Share

Jangan Sok Akrab

Kaila sudah lama tidak mengendarai sepeda.

Mungkin ini kali pertamanya sejak enam tahun yang lalu, seingatnya terakhir kali ia bersepada ketika sedang menginap di rumah Kakek dan Neneknya, ia meminjam sepeda milik sepupunya yang ada di sana. Dia punya sepeda di rumahnya tapi dia sudah tidak pernah memakainya karena itu akan mengingatkan dirinya akan kenangan bersama Kakaknya.

Kaila sedikit kesusahan pada awalnya, karena ini kali pertama sejak enam tahun ditambah dengan ia membonceng seseorang yang beratnya hampir sama dengannya. Rania juga beberapa kali bertanya pada Kaila apa ia bisa mengendarai sepeda karena Kaila selalu ke sana ke mari, masih berusaha menyeimbangkan sepedanya.

“Gue bisa,” ujarnya dan masih berusaha mengayuh sepeda ke rumah sakit.

Mereka sudah melewati apartemen Kaila dan juga kampus Kaila, di depannya berdiri gedung besar berwarna putih dengan tulisan Rumah Sakit di depannya dan juga di atas gedungnya.

Kaila mengambil tas belanjaannya dari tangan Rara. Mereka berdua memasuki rumah sakit dan Kaila memanggil satu perawat yang kebetulan melewati mereka berdua.

“Permisi,” sapa Kaila. “Teman saya lututnya luka, ini harus ke mana ya?” tanyanya dengan sopan tapi masih tidak ada senyum di sana.

Perawat itu melihat lutut Rara dan membuka mulutnya. “Boleh ikut saya ya,” ujarnya tersenyum ramah.

Kaila menyuruh Rara untuk ikut perawatnya tapi gadis itu menarik Kaila. “Kak, temenin ya. Plis?” pintanya.

“Lo gak punya seseorang yang bisa dihubungi?” tanya Kaila.

Rara menggeleng. “Mama sama Papa pasti sibuk kerja, dan Abang lagi kuliah,” jawab Rara dengan raut wajah yang sedih.

Kaila terdiam beberapa saat di tempatnya berdiri. Sekilas kenangan akan dirinya yang selalu sendirian memenuhi otaknya. Ia mengangguk menyetujui permintaan yang diberikan oleh Rara padanya barusan.

Mereka berdua menuju meja administrasi terlebih dahulu, setelah itu mereka pergi ke ruang perawatan untuk membersihkan dan membalut luka Rara. Gadis itu memejamkan mata dan mencengkeram sprei karena merasakan pedih di lututnya.

Dering telepon berbunyi. Bunyinya berasal dari tas belanja Kaila tapi itu bukan nada dering ponselnya. Ia mengambil ponsel itu dan melihat kalau itu memang bukan ponselnya.

Tertulis Abang di layar ponsel itu.

Kaila menyimpulkan kalau ponsel itu pasti milik Rara, ia hendak memberikannya tapi melihat Rara yang kedua tangannya masih sibuk mencengkeram sprei, Kaila mengurungkan niatnya. Ia memilih menjawab panggilan itu.

Dek, di mana?” tanya pemuda di seberang sana.

“Halo, Rara barusan jatuh dari sepeda, sekarang ada di Rumah Sakit Pertiwi. Bisa langsung datang ke sini ya,” ujar Kaila. Ia memberikan informasi penuh dalam satu ucapan.

Setelah itu, ponsel dimatikan oleh pemuda itu dan sebelum ia mematikan panggilannya, Kaila bisa mendengar suara langkah kaki yang berlari. Kakaknya pasti berlari ke sini. Ah, setidaknya Rara punya Abang yang bisa diandalkan.

“Ra,” panggil Kaila. Gadis itu membuka matanya, pengobatannya juga sudah selesai. “Ini ponsel lo, maaf tadi abang lo nelpon dan gue yang angkat,” lanjutnya.

“Abang barusan nelpon?” tanyanya. Kedua lututnya sudah diobati dan diberikan perban.

Kaila mengangguk dan memberikan ponselnya. “Kalo gitu gue pulang ya, abang lo udah otw ke sini,” ujar Kaila dan hendak pergi tapi dipanggil oleh Rara.

