Angkasa tidak menjawab apa-apa. Pemuda itu hanya terdiam dan menatap Kaila yang memakan mie buatannya. Kemudian dia juga ikut memakan mie buatannya dan mengangguk perlahan. “Karena lo ngomong begitu, gue jadi pengen nanya,” balas Angkasa. Kaila menatap Angkasa dengan mulutnya yang penuh. “Ya!” balasnya tapi terdengar tidak begitu jelas karena mulutnya sangat penuh dengan mie. Angkasa tertawa lalu menggeleng.”Telen dulu itu,” ujarnya. “Gue cuma becanda,” lanjutnya dan terkekeh. Kaila mengunyah makanannya dan melihat ke luar jendela, tirai balkon mereka terbuka, begitu pula dengan pintu kacanya yang membuat angin malam ikut masuk. Udaranya dingin tapi Kaila tidak keberatan, dia sudah sangat terbiasa dengan udara malam seperti ini. Bukankah ada orang yang mengatakan kalau udara malam itu tidak sehat? Maka artinya Kaila tidak sehat. Dia sudah terlalu sering menghirup udara malam. “Ah, pintunya terbuka karena tadi gue ngerjain tugas di luar.” Angkasa melihat arah tatapan Kaila dan m
Cuaca hari ini cukup mendung.Kaila berjalan menyusuri jalanan dengan langkah santai. Ia melihat sekelilingnya, orang-orang berlalu-lalang, motor dan mobil juga. Burung berterbangan dari pohon satu ke pohon yang lain. Saat ini, Kaila sedang tidak punya tujuan. Sepuluh menit yang lalu ia masih berada di kelas, tapi dosen mereka baru mengabari kalau beliau tidak bisa datang karena suatu urusan. Akhirnya, Kaila memutuskan untuk berjalan-jalan saja. Lagi pula ini masih jam sepuluh, masih ada banyak waktu sebelum bekerja di kafe. Kaila juga sering berjalan sendirian di kampus seperti ini, tanpa tujuan yang jelas dan kadang berhenti untuk membeli makanan dari mamang-mamang gerobak. Kali ini ia berhenti di depan mamang gerobak yang menjual telur gulung. “Lima ya, Pak,” ujarnya. Bapaknya mengangguk dan mulai membuatkan telur gulung yang dipesan oleh Kaila. Melihat cara masak telur gulung selalu saja satisfying. Kaila memberikan uang lima ribu pada Bapaknya dan duduk di kursi yang a
Kaila masih duduk di sana sembari memakan telur gulungnya. Dia sepertinya menikmati pertengkaran yang terjadi antara Angkasa dan si gadis, tapi sekarang mereka tidak bertengkar lagi. Angkasa menepuk kepala gadis itu dengan pelan karena sang gadis sedang menangis. “Angkasa selalu seperti itu,” ujar Pak Burhan dengan mulut yang penuh telur gulung. Kaila dan Bapak penjual telur gulung menoleh, menunggu kelanjutan cerita yang akan diceritakan oleh Pak Burhan, selaku Satpam di Teknik yang pastinya lebih banyak mengetahui tentang Angkasa dan si gadis. “Dia selalu tidak bisa melihat seseorang menangis,” lanjut Pak Burhan. Kaila kembali menatap Angkasa yang berusaha keras untuk menahan emosinya dan memilih untuk mengelus kepala gadis itu. Dia menatap ke segala arah dan menyadari banyak pasang mata yang melihatnya, namun dia belum melihat kalau Kaila juga ada di sana. “Seharusnya anak itu jangan begitu, kalau perempuan itu nangis ya biarin aja,” ujar Bapak penjual telur gulung. “Bu
“Lo gak butuh orang lain?” ulang Bumi. Kaila tidak menanggapi. Ia hendak berjalan ke depan karena cuciannya juga sudah selesai, dia hendak melihat apakah ada piring dan gelas yang lain di depan karena Popi tidak ke belakang sejak Bumi ada di sini. Namun langkahnya dihentikan oleh Bumi. Pemuda itu memblokir satu-satunya jalan Kaila menuju bagian depan. Kaila menatap Bumi tidak senang. “Minggir,” suruh Kaila. Bumi tidak bergeming. Ia masih berdiri di sana dan menatap gadis itu. “Bumi, gue minta baik-baik,” ujar Kaila sembari menghela napas pelan. “Minggir,” ujarnya sekali lagi. “Lo gak butuh orang lain?” tanya Bumi sekali lagi karena pertanyaannya belum dijawab oleh Kaila. Kaila menatap Bumi dengan jengah. Ia masih punya banyak pekerjaan selain membicarakan hal yang tidak perlu seperti ini. Beberapa hari terakhir ini menurutnya dia sudah terlalu banyak bicara dengan orang lain. Ia tidak ingin itu semua. Ia tidak ingin perasaan nyamannya mulai tumbuh, dan mereka akan mening
