"Jangankan menerima Anda, Nona, melihat saja orang tak akan bersedia. Jadi, Anda bisa pergi sekarang juga."
Bak disambar petir yang menggelegar di siang bolong, tulang-belulang Ganes melunglai. Ia bahkan tak pernah berniat untuk kemari sebelumnya. Tidak, sebelum tetangganya yang meminta.
Dengan kedua mata yang berkaca-kaca, ia mendekat pada pria yang berpenampilan begitu pongah. Dengan napas tertahan sebab menahan amarah dalam dada, tangannya yang mengepal ditahan untuk tak melayangkan tamparan.
Kedua mata Ganes menatap nyalang, lantas geliginya bergemeletuk sebelum akhirnya kembali buka suara.
"Dengarkan aku, Pak. Aku kemari bukan untuk ikut audisi. Aku kemari karena tetanggaku yang ingin ikut, mengalami kecelakaan sesaat sebelum tiba kemari. Aku mencoba meminta sedikit kelonggaran waktu untuknya. Hanya itu. Jadi tolong, berhenti menilaiku seenak jidatmu!"
Dimaki sedemikian rupa, tak membuat Jendra murka. Ia malah mengulas senyum kambing meski sebentar.
"Aku suka mimik wajah Anda saat marah. Tapi, sorry to say. Permainan Anda cukup samapi di sini. Pada perusahaan mana pun, pada kelompok teater mana pun jika Anda telat pada hari pertama audisi, siapa yang akan mau memperhitungkan bakat Anda? Bisa kupastikan: tak akan ada."
Ucapan Jendra berhasil membuat Ganes makin berada di ambang batas kesabaran. Kepalanya terasa panas, bahkan hampir meledak. Dipejamkannya mata sebentar, lalu dicobanya untuk mengulas senyum lebar-lebar. Direnggangkannya kepalan tangan yang sebelumnya.
Detik berikutnya, ia berbalik dari panggung rumah teater ternama itu sembari melirik penuh kemurkaan. Sayang, dihentikannya langkah sebelum keluar.
"Memang, tak akan ada yang memperhitungkanku. Tapi, akan selalu ada yang akan mempekerjakanku. Lagi pula, aku tak berminat masuk kelompok teater yang dipenuhi orang-orang pongah seperti Anda!"
Terang saja, seluruh orang yang hadir dalam panggung teater membeliak tak percaya. Mereka mulai menutup mulut sebab terperenyak meski sebentar.
Sementara Jendra, ia menyeringai. Kedua tangannya bersedekap sebentar, sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduknya yang nyaman.
"Aku terkesan dengan cara Anda menghadapi kenyataan. Tapi, bagaimana jika kita bertaruh? Kita akan bertemu kembali di sini, tiga bulan lagi. Katakan padaku, Anda akan membawa surat kerja dan slip gaji.
Saat Anda tak mendapat pekerjaan, Anda akan membelikan kami semua yang ada di sini sebagai saksi, masing-masing satu set makan siang. Jika Anda mendapat pekerjaan di mana pun itu, akan kupastikan Anda mendapat gaji dua kali lipat setelahnya.
Namun, Anda juga harus berhenti saat itu juga dan bekerja padaku! Bagaimana? Semua orang di sini adalah saksinya."
Mendengar tawaran Jendra, Ganes yang memang mata duitan, langsung menyeringai. Tanpa menoleh, ia menjentikkan jemari di depan dada.
"Boleh juga. Kita akan bertemu tiga bulan lagi, di sini."
Rajendra tertawa. Dibenarkannya letak masker sebelum akhirnya meminta data diri peserta yang belum datang.
"Menarik. Kemarikan identitasnya!"
Benar saja, dicoretnya nama yang tertera sebelum akhirnya diforward dan dibagikan pada saah satu forum para CEO muda di Surabaya. Ia berdecak sebentar sebelum akhirnya kembali melanjutkan audisi untuk mencari bintang baru dalam panggung seni hiburan.
