Part 2. Pagar Tinggi
“Mbok, ya, kalau punya ayam itu dimasuki kandang, bukannya suruh berkeliaran di mana-mana. Mbak, yu, woi, mbak yu, ayammu lho iki, buang kotoran sembuarangan. Pagi-pagi wes merusak pemandangan rumah orang.”
Aku mengusap wajah, Mamak terbelalak.
“Gil, ayam-ayam ke luar?” Mamak memukul pundakku.
“Tadi Pras keluarin, Mak, orang kandangnya mau Pras perbaiki.”
“Walah kamu teledor.” Mamak beranjak, menghampiri Bulik Hasma. Aku diam mendengarkan. Bulik Hasma belum tahu kalau aku ada di rumah. Karena baru semalam aku datang. Coba ingin kudengarkan, masih sama enggak kelakuannya seperti dulu.
“Maaf, Le, kandangnya lagi diperbaiki.” Mamak terdengar menyesal, kenapa juga Mamak harus seperti itu. Biarkan dia sarapan kotoran ayam. Toh mulutnya lebih menjijikkan dari pada pantat ayam.
Lah gue juga ikut emosi ternyata. Padahal tadi bilang sama Mamak jangan ambil hati.
“Masukkin kamarmu apa gimana, kek, yu, halamanku sudah kinclong begini dirusak ayam, mana banyak lagi.”
Orang itu memang kelewatan, ayam suruh dimasuki kamar, pintar kalau menghina.
Rumahku dan rumah Bulik hanya terbatas oleh tanamannya yang memang sengaja dibuat rimbun. Halamannya berpaving sedangkan halaman kami tanah saja. Kalau kalian datang ke sini, akan melihat pemandangan yang sangat jomplang, karena rumah dia terlalu ‘wah’, sedangkan rumah Mamak gubuk saja.
“Iya maaf, Le. Biar aku kurung lagi.” Untuk ke sekian kalinya Mamak minta maaf lagi. Aku jadi mengambil napas panjang, karena dada jadi terasa panas. Kalau mereka hanya menghinaku, itu tidak apa-apa. Tapi kalau menghina Mamak, itu tidak bisa kuterima.
Setelah Mamak minta maaf, terdengar ayam berkokok, mungkin Mamak sedang mengejar ayam. Tadinya aku tidak mau menunjukkan diri di depan Bulik tapi kasihan Mamak.
“Ragil?” Bulik terbelalak saat melihatku keluar dari rumah. Aku berjalan menghampirinya dengan kedua tangan di kantung celana, sedang menahan kesal sebenarnya.
Setelah aku dewasa adik-adiknya bapak tidak banyak menghina, ya paling membeda-bedakan prestasi aku dengan anak-anaknya. Setidaknya mereka pasti segan melihatku sudah tinggi begini.
“Ada berapa memang kotoran ayamnya?” tandasku seraya mengeluarkan tisu dari kantung celana, di sekeliling terlihat hanya ada satu.
Bulik berkedip cepat, mengalihkan pandangan dari irisku.
Kukeluarkan tisu dari bungkusnya sedikit kasar. Lalu mengusap kotoran ayam, melemparkannya ke rumput di atas tanah halaman rumahku.
“Satu saja ributnya se-RT. Mulut Bulik itu lebih kotor dari pada pantat ayam.” Tidak tahu ucapan itu datangnya dari mana. Mungkin karena dari panasnya dada akibat melihat Mamak sibuk mengejar ayam.
Bulik mendengus, “Heh! Apa kamu bilang? Ora sopan ya itu mulut ....”
Aku balik badan sambil mengunci telinga. Membiarkan Bulik ngoceh sendiri, semoga cepat darah tinggi.
Aku dan Mamak mengejar ayam, dan segera mengurungnya lagi.
“Kamu itu, Pras. Pake ngomong tidak sopan sama Bulik,” tegur Mama sambil melemaskan pinggang di kursi rotan depan rumah.
Terdengar suara di samping masih mengoceh karena ucapanku tadi. Kalau ditulis ocehannya itu mungkin lebih tebal dari novel Harry Potter.
“Ya memang mulutnya kotor, Mak,” seruku asal.
“Suruh Mamak jangan ambil hati, malah kamu yang ambil hati. Pintar kamu, kalau ngasih tahu.”
