Part 7.
Cari Ribut
“Loh, kok, pulang, Pras. Kita butuh laki-laki di sini,” seru Bulik Hasma.
Tidak peduli lagi. Aku menarik tangan Mamak keluar dari ruangan itu.
Aku berjalan tegap melewati lorong rumah sakit, mata dan dada terasa panas. Memang betul ibuku kampungan, penampilannya kolot, udik, dan apa pun terserah, tapi siapa mereka sampai bebas menghina ibuku begitu saja? Sungguh tidak tahu diri. Padahal sudah dibantu.
“Mas! Mas Pras!” Ambar mengejar kami sampai parkiran.
Tangan Mamak masih kugenggam, aku balik badan untuk berhadapan dengan Ambar.
“Apa lagi?” Aku menatap irisnya menantang, dia sedikit menunduk kikuk.
“Ma-maaf, bukan maksud aku begitu, tapi kasihan saja Bude kalau harus di sini. Ini kan rumah sakit, bukan tempat bermain. Jadi maksudku—“
“Apa? Mau berkilah apa ...? Ambar dengar! Saya paham cara tatapan kamu melihat Mamak, cara bicara kamu, dan semua hinaan kamu, saya PAHAM. Jadi jangan memberikan alasan karena itu percuma. Asal kamu tahu Mamak meninggalkan pekerjaan rumah, pake sandal dan kerudung asal-asalan, untuk yang mengantarkan bapak kamu ke sini. Kamu pikir yang repot sana-sini itu siapa? Ibu kamu dari tadi hanya nangis-nangis gak jelas. Mamakku yang rela menolong, cape, masih juga kau hina?”
“Aku tidak menghina Mas, tapi—“
“Cukup! Kamu minta tolong saja yang lain. Jangan minta bantuan mamakku lagi.”
Aku membuka pintu mobil, meminta Mamak segera masuk. Lantas meninggalkan Ambar sendiri.
Bulik memiliki tiga anak, dua anak laki-lakinya ada di kota sedangkan satunya ya Ambar ini. Mereka butuh bantuanku dan Mamak, tapi tidak tahu bagaimana caranya menghargai, yang ada semakin dilayani semakin besar kepala saja. Ambar bukan wanita yang banyak waktu luangnya, dia dan suaminya bekerja di salah satu agen travel di Jojga, dia sibuk, begitu juga suaminya, sedangkan Bulik Hasma juga tidak bisa apa-apa. Lihat siapa yang akan membantu mereka kalau bukan kami.
Memang ada satu lagi keluarga di sini. Namanya Bulik Pertiwi, tapi keadaan ekonomi mereka jauh di atas Bulik Hasma. Jadi mana mungkin ada yang mau menemani mereka di rumah sakit. Dulu aku memang diam. Sekarang? Tidak akan! Mari kibarkan bendera perang, meski hilang dari silsilah keluarga, aku tidak peduli.
Mamak meremas tanganku, sejak tadi aku tidak melepaskan tangan tua ini kecuali saat berganti gigi dan memutar setir.
Sesaat irisku beralih dari jalanan, melihat Mamak yang duduk di samping, ternyata manik mata Mamak sudah menggenang.
“Mamak nangis? Tenang ada Pras,” seruku menghibur.
“Mamak nangis bukan karena Ambar. Mamak nangis karena bahagia punya anak seperti kamu, ragil.” Mamak menepuk pundak samping kiriku. “Kamu yang paling membela Mamak,” lanjut Mamak, suaranya terdengar parau.
“Mamak tidak menyangka kamu jadi seperti ini.” Mamak mengusap air matanya dengan sebelah tangan.
Jangankan Mamak, aku saja tidak menyangka jadi seperti ini. Dulu aku remaja tidak tahu diri, sering membuat ulah, membuat Mamak pusing setengah mati. Bagaimana tidak. Aku sejak kecil tinggal di Jakarta, terbiasa dengan pergaulan kota, depan-belakang kiri-kanan adalah rumah teman, setiap malam anak satu gang berkumpul, kalau bermain bisa sampai jam dua belas malam.
Usia SD tiba-tiba pindah ke kampung, kehidupan yang berubah total sulit kuterima, mana ada yang bermain malam-malam, yang ada hanyalah sepi. Bermain ke rumah saudara tidak diakui, lebih parah lagi saat usia SMP Mamak jatuh miskin, semua yang kuminta tidak bisa terpenuhi. Semua kekesalan menumpuk dalam diri. Puncaknya kelas satu STM. Aku maki-maki Mamak, sampai semua penghuni kebun binatang kusebut.
Masih kuingat jelas hari itu. Mamak duduk di kursi yang sekarang ini sudah usang. Mamak menangis sampai sesenggukan.