Sementara itu, Ganes yang tubuhnya dipenuhi luka, harus keluar dari panggung teater dengan tangan hampa. Dilajukannya kendaraan menuju ke klinik terdekat, tempat di mana tetangganya dirawat. Meski motornya ringsek di bagian depan dan belakang, bukan berarti ia harus meninggalkan skuternya begitu saja.
Beruntung insiden itu tak membuatnya mengalami banyak luka berat. Ia ingat betul, bagaimana Blacky—motor matik—yang ditabrak dari belakang hingga membuatnya terpelanting. Bukan hanya itu, tetangganya pun turut terpental sejauh tiga meter ke depan.
"Maafkan aku, Di, aku enggak bisa dapetin apa yang kamu harepin. Mereka terlalu angkuh untuk memberi waktu tambahan dan kesempatan kedua," ujar Ganes dengan penuh sesal. Dipapahnya Diana yang terkilir pada seluruh tubuh bagian kanan, untuk keluar dari klinik tempatnya dirawat.
Diana menggeleng pelan. Lantas, dengan terpaksa disunggingnya senyum miris sembari mengangguk lemah.
"Aku yang harusnya minta maaf, Nes. Karenaku, Blacky jadi penyok. Karenaku, kamu mungkin dimaki-maki. Harusnya aku tau ini akan terjadi, tapi aku malah minta tolong tanpa sadar diri. I've to say sorry."
Mendengar itu, Genes pun membeliak sembari berdecak. Hampir aja dilepaskannya tubuh sang tetangga jika ia tak segera sadar bahwa Diana masih butuh sandaran.
"Kenapa kamu yang minta maaf? Kamu enggak salah apa pun. Aku yang salah sejak awal, kan aku yang nyetir si Blacky. Kamu mah cuma mau cepet aja biar enggak terlambat. Apa yang salah? Terlepas dari itu, harusnya mereka ngedengerin kronologinya lebih dulu alih-alih nolak dengan angkuh."
Diana menoleh, menatap sang kawan dengan lekat. "Angkuh? Mereka memakimu di sana? Demi aku, kamu relah dimaki-maki orang, Nes?"
"Jangan lebai. Bukan mereka yang ngemaki, tapi satu orang cowok badan tinggi. Cuma dia doang, enggak banyak."Ganes yang berdalih terus membantu Diana untuk menuju ke parkiran si Blacky. Namun, ia sempat terhenti saat tangan Diana mencengkeram bahunya erat, seolah-olah hendak membahas sesuatu yang lebih penting dari sebelumnya."Salahku karena tak berangkat sejak awal. Salahku karena harus merasa pesimis bahkan sebelum pergi audisi. Padahal, ini adalah kesempatan pertama setelah bertahun-tahun menahan diri karena merasa belum punya cukup bakat.Apa dayaku, Nes. Bakat saja enggak cukup sekarang. Harus ada orang dalem, ada uang juga. Gimana aku bisa ngemulai semua dari nol kalo dari awal aja udah banyak tindak korupsi yang kalo ketahuan merekanya bilang itu enggak disadari?"Sembari kembali memapah Diana, Ganes menggeleng dengan pelan. Diabaikannya tatapan lekat sang kawan yang sudah membersamainya sejak lama."Kamu itu ngomong apa? Jangan samaratakan semua pemimpin yang ada. Enggak sem
Ganes tengah berlarian di lorong-lorong rumah sakit ternama sembari menutupi wajahnya dengan tangan kanan. Beberapa kali, ia harus menoleh ke belakang demi memastikan tak ada yang tengah mengejar atau bahkan mengenalinya.Para perawat pun memperhatikan Ganes yang terlihat ketakutan. Tak jarang pula ada perawat yang mempertanyakan mengenai apa yang tengah terjadi padanya.Sayang, Ganes hanya menggeleng sembari menjawab, "Enggak pa-pa kok, Mbak!"Sadar ia sudah berada jauh dari sosok pongah yang sempat dilihatnya kemarin di rumah teater ternama, Ganes pun mencoba mengistirahatkan diri sejenak. Sembari bersandar pada dinding luar bangunan, ia menarik napas panjang demi menetralkan degup jantungnya yang meranyah.Napasnya yang tersengal-sengal, menjawab semua kegelisahan hatinya sejak sebelum berangkat kerja. Diliriknya jam yang melingkar, lantas mencoba untuk tetap tenang."Tenang, Nes, tenang. Lagian, orang kayak dia enggak bakal inget sama kesalahannya sendiri. Tenang, Nes. Kamu masih