"Aku bilang jangan ambil hati biar Mamak gak banyak pikiran, kalau dia sampai bilang ayam masukkin kamar, ya, itu kelewatan. Masa kamar disamain sama kandang ayam. Dia itu ngehina, Mak. Jangan diam saja, dilawan, kan dia adik Mamak walau dari bapak."
"Lah, iya, wong ngomongnya gitu dari dulu."
"Lawan mangkannya."
"Mamak gak berani." Mamak tersenyum.
Lima menit terjeda. Aku mengayunkan kaki menjauhi rumah.
“Mau ke mana, Pras?” sergah Mamak.
“Mau ke rumah Mas Galuh, mau minta bantuin bikin kandang sama benerin atap,” jawabku.
“Yo wes, sana. Kalau tidak ada kerjaan pasti ada di rumah.”
Aku melangkahkan kaki di jalan kecil. Di sini kalian tidak akan menemukan jalanan aspal (kecuali di jalan raya). Jalanan di sini cor-an tapi hanya bagian samping kanan dan kiri saja, untuk sebatas ban kendaraan. Sementara bagian lainnya dibiarkan tanah. Pun jalannya tidak luas hanya cukup satu mobil saja. Itu sebabnya aku bawa mobil ke sini tapi tidak dibawa ke rumah, soalnya takut nyungseb ke sawah. Maklum tidak pernah bawa mobil di jalan seperti ini.
Rumah orang tua belum diperbaiki tapi sudah punya mobil? Eit, beda gaes. Mobil itu kebutuhan karena aku memang punya usaha. Untuk belanja ke sana-sini butuh kendaraan.
Rumah Mas Galuh terhalang dua petak sawah. Jangan dikira dekat, sepetak sawah mungkin panjangnya 50 meter, jadi dua petak sudah seratus meter, sama dengan panjang lapangan bola.
Kiri-kanan jalan di sini banyak pohon jati, hampir setiap rumah menanam jati, dan selebihnya pemandangan didominasi sawah.
“Woi, itu Prasetio, si ragil (bungsu)?” Sambut Mas Galuh, padahal jalanku masih jauh. Aku mengayunkan tangan untuk menjawabnya.
“Kapan datang?” tanyanya.
“Semalam, Mas.” Kami salaman.
“Naik apa ke sini?”
“Naik mobil, Mas.”
“Sekarang ongkos mahal, ya?”
“Iya, pada naik.”
“Ayo ... ayo duduk!” ajaknya.
Aku duduk di kursi ... eh tidak, ini bukan kursi, semacam tempat untuk berbaring seperti yang ada di sisi kolam, terbuat dari kayu tanpa cat.
“Ngopi, yo,” serunya.
“Mboten, Mas. Aku mau minta tolong bikinin pagar. Dari bambu saja lah dulu. Buat pembatas rumah Mamak sama Bulik Hasma. Pusing kepalaku, Mas. Ribut terus.”
Mas Galuh duduk di kursi panjang yang ada di hadapanku. Dia terbahak, “Ribut terus to. Pras. Udah tua gak ada perubahan bulikmu itu.” Semua orang sudah tahu bagaimana sikap Bulik pada Mamak.
“Makin menjadi.”
Mas Galuh kembali tertawa. “Bikin pagar? Siap. Kebetulan sedang tidak ada job,” sambutnya setelah tawanya usai.
“Kalau bisa minta tolong tambah orang lain, Mas. Mau kuganti kayu-kayu yang lapuk itu.”
“Siap. Butuh berapa orang?”
Sesaat aku berpikir. “Dua orang lagi, Mas.”
“Sekarang?”
“Ya, kalau bisa hari ini, tapi gak perlu sekarang juga.”
“Wokeh! Kalau begitu aku siap-siap dulu.” Mas Galuh beranjak.
Mas Galuh kuli yang kerja serabutan, apa pun dia kerjakan, dari membangun rumah, nguli di sawah, dan sebagainya.
Aku menghirup napas segar, seraya melihat pemandangan. Rumah khas di sini memiliki banyak pintu di bagian depannya. Termasuk di rumah Mas Galuh ini. Pemandangan dua belas tahun lalu dan sekarang tidak ada bedanya. Masih begini saja.
