Angkasa sudah bertemu dengan banyak orang dan dengan banyak sifat, tapi ini kali pertama ia bertemu dengan orang yang sifatnya seperti ini.
Sebelumnya ia tidak pernah bertemu seseorang yang seperti Kaila. Seseorang yang menolak bantuan, seseorang yang enggan menjawab pertanyaan darinya, seseorang yang bahkan tidak ingin akrab dengannya. Ini pertama kalinya bagi Angkasa.
Bertanya tentang keadaan saja tidak boleh? Pikir Angkasa.
Ia masih duduk di meja dan memandang Kaila yang sedang membelakanginya dan sedang memasak mie untuk dirinya sendiri. Angkasa teringat akan sesuatu ketika gadis itu sedang pergi ke luar.
“Lo kuliah di kampus sini juga ya?” tanya Angkasa.
“Iya,” jawab Kaila tanpa menoleh.
Angkasa ingin marah tapi setidaknya ia menjawab pertanyaannya kali ini dan tidak menjawab ‘jangan sok akrab’.
“Lo gak tau gue siapa?” tanyanya lagi.
Kaila menghela napasnya. “Gak,” balasnya.
“Lo semester berapa dan jurusan apa?”
Kaila berbalik. “Lo denger gak kata gue barusan?” tanya Kaila dengan ekspresi jengkel miliknya. “Jangan sok akrab. Gue gak suka ditanya-tanyain, dan gue juga gak berniat buat akrab ataupun berbagi informasi tentang diri gue.”
Angkasa tertegun di tempatnya. Ia tidak percaya dengan apa yang ia dengar barusan. Ia ingin membalas ucapan Kaila karena merasa diremehkan, tapi bagian diri lainnya juga merasa ini sedikit lucu, jadi ia hanya duduk di sana dengan mata yang masih menatap lawan bicaranya barusan.
Kaila berbalik dan mematikan kompornya. Ia kembali melakukan kegiatannya sedangkan Angkasa sedikit terkekeh.
“Oke, kalo itu mau lo. No more question from now on.”
---
Rencananya Kaila akan pergi ke bar malam ini, tapi entah kenapa ia sedikit malas.
Ia juga masih merasakan telapak tangannya berdenyut ketika ia mencoba menggenggam tangannya atau ketika ia memegang sesuatu dan tidak sengaja benda itu menyentuh tepat bagian lukanya.
Jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam dan ia juga merasa lelah karena setelah makan mie jam dua siang tadi, yang ia lakukan hanyalah beres-beres kamarnya. Ia menata beberapa hal, dan menyusun baju, serta memasang sprei yang baru saja ia beli siang tadi.
Kaila melirik ke foto yang ada di atas meja kecil di samping tempat tidurnya. Sebuah foto yang menampilkan dirinya, dan ketiga orang yang ia cintai sebelumnya, namun sekarang meninggalkan dirinya sendirian di dunia ini.
Ya, itu adalah foto keluarganya. Mama, Papa, dan Kakaknya. Kaila terlihat sangat kecil di sana karena ia masih berumur tujuh tahun ketika foto itu diambil. Foto terakhir yang mereka ambil sebelum semuanya berantakan. Sebelum Papanya ketahuan selingkuh, sebelum Kakaknya diambil oleh Papanya, dan sebelum dunia Kaila dan Mamanya hancur.
Kaila menggelengkan kepalanya kecil. Dia tidak tahu kalau foto itu sebelumnya memang ada di kopernya, ia tidak berniat membawanya sama sekali. Ia bahkan kaget ketika melihat foto itu ada di kopernya.
Tangannya terulur dan ia menutup foto itu. Membalikkannya hingga ia tidak bisa melihatnya lagi. Kaila tidak bisa melihatnya. Ia tidak ingin.
“Makanya kalo gue suruh simpen tuh ya lo harus simpen anjir, Tar.”
Lamunan Kaila terbuyar ketika mendengar suara Angkasa dari luar. Suaranya meninggi.
“Kalo kayak gini gimana? Udah capek-capek bikin proposal eh malah ilang.” Suara pemuda itu kembali terdengar.
Kaila tidak berniat untuk menguping tapi suara Angkasa memang besar, jadi mau tak mau ia memang bisa mendengarnya. Kaila juga mendengar suara grasak grusuk kertas dari luar kamarnya.
“Bikin baru? Mana keburu! Kita butuh itu besok, Altar.” Angkasa kembali berujar, Kaila bisa merasakan ada nada jengkel dan marah dalam kalimatnya tapi berusaha ia tekan.
