Share

Kecelakaan

Tubuhnya terasa sangat segar karena baru selesai mandi.

Kaila menyemprotkan minyak wangi ke tubuhnya dan mencium wanginya yang menenangkan. Kaila selalu menyukai minyak wangi yang beraroma soft seperti vanilla, dia tidak bisa dengan minyak wangi yang menyengat. Kepalanya akan langsung pusing ketika mencium wanginya.

Sekarang ia sedang bersiap-siap untuk ke supermarket dan belanja keperluan yang ia butuhkan di tempatnya yang baru ini. Ia juga harus membeli beberapa sprei karena semalam ia tidur tidak menggunakan sprei, tapi barang lain seperti lemari, meja kecil, dan semua yang ia butuhkan sudah lengkap di sana. Ia hanya harus membeli beberapa saja.

Topi putih melekat di kepalanya, hoodie yang semalam masih ia pakai karena ia malas mencari baju-baju santainya, celana jin hitam semalam juga masih ia kenakan. Kaila tidak terlalu peduli dengan penampilan sebenarnya, tapi kalau ke bar, dia memang akan lebih berdandan dan memakai baju yang sesuai dengan suasana di bar.

Kaila membuka bungkus cokelat yang ia ambil dari kulkas, tentu saja milik Angkasa, tapi ia tidak peduli karena Angkasa sendiri yang membuat peraturan kalau makanan yang tidak mempunyai label adalah milik bersama.

Ia mengambil satu tas belanja yang cukup besar dan mengambil dompetnya. Ia siap berbelanja sekarang. Tangan satunya juga masih memegang cokelat.

Suara pintu terbuka.

“Dah balik lo?” tanya Kaila. Angkasa mengangguk singkat.

Gadis itu melihat jam, baru jam sebelas siang.

Mereka berdua tidak berbicara lagi. Kaila hendak berjalan keluar tapi suara Angkasa menghentikannya.

“Lo makan cokelat gue ya?” tanyanya karena melihat ada cokelat di tangan Kaila.

Kaila mengangguk dan mengangkat tangannya. “Iya, karena gak ada nama lo di sini,” jawabnya dan menunjukkan cokelat yang baru ia makan dua kali gigitan.

Angkasa hendak protes tapi ia urungkan karena memang salahnya belum memberi label namanya di sana. Tidak masalah, hanya satu batang cokelat dan.. satu porsi sereal, tapi ia tidak tahu kalau Kaila sudah memakan sereal dan susunya juga.

Kaila tidak peduli, lagian pemuda itu yang membuat peraturan seperti itu, jadi dia tidak salah sama sekali.

Pemuda itu mengangguk dan mengambil satu kaleng cola lalu masuk ke dalam kamarnya tanpa bertanya apa-apa lagi pada Kaila. Dia benar-benar mematuhi peraturannya yang keempat dan kelima.

Jangan mencampuri urusan pribadi dan jangan sok akrab.

Kaila menggigit cokelatnya dan mengangguk. Ia menyukai ini. Ia suka ketika orang tidak mencampuri urusannya karena selama ini juga ia sudah terbiasa dengan hidup sendiri, jadi ini sama saja dengan ia hidup sendiri. Ia tidak keberatan sama sekali dengan semua ini, malah ini yang ia inginkan. Tidak akan ada lagi orang yang peduli padanya.

Ia bisa pergi ke bar dan minum alkohol sampai subuh, nanti malam ia berniat pergi ke bar lagi.

Sejujurnya, sebelumnya Kaila sangat khawatir dengan berbagi apartemen bersama orang asing. Ia takut kalau mereka terlalu ikut campur dan sok akrab dengan Kaila, karena Kaila tidak bisa berbasa-basi dengan orang-orang. Ia tidak bisa memasang wajah yang selalu tersenyum.

Namun sekarang ia merasa senang karena mempunyai teman satu apartemen yang tidak mempedulikannya sama sekali.

“Oke, mari belanja,” ujarnya pada diri sendiri dan segera keluar dari apartemen miliknya.

---

Sudah kurang lebih dua jam Kaila menghabiskan waktunya di Mal.

Ia membeli beberapa baju kaos karena ia tidak membawa banyak baju kaos dari rumahnya. Kopernya tidak akan muat untuk membawa semua baju yang ia punya. Ia juga membeli sprei seperti yang sudah ia rencanakan sejak tadi malam ketika melihat kasurnya polos tanpa sprei.

Sekarang ia berada di supermarket dan hendak membeli beberapa macam sayur, ikan, dan juga ayam untuk jatah setidaknya dua minggu. Mie instan juga adalah sesuatu yang tidak boleh terlewatkan. Susu, sereal, dan beberapa snack lainnya.

Ia membayar belanjaannya dengan uang cash yang kemarin ia tarik dari kartu Mamanya, sebelum pertengkaran hebat terjadi semalam. Untung dia menarik agak banyak, kemarin ia menarik tiga juta karena kelebihan satu nol. Seharusnya ia akan menarik tiga ratus ribu, tapi ternyata kelebihan nol alhasil ia menarik uang sebesar tiga juta.

Kaila mengecek ponselnya dan membuka aplikasi bank. Ia menghitung uangnya yang tersisa sekarang. Dua puluh juta, itulah uang yang tersisa sekarang di banknya dan di dompetnya ada sekitar satu juta setengah.