.
Hari ini juga Mas Galuh dan dua orang temannya bekerja di rumah. Mamak maki-maki gara-gara mau renop rumah gak bilang-bilang dulu.
“Mamak tidak persiapan air, lauk, dan makanan. Maen kerja-kerja saja.”
Setelah beberapa menit ngoceh baru keluar dari Rumah. Setelah itu menjewer kupingku. Pasalnya beliau kaget melihat satu dus air, cemilan, dan sekantung lauk sudah kubeli.
“Kerjaanmu itu Ragil. Ini kapan belinya?” Mamak memelintir kupingku.
“Aduh, duh, duh ... tadi ... sakit, Mak.” Aku mengusap kuping yang terasa panas.
“Mamak sibuk di dapur nyiapin makanan, kamu beli malah gak bilang-bilang.” Mamak masih ngoceh.
“Abis Mamak nguoceh terus dari tadi.”
Sebelum Bang Galih dan para pekerja datang ke rumah, aku sudah pergi belanja. Pulang-pulang ada yang ngoceh. Ya sudah, biarkan saja. Jangan tanya kabar penghuni samping rumah. Masih ngoceh gara-gara kubilang mulutnya lebih kotor dari pantat ayam.
**
Suara palu bertemu paku berdenting. Gerinda mengaung. Juga suara golok yang memutilasi bambu. Berisik.
Seorang pria berpakaian partai bergambar moncong itu bertolak pinggang. Lirik kanan-kiri mengamati keadaan rumahku. Lalu tangannya melambai. Seakan mengatakan, “Hai, budak. Sini kau!”
Mengerti. Aku langsung menghampirinya.
“Sedang buat apa ini?” tandasnya dengan tangan di belakang pantat. Matanya tajam mengawasi para pekerja. Dia berdiri di halaman berpaving perbatasan antara rumahnya dan rumahku.
“Lagi buat pagar, Paklik. Biar ayam gak bisa masuk,” jawabku. Bertahun-tahun tidak bertemu manalah dia bertanya kabar, buat dia aku hanya butiran debu.
“Bagus. Buat yang tinggi biar gak dilewati ayam,” ucapnya dengan mata menantang. Aku mengangguk saja.
“Nanti malam kamu ke rumah. Saya mau bicara.” Pria veteran itu ngeloyor pergi tanpa persetujuan.
Aku membuang napas kasar.
Ada apa kira-kira?
Adakah hubungannya dengan pantat ayam?
Bersambung ....
Part 3 Kalau Masih Punya Hutang Tidak Perlu SombongSatu kebiasaan unik di sini, orang-orang terbiasa menggunakan sepeda untuk bepergian. Termasuk Mamak. Meskipun sudah nenek-nenek, Mamak lihai pergi dengan sepeda ontelnya, tapi sekarang sepeda itu hanya teronggok di belakang rumah dengan bannya yang kempes.Tidak kupikirkan apa kata Paklik tadi. Mana tahu nanti malam dia mau ngajak makan-makan. Dinner berdua, misal. Sekarang lebih baik kuperbaiki sepeda Mamak. Kalau pekerjaan per-bambuan aku tidak begitu lihai.“Beli motor, kek, Mak.” Aku menarik ontel dari belakang rumah, mau kubawa ke jalan raya tempat bengkel sepeda.“Mamak ora punya duit.”“Lah bohong, kirimanku numpuk di bawah bantal.” Ini aku berlebihan, hanya bercanda saja menghibur para pekerja, dan disambut tawa Mas Galuh dan teman-temannya.“Hebat tenan, uang numpuk di bawah bantal. Pinjami aku lah, Mbah,” kata Mas Galuh.“Ngarang, mana ada. Bukan di bawah bantal di kolong ranjang,” balas Mamak, selanjutnya aku tidak mende
