“Apa-apaan, ini, Imel? Tolong jangan peluk-peluk!” Mas Bima mendorong tubuh Imelda menjauh, membuat perempuan berambut sebahu itu langsung melebarkan mata seperti tidak percaya.
Pun dengan diriku saat melihat adegan itu. Apakah sekarang ini Mas Bima sedang bersandiwara seolah-olah tidak mau disentuh oleh adikku, ataukah memang di antara mereka tidak ada hubungan spesial seperti yang selama ini aku tuduhkan?
Sepertinya aku tidak boleh langsung percaya begitu saja dengan apa yang dilihat saat ini. Tidak boleh gegabah juga mudah tertipu. Biasanya para pengkhianat itu licik dan penuh tak-tik.
“Ini, kenapa koper Imel ada di luar semua, Vel?” Kini mata elang laki-laki yang menyandang gelar suami itu terpantik ke wajahku.
“Aku ingin dia keluar dari sini, Mas. Pokoknya, mulai hari ini aku tidak lagi mengizinkan dia tinggal seatap dengan kita. Sudah cukup kasih sayang serta perhatian yang aku berikan selama ini. Dia sudah besar, mempunyai gaji lumayan juga. Jadi, sekarang saatnya dia hidup mandiri tanpa harus bergantung sama aku!” sahutku seraya melipat tangan di depan dada.
“Aku nggak mau pergi dari rumah ini, Mbak. Tolong jangan usir aku!” pinta perempuan itu dengan wajah memelas.
Aku segera memalingkan wajah menghindari tatapannya, tidak mau kembali luluh karena merasa kasihan kepada dirinya. Pokoknya tekadku sudah bulat. Ingin menjauhkan Imelda dari Mas Bima, sebab sepertinya dia memang ada bakat menjadi seorang perusak rumah tangga.
“Betul, Velly. Lagian ini sudah malam. Memangnya kamu nggak kasihan sama Imel. Jangan bertingkah kekanak-kanakan lah. Kamu itu sudah dewasa!” bela suami. Kayaknya dia juga tidak rela gundiknya pergi dari rumah kami.
“Pokoknya keputusan aku sudah bulat. Imel harus pergi dari rumah ini!” lugasku.
“Nggak bisa. Kamu tidak bisa main usir-usir seenaknya hanya gara-gara kesalahan pahaman. Bukannya aku dan Imel sudah menjelaskan kalau antara kami memang tidak ada hubungan apa-apa?”
“Lah, kalau memang Mas tidak mempunyai hubungan dengan Imel, kenapa Mas keberatan dia pergi dari rumah ini. Apa Mas mau aku usir juga dari sini?”
Kini kedua manik legam Mas Bima membulat tidak percaya. Mungkin karena dia pikir aku terlalu mencintainya dan tidak akan melepaskannya walaupun dia bersalah.
Kamu salah mengira, Mas. Aku memang mencintai kamu, tetapi cinta juga harus pakai logika. Jika kamu berkhianat, apalagi sampai melakukan hal di luar batas, aku tidak akan segan-segan meninggalkan kamu. Aku juga berhak bahagia. Pun dengan anak-anak.
Imelda menarik kopernya lalu berusaha masuk ke dalam kamar. Untung saja pintunya sudah aku kunci, sehingga wanita itu tidak bisa masuk dan hanya bisa berdiri di luar sambil mengomel panjang lebar.
“Dasar perempuan jelek. Wanita nggak laku. Kalau saja dulu bukan karena desakkan ayah, kamu juga tidak akan pernah menikah dengan Mas Bima, Velly!” racunnya panjang lebar, bahkan sekarang berani menyebut namaku tanpa embel-embel mbak di depannya.
“Mas Bima itu nggak cinta sama kamu. Dia menikahi kamu karena hutang budi. Jadi jangan sok-sokan. Mas Bima juga berhak bahagia dengan orang yang dia cintai!”
“Imel, sudah. Sebaiknya kamu segera pergi dari rumah ini. Mungkin saat ini mbak kamu sedang emosi. Api jangan dilawan dengan api.” Mas Bima menimpali.
“Tapi, Mas? Bukannya kamu bilang...”
“Sudah! Nurut sama aku!” potong pria itu dengan menaikkan nada bicara satu oktaf.
Sang pemilik bulu mata lentik mengentakkan kaki lalu segera pergi. Mas Bima hendak mengantar, akan tetapi aku melarang. Bukan tidak memiliki perasaan, tetapi sengaja tidak mau mereka terlalu sering jalan berdua.
*****
[Mas, Danis sakit. Badannya panas tinggi. Kamu bisa pulang dulu sebentar, nggak? Aku mau minta tolong anterin Danis ke dokter.] Mengirimkan pesan kepada suami, memberitahu keadaan anak kami sekarang ini.