“Kak Kai,” panggilnya. “Makasih ya,” ujarnya dengan tulus sembari tersenyum.

Kaila mengangguk. Ia pergi dari sana.

---

Kaila sampai di apartemennya jam dua siang.

Ia meletakkan belanjaannya di atas meja. Padahal ia tadi berniat keluar rumah hanya sebentar dan ia memperkirakan kalau jam dua belas dia bakalan sudah kembali ke apartemen, namun memang benar, manusia hanya berencana, Yang Maha Kuasa yang menentukan semuanya.

Perutnya baru terasa lapar sekarang, wajar saja karena ini sudah jam dua siang dan dia baru makan sereal, cokelat, dan setengah es krim. Dia belum makan makanan berat hari ini. Dia belum makan nasi, tapi ia juga terlalu malas untuk masak.

Pada akhirnya pilihan Kaila hanyalah mie instan, dan ia membuat dua bungkus kali ini karena ia merasakan cacing di perutnya tidak akan kenyang hanya dengan satu bungkus. Tidak lupa ia juga akan menambahkan satu telur ke dalamnya.

Kaila mengambil panci dan menghidupkan keran untuk mengisi pancinya, tapi air itu memercik dan mengenai telapak tangan kanannya.

“Ah.” Kaila merasakan pedih di sekujur tangannya.

Ia benar-benar lupa kalau tangannya juga terluka dan tergerus di aspal. Ia memejamkan matanya dan mencoba menekan rasa pedih yang menghampiri dirinya. Tangannya ia buka dan it looks really bad than before.

Kaila mengedarkan pandangannya, berusaha mencari kotak P3K yang sangat ia butuhkan sekarang. Ia tidak tahu bagaimana cara yang benar dalam mengobati, tapi ia  hanya akan mengelap, menggunakan betadine, dan menutupinya dengan kapas dan perban. Setidaknya itulah yang kurang lebih ia lihat di rumah sakit tadi.

Kotak P3K tergantung di samping kulkas. Kaila sedikit kesulitan ketika mengambilnya karena kotak itu tergantung sangat tinggi, ia bergerutu sambil berjinjit.

“Mentang-mentang tinggi jadi gantungin semuanya tinggi juga,” gerutu Kaila dengan kakinya yang masih berjinjit, tangannya berusaha meraih kotak P3K itu dengan sekuat tenaganya.

Kira-kira butuh tiga menit Kaila baru berhasil mengambilnya dan meletakkannya di atas meja, itu juga ia menggunakan bantuan spatula untuk meraihnya. Jangan tanya kenapa Kaila memilih untuk mengambil spatula sebagai alat bantunya, karena ia terlalu malas mengambil sapu dan kursi yang jaraknya lima langkah kaki, sedangkan spatula hanya berjarak tiga langkah kaki.

Tingkat pemalas Kaila memang ada di level paling atas sepertinya. Ia tidak akan marah ketika orang mengatakannya, karena ia juga merasa kalau dia pemalas.

Kaila meletakkan kotak P3K itu di dekat belanjaannya yang belum ia susun sama sekali. Sayur, sprei, baju, dan beberapa snack masih berhamburan di atas meja. Ia duduk di kursi dan menggeserkan belanjaannya ke sampingnya, membuat ruang untuk kotak P3K yang baru saja ia ambil.

Pertama-tama, Kaila mengeluarkan kapas dan mengelap darah kering serta air yang ada di tangannya. Setelah itu ia mulai meneteskan betadine di kapas. Semua itu ia lakukan dengan perlahan karena tangan kanannya baru terasa sakit, bahkan ia merasakan pedih ketika sedikit mengepalkan tangannya.

Setelah membersihkan dan memberikan betadine di sana, ia harus menutupinya dengan kapas dan perban supaya tidak terlalu pedih ketika terkena air.

Pintu terbuka. Angkasa muncul dari balik pintu dengan rambut yang sedikit acakan dan mata yang sayu, terlihat baru bangun tidur siang. Ia menggaruk kepalanya dan berjalan ke arah kulkas lalu mengambil minumnya dan minum di sana. Tidak melihat Kaila sama sekali, seperti gadis itu tidak berada di sana.