Part 4.Kembang DesaDulu Mamak pernah menyimpan uang di lemari. Tidak terpakai karena dimakan rayap. Sekarang aku jadi kepikiran di mana Mamak menyimpan uang?"Mak .... Mamak.""Opo, Pras," seru Mamak dari dalam kamar."Mamak simpan uang di mana? Apa di ATM?" tanyaku setelah Mamak menghampiri."Di ...." Mamak menggantung jawabannya."Di mana Mak, ada berapa di ATM?"Mamak diam saja, terlihat serba salah."Itu, Pras. Sebenarnya ...."“Sebenarnya apa, Mak.”Mamak menjeda. “Sebenarnya dipinjam Pakde Karyo.”Aku mengangguk pelan. Pakde Karyo adalah kakak ibuku yang paling besar, rumahnya sekitar satu kilo meter dari sini. Wajar kalau Pakde Karyo pinjam uang, keluarga dari pihak Mamak memang tidak ada yang mapan. Semuanya menengah ke bawah. Rumahnya juga sama, memiliki dinding kayu. Yang rumahnya kekinian hanya milik anak-anaknya saja.Mamak anak terakhir dari empat bersaudara. Dua laki-laki dan dua perempuan. Mereka memang miskin tapi tidak miskin hati. Kalau aku pelajari, beberapa hal y
Part 5Ketika Mas Pras NgapelJam delapan malam aku sudah berpakaian rapi mau ngapel. Celana jeans dan kaus polos dibalut sweter. Dompet dan ponsel kumasukkan ke dalam kantung celana. Terlihat Mamak masih mengaji saat aku keluar kamar.“Pergi, Pras?” tanya Mamak menghentikan lantunannya sesaat, Mamak yang sudah rabun dekat itu menurunkan kaca matanya saat melihatku.“Inggih, Mak. Eh tapi, Mak. Emang Mbah Pur, punya anak gadis?” Setahuku Mbah Purwanti itu sudah sepuh, mana mungkin punya anak gadis, jangan-jangan bukan perempuan yang hampir kutabrak tadi. Mana tahu salah paham. Takutnya anak Mbah Pur yang janda.Mamak menutup Al-Quran, dan melihat padaku lagi. “Bukan anaknya, Gil. Tapi cucu. Cuma sudah dianggap anak, wong diurus dari kecil sama mbahnya,” kata Mamak.“Tapi bapaknya ada?”“Sekarang ada. Dulu jarang, merantau.”Aku mengangguk. “Ya sudah, aku pergi, Mak.” Aku meneruskan langkah.“Nah gitu, bujang harus ke luar rumah. Jangan seperti dipingit, sembunyi terus di rumah.”Aku me
Part 6 Jangan Hina Ibuku! “Masnya masih lama di sini?” “Besok Mas berangkat.” Sari terlihat kecewa, dia menunduk tidak mau menunjukkan wajah. “Aku banyak kerjaan soalnya.” Aku menjeda. “Ayo masuk, takut keburu dicari,” lanjutku. Lalu Sari memasuki rumahnya kembali. *** Di pagi yang hening. Suhu dingin dan basah. Aku baru saja selesai shalat subuh ketika tiba-tiba terdengar jeritan yang terdengar samar. Kupasang telinga lekat-lekat, tidak mungkin itu teriakan kunti mengingat ini lewat adzan subuh. Teriakan tadi hilang. Setelah tidak ada suara lagi aku jadi bertanya-tanya siapa yang menjerit tadi. “Pras, Pras dengar yang berteriak, tidak?” Mamak tergopoh berjalan rusuh dari dapur menghampiriku yang masih di kamar. Dapur tungku berada di bagian paling belakang rumah, dengan dinding geribik, saat Mamak sedang di dapur pasti mendengarkan teriakan itu lebih jelas dari pada aku. “Iya, Mamak dengar?” “Sepertinya, bulikmu,” ucap Mamak lalu melangkahkan kaki ke luar rumah. Saat kuikut
Part 7. Cari Ribut “Loh, kok, pulang, Pras. Kita butuh laki-laki di sini,” seru Bulik Hasma. Tidak peduli lagi. Aku menarik tangan Mamak keluar dari ruangan itu. Aku berjalan tegap melewati lorong rumah sakit, mata dan dada terasa panas. Memang betul ibuku kampungan, penampilannya kolot, udik, dan apa pun terserah, tapi siapa mereka sampai bebas menghina ibuku begitu saja? Sungguh tidak tahu diri. Padahal sudah dibantu. “Mas! Mas Pras!” Ambar mengejar kami sampai parkiran. Tangan Mamak masih kugenggam, aku balik badan untuk berhadapan dengan Ambar. “Apa lagi?” Aku menatap irisnya menantang, dia sedikit menunduk kikuk. “Ma-maaf, bukan maksud aku begitu, tapi kasihan saja Bude kalau harus di sini. Ini kan rumah sakit, bukan tempat bermain. Jadi maksudku—“ “Apa? Mau berkilah apa ...? Ambar dengar! Saya paham cara tatapan kamu melihat Mamak, cara bicara kamu, dan semua hinaan kamu, saya PAHAM. Jadi jangan memberikan alasan karena itu percuma. Asal kamu tahu Mamak meninggalkan pek