Ingatan Ganes buyar bersamaan dengan tepukan pada bahunya yang lunglai. Ia tergeragap, sebelum akhirnya hendak melayangkan bogem mentah.Dengan secepat kilat, Faruk yang memang telah mengenal Ganes cukup lama, langsung menghindar sembari menangkis kepalan tangan kanan Ganes yang mematikan."Mikir opo, Nes? Enggak bakal dipecat, enggak. Ojok dipikir jeru-jeru!"Ganes langsung menghela napas sambil mengempas tangan. Dibawanya Faruk sedikit lebih jauh dari area pintu rumah sakit berada. Sesekali ia akan menoleh ke belakang, memastikan tak ada orang yang bisa mendengar."Bukan gitu, Ruk. Aku dulu pernah punya masalah sama itu direktur!"Sontak saja, Faruk langsung menepuk dahinya pelan. Sedang tangan lainnya berkacak pinggang."Enggak bisa ta, kamu menghindar dari masalah? Sejak di panti, kamu paling sukanya cari gara-gara, lo Nes. Bahkan sampek sekarang, pun? Keterlaluan kamu, Nes."Ganes mendongak. Ia meraup wajah kasar dengan kedua tangan."Dengar, Ruk, ini enggak sesederhana itu. Masa
Ganes menelan ludah susah payah. Batapa apesnya ia yang tengah menerima orderan dari sebuah pusat perbelanjaan. Beruntungnya, ia telah terbiasa mengenakan masker sejak bekerja di rumah sakit ternama pada hari kedua.Ganes mencoba tenang. Sembari terus mengikuti rute perjalanan sesuai aplikasi yang telah diterima, sesekali ia akan melirik pada kaca cembung motornya. Alih-alih terpesona dengan wajah rupawan yang tengah duduk di balik punggung, ia malah menghela napas panjang.Ia ingat betul, bagaimana pertemuan ketiganya bersama pria yang telah mengajaknya bertaruh tiga bulan ke depan, seminggu yang lalu. Di hari keduanya bekerja, ia yang mengenakan masker hampir saja dikenali suaranya."Permisi, kamu enggak lagi ngepel 'kan, di dalam?" tanya sang direktur utama. Ia menunjuk ke arah dalam sembari memicing pada Ganes Gantari yang duduk di depan pintu toilet di lantai tiga.Ganes menunduk, lantas menggeleng dengan pelan. Tak lupa, diubahnya suara agar tak mudah dikenali oleh pria pongah d
Sontak saja Ganes tergeragap. Ia menelan ludah susah payah, lalu kembali mengubah suara dengan menekan pangkal lidah."Oh, enggak, Pak. Saya cuma lagi berdoa saja. Maaf."Jendra melirik Ganes sebentar, sebelum akhirnya kembali fokus sembari buka suara."Suami ke mana? Kenapa bukan suami yang ngojek? Itu tadi akun suaminya, kah?"Untuk sesaat, Ganes kembali menelan ludah susah payah. Dianggukkannya kepala sembari mencari alasan yang tepat."Anu, Pak, kebetulan su—""Tak perlu cerita kalo enggak mau cerita, Bu. Saya paham, keliatan banget dari motornya yang ringsek sana-sini."Ganes memejam sembayi mengernyit penuh sesal. Ia sadar bahwa telah banyak kebohongan yang ia lakukan. Namun, karena demi mendapat gaji dua kali lipat dari yang kini ditawarkan pihak rumah sakit, mau tak mau ia harus tetap bersikukuh dengan jalan yang ditempuh."Ya, begitulah. Yang saya pahami, saya harus cari yang sebanyak mungkin apa pun caranya karena biaya hidup dan berobat butuh banyak uang."Usai mengatakan d
