Kafe Mon Chéri. 30 Westerham Ave. Penelope lalu menekan tombol kirim. Setelah memasukkan ponselnya ke dalam saku rok midinya, dia buru-buru menyetop taksi dan meminta sopir itu untuk mengantarnya ke daerah Westerham Ave. Ketegangan membuat Penelope merasa sesak dan dia pikir dia butuh teman untuk mengobrol."Ambil jalan pintas saja, please." Penelope bicara pada pria yang memakai topi belel itu tanpa melihat ke arahnya.Kendaraan roda empat tersebut kemudian berbelok ke jalan yang lebih kecil. Melalui gang-gang sepi yang sempit dan hanya dilintasi oleh segelintir orang. Sopir itu sempat melirik wajah Penelope beberapa kali lewat kaca spion tengah."Melarikan diri dari rutinitas hidup?" tanya pria itu membuka percakapan dengan logat Spanyol dan Inggris pasarnya."Aku hanya perlu udara segar, tetapi melarikan diri kedengarannya juga cocok untukku." Penelope menyunggingkan senyum tipis."Saya juga melakukannya sesekali. Setiap orang boleh melakukannya.""Hm," gumam Penelope singkat, mas
Alice sendiri. Lagi. Dastan sudah pergi meninggalkan kediamannya beberapa menit lalu. Memberi lebih banyak waktu luang untuk Alice memikirkan hal-hal lain.Alice merasa hidupnya berantakan. Pertemuannya dengan Dastan membuat segalanya jadi jauh lebih sulit bagi Alice sekarang. Bukti bahwa cinta dan patah hati telah menciptakan ketidakseimbangan dalam hari-harinya.Alice hanya menghabiskan siangnya di kamar sebelum rasa bosan memaksanya untuk keluar dari sana. Alice kemudian menjelajahi rumah Dastan. Mengamati perabotan mewah di sepanjang lorong dan ruang-ruang dengan pintu besar yang dikunci.Rasa penasaran lantas membuat Alice turun menyusuri tangga yang mengantarnya ke ruang bawah tanah. Ada dua pintu lain di sana. Salah satunya dilengkapi terali dengan anak kunci yang tergantung di depannya."Apa aku boleh masuk?" tanya Alice pada dirinya sendiri.Alice lalu mengintip lewat sela lubang kunci. Namun, hanya ada kegelapan yang membentang di baliknya dan rasa takut mendadak membuat pun
"A-aku sudah bilang aku bosan. Jadi, aku tidak sengaja masuk kemari dan menemukan foto itu." Kedua tangan Alice mencengkeram pinggir meja biliar."Kadang-kadang, rasa ingin tahu yang besar bisa menuntunmu dalam masalah." Dastan berbisik di dekat bibir Alice dan membuat punggung wanita itu condong ke belakang menciptakan jarak."Aku memang magnet dari segala masalah, ingat?"Pandangan Dastan naik. Mata mereka bertemu. "Masalah dan gairah. Itu definisi dari dirimu.""Kau masih menyimpannya," gumam Alice yang mengangkat dagunya lebih tinggi."Foto itu? Aku suka senyummu di dalam sana." Dastan memainkan ujung rambut Alice dengan jari telunjuknya."Penelope tidak tersenyum."Dastan menangkap nada sedih dalam suara Alice. Jari telunjuknya melepaskan ujung rambut Alice dan mencengkeram pinggir meja biliar seperti yang dilakukan oleh Alice. Mengurung wanita itu dalam figurnya yang besar dan tinggi dan membuat Alice terlihat begitu mungil di depannya."Penelope? Adik tirimu?""Hm." Alice menga
"Bagaimana harimu?" Penelope memamerkan senyum lebarnya pada Dean yang baru saja pulang."Melelahkan. Aku harus pergi ke luar kota minggu depan," desah Dean yang meregangkan leher."Luar kota?" Penelope melepaskan jas milik Dean dan menyampirkannya ke punggung sofa."Birmingham.""Birmingham? Kebetulan sekali, aku juga harus pergi ke sana untuk menemui teman lama." Senyum lebar Penelope mulai menyita perhatian Dean sekarang."Kau sedang hamil, Penelope.""Dan apa masalahnya?""Kau harus istirahat di rumah.""Aku bukan piala untuk kau simpan di dalam lemari kaca, Dean. Aku perlu udara segar. Aku butuh melakukan sesuatu untuk mengalihkan kebosananku.""Pergilah ke salon, makan, atau apa pun bersama Mortimer, tetapi tidak untuk bepergian ke luar kota.""Kau tidak bisa melarangku." Penelope berpaling menuju sofa lipat dan duduk dengan wajah kaku.Dean menggulung lengan kemejanya. Matanya melirik ke arah Penelope sesekali. "Aku bisa. Aku suamimu sekarang."Penelope mengetatkan rahang. Bala
