Share

Berangkat Miskin Pulang Kaya
Berangkat Miskin Pulang Kaya
Author: Nendia

Mas Pras 1

Part 1. Gara-Gara Kotoran Ayam

“Tiap bulan bulikmu itu ngoceh terus kerjaannya. Mentang-mentang KWH masih ikut dia. Padahal Mamak tuh tiap bulan ngasih uang lima puluh ribu. Enggak gratis,” keluh Mamak sambil memasak. Berkali-kali bundaku itu meniup kompor kayu tradisional, entah kenapa nyala-mati terus.

“Inggih, Ma. Entar Pras bayarin. Sekalian kita pasang KWH baru. Mamak tidak perlu terlalu ambil hati. Wong dari dulu juga kayak begitu,” seruku seraya membereskan bambu untuk membuat kandang ayam di samping rumah. Kandang ayam sudah bobrok dimakan rayap. Mumpung aku sedang ada di kampung dari pada tiduran mendingan buat kegiatan.

“Mana bisa, Ragil (bungsu) wong tiap hari, nguoceh terus di halaman rumah. Gimana Mamak tidak sakit hati. Yo kalo jarang-jarang, Mamak wes tak peduli. Lah ini tiap hari. Udah panas kuping Mama.” Wanita lewat paruh baya yang kulitnya sudah dipenuhi keriput itu melanjutkan curhatnya. Aku hanya tersenyum mengingatnya.

Sakit hati memang kalau diingat bagaimana kehidupan mamakku tersayang. Beliau menantu perempuan satu-satunya di keluarga. Bapakku anak laki-laki paling besar, lima adiknya perempuan semua. Lima adiknya ini memperlakukan ibuku seolah orang lain. Ah, tidak. Bahkan pada orang lain mereka bersikap lebih baik.

Dulu, bapakku kaya. Lumayan lah. Punya rumah dan tanah di Jakarta. Tapi dijual untuk pindah ke Gunungkidul—kampung halaman Mbah. Bapak ingin menghabiskan masa tua di sini. Mbah sudah sakit-sakitan kala itu. Semua aset di Jakarta dijual untuk mengurus Mbah, juga memulai kehidupan baru di kampung. Seiring berjalannya waktu, uang itu habis dan kami jatuh miskin.

Mungkin karena mamakku hanya menantu, adik-adiknya membentuk jarak. Jarak itu kian menjadi ketika bapak diberi warisan yang lebih besar. Wajar harusnya, karena anak laki-laki satu-satunya. Apalagi harta bapak sudah dihabiskan untuk mengurus Mbah. Tapi ya ... begitu. Mereka maunya sama rata.

Saking perihnya aku jadi tersenyum, lucu, parah. Tapi mata lumayan berembun kalau mengingatnya. Satu ketika aku tidak punya ongkos untuk berangkat ke sekolah. STM (Sekolah Teknik Mesin) lumayan agak jauh, harus naik mobil. Untuk pulang pergi kurang lebih butuh dua ribu rupiah. Karena Mamak tidak punya uang, akhirnya minjam dulu ke Bulik Hasma. Dikasih, sih. Tapi, ya, itu. Lambenya nyakitin kalau ngomong.

Rumah bulik Hasma berada di samping kami, hanya terhalang halaman yang cukup luas saja. Di sini rumah-rumah berjarak, karena rata-rata punya tanah lebar. Saat Mamak meminjam uang, aku mendengarnya karena mereka bicara di halaman. Masih kuingat jelas apa yang dia bilang kala itu. “Gak punya duit saja belaga pake mau sekolah. Tinggal nyangkul di sawah apa susahnya. Dari pada bela-belain minjem duit. Tak kasih lima ribu tapi besok balikin, itu uang jatah dari suamiku. Kalau dia tanya ke mana uangnya, aku mau jawab apa?”

Nada ketus itu terasa menyakitkan. Terus kupasang telinga lekat-lekat. Suara Mamak tidak bisa didengar karena pelan. Tapi ocehan Bulik sangat keras. Bahkan mungkin bisa terdengar tetangga lain. Dada jadi panas karena Mamak merendah di hadapannya.

