Part 3
Kalau Masih Punya Hutang Tidak Perlu Sombong
Satu kebiasaan unik di sini, orang-orang terbiasa menggunakan sepeda untuk bepergian. Termasuk Mamak. Meskipun sudah nenek-nenek, Mamak lihai pergi dengan sepeda ontelnya, tapi sekarang sepeda itu hanya teronggok di belakang rumah dengan bannya yang kempes.
Tidak kupikirkan apa kata Paklik tadi. Mana tahu nanti malam dia mau ngajak makan-makan. Dinner berdua, misal. Sekarang lebih baik kuperbaiki sepeda Mamak. Kalau pekerjaan per-bambuan aku tidak begitu lihai.
“Beli motor, kek, Mak.” Aku menarik ontel dari belakang rumah, mau kubawa ke jalan raya tempat bengkel sepeda.
“Mamak ora punya duit.”
“Lah bohong, kirimanku numpuk di bawah bantal.” Ini aku berlebihan, hanya bercanda saja menghibur para pekerja, dan disambut tawa Mas Galuh dan teman-temannya.
“Hebat tenan, uang numpuk di bawah bantal. Pinjami aku lah, Mbah,” kata Mas Galuh.
“Ngarang, mana ada. Bukan di bawah bantal di kolong ranjang,” balas Mamak, selanjutnya aku tidak mendengarkan candaan mereka lagi karena sudah pergi. Memang uang Mamak banyak. Tidak tahu di simpan di mana. Yang pasti jatah dariku untuk membeli barang-barang elektronik tidak Mamak belikan.
***
Hari ini pagar rumah jadi. Besok tinggal rumah dan kandang ayam. Sepertinya bisa berhari-hari.
“Supri, gue gak bisa balik cepat, mungkin berhari-hari. Lu bisa handle kan?” ucapku pada pria di balik telepon. Namanya Priyana—asli sunda, tapi karena panggilan Pri dan Pras itu dekat sedangkan aku tidak mau didekat-dekatkan jadi kupanggil Supri, dan semua orang pelanggan toko juga karyawan mengikuti.
“Beres, Mas. Tapi barang di Cici gimana? Mau kapan diambil?” timpalnya. Cici adalah panggilan untuk pemilik toko komputer di Manggadua, dia dipanggil Cici karena orang Cina.
“Wah itu nanti saja, biar kuhubungi dulu, barangnya belum fiks semua. Kalau ada yang urgent bilang aja, sekarang masih aman, kan?”
“Masih, Mas.”
“Oke.”
Priyana ini sudah kerja sekitar empat tahun denganku, dulu aku bertemu dengan dia di bedeng kontrakan, saat bekerja di Yamul keramik. Kami kerja sambil kuliah, tapi kami beda usia, aku semester akhir dia semester awal.
Setelah setahun buka toko servis komputer tiba-tiba Priyana ingin ikut servis.
"Boleh, tapi tidak kubayar," kataku saat itu.
"Tidak apa-apa Mas. Asal diajarin," ucapnya pintar sekali. Sejak saat itu dia ikut denganku, kami cocok, juga sama-sama nyaman, untuk sebatas rekan. Catat.
Setelah telepon Priyana aku mengutak-atik W******p. Chat dengan Cici masalah ketersediaan barang. Lalu membuka grup keluarga.
'Warta Sujono' begitu nama grupnya. Sujono adalah nama Mbah Kakung, jadi WA ini tempat ngobrolnya anak, cucu, cicitnya Mbah. Keluarga besar. Anggotanya puluhan. Rerata semua aktif. Hanya aku dan kakak-kakak yang pasif. Pernah aku salah kirim. Harusnya chat untuk teman malah masuk ke grup keluarga. Kalau orang lain yang salah kirim, pasti ramai. Jadi candaan ini-itu. Kalau aku tidak. Sepi saja. Malah Masku yang japri [Pras, kamu salah kirim chat ke grup keluarga].
Yasudah kubiarkan saja.
Sekrol-sekrol barangkali ada yang bahas pantat ayam, tapi ternyata tidak ada.
"Mas Pras, dipanggil bapak," ucap suara seseorang di luar rumah. Namanya Anggun, cucunya Bulik.
"Ya, sekarang ke sana." Aku memasukkan HP ke dalam kantung celana.
Di luar gelap, suara radio melantunkan lagu-lagu jawa terdengar nyaring. Berasal dari rumah Mbah Mulyo. Pria tua yang rumahnya sedikit berjarak dari sini. Tiap malam dia memutar lagu-lagu itu. Dari tahun ke tahun tidak ada perubahan. Kalau orang awam mungkin sedikit seram dengan keadaan ini. Gelap, hening, ditemani lagu jawa. Jadi seperti film misteri.
