Share

Sendu Pasca Dimadu

Ratusan tamu undangan memenuhi rumah yang disulap menjadi istana pernikahan. Hiasan bunga putih dan merah yang dirangkai menjadi senada. Alunan piano menggema di tiap sudut ruang tertutup. Tak sembarang orang bisa masuk ke sana.

Bapak-bapak dengan jasnya yang klimis. Ibu-ibu sosialita yang tak kalah mewahnya. Duduk tenang di kursi mewah dengan meja bundar yang dipenuhi aneka hidangan lezat.

Sungguh, Fajrul tak menyukainya sama sekali. Kemewahan dunia yang membuatnya semakin enggan pulang ke rumah. Juga kehidupan keluarga besar yang mengedepankan kekayaan harta juga penampilan. Lelaki itu tertunduk di depan penghulu. Netranya mengembun tatkala teringat wajah Una yang terus menghantui pikirannya.

Pikir mereka, wajah mempelai pria yang tampak menangis tangis haru. Terbuai akan hari bahagia yang diimpikan banyak manusia. Pesta mewah, juga semua yang serba ada. Siapa yang tak menginginkan resepsi dengan budget ratusan hingga milyaran juta?

Dua hari sebelum hari ini, Fajrul meminta satu permintaan pada Qia. Untuk tak melarangnya pergi ke kampung Sahara, melanjutkan perjuangan mengemban amanah pendidikan yang belum usai.

"Silakan, Mas. Asalkan tidak melanggar kewajiban seorang suami pada istri dan keluarganya." Kiranya begitulah jawaban Qia.

Sedikit melegakan hati Fajrul, karena masih ada alasan agar ia bisa menemui istri sirinya—Rizquna.

Deg! Semua orang bungkam. Tak ada lagi suara bisikan atau gerakan apapun. Setelah sang penghulu memegang mikrofon, lalu bertanya, "bisa kita mulai?"

Anggukan kepala dengan senyum simpul yang terulas indah. Menghiasi raut nan bahagia. Terlebih, kebahagiaan sang wanita yang kini duduk bak ratu di dalam bilik bersatir. Bersama para bridesmaid anggun, dibalut gaun yang sama persis dengan gaun yang dikirimkan untuk Una beberapa hari lalu.

"Em, minta tolong ambilkan ponselku, boleh? Sekalian video call Rizquna, ya! Kasihan dia, nggak bisa datang langsung," tutur Qia, sangat cantik dengan polesan make up yang natural tapi tak meninggalkan kesan elegan.

Tut … tut … tut!

Panggilan tak dapat tersambung. Qia mereka, ada masalah dengan jaringan di sana. Namun sebenarnya, Una memang sengaja mematikan ponselnya sejak pagi. Bukan menghindar, lebih tepatnya demi menjaga kewarasan agar tak mendapatkan kepedihan bertubi.

Sementara di meja yang dihias secantik mungkin, serba putih yang melambangkan kesucian cinta. Ada lelaki yang tak bisa menahan cairan dari matanya. Berderai cukup deras, tanpa suara.

Pak Luqman mengulurkan tisu untuk kesekian kali. Dengan raut yang tak biasa, bukan rasa kasihan, lebih pada kejengkelan karena merasa putranya terlalu cengeng. Tak bisa menjaga marwah seorang lelaki sejati, yang notabenenya selalu tegar dan pantang menangis di hadapan orang lain.

Apapun keadaannya, acara tetap akan dilangsungkan. Kesakralan yang tak bisa menggugah hati Fajrul. Pikirannya melayang ke mana-mana.

"Sekali lagi, tolong fokus, Mas," bisik pak penghulu setelah dua kali Fajrul gagal melafalkan kabulnya untuk Qia.

Pria itu mendengus. Menyeka kedua pipi yang tak kunjung kering. Menyempatkan diri menatap wanita teristimewa dalam hidupnya—Bu Fatimah.

Sudah siap, tangan kembali diulurkan. Saling berjabat dengan erat. Akhirnya, kali ini bisa berjalan lancar. Hingga kata "sah" membuat semua orang menghela napas setelah tertahan dalam suasana tegang.