Tidak lama kemudian, Mamak datang ke kamarku dan memberikan uang lima ribu. “Ini uangnya, Mamak dapat dari Bulik!” Mamak menjulurkan tangannya memberikan uang kertas lima ribu. Aku ambil dengan dada bergejolak.

Aku memang anak Mamak yang paling buruk perangainya. Kalau kakak-kakakku diperlakukan bagaimana pun mereka sabar, tidak pernah melawan. Sedangkan aku lebih banyak melawan. Pagi itu—sebelum berangkat sekolah—kuhampiri Bulik di rumahnya. Langsung masuk ke dalam rumah dengan memakai sepatu. Dia yang rumahnya tidak boleh diinjak walau tanpa alas kaki jadi terperanjat.

“Prasetio ngapain kamu masuk rumahku pake sepatu pula!” ucapnya bernada tinggi.

“Tidak perlu nunggu besok, uangnya kubalikin sekarang. Tanpa mengubah, wajah, bentuk, dan juga kelecekannya!” kataku seraya balik badan. Lalu setelahnya aku berlari. Ke jalan setapak, melewati sawah dan kebun jati. Konon, para orang tua tahun delapan puluhan menggunakan jalan itu untuk sekolah, tapi pada zamanku, sudah tidak ada lagi yang lewat ke sana. Aku juga tidak tahu jalannya, hanya tahu kalau STM ada di timur, berarti harus lari ke timur. Ternyata benar, jauh juga. Jam sembilan baru sampai. Tapi tidak mengapa, aku bahagia. Lebih baik cape dan lapar dari pada dihina.

Pulangnya aku jalan kaki lagi. Sampai magrib baru datang di rumah. Pulang pergi jalan, seharian tidak mengisi perut selain minum, lalu di rumah diberi hadiah tamparan dari bapak. Karena sudah berani kurang ajar sama adiknya. “Kalau mau Pras sopan sama dia, bapak suruh dia sopan sama Mamak, baru aku mau sopan,” seruku enteng.

.

“Apinya, kok, kecil, Ma?” Aku menghampiri Mamak yang sudah berlinang karena asap.

“Kayunya kena hujan, jadi gini. Susah nyala,” keluhnya. Kulihat ternyata benar. Tempat penyimpanan kayu itu memang bocor jadi mengakibatkan apa yang ada di bawahnya basah. Sepertinya ini menjadi pekerjaanku juga hari ini.

“Sini biar Pras masukin bambu kering.” Aku mengambil tugas menyalakan tungku kayu.

“Lagian suruh pake kompor gas gak mau. Mau Pras beliin kompor listrik?” tawarku. Bukannya tidak punya kompor gas tapi Mamak katanya lebih nyaman pake tradisional. Nasinya lebih enak.

“Ra usah (tidak perlu), Mamak takut meledug,” timpal Mamak seraya terkekeh.

“Pras belikan yang bagus, gak akan meledug.”

“Ora, Pras. Kalau punya uang buat masa depan kamu saja, kamu juga harus punya istri. Harus nabung dari sekarang. Sudah tiga puluh tahun, masih bujang. Pikirin diri sendiri, jangan pikirin Mamak terus,” ceramahnya panjang, mulai berlinang kembali karena irisan bawang.

“Mana ada gadis yang mau sama Pras, Mak?”

“Memangnya kenapa? Anak Mamak ganteng, pengusaha pula,” Mamak terlihat bangga. Wanita dengan kain jarik ini mengangkat kukusan nasi.

Aku duduk jongkok di depan tungku, hangat terasa menyentuh kulit. Kata ‘pengusaha’ memenuhi benak saat ini. Mamak benar, aku pengusaha sekarang, lebih tepatnya pengusaha jasa servis komputer. Aku punya dua toko, dan siap membuka yang ketiga.

Ingatanku kembali pada masa perjuangan mengangkat derajat hidup. Berbekalkan rasa sakit hati terhadap semua hinaan aku melewati batasan-batasan yang terasa tidak mungkin.

