Ben sangat mencintai ibunya, apapun akan dia lakukan demi keselamatan ibunya. Walaupun rasanya sangat tidak masuk akal, permintaan ibunya itu jelas-jelas tidak ada hubungannya dengan penyakitnya, Ben tetap memilih mengalah.
Mendengar jawaban putranya itu, Ernanda sontak membuka kedua matanya, “benarkah?" Ben menanggapu dengan mengangguk pasti.
Ernanda pun menyudahi dramanya dengan beranjak segera dari posisi baringnya memeluk Ben membuat putranya itu tersadar seketika ternyata dia sudah dikerjai oleh ibunya.
"Makasih ya, Ben sudah mau menerima perjodohan itu," ucapnya Ernanda tersenyum bahagia.
***
Minggu pagi, Keluarga Susanto sedang mempersiapkan diri akan mengunjungi kediaman Caroline. Mereka akan meramal gadis itu untuk putra mereka. Namun sebelum menempuh perjalanan yang cukup jauh ini, mereka sarapan terlebih dulu.
Hanya membutuhkan waktu sekitar 15 menit saja bagi mereka untuk menuntaskan aktivitas makan pagi. Usai itu, mereka pun melanjutkan aktivitas berikutnya, yakni mempersiapkan diri untuk menempuh perjalanan yang cukup melelahkan, Jakarta-Bandung. Mereka bertiga berangkat ke Bandung tepat pada pukul 8 pagi.
Sekitar pukul 11 siang, keluarga Susanto memasuki kawasan Bandung. Mereka masih harus menempuh perjalanan beberapa waktu lagi untuk tiba di kediaman Caroline, tepatnya di Ciwidey.
Ben yang 1 jam lalu menggantikan Tristan menyetir, mengarahkan kendaraan mereka menuju tol soroja. Diperkirakan, mereka baru akan tiba di Ciwidey 45 menit kemudian.
Sesuai dengan prediksi, 45 menit kemudian keluarga Susanto tiba di Ciwidey, dan 5 menit kemudian, mereka pun tiba di depan rumah Caroline.
Fiiuh! Krak … krak.
“Akhirnya kita sampai juga,” ucap Ernanda sambil melemaskan otot lehernya dengan menggerakkan kepalanya ke kiri dan ke kanan, tak lupa juga meregangkan otot-otot tangannya.
Jedeg!
Ernanda dan Tristan membuka pintu mobil bersamaan dari tempat duduk mereka masing-masing. Dari kejauhan, tampak ayah dan ibu Caroline yang kebetulan sedang duduk santai di depan teras melihat ke arah mereka. Sesaat kemudian, kedua orang tua Caroline beranjak dan menghampiri mereka.
“Eh, Nanda, Tristan ….” sapa ibunya Caroline menyebut nama Ernanda, sementara ayah Caroline menyebut nama Tristan.
“Ya ampun, apa kabar? Sudah lama sekali tidak bertemu. Kalian kok tidak mengabari mau kemari?” lanjut ibu Caroline yang bernama Anita.
“Sengaja, Nit. Mau kasih kejutan buat kalian,” tanggap Ernanda sambil tersenyum. Anita ikut tersenyum. Mereka berdua lalu saling merangkul dan cupika cupiki.
“Berdua aja nih, Nanda? Nak Ben nggak ikut?” tanya Anita melirik ke arah mobil yang terparkir tepat di belakang Ernanda dan Tristan. Mobil Range Rover milik Tristan ini menggunakan kaca film yang cukup gelap sehingga orang-orang yang berada di luar tidak dapat melihat siapa yang ada di dalam mobil itu.
“Ikut kok,” Ernanda ikut memutar wajahnya melirik ke arah mobil.
Menyadari Ernanda mencari keberadaannya, Ben pun bergegas melepaskan sabuk pengaman yang masih melingkar sempurna pada posisinya. Lalu bergegas membuka pintu mobil.
Jedeg!
“Nah, itu Ben,” kata Ernanda sambil tersenyum.
“Wah … ternyata Ben sudah sedewasa ini,” timpal ayah Caroline yang bernama Galih.