"Ini kita ngapain belum pulang sih?”Altar menatap Angkasa dengan heran, pasalnya mereka di sini sudah hampir tiga jam dan tidak melakukan apa-apa selain minum kopi dan bicara tentang program kerja BEM selanjutnya. Bahkan Bumi saja sudah pulang sejak satu jam yang lalu, tapi mereka masih saja di sini.“Bentar lagi,” jawab Angkasa dan menyesap kopinya. Ini sudah gelas keduanya selama tiga jam ini, dan Altar sudah menghabiskan tiga gelas, karena memang mereka tidak melakukan apa-apa dan hanya berbicara tentang proker makanya Altar kehausan. “Mas, americano satu lagi ya.” Angkasa mengangkat tangannya dan berujar pada Yansa. “Gila lo?” seru Altar. “Lo dari tadi mesen americano ya,” lanjutnya. Sedari tadi Angkasa memang hanya memesan es americano, sedangkan Altar berganti-ganti. Pertama kali ia memesan es americano, setelah itu latte, dan terakhir es jeruk. “Bisa-bisa lo baru tidur besok siang,” lanjut Altar dan menatap heran temannya satu itu. “Gak papa,” balas Angkasa dan masih ing
Mata Kaila masih terpejam, namun tangannya tetap menggenggam tangan Angkasa. “Di sini aja,” ulangnya sekali lagi masih dalam keadaan mata yang terpejam.Angkasa berdiri di sana. Ia melihat tangannya yang sedang ditahan oleh sang gadis. Pemuda itu menghela napas pelan dan memutuskan untuk duduk di tepi ranjang Kaila. Matanya berfokus pada wajah Kaila yang sedang tertidur. Anehnya, biasanya orang-orang akan menunjukkan ekspresi damai dan tenang ketika tidur, tapi sepertinya tidak berlaku pada Kaila. Gadis ini terlihat sangat tidak tenang, keringat di dahinya juga bermunculan. Kaila seperti sedang bermimpi buruk. “Lo ada masalah apa sih, Kai?” tanya Angkasa pelan. Ia tahu tidak akan mendapatkan jawaban, meskipun gadis ini tidak tidur, ia yakin kalau ia juga tidak akan mendapatkan jawaban, mengingat sikap Kaila yang dingin. Tangan Angkasa bergerak dan mengambil tisu yang ada di meja kecil di dekatnya. Ia mengelap keringat yang membasahi dahi sang gadis. Genggaman tangan Kaila
“Cewek lo dateng.” Angkasa membuka matanya dengan lebar ketika mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Kaila. Pemuda itu mendekat dan ikut mengintip di kaca kecil yang ada di pintu mereka. “Shit.” Angkasa mengatakan itu dengan sangat pelan, takut kalau suaranya bisa terdengar sampai luar. “Dia ngapain di sini?” “Ya mana gue tau,” jawab Kaila yang membuat pemuda itu menoleh. “Diem. Gue gak ngomong sama lo,” balas Angkasa pada Kaila. Kaila mengangkat tangannya dan melangkah mundur. “Ow okay,” ujarnya dan kembali ke meja makan. Bel kembali berbunyi dan Angkasa masih berdiri di sana dengan mulutnya yang menggerutu sedangkan Kaila sudah mulai membuka bubur ayamnya. Ia lapar. Angkasa berjalan mendekati Kaila dan duduk di kursi. Kaila menatapnya heran. “Kenapa gak dibuka?” tanyanya. “Lo gila? Kan perjanjiannya gak boleh ada yang tahu kalo kita sharing apartemen,” jawab Angkasa. “Oh iya lupa,” balasnya. “Lagian kenapa lo kasih tau kalo lo tinggal di sini sih?” Angkasa menggele
Setelah masuk ke kamarnya, Kaila duduk di atas kasur dan makan buburnya tanpa suara sedikit pun, bahkan ia mengunyah kerupuknya dengan sangat pelan supaya suaranya tidak terdengar sama sekali di luar. Dia juga mendengar samar-samar Angkasa bicara dengan sang gadis, tanpa melihat wajahnya saja Kaila sudah sangat tahu kalau pemuda itu sedang sangat kesal karena kehadiran sang mantan kekasih yang jelas tidak diinginkan. Kaila menangkap sesuatu yang bergerak di pojok kanan ruangannya, ia menoleh dan mendapati satu ekor kecoak. Kaila menahan napas, sial, dia sangat takut dengan kecoak karena biasanya kecoak suka terbang dan sungguh dia sangat takut ketika kecoak terbang. Kaila mematung di tempat tidurnya. Kakinya yang sebelumnya masih berada di lantai, kini ia naikkan ke atas kasur. Dia memperhatikan gerak-gerik sang kecoak, terlihat mondar-mandir tanpa arah, lalu berhenti dan Kaila bersumpah, kecoak itu seakan menatapnya. Alarm jam Kaila berbunyi dan itu memacu sang kecoak untuk t