu justru membuat pisau menyayat ujung jarinya. Rani berbisik pelan, menahan perih. “Ah…” Setetes darah muncul di ujung jarinya. Dimas langsung meraih tangannya tanpa ragu. Genggamannya hangat, kuat, terlalu intim untuk dapur yang dingin itu. “Kau ceroboh. Jangan biarkan darahmu menodai meja ini,” katanya dingin tapi tegas. Kalimatnya terdengar keras, tapi caranya menekan luka dengan tisu justru sangat teliti. Rani menatap wajahnya, dingin dan serius, namun ada sesuatu di balik sorot mata itu… sesuatu yang membuat dadanya bergetar. Rani buru-buru menarik tangannya kembali, berusaha menenangkan diri. Tapi ra