Kaila tidak mendengar suara Angkasa lagi setelah itu, ia hanya bisa mendengar suara langkah kaki yang ke sana sini dan juga suara pintu kamar yang ditutup dan dibuka, suara kertas yang jatuh, dan suara dering ponsel yang terus berbunyi.
“Gak ada?” tanya Angkasa pada seseorang di seberang sana. “Hadeh fix bikin ulang sih ini. Gue udah nyari-nyari contoh proposal minggu kemarin tapi gak ketemu, filenya juga ada sama si Henni, gue males mintanya.”
Terdengar suara kursi bergeser. Dari dalam kamar, Kaila hanya mengira-ngira apa yang sedang pemuda itu lakukan di luar sana.
“Ya udah lo aja yang minta ke dia, tar gue urus sisanya,” ujarnya kemudian dan setelah itu Kaila bisa mendengar suara celetekan kompor.
“Lapar abis marah-marah, huh?” bisik Kaila pada dirinya sendiri.
Gadis itu tidak keluar kamarnya sama sekali. Ia hendak tidur ketika ponselnya berdering. Satu buah pesan masuk.
Kak Eric: Pulang. Kasian Mama sendirian. Jangan egois, Dek.
Kaila tidak percaya dengan apa yang baru saja ia baca. Egois? Selama ini yang selalu egois itu mereka bertiga. Selama ini Kaila yang selalu menahan egonya demi mereka bertiga.
Satu buah pesan kembali masuk.
Kak Eric: Kalo lo gak pulang, Mama bakalan jodohin lo ke om-om.
"Mama tau gak kalo mereka berdua tinggal dalam satu apartemen yang sama?" Mama Angkasa mengerutkan dahinya mendengar pertanyaan yang baru saja diajukan oleh Henni. "Siapa?" tanya Mamanya Angkasa. "Siapa yang tinggal dalam satu apartemen yang sama?" ulangnya lagi. "Angkasa sama Kaila, Ma," jawab Henni melirik dua orang yang ada di samping Mama. "Mereka memang tinggal dalam satu gedung apartemen, memangnya kenapa?" Henni menghela napas terlihat sangat kesal. "Bukan gitu Ma maksudnya," balasnya. "Mereka tinggl di unit yang sama. Satu ruangan." Penjelasan dari Henni tadi berhasil membuat Mamanya Angkasa melirik dua orang yang ada di sampingnya, ia bisa melihat kalau Angkasa dan juga Kaila terlihat sangat gugup dengan ucapan Henni barusan. Menunjukkan kalau yang Henni katakan memang benar. Mereka tinggal dalam satu apartemen yang sama. "Oh, itu saja?" tanya Mamanya Angkasa yang membuat ketiga orang itu mengangkat alisnya. "Kalo itu aja, yaudah, silakan pergi."Bukan hanya Henni yan
Angkasa berjalan menghampiri Kaila yang duduk sendirian di ujung sana."Hei, kenapa sendirian?" tanyanya menyentuh pundak Kaila.Kaila tampak terkejut. Ia menggeleng dengan cepat. "Gak papa kok, pengen sendirian aja," balasnya sekenanya.Angkasa mengangguk dan duduk di samping Kaila. "Masih gugup?" tanyanya.Kaila mengangguk. "Banget, malah makin gugup," sahutnya. "Aku gak kebiasa banget dikelilingi orang banyak kayak gini, mana baik-baik semua lagi."Angkasa bingung harus merasa senang atau menyesal.Ia senang karena keluarganya menyambut Kaila dengan hangat dan baik, tapi ia juga sedikit menyesal karena secara tidak langsung dia memaksa Kaila keluar dari zona nyamannya.Ia tahu Kaila harus mulai belajar perlahan-lahan, tapi ia masih merasa tidak enak."Maaf ya," ujar Angkasa kemudian. Ia memutuskan untuk meminta maaf.Kaila mengerutkan dahinya tidak mengerti. "Kenapa malah minta maaf?" tanya Kaila bingung."Kamu pasti terpaksa ke sini ya," ujarnya. "Aku maksa kamu banget buat ikut k