“Iya, Nak Ben sudah dewasa, tampan lagi!” sambung Anita.
Ernanda dan Tristan tersenyum kecil.“Sini, Ben,” panggil Ernanda.
Ben melangkah ragu menghampiri keempat orang tua yang sedang berkumpul pada satu titik itu. Dia berusaha memperlihatkan senyumannya senormal mungkin.
“Ben, Kamu masih ingat, kan, sama Tante Anita dan Om Galih? Mereka ini orang tuanya Caroline.” Ernanda menambahkan saat Ben telah tiba di hadapan mereka semua.
Ben menggigit bibir bawah sebelah kirinya, serta mengerutkan dahi, seperti sedang berpikir keras, tepatnya dia sedang berusaha mengingat siapa orang yang ada di hadapannya ini. Di dalam mobil tadi, Ben juga memperhatikan rumah Caroline secara seksama, mencoba mengingat-ingat tempat itu. Ben merasa pernah mendatangi tempat itu, tapi ia tidak bisa mengingat dengan jelas.
“Kamu ini, Nanda, mana mungkin Nak Ben masih ingat pada kami. Waktu kalian datang kemari, Ben baru berusia 5 tahun,” sosor Anita.
Ernanda tersenyum geli, lalu menanggapi Anita. “Benar juga katamu, ternyata sudah lama sekali ya, kita tidak pernah bertemu.”
“Hum um …sepertinya sudah 20 tahunan kita tidak ketemu. Kamu masih terlihat sama seperti dulu, Nanda. Tetap cantik dan awet muda,” puji Anita.
“Ah, kamu bisa aja.” Tangan kanan Ernanda terangkat memegang pipi kanannya. “Kamu juga sama kok, Nit. Masih terlihat cantik.” Ernanda memuji balik.
“Mana ada, sudah keriput begini kok.” tanggap Anita. “Kok jadi ngobrol disini, ayo masuk ke dalam!” ajak Anita sambil melirik yang lain.
Mereka berlima pun kemudian melangkah menuju ke arah rumah yang tampak sangat sederhana itu.
***
Mereka berlima duduk di kursi tamu saling berhadapan satu sama lain. Keempat orang tua itu saling bercengkrama ringan sambil menikmati teh hangat yang disediakan oleh Anita.
Sementara Ben hanya diam dengan kedua matanya sesekali menelusuri setiap sudut ruangan yang mampu dijangkau pandangannya dalam posisi duduk. Selain itu, dia hanya sibuk memainkan ponselnya sambil sesekali melirik sekeliling mencoba mencari sosok gadis bernama Caroline yang akan dijodohkan padanya.
Sejenak berselang setelah pembicaraan basa-basi, pembicaraan serius pun terjadi di antara keempat orang tua itu.
"Oh iya, Nak Caroline kok tidak kelihatan ya?" selidik Ernanda.
"Oh ... dia sedang keluar. Mungkin sebentar lagi kembali."
"Begitu ya ...." Usai memberi sedikit jeda, Ernanda melanjutkan lagi kalimatnya. "Jadi sebenarnya kami kemari ada tujuannya. Kami ingin menagih janji kita waktu itu," kata Ernanda.
"Janji apa ya?" tanya Anita usai melirik kilas wajah suaminya.
"Itu loh ... soal perjodohan. Bukankah kita pernah menjodohkan Caroline sama Ben? Nah, kami datang ke sini untuk hal ini."
"Iya ... jadi kami ingin menjodohkan Ben dengan Nak Caroline.
Sementara itu, Caroline yang baru saja pulang mendengar semua pembicaraan.
Bersambung ....