Ke rumah Bulik sekarang tidak bisa lewat samping lagi. Harus muter lewat depan karena sudah ada pagar.
"Assalamualaikum," seruku seraya naik ke lantai rumah.
" ... salam."
Waalaikum-nya tidak terdengar karena yang jawab salam asal saja.
Paklik menghampiriku ke halaman. Ada dua kursi rotan berbusa di sini.
"Duduk, Pras!" serunya.
Aku duduk rileks, feelingku jelek, tapi biasa saja memang sudah biasa mereka bersikap jelek.
"Ada apa, Paklik." Aku berkata sopan dan pelan.
"Itu perihal KWH."
Dah, mampus. Baru keinget masalah KWH, kirain mau bahas pantat ayam.
"Memangnya kamu tidak punya uang buat pasang KWH sendiri. Sudah bertahun-tahun Mamakmu itu ikut kami. Bukan apa-apa. Di sini itu sudah penuh alat elektronik. Kipas, mesin cuci, kulkas, dispenser, TV, komputer. Kadang sudah tidak kuat listriknya. Mati terus." Dia menyebutkan semua barang-barang di rumahnya. Tidak usah heran, jangankan alat elektronik, lemari saja dibuat sombong.
"Kalau itu alat elektroniknya kebanyakan, Paklik. Walaupun aliran listrik ke Mamak dicopot pasti nanti mati juga. Kecuali tambah daya," ucapku sebatas memberi tahu.
"Ya, kalau mamakmu tidak ngikut sini, kan. Minimalnya tidak merepotkan."
Inilah yang kadang membuatku merasa terhina. Mereka tidak sedikit pun menganggap Mamak seperti keluarga.
Aku mengambil napas panjang, mengisi ruang di rongga dada agar tidak terlalu panas.
"Mamakmu itu keenakan. Ada uang bukannya untuk KWH dulu, malah buat pagar, ini-itu. Lah, banyak gaya."
Aku memijat paha. Baiklah cukup.
"Maaf Paklik, bukannya aku tidak mau pasang KWH tapi uangnya belum ada." Aku menjeda. Dia berdecak.
"Sebenarnya sih uang sudah ada. Tapi dipinjam Hartanto, anak Paklik. Tolonglah Paklik bantu tagih. Sudah dua tahun dia belum bayar. Aku mau saja pasang KWH, tapi suruh Hartanto bayar dulu hutangnya. Lima juta, Paklik."
Bukan mengada-ada, memang dua tahun lalu Hartanto—anak kedua Paklik—meminjam uang padaku. Pernah kutagih tapi dia belum membayar. Sedikit tidak enak mengatakan ini karena tentang hutang itu urusan aku dan Hartanto, tapi terpaksa untuk menyadarkannya agar tidak terlalu mudah menghina orang.
"Ngada-ngada. Memang siapa kamu? Sampai meminjamkan uang pada anakku." Pria legam penuh keriput itu tersenyum miring, tapi dapat kulihat dia marah, dadanya naik turun lebih cepat.
Aku merogoh ponsel dari kantung celana. Lalu menelepon Hartanto. Kutunjukkan di meja agar Paklik bisa melihatnya. Sekali dua kali tidak diangkat, wajar. Meski berhutang dia menganggap aku tidak penting.
"Tidak usah, pakai nomorku saja," sergah Paklik saat aku akan menelepon yang ketiga kalinya.
"Anto, memangnya kamu punya hutang sama Pras?"
"Prasnya ada di sini."
"Hih! Ngapain pinjam uang sama dia. Cepat bayar, seperti orang miskin saja!"
Aku tidak bisa mendengar apa perkataan Hartanto. Tapi sepertinya dia mengakui kalau punya hutang.
Paklik memberikan HP-nya padaku.
"Ya?"
"Ngapain uang segitu pake bilang ke bapak segala. Kayak gak bakalan gua bayar aja," tandas Hartanto di balik telepon.
Usia Hartanto lebih tua dariku. Meski begitu tetap saja aku adalah 'Mas' alias kakak baginya, karena aku merupakan anak pakdenya. Sudah ditolong, saudara pula. Mana ada dia punya tata krama.
"Paklik minta aku pasang KWH. Ya, sekarang aku belum ada duit. Tapi kalau kamu bayar, atau Paklik berlapang dada membayarkan sebagian. Setidaknya seharga pasang KWH. Ya, syukur."
