Kami berdua melangkahkan kaki seirama di atas trotoar. Berpayungkan langit malam yang berhiaskan bulan sabit dan ribuan bintang. Sisi kiri merupakan bahu jalan yang sering digunakan untuk parkir mobil mendadak. Biasanya pemiliknya turun untuk berkunjung ke salah satu toko. Sebelah kirinya lagi merupakan jalanan empat jalur, dengan pembatas tengah yang dihiasi bunga-bunga. Sebelah kanan jajaran ruko. Rerata punya halaman parkir yang luas. Bisa dibayangkan bagaimana ramainya kondisi di sini.Tak ada yang bicara sampai kami menaiki jembatan penyebrangan.“Ibu ada di rumah, Vi?” seruku mengawali bicara.“Sekarang masih jualan, agak malam pulangnya.” Gadis dengan tunik berwarna sama dengan kerudung itu memegang pagar pembatas.“Sekarang mau ke tempat mangkal ibu atau mau ke rumah?”“Langsung ke rumah. Ibu dibantu ade-ade.”“Anak pertama harus kuat, ya, Vi.”“Banget, Mas.”“Suka ngeluh, enggak?”“Namanya manusia, ngeluh, sih, pasti Mas. Tapi bukan mengeluh karena tanggung jawab, tapi ya ...
Part 31. Andai Mas Pras Bisa Kumakan.*Pov Vivian“Nikah, yu, Vi!”“Nikah, yu, Vi!”“Nikah, yu, Vi!”Perkataan itu mengaung terus di telinga. Tidak bisa hilang meskipun aku sudah mengalihkan konsentrasi berkali-kali. Sedangkan mata dipenuhi bayangan Mas Pras yang begitu ringan mengatakannya. Pria tinggi dengan bibir seksinya. “Nikah, yu, Vi!”Duh, mana mungkin aku bisa menolak. Buat gadis miskin, jelek, dan bodoh, ini seperti ketiban durian runtuh. Dia gagah, tampan, pekerja keras, dan manis. Oh may God. Mimpi apa aku. Kucubit tangan untuk memastikan takut hanya ilusi.“Aw.” Aku menggosok tangan. Ternyata sakit juga.Oh, Mas Pras. Aku kelepek-kelepek. Teringat begitu manisnya dia. Apalagi saat teleponan dengan ibunya. Ya ampun itu amazing banget. Dia sopan dan lembut. Jarang di dunia ini ada orang seperti itu. Hanya satu yang tidak aku sukai darinya. Sesekali kadang dia merokok, mungkin bisa kujadikan syarat kalau aku mau menikah dengannya.Hey, Vivian, sadar. Buka mata kamu lebar-leb
“Ah, itu. Dia bercanda saja, Bu.” Aku menghempas angin di depan wajah. Orang itu. Apa yang sudah dia lakukan?“Dia serius, Vi. Tadi Pras datang ke tempat mangkal membicarakan hal ini.“Hah? Dia? Ke sana?”“Iya.” Ibu menjeda. “Perasaan kamu gimana?”“Ya, ya, gimana ya, Bu. Ya, gak gimana-gimana sih. Vivian belum kepikiran ke arah sana.”“Bohong, orang Kakak suka sama dia. Sering curhat, kok, sama aku,” tandas Bianka. Aku melotot ke arahnya, lancang sekali anak ini membeberkan curhatku.“Kalau kamu suka, ibu restui kalian menikah. Ibu sudah lihat Pras laki-laki baik dan sopan. Bisa dilihat dari caranya bersikap pada orang tua. Ibu setuju kalian menikah.”Aku tertawa, tawa yang dipaksakan. “Ibu ada-ada aja. Emang karena suka harus langsung menikah gitu. Aku pengen lulus kuliah dulu, Bu. Cari kerja kantoran, jadi wanita karier, punya uang banyak. Aku pengen lihat Bianka kuliah, Fitri, Vikri. Aku ingin semua bisa kuliah.”“Sudah lama kamu mengutamakan adik-adik terus. Giliran kamu memikirk
Part 32. Sebuah Jawaban*Masih Pov Vivian.Siang malam, hariku tak baik-baik saja. Selalu dibayang-bayangi Mas Pras. Tidur ada Mas Pras, Makan ada Mas Pras, bahkan ketika salat aku harus mengulang-ulang niat karena bayangannya cukup mengganggu.Menikah. Aku mau, siapa yang tak ingin hidup berkasih sayang dengan orang yang kita sayang. Tapi banyak pertanyaan dalam benak. Apa aku mampu menjalani mahligai itu? Jujur saja, wajah pernikahan agak menakutkan bagiku. Karena melihat bagaimana berantakannya hubungan rumah tangga ibu dan ayah.Aku salat, meminta petunjuk. Lalu beberapa menit berzikir. Setelahnya kembali ke ranjang, menimbulkan bunyi decitan karena ranjang terbuat dari kayu.“Kak,” ucap Bianka yang ternyata tidak tidur.“Apa?”“Apa sih yang buat kakak bingung. Dia ganteng loh, Kak, manis, baik juga. Cowok lain dekati cewek ngajak pacaran. Mas Pras langsung ngajak nikah. Apa kurangnya?”Aku melihat langit-langit rumah. Sama juga meresapi bagaimana Mas Pras. Benar yang dikatakan Bi