Detik berikutnya ia baru menyadari yang sedang dilakukan oleh Kaila. Gadis itu terlihat kesulitan meletakkan kapas dan perban di atas telapak tangan kanannya, karena ia harus menggunakan tangan kirinya.

“Sini.” Angkasa mendekat dan mengambil kapas yang ada di tangan kiri Kaila, berniat untuk membantunya karena Kaila terlihat kesulitan.

“Gue bisa,” tolak Kaila dan hendak mengambil kapas itu kembali dari tangan Angkasa, tapi pemuda itu menjauhkan tangannya.

“Lo kesulitan masangnya,” balas Angkasa.

“Gue kesulitan tapi bukan berarti gak bisa.”

Angkasa terdiam mendengar balasan dari Kaila barusan. Mereka berdua menatap satu sama lain. Raut wajah Kaila masih saja datar, tapi dia menunjukkan kalau dia tidak ingin dibantu saat ini.

Angkasa mengangguk dan memberikan kapas itu pada Kaila, namun Angkasa tidak kembali ke kamarnya, ia malah duduk di seberang Kaila, tepat di depannya. Gadis itu mengerutkan dahinya.

“Silakan,” ujar Angkasa menyuruh Kaila untuk melanjutkan aktivitasnya barusan. Pemuda itu duduk di sana sembari meneguk air putih, matanya terfokus pada Kaila.

Kaila tidak bergerak untuk beberapa detik karena masih bingung dengan pemuda yang sedang duduk di depannya, tapi kemudian ia masih melanjutkan kegiatannya. Masih terlihat kesulitan dan terasa sangat pedih.

Kurang lebih sepuluh menit waktu yang dibutuhkan oleh Kaila untuk menyelesaikannya dan sepanjang waktu itu, Angkasa duduk di sana dan memperhatikan Kaila yang berusaha mengobati lukanya.

Angkasa duduk di sana tanpa mengatakan satu patah kata pun. Ia hanya minum dan memperhatikan setiap gerak-gerik Kaila, ia bahkan melihat Kaila memejamkan matanya dan mengepalkan tangan kirinya karena lukanya terasa sangat pedih.

            Dari sepuluh menit itu, Angkasa bisa mengetahui satu sifat Kaila. Gadis itu benar-benar keras kepala. Ia padahal bisa dengan mudah meminta tolong padanya, tapi ia memilih untuk kesulitan sendirian dan menyelesaikan semuanya sendirian.

Kaila berdiri dari duduknya berniat untuk mengembalikan kotak P3K ke tempatnya. Ia terlihat kesulitan untuk memasang kotaknya kembali ke tempatnya karena tubuhnya memang jauh lebih kecil dibanding Angkasa yang tingginya mungkin sekitar 182cm sedangkan tinggi Kaila hanya 160cm.

Angkasa masih duduk di tempatnya, ia tidak berniat membantu Kaila karena ia juga yakin kalau gadis itu tidak akan senang dirinya membantu. Kaila masih berusaha, tapi tetap tidak bisa. Ia berjalan ke arah Angkasa. Pemuda itu berpikir kalau Kaila akan meminta bantuannya, tapi ternyata tidak.

Kaila mengambil kursi dan menyeretnya. Ia mengembalikan kotak itu ke tempatnya semula tanpa mengatakan apa-apa pada Angkasa. Mereka berdua diam satu sama lain, seakan mereka tinggal sendirian di sini.

Kaila menghidupkan kompor dan melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi. Dia memasak dua bungkus mie.

Hoodie lo kotor.” Angkasa membuka suaranya karena melihat hoodie Kaila yang terlihat kotor, dan ia juga bisa mencium bau darah.

“Ah, iya,” ujar Kaila singkat, setelah itu ia tidak mengatakan apa-apa lagi.

“Lo ditabrak motor?” tanya Angkasa sekali lagi, ia masih mencoba untuk berbicara dengan gadis yang sedang membelakanginya saat ini.

Kaila tidak menjawab untuk beberapa saat. Ia berbalik dan melihat Angkasa.

“Peraturan nomor lima,” ujar Kaila. “Jangan sok akrab.”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status