"His ... mana bapak?"
Aku mengembalikan ponsel. Paklik memijat pangkal hidungnya.
"Kamu itu. Kamu yang minjam suruh bapak yang bayar ...."
Beberapa menit Paklik berbicara dengan anaknya yang di Jakarta itu. Dia memarahi Hartanto, gengsi mungkin anaknya pinjam duit padaku yang miskin.
Setelah telepon terputus, Paklik masuk ke dalam rumahnya. Lantas kembali membawa beberapa lembar uang.
"Ini satu juta!" Dia menyimpan setengah melempar sepuluh helai uang kemerahan itu.
"Tidak semua dibayar, Paklik?" kataku seraya mengambil uang.
Ucapanku tadi sepertinya telah menyinggung harga dirinya lagi. Terbukti dia menatapku nyalang. Lalu dia melempar pandang ke sisi gelap.
"Kalau begitu saya pulang, Paklik. Terima kasih sudah dibayar. Kalau bisa sisanya disegerakan." Aku beranjak pergi. Dia tidak bicara lagi.
***
Dulu Mamak pernah menyimpan uang di lemari. Tidak terpakai karena dimakan rayap. Sekarang aku jadi kepikiran di mana Mamak menyimpan uang?
"Mak .... Mamak."
"Opo, Pras," seru Mamak dari dalam kamar.
"Mamak simpan uang di mana? Apa di ATM?" tanyaku setelah Mamak menghampiri.
"Di ...." Mamak menggantung jawabannya.
"Di mana Mak, ada berapa di ATM?"
Mamak diam saja, terlihat serba salah.
"Itu, Pras, sebenarnya ...."
Bersambung ...
Part 46. EpilogBeberapa tahun lalu.Matahari sudah berada di barat, kala sepatu usang itu menginjak daun-daun kering bercampur ranting. Embusan angin dan suara burung di kejauhan sesekali memecah hening. Langkah kaki itu semakin cepat tatkala tonggeret berteriak semakin nyaring.Waktu sudah sore, sang surya yang sedari tadi bersembunyi di antara pohon-pohon kini tidak terlihat lagi, waktu Magrib akan segera menghampiri, sedangkan pemuda berseragam putih-abu itu masih membelah hutan jati.Jangan sampai kelewat malam di dalam hutan, karena itu bahaya, ia akan kesulitan berjalan dalam gelap.Saat berangkat ia hanya membutuhkan waktu dua jam dengan berlari. Namun, ketika pulang, dua jam belumlah apa-apa karena ia memilih berjalan biasa.Lapar, haus, lelah. Rasa itu mendera sejak siang tadi. Suara perutnya bukti kalau hari ini tidak diisi. Tunggulah dulu wahai perut, sebentar lagi sampai.Prasetio memacu langkah, kembali berlari sebelum gelap menyelimuti.Jam lima sore, Prasetio sudah ada
Lain halnya dengan Bulik Endah. Karier Daryata meninggi, anaknya berhasil menjadi anggota DPR daerah. Selama tiga tahun hartanya semakin berlimpah. Tentu sebagai ibu ia ikut menikmati.Dokter pribadi dan perawat pribadi selalu siaga menangani, sayangnya itu tak lama. Daryata hancur karena ditangkap KPK. Berita penangkapannya disiarkan di mana-mana.Istrinya kabur membawa apa saja benda-benda berharga yang bisa dibawa pergi. Rumah disita negara. Tinggallah Bulik Endah, wanita tua yang duduk di kursi roda.Siapa yang mau mengurusnya, bahkan semua asisten rumah tangganya pergi begitu saja.Wanita tua yang hampir menyentuh tujuh puluh lima tahun itu memutar kursi rodanya, tak tahu harus pergi ke mana. Air matanya berlinang, tangannya bergetar, takut, juga sudah tidak bertenaga.Perlahan kursi rodanya menjauhi pintu gerbang tinggi itu. Menembus siang yang terik, melaju di pinggir jalan ibu kota. Daryata bukan anak satu-satunya. Tapi untuk mengabari anaknya yang lain, tentu saja ia membutuh