[Aku sibuk. Kamu kan tahu aku ini hanya seorang karyawan. Bukan bos yang bisa pergi kapan saja saat jam kerja. Kamu bawa sendiri lah dia ke dokter. Masa begitu saja nggak bisa. Harus ngandelin suami.] Balasannya begitu menyakitkan hati.
Entahlah. Mas Bima itu terlihat tidak pernah menyayangi anak-anak. Tidak ada naluri kebapakannya sama sekali. Dia selalu cuek juga masa bodoh dengan apa yang terjadi kepada anak-anak, bahkan jika sedang berada di rumah dan kedua buah hati kami membuat keributan, ia tidak akan segan-segan memarahi, bahkan tidak jarang juga memukul Dariel yang sekarang sudah berumur empat setengah tahun. Makanya baik Danis maupun Dariel tidak ada yang dekat dengan ayah mereka.
Karena suami tidak mau mengantar, akhirnya lagi-lagi harus merepotkan Leticia. Untung saja perempuan cantik paripurna itu selalu siap siaga, mau membantu kapan saja setiap kali aku membutuhkan dirinya.
“Aku itu bener-bener gedeg sama si Sim-Salabim itu. Masa anaknya sakit masih nggak peduli? Padahal kalau minta izin sebentar ke Ramon juga pasti diizinin. Karena setahuku, Ramon itu selalu baik dan pengertian sama semua pegawainya,” omel Leticia sambil membantu memakaikan sabuk pengaman di pinggang Dariel.
Ramon adalah pemilik perusahaan tempat di mana suamiku bekerja, dan kebetulan juga dia sepupu sahabatku. Bahkan Mas Bima bisa bekerja di sana juga atas bantuan perempuan itu. Tapi ya seperti itulah Mas Bima. Dia selalu seperti kacang yang lupa akan kulitnya. Tidak pernah mengingat kebaikan Leticia, bahkan tidak jarang juga dia melarangku bergaul dengan sahabat masa kecilku itu, dengan alasan yang tidak masuk akal. Leticia membawa pengaruh buruk kepadaku, begitulah katanya selalu.
Padahal, justru dia yang selama ini ada untukku serta sering membantu menyelesaikan masalah yang tengah mendera.
Karena Danis sedang sakit, hampir seharian ini jagoan kecil itu tidak lepas dari gendongan. Ia selalu saja merengek, uring-uringan, bahkan hanya sekedar ditinggal ke kamar kecil saja tidak mau.
Deru mesin kendaraan roda empat terdengar memasuki pekarangan rumah. Gegas diri ini keluar, menyambut kepulangan suami berharap Mas Bima mau menggantikan diriku menjaga putra ke dua kami.
“Ya Tuhan, Velly. Apa-apaan ini? Suami pulang bukannya disambut dengan pakaian rapi dan wangi, ini kamu malah masih pake daster tadi pagi. Rambut acak-acakan, muka kucel, badan bau asem pula. Bagaimana suami mau betah di rumah kalau lihat kamu begini terus?” protes suami ketika aku berjalan menghampiri.
Sesuai permintaan suaminya, Velly merubah penampilan menjadi lebih tertutup. Ia mulai mengenakan hijab sebab Bahrudin selalu mengatakan kalau semua dosa yang dia lakukan akan dipertanggung jawabkan oleh suaminya di akhirat kelak, termasuk jika Bahrudin terus membiarkan istrinya tetap membuka aurat.Makanya ia secara perlahan mulai mengubah tampilan, bukan karena keterpaksaan tetapi karena kesadaran juga dorongan hati untuk menjadi wanita yang lebih baik lagi. Velly juga mulai berhenti bekerja dan lebih fokus mengurus anak-anak serta bunda sebagai tanda baktinya kepada sang suami.“Mbak, sebelumnya aku minta maaf, aku sama Mas Rofiq niatnya pengen cari rumah kontrakan yang baru. Nggak enak kalau terus menerus numpang sama Mbak,” kata Imelda ketika mereka sedang santai bersama di ruang keluarga.“Lho, memangnya kenapa kalau kalian tinggal di sini? Kami nggak pernah merasa keberatan kok. Lagian saya sama Dek Velly juga mau
“Mel, aku mohon. Aku janji akan berubah. Aku mencintai kamu. Aku menderita hidup bersama Arzerti.”“Silakan nikmati hidup kamu bersama dia. Bukan kah kamu yang memilih untuk hidup bersama dia dan sudah membuang aku?”“Aku khilaf waktu itu.”“Tetapi aku sudah tidak percaya lagi sama kamu.”Bima mendesah kecewa mendengar jawaban dari Imelda. Padahal, tadinya dia berharap masih ada kesempatan kedua dari istrinya, sebab Bima merasa sudah tidak tahan dengan perlakuan Arzerti kepadanya dan ingin kembali merajut asa bersama Imelda serta putri mereka.“Tolong talak aku, Mas,” pinta Imelda lagi.“Tidak, Imel. Kalau kamu tidak mau kembali sama aku, aku juga tidak akan pernah menjatuhkan talak sama kamu. Biar status kamu menggantung terus dan tidak bisa menikah lagi dengan siapa pun!” jawab Bima dengan lugas.Imelda menggelengkan kepala sambil menangis. Melihat kejadian itu, Bahrudin segera menghubungi Arzeti, memberi