***

Di ufuk timur mentari memamerkan sinarnya yang hangat. Langit tampak estetik dengan paduan warna jingga, putih juga biru muda. Menyuguhkan pemandangan indah nan sedap dipandang. Namun, terasa kelabu bagi wanita yang kini menemani sang kakek berjemur di pelataran rumah.

Tepat satu hari setelah cucu menantunya menikah lagi—tanpa sepengetahuan beliau. Mbah Aab jatuh sakit, tak mampu berjalan seperti biasa. Syukurlah, masih ada tetangga yang sudi meminjamkan kursi roda untuk beliau.

"Suamimu sudah lama tidak ke sini. Apa dia juga tak memberi kabar padamu?"

Pertanyaan itu membuyarkan keheningan pagi ini. Una celingukan bingung. Harus beralasan apalagi untuk menutupi semuanya. Makin lama, makin menjalar kebohongan wanita itu demi merahasiakan semuanya serapat mungkin.

Kali ini, Una memberikan senyumnya yang manis. Kakek renta sudah hafal dengan gelagat cucunya yang menyembunyikan kerinduan mendalam. Hingga ia tak berani menjawab pertanyaan sederhana namun sangat menyentil batinnya.

Di depan sana, pemandangan sepele membuat pikiran Mbah Aab berkelana jauh.

"Coba lihat jemuran kita dengan jemuran para tetangga. Apa kamu melihat perbedaan yang jelas di sana?" tanyanya, masih rumpang. Membuat Una berpikir lebih jauh lagi.

Lima menit berlalu sia-sia. Tak ada perbedaan yang ditemukan. Hanya warna pakaian dan jenis kain yang memang berbeda. Namun tak ada yang menarik sama sekali.

Kedua alis Una mengernyit. Sepertinya Mbah Aab sedang dilanda kegabutan. Ia pun enggan menyebutkan perbedaan yang dilihatnya.

Sedetik kemudian, Mbah Aab menoleh ke arah cucunya dengan tatapan nyalang. Banyak harapan dari kedua manik mata yang sayu. Keriput di wajahnya, membuat beliau terlihat makin lemah di usia senja.

"Lihat sekali lagi. Semua jemuran mereka dihiasi dengan seragam anak sekolah. Sementara di rumah kita, selalu tergantung gamis-gamismu yang gelap itu."

Deg! Pikiran Una langsung paham dengan apa yang dimaksud sang kakek. Memang, sudah lama beliau tak mendengar suara tangisan atau rengekan bocah di rumah nan usang.

Kepalanya hanya tertunduk dalam. Sedikit malu, karena sampai detik ini, wanita itu belum bisa memenuhi permintaan sang kakek yang tak sabar ingin menimang cicit.

Bagaimana mungkin itu bisa segera terwujud. Sementara Una belum pernah disentuh lelaki manapun, termasuk suaminya sendiri. Tiap Fajrul pulang, Una selalu kedatangan tamu tanpa permisi. Membuat Una belum mendapatkan nafkah secara batiniah.

"Semoga kakek masih bisa melihat bayi itu di kemudian hari," tuturnya pelan. Penuh harap dengan kepala manggut-manggut lembut. Dengan kedipan mata yang tak secepat dulu.

Gegas Una memeluk pria renta itu dari arah samping. Keduanya terpejam menghayati. Meratapi bumbu-bumbu kehidupan yang terkadang melelahkan jiwa dan raga keduanya.

"Kakek sudah tua, Nduk. Tinggal menunggu waktu dipanggil saja. Tolong sampaikan pada suamimu. Jangan berlama-lama berjauhan denganmu. Tak baik untuk pasangan yang belum lama menikah seperti kalian. Katakan padanya, kakek ingin bicara sebelum terlambat."

Pelukan Una semakin erat. Ia tak mau mendengar kalimat kakek yang selalu menjurus ke arah kepergian abadi. Ia belum siap, hanya berharap umur yang panjang juga kesehatan untuk Mbah Aab.

"Assalamualaikum," salam terdengar dari arah belakang.

Sontak Una dan kakeknya menoleh dengan kompak. Dilihat seorang pria yang tengah menggandeng wanita cantik di sampingnya. Mereka tersenyum ramah.

"Siapa dia?" celetuk kakek dengan tatapan tak suka.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status