Sudah mulai musim hujan. Suara rintik air jatuh di pagi hari dan mendung yang menutupi matahari membuat Bima menarik kembali selimutnya.
“Mau tidur lagi?” tanya Nindya di sampingnya.“Hari Minggu kenapa harus bangun pagi?” jawabnya sambil memeluk tubuh Nindya. Matanya kembali terpejam.Nindya memandang suaminya. Sudah satu bulan sejak Bima keluar dari rumah sakit. Kini dia sudah bisa makan dan beraktivitas seperti biasa. Sejak itu juga, Bima tidur kembali di kamar mereka.Sakitnya Bima membawa pengaruh besar pada kehidupan rumah tangga mereka. Perlahan, Nindya mulai menerima kehangatan Bima kembali.Meski bayang-bayang masa lalu masih sering hadir, namun dia tak lagi mundur atau berhenti. Dia ingin rumah tangganya utuh kembali.“Bangun, Bim. Sudah waktunya sarapan, ingat perutmu.”“Setengah jam lagi, ya...” Bima tak bergeming. Dipeluknya Nindya makin erat.Nindya tersenyum sambil mengelus rambut ikal suaminya. BSudah mulai musim hujan. Suara rintik air jatuh di pagi hari dan mendung yang menutupi matahari membuat Bima menarik kembali selimutnya.“Mau tidur lagi?” tanya Nindya di sampingnya.“Hari Minggu kenapa harus bangun pagi?” jawabnya sambil memeluk tubuh Nindya. Matanya kembali terpejam.Nindya memandang suaminya. Sudah satu bulan sejak Bima keluar dari rumah sakit. Kini dia sudah bisa makan dan beraktivitas seperti biasa. Sejak itu juga, Bima tidur kembali di kamar mereka.Sakitnya Bima membawa pengaruh besar pada kehidupan rumah tangga mereka. Perlahan, Nindya mulai menerima kehangatan Bima kembali.Meski bayang-bayang masa lalu masih sering hadir, namun dia tak lagi mundur atau berhenti. Dia ingin rumah tangganya utuh kembali.“Bangun, Bim. Sudah waktunya sarapan, ingat perutmu.”“Setengah jam lagi, ya...” Bima tak bergeming. Dipeluknya Nindya makin erat.Nindya tersenyum sambil mengelus rambut ikal suaminya. B
Saat Nindya sampai di rumah Dewi, kue-kue kecil sudah ditata dengan rapi dari halaman dan teras rumah. Di sampingnya disediakan minuman sirup serta air mineral.Yuni, orang kepercayaan Mamanya, hilir mudik mengatur pegawai katering yang mengantarkan aneka makanan serta bingkisan. Pasti Yuni sudah lama tahu kondisi Laras.“Semangat, Yuni,” sapa Nindya.“Iya, Mbak Nindya,” Yuni tersenyum ramah.Nindya melangkah ke dalam. Ruang tamu disulap menjadi aula besar. Tak ada kursi yang biasanya terletak membelah ruangan. Semua perabot digantikan dengan karpet tebal dan hangat.Dewi menunjuk-nunjuk meja yang masih belum terisi makanan pada pegawai katering. “Nin, kamu sudah datang.”“Ada yang bisa Nindya bantu, Ma?”“Sudah selesai kok.” Dewi memandangi petugas katering terakhir meletakkan nampan lalu menghampiri Nindya. “Sebentar lagi Paman dan Bibimu akan datang. Mama tak ingin masih banyak orang di sini.”Nindya mengangg
Suara gemericik air yang menyambut Nindya membuatnya teringat kenangan masa kecilnya. Di rumah ini dia dibesarkan, dan tinggal hingga ia menikah.Mungkin sudah dua bulan ia tak datang. Terakhir, saat Mamanya meminta ia datang dua bulan lalu, saat kandungan Laras masih dua bulan. Ia jadi teringat kenapa dia ke sini sekarang.Nindya memencet bel pintu. Dia memang tidak memberi kabar kalau dia akan datang Kamis malam ini. Toh dia sebenarnya kan bukan tamu di rumah ini.Tak terlihat adanya persiapan berlebihan di luar. Tak seperti rumah yang akan menggelar hajatan besar keesokan harinya.Perlahan pintu dibuka dari dalam. Suti terkejut melihat siapa yang datang.“Mbak Nindya....” Buru-buru dibukanya pintu rumah selebar-lebarnya. “Masuk, Mbak.”“Makasih, Suti.” Suti pun tampak canggung melihatnya, pikir Nindya. “Ada Mama?”“Di ruang tengah, Mbak... sama Mbak Laras.” Kata-kata terakhir ditambahkan pelan seakan itu adalah pering