Hari ini Imelda sudah diperbolehkan pulang karena keadaannya sudah semakin membaik.Velly mengajak sang adik untuk tinggal di rumahnya, sebab takut terjadi sesuatu jika Imelda tinggal sendiri di rumah kontrakan, apalagi paska operasi seperti sekarang ini.Awalnya Imelda menolak. Akan tetapi Velly terus saja mendesak dan tidak mau ditolak. Akhirnya mau tidak mau Imelda pun menyerah dan menuruti semua permintaan kakaknya.Danis dan Dariel terlihat begitu senang ketika tantenya datang menggendong adik bayi. Mereka segera mengerubungi anak Imelda, menciumi pipi bayi berusia tiga hari itu secara bergantian.“Mama, kapan Dariel punya dedek kaya Tante Imel?” tanya bocah berusia lima tahun itu dengan polos.“Insyaallah secepatnya. Abang jangan lupa sering-sering minta sama Allah supaya di perut Mama bisa ada dedek bayinya,” jawab Velly seraya mengusap lembut rambut anaknya itu.“Abang Dariel, Dedek, ayo ikut Papa ke masjid. K
“Mbak Imel kenapa? Sakit? Kok wajahnya pucet banget?” tanya Rofiq yang sejak tadi sibuk memasukkan barang-barang yang akan dia bawa ke dalam tas obrok di motornya.“Nggak tahu, Mas. Dari semalam perut aku sakit. Ini malah makin terasa nyeri banget!” jawab Imelda seraya meringis kesakitan.“Jangan-jangan Mbak Imel mau melahirkan?”“Nggak tau, Mas. Emang HPL-ku sudah lewat tiga hari sih, dan baru sekarang ada tanda-tanda kaya mau melahirkan.”“Sudah hubungi Mbak Velly?”“Belum. Nanti saja kalau sakitnya sudah mulai berasa banget. Kasihan dia kalau direpotin terus.”“Tapi kan, Mbak. Daripada nanti kenapa-kenapa, mendingan Mbak kabari saja Mbak Velly sekarang.”“Iya.”“Sini nomernya Mbak Velly. Biar saya yang menghubungi dia!” Rofiq mengeluarkan ponsel lalu menekan dua belas digit angka yang disebutkan ole
Cup!Bahrudin tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk mengecup. Gemas melihat bibir sang istri yang dimajukan beberapa centimeter.“Nyosor mulu kaya bebek!” protes Velly pura-pura merajuk.“Aku kecanduan nyium kamu, Sayang.”“Memangnya aku obat bikin candu?”“Iya. Obat luka di hati aku.” Mengambil tangan istrinya, Bahrudin menautkan telapak tangan Velly di dada sambil mengunci netra perempuan itu dengan tatapannya.“Udah, ah! Pagi-pagi udah menggombal. Ayo, sarapan dulu. Malu sama Bunda kalau di kamar terus. Nanti dikira lagi ngapa-ngapain lagi!”“Memangnya kalau lagi ngapa-ngapain kenapa? Bunda juga pernah muda dan menjadi pengantin baru. Pasti beliau paham lah.”“Tapi aku laper...”“Oke. Ayo kita keluar.” Tangan Bahrudin merangkul pundak istrinya lalu segera keluar dari dalam bilik.Bunda melekuk senyum bahagia melihat kemesraan anak serta menantunya. Ia juga sangat bersyuku
Jarum pendek jam sudah menunjuk ke angka sembilan malam. Seluruh tamu undangan sudah pulang ke rumah masing-masing, pun dengan Bunda yang sudah sejak habis isya masuk ke dalam kamar yang sudah disediakan oleh menantunya. Velly masuk ke dalam bilik, membuka kebaya yang melekat di tubuhnya lalu menggantinya dengan daster seperti biasa setiap mau tidur. Tidak lupa juga membersihkan wajah dari sisa make-up yang menempel menggunakan miccelar water dan dilanjut dengan mengoles sedikit krim malam. Dari pantulan cermin terlihat Bahrudin masuk ke dalam kamarnya, menerbitkan senyuman membuat jantung perempuan berambut sebahu itu berdetak tidak karuan. Bahrudin terus menelisik tampilan sang istri dari ujung kaki hingga ujung kepala, merasa ada yang aneh melihat Velly yang biasa berpakaian rapi hanya mengenakan daster sebatas lutut, membuat jakun laki-laki bertubuh tambun itu naik turun kala melihat kaki jenjang istrinya. “Kenapa liatinnya seperti itu, Mas? Aku jelek ya