[21+] Mimpi Alice Harper tentang pernikahan yang indah bersama Dean Walcott mendadak hancur karena ulah adik tirinya. Setelah dikhianati dan ditinggalkan di depan altar seorang diri hanya untuk dipermalukan, Alice memutuskan pindah ke Birmingham demi menata hidup baru. Tidak disangka takdir kembali mempertemukannya dengan Dastan Lancaster, sang mantan kekasih, yang sempat menghilang tanpa kabar dua tahun lalu. Cinta lama yang masih belum usai di antara mereka lagi-lagi tumbuh dan Alice tidak kuasa menepis pesona sang presdir yang mendadak melamarnya di depan semua orang. Akankah pernikahan bahagia yang pernah dibayangkan oleh Alice kemudian terwujud kala dia menerima cincin yang disodorkan Dastan padanya?
View More"Apa kau Dean Walcott bersedia mengambil Alice Harper sebagai istrimu yang sah? Apa kau akan mencintai, menghormati, menjaga, dan melindungi dia selama sisa hidupmu?" Suara tenang pendeta tua dengan kacamata bulannya itu terdengar lagi, ujung jubahnya yang pudar berkibar ditiup angin bulan Oktober yang menyebarkan hawa dingin dan lembap di udara kota London, rahang Alice bahkan bergemeletuk kencang kala dua orang pengiring pengantinnya membuka satu jendela geser lain di belakang mereka.
Hari besar dalam hidup Alice, yang baru menginjak usia dua puluh enam tahun minggu lalu, sudah datang dan membuat debar jantungnya melompat sejak tadi. Alice yang pandangannya mulai kabur karena air mata menatap Dean dari balik veil yang menutupi wajahnya. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu. Bagi Alice, pernikahan merupakan hal yang luar biasa. Tumbuh di tengah-tengah keluarga yang tidak memegang prinsip komitmen sama sekali tidak mengubah pemikirannya tentang 'akhir yang buruk' seperti yang telah terjadi pada orang tuanya. Ayah Alice pemabuk dan suka memukuli ibunya, sedangkan sang ibu yang kemudian kabur dari rumah justru menikah lagi dengan seorang pemilik bar tiga bulan selepas sidang perceraian mereka selesai digelar.Alice kecil dibesarkan oleh bibinya di daerah Hampshire. Hidup mandiri setelah umurnya mencapai sembilan belas dan pindah ke sebuah flat kumuh kawasan pinggir kota untuk mewujudkan mimpi-mimpinya. Tidak pernah mendengar kabar tentang ayah atau ibunya lagi sampai di suatu musim dingin tahun lalu.Ayah Alice sedang sakit keras. Didiagnosa kanker perut stadium akhir dengan keadaan yang menyedihkan dan ibunya yang kembali menikah untuk ketujuh kalinya, dengan pria bertubuh tinggi seperti tukang pukul, datang mengunjungi tempat tinggal Alice untuk basa-basi. Menanyakan keadaan Alice dan kehidupannya selama beberapa tahun terakhir, lantas buru-buru pulang untuk menghadiri pesta kelulusan Penelope Cove—putri kandung dari suami barunya, yang notabene adik tiri Alice."Mereka tidak boleh menikah." Suara lain mendadak menyela prosesi sumpah Dean dan Alice.Seorang wanita lalu muncul dari baris kursi bagian belakang. Roknya diikat di sekeliling pinggang dan jatuh hingga ke mata kaki dalam lipatan-lipatan besar yang menonjolkan lekuk pinggulnya. Rambutnya yang pendek ditata apik, ujung-ujungnya dipotong lancip, mencuat dengan aksen merah muda yang kontras dengan warna asli rambut wanita itu."Maaf?" Pendeta tua itu spontan menyipitkan mata sambil mengamati wanita yang baru saja menginterupsi perkataannya."Aku keberatan. Pernikahan mereka tidak boleh dilaksanakan," ulangnya lalu maju, mengayunkan langkah panjang yang anggun, dengan suara keletak dari tumit sepatu bot thigh high-nya yang menampar lantai kayu gereja setiap kali dia berjalan. "Penelope? Bukankah dia bilang tidak bisa datang karena dia ada di luar kota?" gumam Alice yang sempat tergoda untuk membuka veil, tetapi kemudian dia mengurungkan niatnya."Sayangku?""Sayangku?" Alice terperangah memandang Dean, perutnya tiba-tiba bergolak hebat, dan ekspresi Dean yang