"Ini kita ngapain belum pulang sih?”Altar menatap Angkasa dengan heran, pasalnya mereka di sini sudah hampir tiga jam dan tidak melakukan apa-apa selain minum kopi dan bicara tentang program kerja BEM selanjutnya. Bahkan Bumi saja sudah pulang sejak satu jam yang lalu, tapi mereka masih saja di sini.“Bentar lagi,” jawab Angkasa dan menyesap kopinya. Ini sudah gelas keduanya selama tiga jam ini, dan Altar sudah menghabiskan tiga gelas, karena memang mereka tidak melakukan apa-apa dan hanya berbicara tentang proker makanya Altar kehausan. “Mas, americano satu lagi ya.” Angkasa mengangkat tangannya dan berujar pada Yansa. “Gila lo?” seru Altar. “Lo dari tadi mesen americano ya,” lanjutnya. Sedari tadi Angkasa memang hanya memesan es americano, sedangkan Altar berganti-ganti. Pertama kali ia memesan es americano, setelah itu latte, dan terakhir es jeruk. “Bisa-bisa lo baru tidur besok siang,” lanjut Altar dan menatap heran temannya satu itu. “Gak papa,” balas Angkasa dan masih ing
Mata Kaila masih terpejam, namun tangannya tetap menggenggam tangan Angkasa. “Di sini aja,” ulangnya sekali lagi masih dalam keadaan mata yang terpejam.Angkasa berdiri di sana. Ia melihat tangannya yang sedang ditahan oleh sang gadis. Pemuda itu menghela napas pelan dan memutuskan untuk duduk di tepi ranjang Kaila. Matanya berfokus pada wajah Kaila yang sedang tertidur. Anehnya, biasanya orang-orang akan menunjukkan ekspresi damai dan tenang ketika tidur, tapi sepertinya tidak berlaku pada Kaila. Gadis ini terlihat sangat tidak tenang, keringat di dahinya juga bermunculan. Kaila seperti sedang bermimpi buruk. “Lo ada masalah apa sih, Kai?” tanya Angkasa pelan. Ia tahu tidak akan mendapatkan jawaban, meskipun gadis ini tidak tidur, ia yakin kalau ia juga tidak akan mendapatkan jawaban, mengingat sikap Kaila yang dingin. Tangan Angkasa bergerak dan mengambil tisu yang ada di meja kecil di dekatnya. Ia mengelap keringat yang membasahi dahi sang gadis. Genggaman tangan Kaila
“Cewek lo dateng.” Angkasa membuka matanya dengan lebar ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Kaila. Pemuda itu mendekat dan ikut mengintip di kaca kecil yang ada di pintu mereka. “Shit.” Angkasa mengatakan itu dengan sangat pelan, takut kalau suaranya bisa terdengar sampai luar. “Dia ngapain di sini?” “Ya mana gue tau,” jawab Kaila yang membuat pemuda itu menoleh. “Diem. Gue gak ngomong sama lo,” balas Angkasa pada Kaila. Kaila mengangkat tangannya dan melangkah mundur. “Ow okay,” ujarnya dan kembali ke meja makan. Bel kembali berbunyi dan Angkasa masih berdiri di sana dengan mulutnya yang menggerutu sedangkan Kaila sudah mulai membuka bubur ayamnya. Ia lapar. Angkasa berjalan mendekati Kaila dan duduk di kursi. Kaila menatapnya heran. “Kenapa gak dibuka?” tanyanya. “Lo gila? Kan perjanjiannya gak boleh ada yang tahu kalo kita sharing apartemen,” jawab Angkasa. “Oh iya lupa,” balasnya. “Lagian kenapa lo kasih tau kalo lo tinggal di sini sih?” Angkasa menggele
Setelah masuk ke kamarnya, Kaila duduk di atas kasur dan makan buburnya tanpa suara sedikit pun, bahkan ia mengunyah kerupuknya dengan sangat pelan supaya suaranya tidak terdengar sama sekali di luar. Dia juga mendengar samar-samar Angkasa bicara dengan sang gadis, tanpa melihat wajahnya saja Kaila sudah sangat tahu kalau pemuda itu sedang sangat kesal karena kehadiran sang mantan kekasih yang jelas tidak diinginkan. Kaila menangkap sesuatu yang bergerak di pojok kanan ruangannya, ia menoleh dan mendapati satu ekor kecoak. Kaila menahan napas, sial, dia sangat takut dengan kecoak karena biasanya kecoak suka terbang dan sungguh dia sangat takut ketika kecoak terbang. Kaila mematung di tempat tidurnya. Kakinya yang sebelumnya masih berada di lantai, kini ia naikkan ke atas kasur. Dia memperhatikan gerak-gerik sang kecoak, terlihat mondar-mandir tanpa arah, lalu berhenti dan Kaila bersumpah, kecoak itu seakan menatapnya. Alarm jam Kaila berbunyi dan itu memacu sang kecoak untuk t