"Duduklah dan tutup matamu," pinta Dastan lembut, mengarahkan Alice untuk duduk di kursi di depan meja rias, dengan cermin oval besar yang memantulkan figur mereka di dalamnya.Alice memandang Dastan sekilas, lantas melirik ke arah cermin. Wajah Dastan masih sama tampannya di sana. Janggutnya bersih, aroma after shave menguar dari tubuhnya setiap kali pria itu bergerak, dan menebarkan bau segar di udara.Dengan dada telanjang dan hanya celana panjang yang membalut tubuhnya, Dastan mengitari meja rias. Menuntun Alice duduk. Kembali mengawasi bayangan mereka di dalam cermin."Ada apa?" Alice menatap mata Dastan dari balik cermin."Aku punya sesuatu untukmu," bisiknya di sisi kiri wajah Alice."Kau akan menyogokku dengan hadiah lagi?"Satu alis Dastan terangkat membentuk lengkungan sempurna di dalam cermin. Senyum tipis mengembang di bibirnya. "Tutup saja matamu, Alice." Alice menuruti permintaan Dastan. Dia memejamkan mata dan hanya mengandalkan indra pendengarannya sekarang. Suara ben
"Demi burung golden pheasant. Kau pucat sekali. Kau tidak punya warna." Mortimer ternganga melihat penampilan Penelope yang kusut, tanpa make up, dan pakaian longgar sederhana yang dia kenakan sore itu.Penelope melepas trench coat-nya. Menyampirkan jubah luar itu ke punggung kursi. Dia lalu duduk, mengedarkan pandang ke sekeliling sebelum memusatkan perhatiannya pada Mortimer, kondisi kafe yang sepi membuat suasana hati Penelope jadi lebih baik."Apa kau sakit?" Mortimer memajukan dadanya ke pinggir meja, mendekati Penelope, meraih tangan kanan Penelope untuk dia pegang."Aku baik-baik saja," kilahnya sambil menepis kasar tangan Mortimer."Ke mana selera fesyenmu pergi? Apa pernikahan sudah membuatmu kehilangan minat untuk merawat diri? Maaf, Penelope, tetapi kau mengerikan." Mortimer mengusap pergelangan tangannya.Penelope mengabaikan Mortimer. Dia melambai pada pelayan dan memesan satu cangkir kopi. Setelah pelayan itu meninggalkan mereka, Penelope menggaruk asal kepalanya dan mem
Penelope kembali dengan mobilnya sendiri. Menyetir di tengah padatnya lalu lintas London sore itu. Ketika kendaraannya berbelok menuju ke rute jalan pintas, pesan singkat tiba-tiba masuk ke ponselnya. Sore yang sempurna. Mengapa kau tidak bergabung bersamaku, Sayang?Pesan lain masuk. Foto dengan latar langit senja dari balik kaca jendela hotel dan satu seloki wiski, yang esnya mulai cair, dikirimkan oleh seseorang ke aplikasi chat milik Penelope. Dia lalu menepikan mobilnya dan membalas dengan cepat.Tempat yang sama?Tidak butuh waktu lama bagi Penelope untuk menunggu. Lawan chat-nya segera mengirimkan pesan baru yang masuk tiga detik kemudian. Penelope spontan membacanya dan memutuskan untuk memutar arah.Cuaca yang lebih cerah dari hari kemarin menyapukan jejak warna keemasan lembut di kaki langit. Porsche Taycan Penelope menembus arus jalan raya tanpa hambatan. Menyalip kendaraan lain dengan kecepatan sedang dan membawanya tiba di hotel yang dia tuju.Penelope menyusuri koridor
Pria dengan janggut tebal dan mantel kardigannya yang kusut itu meletakkan beberapa lembar foto yang menangkap potret Penelope di dalamnya. Dean sontak memutar kursi kebanggaannya, mengerling pada pria itu sekilas sebelum mengalihkan pandangannya ke atas meja, memperhatikan foto-foto yang dia minta. Rahang Dean mengetat menatap bukti perselingkuhan Penelope tepat di bawah hidungnya."Seperti perintah, Bos. Aku mengikuti istrimu dari kafe kemarin sore. Di tengah perjalanan pulang dia tiba-tiba memutar arah dan pergi ke Hotel Quilt dan itulah yang kutemukan di sana."Dean mengambil salah satu foto. Kemarahan langsung membakar semua kilau lembut dalam sorot matanya. "Siapa namanya?""Rufus. Rufus Tundrow." Pria itu memasukkan kedua tangannya ke saku mantelnya."Rufus," gumam Dean yang kemudian memutar kursinya lagi dan menerawang ke pemandangan di luar jendela yang menampilkan panorama pusat kota. "Mahasiswa. Sekitar dua puluh dua tahun. Lima setengah kaki. Tato panah di jari manis sebe