Sembari berjalan menuju apartemennya, ia mulai berpikir akan bekerja apa karena uang segitu tidak akan cukup membuatnya bertahan lama. Ia akan berhemat, jelas, tapi paling tidak uang itu akan bertahan satu tahun paling sebentar dan dua tahun paling lama.

Satu lagi, ia juga harus membayar biaya kuliahnya.

“Haaa... mari semangat. Hidup gue emang gak mudah sejak awal,” ujarnya menyemangati dirinya sendiri sembari menjilati es krim yang ada di genggaman tangannya.

“Awasssss! Kakkkk minggirrrr!”

Dari arah berlawanan Kaila mendengar suara seseorang yang berteriak. Ia berbalik dan melihat satu buah sepeda menuruni tebing dengan cepat, dan tepat ke arahnya padahal Kaila sudah ada di pinggir jalan, tempat pejalan kaki.

Kecelakaan itu tidak terelakkan. Es krim di tangan Kaila melayang ke tengah jalan, kantong belanjaannya terjatuh, begitu juga dengan dirinya yang mencium aspal, untung hanya kecupan bukan ciuman yang hangat.

“Ergh..” Kaila berusaha berangkat dari jatuhnya. Ia melihat telapak tangan kanannya yang tergores di aspal. Berdarah dan sangat pedih.

Pengendara sepeda itu juga terjatuh di dekat Kaila. Seorang gadis yang masih memakai seragam sekolah SMA. Ia berdiri dan menghampiri Kaila dengan tergesa-gesa.

“Aaa berdarah,” paniknya. “Kak, kita ke rumah sakit ya? Ayok Kak,” ajaknya dan mengambil tangan Kaila yang satunya.

“Lutut lo juga berdarah,” tunjuk Kaila pada lutut gadis itu.

Gadis itu menunduk dan melihat kedua lututnya berdarah. Ia sedikit terkejut melihat darah yang mengalir ke kakinya.

“Lo obatin luka lo aja, luka gue gak terlalu,” balas Kaila dan mulai memasukkan barang belanjaannya kembali ke dalam tas belanjanya.

“Tapi Kak, itu pasti pedih,” ujar gadis itu dan masih berniat bertanggung jawab atas perbuatannya barusan yang membuat orang terluka dan juga luka tergores di telapak tangan pasti terasa sangat pedih.

“Gapapa kok, beneran. Tapi lain kali hati-hati ya main sepedanya, Rania,” balas Kaila sembari melirik nametag yang ada di dada gadis itu. Ia mengatakannya dengan wajah datar. Seperti yang dibilang, ia sedikit kesusahan untuk tersenyum dan berbasa-basi dengan orang-orang.

“Lo sebaiknya langsung ke rumah sakit, bisa sendiri gak? Atau mau gue anter?” tanya Kaila lagi.

“Bisa kok Kak, tapi itu Kakaknya beneran gak papa?” tanyanya sekali lagi, memastikan keadaan Kaila.

Kaila mengangguk dengan mantap. “Gue oke,” jawabnya dan meyakinkan gadis SMA itu. Tangannya kembali mengambil beberapa barang yang masih tercecer di jalanan dan memasukkannya kembali ke dalam tas belanjaannya.

Gadis yang bernama Rania itu terlihat susah untuk membuat sepedanya berdiri karena lututnya sakit jika ditekuk. Kaila menyadari itu, dia menghela napas pelan. Dia ingin segera pulang tapi ia juga tidak bisa meninggalkan gadis ini sendirian dalam keadaan lutut yang terluka.

“Pegang.” Kaila memberikan tas belanjaannya pada gadis itu. “Gue yang bawa sepedanya, lo gue bonceng.”

“Eh eh gak usah Kak, ngerepotin banget ini,” tolaknya.

“Lo bahkan gak bisa nekuk lutut lo, gimana bisa lo ngayuh sepeda?” tanya Kaila dan melihat lutut Rania. “Lo gak punya tisu? Darahnya meler banget itu.”

Dia menggeleng. Lagi-lagi Kaila menghela napasnya. Ia berlutut di depan Rania dan menarik hoodie yang sedang ia pakai lalu mengelap darah yang mengalir di kaki sang gadis. Rania terkejut, tentu saja. Ia bergerak mundur.

“Kak! Kotor,” ujarnya menatap Kaila tidak percaya.

“Naik,” suruh Kaila tanpa membalas ucapan Rania barusan. Ia hanya ingin segera pulang ke apartemennya.

Gadis itu menurut. Dia memangku tas belanjaan Kaila dan mereka berdua pergi menuju rumah sakit yang berada tidak jauh dari lokasi mereka. Sebenarnya ini tidak harus dibawa ke rumah sakit, tapi karena Kaila juga tidak mengerti bagaimana mengobati orang juga karena mereka tidak punya obat, jadi ke rumah sakit adalah pilihan yang tepat.

“Nama Kakak siapa?” tanya gadis itu. Rania.

“Kaila,” jawabnya singkat.

“Aku Rania, Kak. Tapi Kakak bisa panggil aku Rara,” balasnya. Suara gadis itu terdengar sangat ceria. Kaila tidak akan pernah bisa mengeluarkan suara seperti itu.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status