Part 45. PenyesalanPak Nugroho menarik lengan istrinya cukup keras. Membawa wanita itu pulang secara paksa.“Sudah jadi hak milik orang lain, mbok, ya, masih mau di minta-minta. Opo nafkah yang bapak kasih kurang, Bu?” Nugroho bertolak pinggang.“Sopo sing minta, wong aku Cuma ikut-ikutan, kok. Bapak dengar sendiri. Pras yang mau balikin warisannya.”“Pras mau balikin karena tersinggung, Bu. Mikir! Warisan sedikit minta dibagi, keterlaluan namanya. Kalau ibu ikut-ikutan sama mereka, ibu ikut dapat dosa, bapak juga dosa. Nanti kamu kena azab, mau? Jadi orang, kok, keterlaluan. Harta gak dibawa mati, Bu.” Nada bicara Pak Nugroho semakin tinggi. Tiap kali emosinya naik, kepalanya ikut pusing. Pandangannya mulai berkunang-kunang. Pria itu tergopoh masuk rumah seraya memijat pelipis.“Pak, koe ra po-po.”“Ra, po-po bagaimana. HAH! Cari masalah saja!”***Di ruangan luas itu orang-orang berkumpul, Suroto dan anak cucunya ikut hadir melihat musyawarah keluarga besar ini.Di teras rumah, Bul
Suara takbir menggema di mana-mana. Membawa rasa haru yang berbeda. Bulik Endah meminta kami berkumpul malam itu. Aku, kedua kakak, dan Mamak, berjalan bersama menuju rumah Bulik Hasma. Di sana sudah banyak orang berkumpul.Kami memasuki ruang tamu luas di mana tikar membentang sebagai alasnya. Orang-orang berkumpul, duduk melingkar.Yang paling berkuasa di sini. Wanita tua yang duduk di atas kursi roda, mulai berbicara, “Seperti permintaan Prasetio, kita semua berkumpul di sini. Dia akan mengembalikan semua harta warisan yang diterima Ningrum. Sulastri sekarang tidak punya rumah, saya meminta anak-anak Ningrum mengembalikan setengah dari warisan untuk Sulastri. Tapi Prasetio berbesar hati akan mengembalikan semuanya.”Pak Nugroho beringsut dari tempatnya.“Bagaimana bisa. Itu sudah menjadi hak mereka.”“Diam saja, Pak!” sergah istrinya.“Kamu tidak perlu ikut campur, Nugroho, karena ini urusan putra-putri keturunan Sujono,” tegur Bulik Endah.“Saya ikut campur karena Pertiwi istri sa
Part 44. Hari TerakhirSetahun ini usahaku maju pesat. Ada tiga proyek besar yang kukerjakan sepanjang tahun ini. Aku sudah bisa membeli beberapa mobil operasional juga mencicil apartemen yang kami tempati sekarang.Semuanya bukan tentang uang. Bukan pula tentang rumah dan tanah. Andai mereka meminta baik-baik, akan kuberikan suka rela, silakan saja.Namun, yang tidak bisa kuterima adalah, bagaimana sikap mereka pada ibuku. Mamak yang selalu sabar pada mereka selama ini, tetap mengakui keluarga meskipun selalu dihina dan tidak diakui. Sayangnya sikap mereka tidak berubah sedikit pun.Aku sudah berusaha. Mengangkat kehidupan Mamak dengan caraku. Sayangnya mereka tetap seperti itu. Mungkin sekarang sudah waktunya kuakhiri semua. Mamak akan selalu tersakiti selama menginjakkan kaki di tanah milik keluarga Sujono.Satu-satunya solusi, Mamak harus pergi dari sana. Biarlah rugi-rugi sekalian, yang penting Mamak bisa hidup tenang.“Sayang, belum tidur?” Wanita berpiama cantik itu keluar dari
"Kebiasaan buruk kamu Prasetio. Orang tua belum selesai bicara kamu sudah memotong."Akhirnya aku diam, perasaan mulai tak enak karena pasti ada sesuatu yang buruk akan dikatakannya."Bukan saya ingin mengungkit yang telah lalu. Sudahlah, toh hidup kami lebih makmur daripada bapak ibu kalian yang serakah dan ternyata malah jatuh miskin."Aku melihat ke sisi lain, menyembunyikan ekspresi tak suka, jelas saja siapa yang bisa menerima perkataannya begitu saja. Untuk mengurus Mbah, Mamak dan Bapak menjual rumah dan tanah di Jakarta. Agar bisa hidup di sana sambil mengurus Mbah. Sampai harta Mamak dan Bapak habis, untuk Mbah cuci darah tiap Minggu.Wajar kalau Mbah membagi waris lebih besar untuk bapak, sebagai ganti uangnya yang sudah banyak digunakan. Tapi mereka tidak mau tahu berapa dana yang bapak habiskan. Yang mereka ingat kalau bapak diberi warisan paling besar, itu saja."Jadi begini. Abi, Tio, Pras. Bulik Sulastri usahanya bangkut di Kalimantan, suaminya telah berpulang. Sementar