“Pras, Pras, coba sekali saja kamu lihat Mamak. Setiap pagi bangun demi membantu bapak mencari uang buat biaya sekolah kamu sama masmu. Mamak harus jualan pecel dari pagi sampai sore buat memenuhi kebutuhan kita. Walaupun miskin Mamak ingin kamu sekolah tinggi, biar bisa jadi orang. Kamu pikir Mamak tidak lelah ikut mencari nafkah. Lihat saudara bapak, mana ada yang menghargai Mamak, tapi Mamak bertahan demi kalian. Mamak hanya berharap kalian jadi anak yang soleh, bisa mengangkat derajat hidup keluarga, bukan malah membenci Mamak.”
Ya, pertama kalinya aku melihat Mamak menangis sampai tersedu-sedu. Hatiku jadi bergetar, juga menyesal. Sejak saat itu aku memperhatikan keseharian Mamak, bapak, kakak-kakak, juga para saudara, sejak saat itu pula aku mulai peka. Apa yang Mamak katakan benar, aku paham tatapan-tatapan menghina itu.
“Mamak kalau punya mantu nanti Mamak jadi cantik, soalnya ada yang dandanin. Ada teman buat pilih-pilih baju, pilih-pilih kosmetik.” Aku mencoba menghibur setelah lama terbentuk haru.
Mamak memaksa air matanya berhenti, lalu tersenyum dan suaranya mulai berbeda.
“Gimana semalam ketemu Sari?”
“Cantik.”
“Terus?”
“Baik.”
“Terus?”
“Terus apa lagi?”
“Masa ora paham. Mau enggak sama Sari, kalau mau nanti Mamak iketin.”
“Memangnya kambing pake diiket-iket segala.”
“Yo, harus. Biar gak kesalip orang.”
“Tidak Mak, nanti saja. Pras mau pilih-pilih dulu.”
“Guaya nya kamu itu so kecakepan, Pras.” Mamak tenepuk pundak lagi, aku tersenyum menunjukkan gigi-gigi.
***
Kondisi belum kondusif, masih tidak tenang harus meninggalkan Mamak sendiri, tapi pekerjaan di Jakarta juga lumayan menyita pikiran. Kuambil ponsel, memberitahu ini dan itu pada Priyana agar toko bisa berjalan aman dan terkendali. Beruntung sekali aku punya anak buah seperti Priyana, selain pekerja keras dia juga jujur dan amanah.
“Tenang, Mas. Beres pokoknya,” tandasnya dari balik telepon, membuatku tidak khawatir.
Selama di sini aku tidak pernah mengajak Mamak jalan-jalan, apalagi shopping. Jadi hari ini aku membawa Mamak dan keluarga Pakde Karyo jalan-jalan, dekat saja, satu pantai di Gunungkidul. Ada untungnya juga bertemu Ambar, aku sadar kalau sudah lama Mamak tidak pelesiran.
Aku duduk di atas batu karang, Mamak, dan yang lain duduk di atas tikar, pinggir pantai. Anak-anak bermain air. Teriakan ceria terdengar bersama debur ombak dan gemuruh angin. Aku merogoh ponsel. Mengarahkan kamera beberapa kali.
Tidak sengaja irisku menemukan puluhan pesan yang masuk di grup keluarga. Sejak beberapa hari lalu aku tidak membuka grup ini. Iseng kubaca apa yang mereka bicarakan.
Tiga puluh lima pesan belum terbaca, diawali sebuah gambar yang dikirim oleh Hartanto, gambar yang berisi tulisan tentang adab menagih utang. Aku menggeleng saja, memang kalau dilihat dari cara mereka bersosial di media, orang-orang ini seperti hafal siroh saja. Luar biasa sekali.
Beberapa keluarga lain ikut berpendapat, tidak penting, ku-secroll sampai ke bawah. Hari ini. Ada Ambar membagikan foto bapaknya yang berbaring lemah.
[Mohon do’a] begitu isi pesannya, langsung di respons oleh yang lain, menuliskan doa yang panjang-panjang. Grup keluarga sedang bersedih hati karena ada yang sedang sakit. Oke ini waktunya aku cari gara-gara.
Kukirimkan Video berdurasi beberapa detik. Mamak dan keluarganya yang sedang asyik bermain di pantai. Tidak lupa kusematkan keterangan.
[Pantai Baron, indah sekali.]
Bersambung ….