Ben lari terbirit-birit saat Carol melangkah ke arah pintu utama gedung apartemen. Dia memasuki gedung dengan langkah seribu, lalu menuju lift dan mulutnya komat-kamit berharap pintu lift menutup cepat.Ungtungnya pintu lift tertutup persis saat Carol memutar badan menghadap lift. Gadis itu masih bisa melihat kilas sosok yang ada di dalam sana.“Bukankah itu Ben? Ah mungkin aku salah lihat.”Ting!Ketika tiba di atas, Ben bergegas keluar dari dalam lift kembali ke unitnya.Brak!Saking terburu-burunya dia, Ben menutup pintu dengan membanting pintu tersebut hingga menimbulkan bunyi yang cukup nyaring. Usai itu, ia bersandar di balik pintu untuk mengatur napasnya yang ngos-ngosan.Perlahan pikirannya membawanya menuju kejadian barusan, kejadian yang dia saksikan di luar tadi.“Siapa pria tadi? Jadi dia telat pulang karena pergi dengan pria itu?“Atau jangan-jangan itu pacarnya? Berani sekali dia ber
“Sayang, kamu mau minum apa? Jus jeruk atau alpukat?” tanya Gaby sambil membuka kulkas.Ben tidak menjawab, yang ada juga sih Ben sedang sibuk mikirin Carol.Mau kemana dia? Pakai acara dandan segala lagi.Rumah masih berantakan, udah main pergi ajaa, dia pikir dia siapa?Awas kalau pulang malam. Telat masak, dia yang aku masak!“Sayang … Sayang …,” panggil Gaby berulang. Karena Ben tak kunjung menjawab, Gaby pun memekiknya. “Sayang!”“I-iiiya. Kenapa?”“Aku yang harus bertanya, Kamu kenapa ngelamun gitu? Dari tadi aku manggil-manggil Kamu tapi Kamu nggak jawab-j
Perlahan Carol mengangkat wajahnya, dan ternyata itu adalah Leon. Pria yang menolongnya pagi tadi.“Loh, Kamu mau kemana?” tanya Leon heran.“A-aku mau … akum au pergi karena barusan aku dipecat karena datang terlambat,” jelas Carol.“Dipecat? Sama siapa?”“Sama Bu Riris.”Leon mengangkat kedua alisnya.“Aku permisi ya. Makasih udah nganterin aku tadi!”Carol kembali menunduk, dan melangkahkan kaki.“Tunggu!” tahan Leon.“Jangan pergi, ayo ikut aku kembali!” Leon bahkan langsung menarik tangan Carol mengajaknya kembali ke gedung kantor. Jelas hal itu membuat Carol sangat terkejut.“Kamu mau bawa aku kemana? Lepaskan!” berontak Carol. “Aku udah dipecat, buat apa kembali? Lepaskan aku!”“Tenang aja, aku akan mengurus semuanya. Kamu nggak akan dipecat,”“Maksudmu?”
Carol melangkah ragu menuju gedung seraya menundukkan wajah, dia hanya mengangkat wajah sesekali saja.“Selamat pagi, Mbak Carol!” Seorang pria yang berprofesi sebagai satpam di kantor itu menyapanya. Si satpam ini membuat Carol agak terpelanggat.“Eh … pagi, Pak!” balas Fiona.“Baru datang?”“I-iya … hehehe.”“Itu kenapa pakaiannya kotor begitu, Mbak? Habis terjatuh atau gimana?”“Hm … oh, ini tadi kecipratan,”“Oh … kurang ajar banget yang melakukan itu,”Carol mengangguk, menyetujui perkataan bapak satpam.“Tapi nggak apa-apa, nanti saya coba cuci di toilet. Saya … masuk dulu ya, Pak!”“Oh … iya. Silakan, Mbak!”“Mari!”Carol bergegas memasuki gedung, dan berjalan secepat mungkin menuju ruangan para admin. Beruntung mejanya terletak
Ben meneriaki Carol setelah Carol melewatinya. Carol tak menghiraukan teriakan Ben hingga ia mencapai pintu keluar dengan langkah seribu.“Maaf, aku harus pergi. Aku sudah terlambat!” sahut Carol setelah ia selesai mengenakan sepatu flat di rak sepatu yang ada di dekat pintu dengan tergesa-gesa.“Kau!”“Aaargh!! Sial!! Dia sungguh berani padaku!”Ben hanya bisa megumpat kesal seraya menatap kepergian Carol. Akhirnya bukan dia yang pergi duluan, tapi Carol yang pergi duluan.***Di pinggir jalan, Carol menunggu angkot dengan hati gelisah. Sebenatar-sebentar Carol melirik jam tangannya sekedar ingin tau seterlambat apa dia saat ini. Padahal apa yang dilakukannya itu justru membuatnya semakin gelisah saja.“Gimana ini? Kenapa nggak ada angkot yang lewat?” keluhnya seraya memiringkan badan ke arah depan berharap menemukan angkot yang lewat.Namun bukan angkot yang lewat, j