Setelah lulus sekolah aku merantau ke Jakarta, ikut tinggal di Bulik Retno—adiknya Bapak yang terakhir. Setahun ikut sama dia, bekerja di rumahnya sebagai tukang ini dan itu, bertahan walaupun sering dimaki karena hal sepele. Sampai akhirnya aku dapat pekerjaan. Menjadi mekanik listrik di sebuah pabrik.

Aku bekerja penuh semangat. Jika atasan bertanya siapa yang siap lembur, maka akulah yang selalu unjuk tangan. Hari lebaran, orang lain pada pulang, aku tidak. Kerja setiap hari tanpa libur. Saat orang lain sedang shalat ied dan berkumpul dengan keluarga. Aku malah kerja. Tapi santai saja, tidak ada sedih sedikit pun karena tekad, mungkin.

Dua tahun kerja di sana, kemudian pindah karena dapat pekerjaan yang lebih baik di perusahaan yang lebih besar. Memaksakan diri untuk kerja sambil kuliah di jurusan komputer. Setelah lulus kuliah aku rasa ilmu untuk membuka jasa servis komputer sudah cukup. Akhirnya berbekalkan tekad dan uang pesangon aku berani mengontrak ruko dan memulai usaha.

Lah, ko, bisa dapat uang pesangon? Mudah saja, begini caranya. Kalau sudah karyawan tetap dan ingin dipecat tinggal bikin ulah. Misal, bolos. Dua hari kerja dua harinya libur, terus pola itu diulang-ulang. Rumusnya tetap bertahan walaupun sering kena maki, mutasi pundah-pindah divisi, cuci WC karyawan tiap hari, dicecar itu-ini. Bertahan saja sampai mereka bosan sendiri, lalu memecat kita. Dapat lah pesangon. Tak heran kalau sekarang susah jadi karyawan tetap. Karena banyak yang berulah sepertiku.

Kembali ke jasa servis komputer. Setahun dua tahun usahaku meningkat, sampai aku punya dua karyawan. Lalu buka toko baru lagi. Sekarang bukan hanya jasa servis, tapi jual beli komputer dan peralatan lainnya. Tapi rumah Mamak masih belum kuperbaiki, dan kehidupannya juga masih sama, pernah kurencanakan untuk membangun kembali tapi Mamak menolak, katanya rumah itu banyak kenangannya, lagian Mamak tinggal sendiri jadi untuk apa rumah bagus. Tiap bulan kukasih uang, bahkan untuk membeli peralatan elektronik, seperti mesin cuci dan sebagainya, tapi lagi-lagi uang itu tidak digunakan, malah disimpan katanya untuk esok hari kalau aku butuh lagi.

.

“Lah itu, ko, apinya ke mana-mana.” Suara Mamak mengembalikan ingatanku pada tempatnya. Di dalam tungku, api sudah habis, merambat sampai ke luar. Segera kumasukkan kembali kayu-kayu itu.

“Ngelamunin apa to, Gil? Suruh kawin malah ngelamun.” Mamak mengganti wajan, lalu menggoreng ikan.

“Ngelamunin cewek lah.”

“Walah, udah ada toh?”

“Yo banyak, tapi belum dapet yang secantik Mamak,”

“Halah bisa saja, kamu.” Mamak terkekeh.

Lalu kami lanjut ngobrol ini dan itu. Tiba-tiba suara cempreng membuyarkan obrolan kami. Siapa lagi kalau bukan pemilik rumah sebelah.

“Mbok, ya, kalau punya ayam itu masukin kandang, bukannya suruh berkeliaran di mana-mana. Mbak, yu, woi, mbak yu, ayammu lho iki, buang kotoran sembarangan. Pagi-pagi wes merusak pemandangan rumah orang.”

Aku mengusap wajah, Mamak terbelalak.

“Gil, ayam-ayam ke luar?” Mamak memukul pundakku.

“Tadi Pras keluarin, Mak, orang kandangnya mau Pras perbaiki.”

“Walah kamu teledor.”

Bersambung ....

Comments (1)
goodnovel comment avatar
Agus Wahidin
oke mantap
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status