Part 8. Grup GoibKe lautan lepas mataku tertuju. Hamparan air sejauh mata memandang. Ombak berburu menerpa karang. Membawa suara deburan yang menenangkan. Di sepanjang pantai selatan memang ombak selalu besar, konon katanya ada Ratu Kidul di tengah lautan sana. Itu cerita orang tua jaman dulu, sekarang aku tahu ombak besarnya dikarenakan laut selatan adalah samudera.Hembusan angin menghantam tubuh, membawa turut serta angan-anganku melayang jauh. Ke masa bertahun-tahun lalu.Prasetio hanyalah anak dari keluarga miskin, yang berada di lingkungan keluarga kaya. Tidak mudah menjalani semuanya, karena si miskin di antara keluarga mayoritas kaya hanyalah menjadi orang yang dikucilkan. Lulus sekolah aku tidak punya uang sepeser pun, sedangkan tidak mau hidup melulu seperti itu, harus ada perubahan. Ada tawaran menarik dari Bulik Retno, adik bungsu bapak. Ia menawarkan aku tinggal di sana sebelum mencari pekerjaan.Senang sekali aku menyambutnya, tapi kala itu tidak punya uang sepeser pun,
Part 9 Kartu AS Bulik Hasma Mamak memutuskan masuk kamar setelah waktu menunjukkan pukul delapan lewat lima belas. Aku masih menonton TV, menikmati kopi dan singkong goreng saat tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar cukup berisik. Cepat kubuka, entah siapa yang datang malam-malam, mengetuk pintu berisik tanpa etika. Saat hendel kutarik ternyata wajah garang itu yang ada di depan rumah. "Semakin belagu saja kamu Prasetio, mentang-mentang meminjamkan uang segitu. Nih uangmu kukembalikan!" Hartanto melempar segepok uang ke dadaku, lantas uang itu terjatuh di lantai. Dia berbicara dengan nada tinggi. Mamak yang baru masuk kamar langsung ke luar lagi. "Anto? Kapan pulang?" tanya Mamak dengan ekspresi kaget. Aku mengambil segepok uang lima puluh ribuan yang jatuh di dekat kaki. Pinjamnya mohon-mohon, bayarnya di lempar. Walau tergeletak di lantai benda ini tetap berharga. "Alah tidak penting kapan aku pulang. Kalau bukan karenamu bapakku tidak akan sakit." Pria tinggi besar itu men
Part 10. Pras Pergi Setelah keributan itu aku jadi lebih tenang untuk meninggalkan Mamak. Kalau ada apa-apa tinggal telepon saja Suroto. Biar kubuka semua kartunya. Mengingatkan orang sombong itu kadang tidak cukup dengan nasihat saja. Apa lagi nasihat dari orang miskin, jangankan didengar menengok saja dia tidak akan mau. Harus seperti ini, duit dulu berbicara baru dia mau berkaca. Mamak boleh memilih sabar bertahun-tahun diperlakukan seperti itu. Tapi tidak bagiku. Kenapa? Karena kesabaran Mamak pun tidak bisa membuat mereka sadar. Yang ada semakin menginjak saja. Aku sudah kenyang sekali dengan sikap menyepelekan, hinaan, cibiran. Di luar sana orang-orang dibully oleh orang lain. Aku? Sama keluarga sendiri. Itulah sebabnya aku memacu diri ... ‘harus kaya’. Akan kutunjukkan pada mereka, suatu hari nanti bisa satu level dengan mereka. Siapa tahu dengan aku kaya mereka bisa melihat Mamak dengan kedua mata. Aku mau sebelum Mamak kembali pada pangkuan pencipta, semua adik iparnya bi
Part 11. Wanita di Kamar Pras Kendaraan melaju terus menjauhi Gunungkidul, meliuk di bukit bintang sampai turun ke Jogja. Alunan musik dari Sheila On Seven menemani. Dulu, pulang pergi naik motor mio butut, malam-malam kehujanan di jalanan. Kalau berangkat memang selalu pilih malam hari. Pulang pun tidak bisa sering, paling cepat setahun sekali ketika lebaran saja. Pernah juga bertahun-tahun tidak pulang, saat awal-awal tinggal di sana. Wah, seru sekali setiap mudik lebaran itu, karena ribuan kendaraan motor berangkat searah. Kalau kelelahan, istirahat, tidur di mana saja. Sekarang pertama kalinya pulang pergi pakai mobil sendiri, kadang masih merasa tidak percaya, tapi inilah jerih payah selama ini. Andai aku seperti katak dalam tempurung, sudah nyaman kerja di pabrik, cukup pendapatan bisa memenuhi kebutuhan, mungkin kehidupanku hari ini seperti kakak-kakak. Punya rumah subsidi, kendaraan cicilan, ngasih ke orang tua pikir-pikir dulu. Beruntung dulu diberi ujian, punya cambuk untu
“Supri, sialan lu, ngapain bawa cewek ke sini?” sergahku saat kepalanya nongol di tangga.“Mas sudah lihat?” Dia malah bertanya.Aku mengangkat dagu, tangan melipat di dada dan bersilang kaki. Menunggu jawaban.Supri memainkan kuping, duduk di kursi hitam kecil yang ada di samping sofa. “Sori, sebenarnya dia adikku, Mas.” Ia berbicara pelan.“Ta-tapi tenang saja. Malam ini kucarikan kos-kosan.” Pria putih berpipi cabi ini menunjukkan telapak tangan.Aku menghela napas panjang. Sukurlah ternyata bukan wanita simpanannya, meski begitu tetap ini keterlaluan. Memakai kamarku tanpa meminta izin."Dari kapan ade lu di sini? Tidur di kamar gue gak bilang-bilang.""Maaf Mas, kalau bilang dulu takut gak diizinkan. Jadi minta izin belakangan, biar nginep dulu." Dia meremas rambut, alisnya menegang hampir bertautan. Merasa bersalah, mungkin."Hih! Bisa lu bermain politik."Supri melambaikan tangan ke arahku. Aku nengok ke sisi lain. Adiknya Supri berdiri di belakangku."Kenalin de, ini bos Aa."