menatap Penelope dengan penuh damba langsung membuatnya mual."Kau mengendarai mobilmu sendiri dari Bristol? Kau dalam kondisi rentan. Kau harus mendengarkan saran dokter." Dean bergegas turun dari altar untuk menghampiri Penelope yang berhenti di dekat mereka, jemarinya terulur ke depan, menyentuh punggung Penelope dengan sikap posesif.Ada yang salah, pikir Alice. Tidak yakin dengan indra penglihatannya sendiri. Dean hanya pernah bertemu Penelope dua kali. Waktu itu, mereka tengah membicarakan bisnis katering Penelope di rumah ibunya.Alice menarik veil dari kepalanya dengan kasar dan membuangnya asal. Darah menggelegak di kedua pipinya. Dia bahkan tidak butuh penjelasan untuk menyadari bahwa Dean dan Penelope memang punya hubungan khusus."Aku hamil dan bayi ini, bayi yang ada di dalam rahimku, milik Dean." Penelope membeberkan segalanya sebelum Alice berhasil memberondong mereka dengan pertanyaan."A-apa katamu?" bisik Alice tidak percaya, memandangi wajah Dean dan Penelope bergantian, bibirnya yang pucat melekuk jijik."Bayi ini," ucap Penelope sambil menyentuh perutnya. "Adalah bayi kami, Alice. Apa kau tidak cukup pintar untuk memahami maksudku?""Aku masih... tidak mengerti." Air mata Alice mengalir, tetapi bukan untuk perasaan haru."Aku tidak tahu kau bodoh atau lugu. Tidakkah kau melihat ada sesuatu yang telah terjadi di belakangmu selama dua bulan terakhir?" Senyum lebar Penelope tersungging di sudut bibirnya.Alice kemudian menyeka air matanya, seolah-olah ada tekad baru yang diam-diam menyusup ke dalam dirinya. Mengabaikan bisik-bisik dan kesiap para tamu, yang kebanyakan berasal dari rekan kerjanya, untuk membalas pengkhianatan mereka. Dengan kedua lutut yang gemetar dan dada yang sesak oleh rasa marah, Alice maju mendekati Penelope."Tidak keduanya. Aku hanya tidak mengerti mengapa kau begitu... murah?" Alice mengangguk dengan tawa puas yang dibuat-buat, menjatuhkan buket bunga pengantinnya, dan menginjaknya hingga hancur."Dan kau, Dean Walcott," seru Alice yang memutar tubuhnya menghadap Dean. "Apa kau senang sudah mempermainkanku?""Tidak, Alice. Aku sama sekali tidak berniat untuk—""Kau tidak perlu repot-repot membela diri.""Kami tidak sengaja, Alice. Itu di luar kehendakku. Semuanya jadi tidak terkendali saat... saat...""Saat dia menciumku." Penelope melirik Dean sekilas dan kembali menatap sinis pada Alice."Aku tahu aku salah, Alice. Aku berani sumpah itu hanya kecelakaan. Kami bertemu di klub malam dan... aku mabuk dan... dan...""Dan kami bercinta.""Penelope!" tegur Dean yang mengacak rambut depannya."Aku hanya menyelesaikan kalimatmu." Penelope mengangkat satu alisnya dan mengerucutkan bibir."Percayalah padaku, Alice." Dean meraih jemari Alice, menggenggamnya erat, mata hijaunya memancarkan sorot putus asa."Jangan sentuh aku!" tepis Alice yang menarik diri dan mengacungkan jari telunjuknya pada Dean."Itu kecelakaan, Sayang. Aku di bawah pengaruh alkohol. Kami hanya melakukannya satu kali." Dean lagi-lagi mengacak rambutnya yang sudah berantakan."Dan jangan memanggilku dengan 'sayang'! Kau bahkan menyebut jalang kotor itu dengan 'sayangku'," teriak Alice yang kesabarannya mulai habis."Aku tidak mencintai Penelope. Aku hanya mencintaimu, tetapi aku menginginkan bayinya. Dia bayiku. Aku tidak bisa lari dari tanggung jawab.""Kau menghancurkan segalanya! Kau membuatku muak." Alice mundur menciptakan jarak di antara mereka, kepalanya sakit, dia pikir dia hanya akan mengasingkan diri di rumah selama berbulan-bulan lamanya atau pindah ke suatu tempat yang jauh dari kota London.Mengubur satu dari sekian banyak mimpi. Apa kegagalan bisa menular? Mungkin pernikahan memang bukan untukku, simpul Alice. Mungkin pernikahan hanya untuk segelintir orang, tetapi yang jelas bukan dirinya."Tidak, Alice. Dengar, aku hanya mencintaimu. Hanya