“Jelek banget abis nangis.”Kaila menatap Angkasa dengan tajam. Sisa-sisa air matanya masih ada, tapi pemuda itu sudah memilih untuk mengejeknya, padahal gara-gara dia kecoak itu terbang ke arah Kaila. “Makan dulu baru beres-beres,” celetuk Angkasa karena melihat Kaila masuk ke kamarnya dan hendak membereskan kekacauan yang disebabkan oleh kecoak terbang itu. Kasurnya ketumpahan bubur ayam, bantal ada di sana-sini, buku-buku juga banyak yang jatuh dari meja. Kacau banget asli. Kaila menghela napas melihat kamarnya yang amburadul. Lagi pula, kecoak itu muncul dari mana sih?Gadis itu memutuskan untuk keluar kamar dengan membawa telur gulungnya. Ia duduk di depan Angkasa yang juga sedang memakan telur gulung.“Ini makan bubur gue aja,” ujar Angkasa dan menyodorkan bubur ayam yang dibeli oleh Kaila barusan.Gadis itu menggeleng seraya kembali menggeserkan mangkok bubur ayam. “Gak usah, itu punya lo.”“Kan lo yang beli, jadi ini punya lo,” balas Angkasa dan menggeserkan mangko
Cuaca yang awalnya terik, seketika berubah menjadi gelap.Semesta memang seaneh dan serandom itu. Sepuluh menit yang lalu, orang-orang mengeluh kepanasan karena sinar matahari menyerang mereka semua, namun detik berikutnya cuaca menjadi gelap dan angin datang dari segala arah. Kaila masih berdiri di tempatnya, langit sudah menggelap padahal baru beberapa menit yang lalu ia melihat cuaca yang terik. Angkasa juga masih duduk di tempatnya. Kedua orang itu menatap satu sama lain, beradu pandang dan tidak ingin memutusnya karena tidak ingin kalah satu sama lain. Padahal ini bukan kontes tatap mata. “Maksud lo apa?” tanya Kaila setelah mereka hanya diam dan membiarkan gorden balkon mengenai dirinya akibat angin yang deras, rambutnya juga melayang dan mengenai wajahnya. “Lo sadar kan kalo lo selalu nolak perhatian orang yang ditujukan untuk lo?” Angkasa memperjelas ucapannya barusan. “Dan lo tau dari mana kalo itu suatu bentuk perhatian?” tanya Kaila balik, nada suaranya seperti m
“Shit, kenapa dia di sini juga?”Dengan cepat Angkasa memalingkan wajahnya tapi sepertinya tidak begitu cepat karena Henni berhasil menangkap tatapan mata Angkasa. Kaila yang menyadari tingkah aneh Angkasa yang tiba-tiba memalingkan wajahnya ke arahnya, menatap pemuda itu dengan bingung. “Lo kenapa?” tanyanya. “Mantan gue ada di sini,” bisiknya karena jarak mereka berdua cukup dekat, tapi ternyata sang gadis masih tidak bisa mendengar. “Apa?!” ulang Kaila dan mendekatkan wajahnya. “Mantan. Gue. Ada. Di. Sini.” Angkasa menekankan tiap kalimatnya persis di telinga Kaila. Tepat ketika Kaila mendengar apa yang dikatakan oleh Angkasa, gadis yang menjadi pembicaraan mereka mendatangi mereka berdua dengan gurat wajah yang penasaran. Dia menatap Kaila dari ujung kepala ke ujung kaki dan Kaila juga melakukan sebaliknya. Gadis itu sedang menilainya, jadi ia juga ikut menilainya. Henni mengenakan dress selutut dengan lengan pendek, hampir tak berlengan tapi masih mending dibanding Kaila.
“Can I taste it?”Telunjuk Kaila masih berada di bibir Angkasa dengan pemuda itu yang hanya bisa terdiam mendengar pertanyaan dari Kaila. Kesadaran Kaila hampir hilang tapi ia malah memajukan wajahnya, dan tanpa menunggu balasan dari Angkasa. Ia menempelkan bibirnya dengan bibir pemuda yang ada di depannya saat ini. Angkasa tidak bergerak seinci pun, dia mematung dan menatap mata Kaila yang terpejam. Ini bukan ciuman, tapi hanya kecupan karena bibir mereka hanya menempel selama beberapa detik dan kemudian Kaila tertidur di pundak Angkasa.Angkasa masih diam di tempatnya. Dia menghela napas dan melihat Kaila yang sudah tertidur dengan kepalanya yang bersandar di pundak Angkasa. “Damn Kai,” ujarnya kemudian. Lalu dia membenarkan posisi Kaila. Ia menatap Kaila yang sedang ditutupi oleh jaketnya. Tangannya bergerak dan merapikan rambut gadis itu. “Cantik,” ucapnya pelan.---Kaila terbangun karena merasakan sinar matahari yang sangat panas menembus kaca jendela kamarnya.Ia m