Suasana ruang rawat inap pagi itu lebih lengang. Petugas jaga sudah berganti dengan wajah-wajah yang lebih segar karena tidur lebih nyenyak di rumah. Hanya ada dua perawat yang berada di nurse station sambil mengisi status medis pasien. Sisanya mungkin sedang beredar mengganti botol infus, menghampiri kamar pasien yang menekan tombol panggil atau mendampingi dokter spesialis berkeliling.Di dalam kamar 208, Nindya menyuapkan pelan air putih ke mulut Bima. Sudah hari ketiga Bima di rumah sakit, dan hari ini dia sudah boleh diberi air putih dalam jumlah sedikit.“Sudah ya, Bim... nanti lagi,” kata Nindya sambil meletakkan gelasnya di atas meja. Tak tega rasanya melihat Bima yang seperti selalu kehausan. Kalau tak ingat lambungnya baru saja dijahit, sudah diberinya Bima air setiap saat.Bima mengangguk pelan. Dia cukup bersyukur sudah pindah ke kamar rawat inap biasa. Ada Nindya yang selalu menemani. Kadang Ibunya juga datang dan terus menanyakan kapan Bima b
Ruangan steril bernuansa putih biru itu hanya mengeluarkan bunyi statis dari dua monitor organ vital yang masing-masing terhubung pada dua pasien pria. Saat Bima perlahan membuka matanya, dia mengenali pemandangan di sekelilingnya.Rumah sakit, pasti kamar ICU, pikirnya setelah melihat ada satu lagi pasien di sebelahnya. Temannya itu sepertinya belum sadar.Tenggorokannya terasa sangat kering. Pikirannya masih berkabut. Ingatannya terhenti pada saat dia mengerang kesakitan di kamar tamu. Dia ingat ada Nindya yang menangis dan menggenggam tangannya.Di manakah Nindya?Seorang perawat masuk lalu melakukan pemeriksaan singkat.“Sebutkan nama Bapak?” tanyanya sambil memegang senter untuk menerangi kedua pupilnya bergantian.“Dirgantara Bima,” jawabnya sambil menelan ludah, berusaha membasahi tenggorokannya. “Di mana istri saya?”“Saya akan panggilkan dokter terlebih dahulu, ya Pak,” kata perawat itu lalu berlalu keluar.
Nindya terbangun dari tidur malamnya ketika telinganya sayup-sayup mendengar raungan tertahan. Dibukanya kedua matanya. Ditajamkannya telinganya.Suara dari kamar sebelah. Bima!. Segera Nindya bangun lalu keluar dari kamar. Diketuknya pintu Bima namun tak ada jawaban sementara suara raungan itu semakin terdengar.Nindya membuka pintu dan pemandangan yang pertama dilihatnya adalah tubuh Bima meringkuk di lantai. Tangannya memegang perut, keringatnya bercucuran.Dengan cepat Nindya berjongkok dan memeriksa Bima. Tak ada luka, jelas rasa sakit ini dari dalam. Diambilnya ponsel dari kamarnya lalu dengan tangan bergetar diteleponnya ambulans.“Bim ....” Nindya terus menerus memegang tangan suaminya.Bi Ijah sudah dibangunkan, tapi tak ada apa pun yang bisa mereka lakukan selain menunggu ambulans datang.“Sakit, Nin ....” Hanya itu kalimat yang terus diulang-ulang Bima sambil memegang perutnya. Keringatnya tak berhenti, badannya dingin