Share

Berawal dari Taruhan, Berakhir Dipinang CEO Tampan
Berawal dari Taruhan, Berakhir Dipinang CEO Tampan
Author: Ira Yusran

Taruhan

"Jangankan menerima Anda, Nona, melihat saja orang tak akan bersedia. Jadi, Anda bisa pergi sekarang juga."

Bak disambar petir yang menggelegar di siang bolong, tulang-belulang Ganes melunglai. Ia bahkan tak pernah berniat untuk kemari sebelumnya. Tidak, sebelum tetangganya yang meminta.

Dengan kedua mata yang berkaca-kaca, ia mendekat pada pria yang berpenampilan begitu pongah. Dengan napas tertahan sebab menahan amarah dalam dada, tangannya yang mengepal ditahan untuk tak melayangkan tamparan.

Kedua mata Ganes menatap nyalang, lantas geliginya bergemeletuk sebelum akhirnya kembali buka suara.

"Dengarkan aku, Pak. Aku kemari bukan untuk ikut audisi. Aku kemari karena tetanggaku yang ingin ikut, mengalami kecelakaan sesaat sebelum tiba kemari. Aku mencoba meminta sedikit kelonggaran waktu untuknya. Hanya itu. Jadi tolong, berhenti menilaiku seenak jidatmu!"

Dimaki sedemikian rupa, tak membuat Jendra murka. Ia malah mengulas senyum kambing meski sebentar.

"Aku suka mimik wajah Anda saat marah. Tapi, sorry to say. Permainan Anda cukup samapi di sini. Pada perusahaan mana pun, pada kelompok teater mana pun jika Anda telat pada hari pertama audisi, siapa yang akan mau memperhitungkan bakat Anda? Bisa kupastikan: tak akan ada."

Ucapan Jendra berhasil membuat Ganes makin berada di ambang batas kesabaran. Kepalanya terasa panas, bahkan hampir meledak. Dipejamkannya mata sebentar, lalu dicobanya untuk mengulas senyum lebar-lebar. Direnggangkannya kepalan tangan yang sebelumnya.

Detik berikutnya, ia berbalik dari panggung rumah teater ternama itu sembari melirik penuh kemurkaan. Sayang, dihentikannya langkah sebelum keluar.

"Memang, tak akan ada yang memperhitungkanku. Tapi, akan selalu ada yang akan mempekerjakanku. Lagi pula, aku tak berminat masuk kelompok teater yang dipenuhi orang-orang pongah seperti Anda!"

Terang saja, seluruh orang yang hadir dalam panggung teater membeliak tak percaya. Mereka mulai menutup mulut sebab terperenyak meski sebentar.

Sementara Jendra, ia menyeringai. Kedua tangannya bersedekap sebentar, sebelum akhirnya bangkit dari tempat duduknya yang nyaman.

"Aku terkesan dengan cara Anda menghadapi kenyataan. Tapi, bagaimana jika kita bertaruh? Kita akan bertemu kembali di sini, tiga bulan lagi. Katakan padaku, Anda akan membawa surat kerja dan slip gaji.

Saat Anda tak mendapat pekerjaan, Anda akan membelikan kami semua yang ada di sini sebagai saksi, masing-masing satu set makan siang. Jika Anda mendapat pekerjaan di mana pun itu, akan kupastikan Anda mendapat gaji dua kali lipat setelahnya.

Namun, Anda juga harus berhenti saat itu juga dan bekerja padaku! Bagaimana? Semua orang di sini adalah saksinya."

Mendengar tawaran Jendra, Ganes yang memang mata duitan, langsung menyeringai. Tanpa menoleh, ia menjentikkan jemari di depan dada.

"Boleh juga. Kita akan bertemu tiga bulan lagi, di sini."

Rajendra tertawa. Dibenarkannya letak masker sebelum akhirnya meminta data diri peserta yang belum datang.

"Menarik. Kemarikan identitasnya!"

Benar saja, dicoretnya nama yang tertera sebelum akhirnya diforward dan dibagikan pada saah satu forum para CEO muda di Surabaya. Ia berdecak sebentar sebelum akhirnya kembali melanjutkan audisi untuk mencari bintang baru dalam panggung seni hiburan.

Sementara itu, Ganes yang tubuhnya dipenuhi luka, harus keluar dari panggung teater dengan tangan hampa. Dilajukannya kendaraan menuju ke klinik terdekat, tempat di mana tetangganya dirawat. Meski motornya ringsek di bagian depan dan belakang, bukan berarti ia harus meninggalkan skuternya begitu saja.

Beruntung insiden itu tak membuatnya mengalami banyak luka berat. Ia ingat betul, bagaimana Blacky—motor matik—yang ditabrak dari belakang hingga membuatnya terpelanting. Bukan hanya itu, tetangganya pun turut terpental sejauh tiga meter ke depan.

"Maafkan aku, Di, aku enggak bisa dapetin apa yang kamu harepin. Mereka terlalu angkuh untuk memberi waktu tambahan dan kesempatan kedua," ujar Ganes dengan penuh sesal. Dipapahnya Diana yang terkilir pada seluruh tubuh bagian kanan, untuk keluar dari klinik tempatnya dirawat.

Diana menggeleng pelan. Lantas, dengan terpaksa disunggingnya senyum miris sembari mengangguk lemah.

"Aku yang harusnya minta maaf, Nes. Karenaku, Blacky jadi penyok. Karenaku, kamu mungkin dimaki-maki. Harusnya aku tau ini akan terjadi, tapi aku malah minta tolong tanpa sadar diri. I've to say sorry."

Mendengar itu, Genes pun membeliak sembari berdecak. Hampir aja dilepaskannya tubuh sang tetangga jika ia tak segera sadar bahwa Diana masih butuh sandaran.

"Kenapa kamu yang minta maaf? Kamu enggak salah apa pun. Aku yang salah sejak awal, kan aku yang nyetir si Blacky. Kamu mah cuma mau cepet aja biar enggak terlambat. Apa yang salah? Terlepas dari itu, harusnya mereka ngedengerin kronologinya lebih dulu alih-alih nolak dengan angkuh."

Diana menoleh, menatap sang kawan dengan lekat. "Angkuh? Mereka memakimu di sana? Demi aku, kamu relah dimaki-maki orang, Nes?"

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status