Jam sudah menunjuk ke angka delapan saat mobil Rajendra berhenti tepat di parkiran yang disediakan oleh rumah sakit ternama tengah kota. Ia merapikan dasi sebelum akhirnya matanya tertuju pada salah satu motor yang juga berada di area parkir yang sama.Rajendra mengernyit, lantas mengingat-ingat di mana ia melihat motor yang serupa. Demi bisa menyelesaikan rasa penasarannya, Jendra beranjak. Ia turun dari mobil, lantas memperhatikan motor yang hampir seluruh bagian kanannya penyok dari depan hingga belakang.Rajendra bersedekap. Ia teringat tentang motor yang semalam mengantarnya pulang usai ditipu oleh sang ayah. Dijentikkannya jemari sebab benar-benar ingat bahwa motor yang dilihat di depannya adalah kendaraan yang sama.Rajendra meraih ponsel pada saku celana, lalu membuka aplikasi ojek online terkemuka. Benar saja, saat ia menekan tab riwayat, ada nomor plat yang sesuai dengan sopir bernama Ruslan."Dia benar-benar membawa suaminya berobat! Tapi kenapa kemari? Apa jangan-jangan, m
Karena penasaran, bukannya mulai bekerja memperhatikan tabel dalam Ms Excel, Jendra malah mencari pada laman pencarian. Hanya butuh kata kunci plat motor yang ia dapatkan dari riwayat pemesanan ojek semalam. Sayang, tidak ada apa pun yang bisa ditemukan."Sial! Kecelakaannya enggak diberitakan?"Merasa membuang waktu, Jendra akhirnya memilih fokus. Sayang, betapa kuat ia mencoba, ia kembali memikirkan kedua mata yang berkaca-kaca semalam saat diliriknya dari spion motor. Ia yakin, mata itu tak berbohong walau sebentar.Betapa terkejutnya Jendra saat bayangan akan kedua mata kelam milik sopir ojek online semalam, berubah menjadi sosok yang beberapa hari silam membuatnya baik pitam. Mata yang hampir serupa dengan sosok yang dimakinya usai melihatnya mengiba. Ia menghela napas panjang, terlebih saat mengingat taruhan keduanya."Jika aku kalah, bukan hanya rumah seni yang kudirikan bersama seniman senior yang akan malu, tetapi juga harga diriku yang akan runtuh. Sial. Bisa-bisanya aku tar
Rajendra menggebrak meja. Kedua matanya yang bulat kecokelatan membeliak dipenuhi angkara murka. Diabaikannya sambungan telepon yang masih terhubung demi pergi ke area HRD dengan langkah tergesa.Sembari berjalan dengan geram, dihubunginya salah seorang tim panitia pelaksanaan audisi pada sanggar seni tempo hari. "Kirimkan padaku, semua data perempuan yang pernah datang terlambat dan minta perpanjangan waktu. Kirim dengan cepat!"Beberapa karyawan yang melihat kemarahan badan gurat wajah Rajendra, tampak menunduk seolah-olah tak melihat apa pun. Mereka lebih memilih diam daripada menggunjingkan banyak bahan pembicaraan.Bukan tanpa sebab, mereka menahan diri untuk tak membicarakan hal-hal yang bersinggungan langsung dengan sang direktur. Pernah sekali, saat kali pertama Rajendra diangkat menjadi direktur, demi menggantikan mendiang sang kakak, banyak orang yang menggunjing meragukan.Lantas, tak perlu waktu lama bagi Rajendra untuk membalas seluruh gunjingan orang dengan cara yang leb