Pengamatan kedua. Siang ini aku mengajak Mas Pras makan di luar. Sengaja kuajak teman yang paling cantik agar datang ke kafe. Ingin tahu bagaimana cara Mas Pras bicara dengan cewek cantik.“Hey, Vi.” Sofia teman satu kampus melambaikan tangan. Rambutnya tergerai dengan pakaian cukup seksi.Mas Pras yang sedang menyantap makanan jadi terhenti.“Udah lama?” tanyanya.“Baru. Ayo gabung!”“Siapa ini?” Sofia melihat Mas Pras.“Bos gue.”Mas Pras tersenyum. Lalu melanjutkan makan. Sepanjang obrolanku dengan Sofia, Mas Pras tidak ikut bicara. Hanya sesekali bersuara ketika ditanya, ‘hm, ya, oh,' dan terakhir ‘pulang, yu!’**Aku memberikan tanda celis pada poin ke tiga. Sikap Mas Pras pada perempuan tidak ganjen sama sekali.Sekarang poin pertama. Sikap Mas Pras pada ibunya.Aku menghampiri Mas Pras di lantai dua. Ragu-ragu melangkahkan kaki ke arahnya yang sedang fokus membaca berkas. Ketika langkah kakiku mengeluarkan suara, irisnya langsung menatap ke sini.“Ada apa? Kangen?” Ia tersenyum
Part 33. Tarif Wali*POV PrasHarusnya hari ini aku mendapatkan jawaban dari Vivian. Sayangnya harus berkutat dengan pekerjaan. Dua hari sudah di Probolinggo karena ada beberapa masalah CCTV, setelah ini masih harus ke daerah lain untuk cek ini dan itu.Kumainkan benda pipih di tangan. Ingin telepon sebenarnya. Tapi rasa ragu menyelimuti, apa sopan tidak kalau malam-malam telepon. Atau mungkin WA saja.[Mas mungkin agak lama di luar kota. Di pending dulu jawabannya, ya.]Chat langsung dibaca. Namun, tak ada balasan. Kalau begini, aku ragu akan diterima..Seminggu perjalananku keliling kota. Pulang-pulang langsung mandi dan ke rumah Vivian. Jam menunjukkan pukul sembilan malam, jadi Vivian sudah pulang dari ruko.Aku memacu langkah agak lebar. Sudah tak sabar dengan jawabannya, penasaran setengah hidup.Kenapa tak pakai mobil? Kalau pakai mobil harus berputar agak jauh, jadi kupilih jalan kaki saja.Celana jeans dan hoodie hitam, mungkin pakaianku terlalu santai untuk mendapatkan jawa
Dahiku mengernyit. Masih tidak percaya kalau laki-laki di hadapanku ini ayahnya Vivian, dia orang yang berkecukupan. Bagaimana bisa Vivian hidup sesulit itu. Sampai harus bekerja keras jadi petugas kebersihan.Dadaku mulai tidak enak. Feeling jadi buruk.“Ada apa datang ke sini? Siapa dia?” Iya mengulangi perkataan, suaranya datar dan berat.Aku dan Vivian duduk berdekatan, tepat di hadapan pria dengan gurat wajah tak ramah itu.“Ini calon suami aku, Yah. Kami mau nikah.”“Katanya kamu kuliah. Kenapa malah cepat-cepat menikah?” tanyanya tanpa jeda. Bukan seperti ayah pada anaknya, tapi seperti hakim yang bertanya pada tersangka.“Vivian tidak bisa sidang tepat waktu.”Pak Broto tersenyum miring. “Sudah ayah bilang dari dulu buang-buang uang saja. Universitas swasta saja kamu tidak bisa tepat waktu. Jangan-jangan pacaran saja yang kamu pikirkan.” Dia mulai menghakimi.Sekarang aku mengerti kenapa Vivian mempunyai jiwa yang kuat untuk ukuran perempuan, ternyata seperti inilah tekanannya
Part 34. Dilema Sebelum Akad*Pov VivianAku sungguh malu, memperkenalkan Mas Pras pada Ayah. Ayah itu kikir dan mata duitan. Tapi aku tak menyangka kalau sampai hati meminta uang untuk menjadi wali. Ya, Allah ... keterlaluan.Mataku panas. Dada berdebar kencang. Tangan bergetar tak hentinya. Sekuat tenaga aku menahan air mata agar tak menetes. Sungguh belum ikhlas, Mas Pras mengeluarkan uang untuk Ayah.Dari dulu aku paling malas berurusan dengan Ayah. Terakhir datang ke rumahnya saat SMA, aku minta uang untuk kelulusan. Diceramahi panjang lebar, setelahnya baru si Nety kasih uang, itu pun dengan cara dilempar. Tak suka aku dengan perlakuannya. Kuremas uang itu lalu kulempar tepat di wajah ibu tiri sialan itu. Setelahnya aku tidak pernah datang lagi.Mas Pras menggenggam tanganku, sesekali mengusap punggung tangan dengan ibu jarinya. Iya tak melepaskannya meski sedang mengemudi. Perlahan rasa hangat mengalir dari genggaman itu. Menyelusup ke dalam kalbu, menghangatkan kepingan rasa y