Part 8. Grup GoibKe lautan lepas mataku tertuju. Hamparan air sejauh mata memandang. Ombak berburu menerpa karang. Membawa suara deburan yang menenangkan. Di sepanjang pantai selatan memang ombak selalu besar, konon katanya ada Ratu Kidul di tengah lautan sana. Itu cerita orang tua jaman dulu, sekarang aku tahu ombak besarnya dikarenakan laut selatan adalah samudera.Hembusan angin menghantam tubuh, membawa turut serta angan-anganku melayang jauh. Ke masa bertahun-tahun lalu.Prasetio hanyalah anak dari keluarga miskin, yang berada di lingkungan keluarga kaya. Tidak mudah menjalani semuanya, karena si miskin di antara keluarga mayoritas kaya hanyalah menjadi orang yang dikucilkan. Lulus sekolah aku tidak punya uang sepeser pun, sedangkan tidak mau hidup melulu seperti itu, harus ada perubahan. Ada tawaran menarik dari Bulik Retno, adik bungsu bapak. Ia menawarkan aku tinggal di sana sebelum mencari pekerjaan.Senang sekali aku menyambutnya, tapi kala itu tidak punya uang sepeser pun,
Part 9 Kartu AS Bulik Hasma Mamak memutuskan masuk kamar setelah waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Aku masih menonton TV, menikmati kopi dan singkong goreng saat tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar cukup berisik. Cepat kubuka, entah siapa yang datang malam-malam, mengetuk pintu berisik tanpa etika. Saat hendel kutarik ternyata wajah garang itu yang ada di depan rumah. "Semakin belagu saja kamu Prasetio, mentang-mentang meminjamkan uang segitu. Nih uangmu kukembalikan!" Hartanto melempar segepok uang ke dadaku, lantas uang itu terjatuh di lantai. Dia berbicara dengan nada tinggi. Mamak yang baru masuk kamar langsung ke luar lagi. "Anto? Kapan pulang?" tanya Mamak dengan ekspresi kaget. Aku mengambil segepok uang lima puluh ribuan yang jatuh di dekat kaki. Pinjamnya mohon-mohon, bayarnya di lempar. Walau tergeletak di lantai benda ini tetap berharga. "Alah tidak penting kapan aku pulang. Kalau bukan karenamu bapakku tidak akan sakit." Pria tinggi besar itu men
Part 10. Pras Pergi Setelah keributan itu aku jadi lebih tenang untuk meninggalkan Mamak. Kalau ada apa-apa tinggal telepon saja Suroto. Biar kubuka semua kartunya. Mengingatkan orang sombong itu kadang tidak cukup dengan nasihat saja. Apa lagi nasihat dari orang miskin, jangankan didengar menengok saja dia tidak akan mau. Harus seperti ini, duit dulu berbicara baru dia mau berkaca. Mamak boleh memilih sabar bertahun-tahun diperlakukan seperti itu. Tapi tidak bagiku. Kenapa? Karena kesabaran Mamak pun tidak bisa membuat mereka sadar. Yang ada semakin menginjak saja. Aku sudah kenyang sekali dengan sikap menyepelekan, hinaan, cibiran. Di luar sana orang-orang dibully oleh orang lain. Aku? Sama keluarga sendiri. Itulah sebabnya aku memacu diri ... ‘harus kaya’. Akan kutunjukkan pada mereka, suatu hari nanti bisa satu level dengan mereka. Siapa tahu dengan aku kaya mereka bisa melihat Mamak dengan kedua mata. Aku mau sebelum Mamak kembali pada pangkuan pencipta, semua adik iparnya bi