Part 12. Entakan Kaki Riri Riri tersenyum malu-malu, disimpannya segelas kopi itu di atas meja. Gadis berpipi bersih itu melihat ke arahku, “Terima kasih sudah diizinin tinggal di sini, A ... Eh! Mas.” Dia tersenyum lagi menunjukkan gigi-gigi. Matanya berbinar, bulu mata lentiknya terlihat jelas. “Makasihnya oke, tapi tanya dulu, emang siapa yang suka kopi cokelat begitu.” Alisku menegang. Anak ini aneh, semalam menyembunyikan muka, pagi ini so kenal so deket. Pake senyam-senyum segala lagi. “Ha? Emang gak suka?” dia ternganga, gak mingkem-mingkem. “Mas Pras sukanya kopi hitam, Neng,” timpal Supri yang sedang membongkar monitor di belakangku. “Buat Aa Anton saja atuh, Neng Riri,” canda Anton dari depan. Riri meruncingkan bibirnya, lalu menarik capucino yang baru saja disimpan itu. “Yaudah deh buat A Yana sajah.” Dia memindahkan gelas kopi ke dekat Supri. Lalu pergi hendak naik kembali. “Buat Aa Anton mana, Neng Riri? Aa Anton suka apa aja asal Neng Riri yang buatkan,” goda Anto
Bekerja seperti ini adalah satu hal menarik. Seperti tantangan yang harus dipecahkan. Ada rasa bahagia ketika bisa memecahkan masalahnya. Aku juga tidak terlalu pintar sebenarnya, tapi karena ‘suka’ meskipun tidak bisa, terus saja dipelajari. Bekerja seperti ini harus melek buku, soalnya setiap tahun perkembangan alat-alat elektronik terus meningkat. Pak Samsul orang yang rajin, tapi tidak mau membuka buku, senangnya langsung praktik. Mempelajari semuanya secara langsung tanpa panduan. Jadinya ya gini. Ada saja alat-alat yang tidak bisa diselesaikan. Kalau aku mengerti, langsung kuberitahu caranya, tapi kalau tidak, aku cari dulu buku yang sesuai, pelajari, baru praktik. Itulah kenapa Pak Samsul lebih nyaman kerja denganku. Beliau tidak usah repot-repot membaca buku. Padalah kalau dia buka tempat reparasi sendiri mungkin sudah maju tokonya. Tapi beginilah, lebih banyak orang yang suka jadi katak dalam tempurung. Dulu saat pertama kali buka jasa servis aku tidak pernah pasang tarif u
Part 13. Bisnis yang Menggiurkan Tak tahu lah apa yang terjadi dengan anak itu. Pagi-pagi sudah uring-uringan tidak jelas. Beres-beres ruko pakai teknik perang. Geser sana-geser sini, sapu ini-sapu itu. Gedebak-gedebuk terus. Bisa-bisa pecah semua barang-barangku. “PMS lu, Ri?” tanyaku pada gadis yang sedang menggeser etalase, lalu menyapu bersih bawahnya. Bagus, jadi bersih, tapi caranya itu membuat kami bergidik. Ah, bukan kami! Hanya aku dan Anton yang keheranan. Supri sepertinya sudah biasa, jadi dia tidak berkomentar. “Bukan, Om. Lagi kesel!” Gadis bermata bulat itu melirik menunjukkan muka kecut. “Om? Kemarin-kemarin bilang Aa, sekarang, Om.” “Hiih! Udah tua juga pengen dipanggil Aa. Ngaca mangkanya ... Om.” Dia memberikan penekanan saat menyebut kata ‘Om’. “Ampun dah, bocah!” Dari pada ngurusin keanehan Riri, lebih baik aku masuk ruang reparasi. Dan mulai memperbaiki barang-barang yang ada di sana. Tidak ada kopi panas hari ini. Anak itu disuruh beli sarapan pun ketus.