kau. Insiden pada malam itu membuatku sadar bahwa aku hanya ingin menghabiskan sisa hidupku bersamamu.""Kau tidak mencintaiku. Mungkin pernah dan itu dahulu. Setelah semua yang kau lakukan, apa kau pikir aku bisa percaya padamu lagi?" Alice mengangkat wajahnya dan membuat mereka saling bertatapan."Demi Tuhan, Alice. Aku—""Menikahlah dengan Penelope."Kening Dean mengernyit dalam kengerian yang terasa seperti selamanya. Rahangnya, yang ditutupi jambang halus, mengetat oleh kepanikan yang luar biasa. "Itu mustahil. Satu-satunya wanita yang akan kunikahi adalah kau.""Kau pria dan kau harus bertindak seperti seorang gentleman. Jadi, menikahlah, setidaknya demi bayi kalian." Alice mengulangi permintaannya dengan nada tenang, meskipun hatinya remuk seperti bola kaca yang sudah dibanting dengan sengaja; hancur tanpa sisa.***"Sazerac, please. Dua." Mortimer mengaitkan kacamatanya di tengah-tengah dada, sementara Penelope sudah duduk tenang di salah satu kursi bar."Terlalu awal untuk mabuk," kata Penelope ketika Mortimer duduk di sampingnya."Tidak ada yang terlalu awal untuk bersenang-senang, Darling. Aku bisa menemanimu ke salon esok pagi. Kita akan selalu punya waktu seharian, kau tahu.""Kalau begitu, jemput aku di rumah ayahku." Penelope meletakkan tas jinjingnya di atas meja."Di rumah ayahmu?" Mortimer melongo, seolah-olah Penelope baru saja mengatakan sesuatu yang salah."Ya, memangnya ada apa?" Penelope mengabaikan nada sinis dalam suara Mortimer lalu mengedarkan pandang ke sekeliling, mengamati suasana bar yang sepi sebelum mengembalikan tatapannya pada Mortimer lagi."Kau serius?""Aku tidak punya pilihan." Penelope mengangkat bahu. "Aku baru saja bebas hari ini. Aku lelah. Aku belum tahu apartemen mana yang akan sesuai untuk kutinggali. Lagi pula, aku tidak ingin repot-repot mengurusi barang-b
Penelope mengibaskan ujung rambutnya yang setengah ikal karena tidak disisir. Cat rambutnya sudah luntur dan dia butuh perawatan ekstra untuk mengembalikan penampilannya seperti semula. Sisa-sisa kecantikannya bahkan tidak memudar, meskipun Penelope berada di dalam penjara selama hampir dua bulan lamanya.Setelah melewati hari-hari pahit dan menyedihkan itu, Penelope kini bisa kembali menghirup udara bebas. Tidak lagi terkungkung atau mati membusuk seperti yang pernah dia pikir akan terjadi padanya. Dengan melalui proses persidangan yang begitu panjang, hakim akhirnya memutuskan bahwa Penelope tidak bersalah.Untuk pertama kalinya, Penelope merindukan London sebagai tempat kelahirannya. Perasaan itu terselip seperti sapu tangan yang lupa dia ambil di mesin cuci sebelum kemudian berubah jadi prioritas yang harus dinomorsatukan. Sesuatu yang dia ingat untuk selalu dibawa pergi."Aku tidak tahu aroma kebebasan bisa tercium semenyenangkan ini," katanya pada Mortimer yang sengaja berjalan
"Alice?" Dastan memanggilnya lembut dan membuat Alice seketika menoleh. "Aku mencarimu. Ternyata kau di sini."Alice meletakkan gelasnya yang sudah kosong. Dia meraih botol cider lalu mengisinya lagi ke dalam gelas. "Aku tidak bisa tidur. Mungkin pemandangan Birmingham di malam hari dapat membuatku sedikit lebih tenang.""Hanya cider? Aku akan mengambilkan wiski untuk kita." "Tidak. Aku ingin tetap berpikiran jernih. Setidaknya untuk saat ini," tolak Alice yang langsung menenggak habis minumannya.Dastan mengambil posisi paling dekat dengan Alice. Duduk tepat di sampingnya dan menyilangkan kedua tangan di atas meja. "Orion baru saja pulang. Aku pergi melihatmu di kamar, tetapi kau tidak di sana.""Aku akan baik-baik saja. Aku hanya... sedikit syok. Ada begitu banyak hal yang telah terjadi." Alice menggoyangkan gelasnya."Segalanya terjadi di luar kendali. Apa Penelope sudah menghubungimu?" Dastan memperhatikan wajah muram Alice."Untuk apa dia melakukannya? Kami hanya saudari tiri."