Sedari tadi jantung Kaila berdetak dengan sangat cepat, terlebih lagi ketika dia sudah melihat tempat yang mereka tuju.Gedungnya berada tepat di depan, dan Kaila merasakan jantungnya semakin menggila. Rasanya ia ingin pergi saat ini juga. Dia masih belum bisa menghadapi orang-orang, terlebih lagi itu adalah keluarganya Angkasa. Seakan mengerti dengan apa yang dikhawatirkan oleh Kaila, Angkasa menggenggam tangan pacarnya dan mengelusnya pelan. "It's okay, ada aku, Kai," ujarnya menenangkan Kaila. Angkasa tahu kalau Kaila pasti sangat tegang dan gugup saat ini. Ia bisa melihatnya dengan sangat jelas. "Keluarga aku pada baik kok, kamu gak usah khawatir."Kaila masih tidak bisa tenang meskipun sudah mendengar kalimat dari Angkasa. Kaila berpikir, kalau keluarganya tahu mereka berpacaran, artinya mereka tidak lagi backstreet dong? Atau backstreetnya sama anak-anak kampus saja?Ah, Kaila pusing. Dia ingin pergi.Ia ingin lari saat ini juga. "Ayo," ajak Angkasa. Telat. Kaila tidak a
"Lho, kok udah pulang?" tanya Kaila ketika masuk ke dalam apartemennya dan mendapati Angkasa yang sedang duduk di sofa sembari menonton Upin & Ipin. "Iya nih, agak cepet, soalnya besok juga bakalan ke sana lagi," balasnya dan menyuruh Kaila untuk duduk di sampingnya. "Lah, kalo mau ke sana lagi ngapain pulang deh?" tanya Kaila bingung seraya mendudukkan dirinya di sofa samping Angkasa. Angkasa tidak menjawab beberapa saat. Dia mengambil tangan Kaila dan menggenggamnya, membuat Kaila mendadak bingung dengan tindakan pacarnya barusan. Pasalnya dia memegang tangan Kaila dan menarik napas panjang. "Apa?" tanya Kaila. "Kamu mau ngomong apa?" tanyanya lembut. Kaila bisa merasakan kalau Angkasa sedang ingin mengatakan sesuatu tapi terlihat ragu. "Besok kan sepupu aku nikah," ujarnya. Kaila mengangguk. "Iya, terus?" "Kamu mau ikut gak?" tanyanya. "Kondangan bareng aku, Mama juga mau ketemu kamu." Angkasa tidak bohong mengenai Mamanya yang ingin bertemu dengan Kaila. Tadi Angkasa bert
"Aromanya enak banget nih brownies." Angkasa menghampiri Kaila yang berdiri di depan oven, menunggu browniesnya matang. "Iya kan, enak kan baunya," sahut Kaila penuh semangat karena ia sedari tadi memang sudah pengen makan tapi belum matang. "Tapi gak usah diliatin terus-terusan gini dong, nanti jadinya makin lama," ujar Angkasa. "Mending nonton aja deh selagi nunggu." Angkasa menarik Kaila menjauh dari sana, dan dengan berat hati Kaila menurut meskipun pandangannya masih pada ovennya yang sedang menyala dan tersisa lima belas menit lagi sebelum matang merata. "Nonton apa emang?" tanyanya setelah duduk di sofa. "Eh, tapi gimana kalo kita nonton drakor aja?" usul Kaila. "Drakor apaan?" tanya Angkasa menoleh. Remot di tangannya sudah siap untuk mencari drama yang akan Kaila sebut. "King Two Hearts, mau gak? Aku pengen rewatch," ujar Kaila. "Semalem tiba-tiba keinget sama drakor lama itu. Jadi kangen." Sepanjang Kaila berbicara, sepanjang itulah Angkasa tersenyum. Ia benar-benar
Angkasa kembali ke apartemennya di jam sepuluh malam dan belum mendapati Kaila di sana. Ia mengeluarkan ponselnya dan memutuskan untuk menelepon Kaila, mungkin saja gadis itu ingin ia menjemputnya, tapi baru saja ia hendak menelepon Kaila, suara langkah kaki Kaila terdengar. Angkasa memilih untuk bersembunyi dan berniat untuk mengejutkan Kaila. Dia bersembunyi di dekat pintu toilet luar dan melihat Kaila yang sedang melepas sepatunya. "Lho, belum pulang ya?" ujarnya pada diri sendiri ketika melihat apartemen mereka masih gelap, tanpa tahu kalau Angkasa sedang bersembunyi dan siap untuk mengagetkannya. Angkasa berjalan perlahan, mendekat pada Kaila yang sedang membelakanginya. Dengan kecepatan yang tidak begitu cepat, Angkasa memeluk Kaila dari belakang. Kaila menjerit kaget dan tangannya memukul sembarangan, tepat ke kepala Angkasa dan membuat pemuda itu mundur kesakitan. "Kai, ini gue," ujarnya dengan tangan yang memegang kepalanya yang baru saja kena pukul oleh pacarnya sendir