Pagi-pagi sekali, Carol sudah bangun. Sebelum pergi kerja, ia harus menyiapkan sarapan untuk Ben, juga mengerjakan pekerjaan rumah lainnya, seperti membersihkan rumah, mencuci piring, mencuci pakaian, Ben telah memperingatinya sejak awal memasuki apartemen.Tidak ada asisten rumah tangga disana, jadi sebagai seorang istri yang baik, Carol harus bisa melakukan semua itu. Padahal, Ben sengaja memecat Bi Ondang yang biasa membantu disana. Ben ingin mengerjai Carol, membuat wanita itu lebih cepat menyerah dengan pernikahan palsu itu.Carol sangat penurut, sesuai dengan pesan mamanya, dia akan menuruti semua keinginan suaminya. Sekalipun pernikahannya tidak sesuai dengan keinginan, dia tetap akan melakukan kewajibannya selama statusnya dengan Ben masih menikah.“Masak apa, ya?”
Ben dan Carol barusan tiba di apartemen milik Ben. Carol menurunkan koper dan barang-barang miliknya seorang diri dari dalam mobil."Jalan yang cepet!" sergah Ben.Carol menatap sinis Ben yang memunggunginya usai memberi titah. Ia melangkah dengan cepat."Ngomen aja yang Lo bisa. Bantuin kek. Barang sebanyak ini, gue yang bawa sendiri, terus Lo suruh gue cepat. Dasar nggak waras!" dumel Carol menyerupai berbisik.Setibanya ia di depan pintu gedung apartemen, Ben berbalik hanya sekedar memastikan Carol sudah berjalan sejauh mana. Tentu saja posisi Carol masih cukup jauh."Heh, Manusia siput … lambat amat sih kalau jalan. Cepetan, aku nggak suka menunggu lama," cetus Ben.Car
“Ya … seperti yang Mama lihat saat ini. Ben dan wanita murahan ini tidur di tempat terpisah,” sinis Ben.Kalimat Ben jelas membuat Tristan naik pitam.“Kurang ajar! Kau benar-benar ingin membuatku marah ternyata!”Pria paruh baya itu langsung beranjak dari tempat duduk dan mencengkram kerah pakaian Ben. Tangan kanannya terkepal dan terangkat hendak melayangkan pukulan pada wajah putranya itu.“Pa … tenanglah. Jangan gegabah!” Ernanda ikut bangkit melerai ayah dan anak ini.“Lihat saja putramu ini, Kau terlalu memanjakannya,”“Lalu mau Kau apakan dia, Pa? Mau membunuhnya, hah?”Glek!Tristan menelan ludah, wajahnya memerah padam menahan emosi yang beruap-uap.“Tolong dengarkan aku untuk sekali ini saja. Tenanglah, dan biarkan aku yang mengatasi semua ini.”Nafas Tristan terdengar memburu, perlahan ia menurunkan tangann
Keesokan harinya, ternyata Ernanda tidak jadi datang mengunjungi Ben karena harus menemani suaminya melakukan perjalanan bisnis mendadak ke Eropa. Namun, Ernanda meninggalkan pesan seabrek pada Ben agar lebih memperhatikan Carol.“Jangan biarkan Carol kerja. Kenapa dia harus kerja? Bukankah duit yang mama dan papa kirim untuk setiap bulan lebih dari cukup untuk memenuhi kebutuhan kalian?”“Kalau butuh duit lebih pun seharusnya Kamu yang kerja, bukan istrimu. Kamu kepala keluarga, Ben.”“Pokoknya mama nggak mau tau, kalau Carol masih kerja disana, mama akan meminta kalian kembali kerumah!”Pagi-pagi sekali Ben harus mendengar ocehan mamanya melalui sambungan telepon.“Males banget. Bel