Orion melemparkan jam tangan milik Benoit ke depan Dastan yang refleks mengangkat dua tangannya untuk menangkap. Siluet Alice lalu muncul di belakang Orion. Kehadiran mereka secara bersamaan mendadak membuat Dastan bertanya-tanya."Jam tangan?" Satu alis Dastan melengkung ke atas."Milik pria sinting yang hampir saja membunuh kekasihmu. Aku sudah membereskannya. Jam tangan itu kuambil sebagai kenang-kenangan." Orion mengangkat bahu sambil mencibir."Tunggu. Membunuh?""Dia dibayar oleh seseorang untuk melakukannya."Alice kemudian berjalan di antara mereka. Masih gemetar dan ketakutan, Alice menatap mata Dastan sesaat sebelum pria itu memeluknya erat hingga napasnya akan habis. Air mata yang berusaha ditahannya sejak tadi pun tumpah.Setelah puas menangis dan menyalurkan emosinya pada Dastan, Alice baru bisa bicara. Menceritakan segalanya dengan detail tanpa melewatkan satu momen pun. Tentang Benoit yang tiba-tiba datang dari arah belakang dan menodongkan belati ke punggungnya sampai
"Dean sudah tiada, Penelope." Mortimer buru-buru masuk melepaskan mantel dan meletakkannya asal.Mortimer lalu duduk di samping Penelope yang masih belum beranjak dari posisinya. Dia bergelung seperti huruf C di sofa tiga dudukan di depan televisi. Hanya mendongakkan kepalanya sedikit saat Mortimer datang membawakan kabar buruk itu padanya."Aku melihat garis polisi, darah, dan kekacauan yang telah terjadi. Tempat itu berubah seperti mimpi buruk," katanya lagi.Kondisi Penelope tidak kalah kacaunya dengan kasus itu, berwajah sembab dan berantakan, dia menatap Mortimer lekat-lekat. Tidak biasanya dia lupa mengenakan maskara dan lipstik, pikir Penelope. Mortimer jelas ikut terguncang dengan kematian Dean yang bisa menyeret Penelope ke dalam penjara."Kau menyaksikan segalanya?" tanya Penelope memastikan."Aku menyelinap ke sana untuk mendapatkan informasi. Hanya tinggal menunggu waktu sampai mereka datang mencarimu." Mortimer menggeleng sedih."Tidak ada yang bisa kulakukan," bisiknya p
Penelope mengetuk berulang kali sambil menengok ke kanan dan kiri. Dia lalu merapatkan jaket ke tubuhnya. Udara dingin membuat kedua kaki Penelope terasa membeku karena dia pergi dengan buru-buru dan lupa mengenakan mantel.Tidak lama kemudian pintu itu terbuka. Mortimer terperangah sesaat sebelum dia menyadari bahwa orang yang sedang berdiri di hadapannya adalah Penelope. "Penelope? Apa yang kau lakukan di sini?""Ka-kau harus menolongku, Mortimer. Aku tidak tahu... astaga, apa yang sudah kulakukan? Apa yang telah kuperbuat? Aku tidak sengaja... itu memang tidak sengaja. Sungguh, aku berani sumpah aku tidak bermaksud untuk membunuhnya." Penelope menangis, syok, dan dalam keadaan yang luar biasa gemetar itu merosot di depan apartemen Mortimer. "Ada apa, Penelope? Kau tampak kacau. Ayo, cepat masuk!" Mortimer menggandeng tangan Penelope, menyeretnya lebih kuat saat Penelope masih bergeming dalam ketakutannya, dan membuat Mortimer harus mendorong punggungnya ke dalam."Masuklah. Kau ha
"Bagaimana perasaanmu?" Dastan mengaitkan rambut Alice ke salah satu telinganya."Mungkin aku adalah orang yang paling bahagia saat ini." Alice mendongak menatap wajah Dastan dari balik bulu matanya."Tunggu sampai kau mengenakan gaun pengantin yang kau suka. Kau pasti akan jadi mempelai yang memesona.""Kau membayangkanku dalam gaun pengantin?" Alice terkekeh."Aku lebih suka membayangkanmu tanpa baju, tetapi bisa melihat kau muncul sebagai pengantinku di altar merupakan mimpi paling menyenangkan yang akan terjadi. Melampaui semua obsesi yang pernah kuimpikan." Jari-jari Dastan menelusuri punggung Alice lalu turun hingga ke pinggulnya."Obsesi bisa menyesatkanmu, Dastan.""Aku memang sudah tersesat sejak lama," sahutnya mendaratkan kecupan di rahang Alice."Cincin ini," kata Alice mengangkat tangan kirinya mengamati cincin. "Kau sendiri yang memilihnya?""Apa seleraku terlalu kuno?" Dastan menyeringai malu."Kuno? Hal pertama yang terlintas dalam kepalaku ketika melihat cincin ini ad
Alice tidak menyangka akan dilamar oleh orang yang dahulu pernah mengisi masa lalunya. Jika dia menerima cincin itu, maka Dastan bukan lagi sekadar jadi pria yang dia cintai. Namun, masa depannya juga.Keraguan tiba-tiba menghantam perasaan Alice. Dia mengamati pendar gemerlap yang akan menawarkan begitu banyak akses kemudahan hidup di depannya. Dalam hati bertanya-tanya keputusan yang tepat untuk menyikapi kegagalan dan keberhasilan kisah cintanya pada satu waktu.'Akankah pernikahan bahagia yang pernah kubayangkan bisa terwujud saat aku menerima cincin yang disodorkan Dastan padaku? Aku memang mencintainya, tetapi tidakkah penyatuan kami terlalu cepat?' renung Alice. Tanpa pikir panjang, tangan kiri Alice kemudian terulur dan Dastan menyambutnya. Dia menyematkan benda itu di jari manis Alice. "Kupegang janjimu, Tuan Presdir.""Terima kasih sudah menerimaku, Alice. Aku tidak akan mengecewakanmu." Dastan mengecup punggung tangan Alice yang dipasangi cincin lalu memeluk erat tubuh kek
"Kekasih? Kau dan... kau dan Alice?" Wajah Dean berubah pucat, seolah-olah pria itu baru saja muntah dan kerongkongannya dipenuhi cairan asam lambungnya sendiri."Apa ada masalah, Tuan Walcott?" Dastan memasukkan kedua tangannya ke saku celana sambil menatap lurus ke dalam mata Dean.Sadar bahwa pertanyaan yang dilontarkannya tadi mulai memancing perhatian orang-orang, Dean lalu berdeham-deham dan menarik kerahnya. Melonggarkan ikatan dasi yang awalnya baik-baik saja kini justru terasa mengimpit jalan napasnya. "Ti-tidak ada. Maaf."Dastan mengangguk pada Dean sebelum mengalihkan tatapan pada Alice yang berdiri di samping bayang-bayang layar. Mengamati ekspresi gugup dalam wajah kekasihnya. "Tidak perlu khawatir. Aku selalu menjunjung profesionalitas. Jadi, Nona Harper," Dastan mengerling pada Alice. "Bisakah kau menampilkan presentasi di halaman pertama dan kedua untukku? Terima kasih." Rapat berjalan lancar. Persis seperti yang Dastan rencanakan. Kepuasan mengaliri pembuluh darahny
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments