Penelope mengibaskan ujung rambutnya yang setengah ikal karena tidak disisir. Cat rambutnya sudah luntur dan dia butuh perawatan ekstra untuk mengembalikan penampilannya seperti semula. Sisa-sisa kecantikannya bahkan tidak memudar, meskipun Penelope berada di dalam penjara selama hampir dua bulan lamanya.Setelah melewati hari-hari pahit dan menyedihkan itu, Penelope kini bisa kembali menghirup udara bebas. Tidak lagi terkungkung atau mati membusuk seperti yang pernah dia pikir akan terjadi padanya. Dengan melalui proses persidangan yang begitu panjang, hakim akhirnya memutuskan bahwa Penelope tidak bersalah.Untuk pertama kalinya, Penelope merindukan London sebagai tempat kelahirannya. Perasaan itu terselip seperti sapu tangan yang lupa dia ambil di mesin cuci sebelum kemudian berubah jadi prioritas yang harus dinomorsatukan. Sesuatu yang dia ingat untuk selalu dibawa pergi."Aku tidak tahu aroma kebebasan bisa tercium semenyenangkan ini," katanya pada Mortimer yang sengaja berjalan
"Sazerac, please. Dua." Mortimer mengaitkan kacamatanya di tengah-tengah dada, sementara Penelope sudah duduk tenang di salah satu kursi bar."Terlalu awal untuk mabuk," kata Penelope ketika Mortimer duduk di sampingnya."Tidak ada yang terlalu awal untuk bersenang-senang, Darling. Aku bisa menemanimu ke salon esok pagi. Kita akan selalu punya waktu seharian, kau tahu.""Kalau begitu, jemput aku di rumah ayahku." Penelope meletakkan tas jinjingnya di atas meja."Di rumah ayahmu?" Mortimer melongo, seolah-olah Penelope baru saja mengatakan sesuatu yang salah."Ya, memangnya ada apa?" Penelope mengabaikan nada sinis dalam suara Mortimer lalu mengedarkan pandang ke sekeliling, mengamati suasana bar yang sepi sebelum mengembalikan tatapannya pada Mortimer lagi."Kau serius?""Aku tidak punya pilihan." Penelope mengangkat bahu. "Aku baru saja bebas hari ini. Aku lelah. Aku belum tahu apartemen mana yang akan sesuai untuk kutinggali. Lagi pula, aku tidak ingin repot-repot mengurusi barang-b
"Apa kau Dean Walcott bersedia mengambil Alice Harper sebagai istrimu yang sah? Apa kau akan mencintai, menghormati, menjaga, dan melindungi dia selama sisa hidupmu?" Suara tenang pendeta tua dengan kacamata bulannya itu terdengar lagi, ujung jubahnya yang pudar berkibar ditiup angin bulan Oktober yang menyebarkan hawa dingin dan lembap di udara kota London, rahang Alice bahkan bergemeletuk kencang kala dua orang pengiring pengantinnya membuka satu jendela geser lain di belakang mereka.Hari besar dalam hidup Alice, yang baru menginjak usia dua puluh enam tahun minggu lalu, sudah datang dan membuat debar jantungnya melompat sejak tadi. Alice yang pandangannya mulai kabur karena air mata menatap Dean dari balik veil yang menutupi wajahnya. Menunggu pria itu mengatakan sesuatu. Bagi Alice, pernikahan merupakan hal yang luar biasa. Tumbuh di tengah-tengah keluarga yang tidak memegang prinsip komitmen sama sekali tidak mengubah pemikirannya tentang 'akhir yang buruk' seperti yang telah t
Alice menutup kasar sampul tabloid miliknya. Kegiatan sederhana yang dia pikir akan mampu mengalihkan perhatiannya dari insiden dua hari lalu sama sekali tidak memberi pengaruh yang berarti. Dia bahkan sudah mengurung diri di kamar sejak kemarin sore.Setelah melihat kolom iklan dengan gambar cincin berlian dan gaun pengantin, dipenuhi renda ikal yang indah, suasana hati Alice langsung hancur berantakan. Belajar melepaskan sesuatu yang harus dilepaskan memang tidak mudah. Namun, dia toh sudah melakukannya."Dasar bajingan!" maki Alice sambil menyandarkan kepalanya di kosen jendela.Penelope Cove, adik tiri Alice yang mengaku sedang hamil, kini telah menyematkan 'Walcott' sebagai nama belakangnya. Dean yang tidak punya pilihan lain, kecuali menikahi Penelope pun lebih banyak diam di sepanjang sisa acara. Mereka lalu meninggalkan Alice di depan altar seorang diri selepas pembacaan sumpah perkawinan selesai dilaksanakan. Alice yang merasa dipermalukan langsung mengundurkan diri dari per
"Aku minta dua helai handuk bersih dan obat untuk luka lecet. Bawa ke lantai atas." Dastan melirik pada Augusta, pengurus rumah tangganya, wanita paruh baya keturunan Nigeria itu mengangguk cepat dan menutup pintu depan dengan buru-buru.Augusta langsung bergegas pergi ke dapur dan mengambil kotak obat. Pelayan itu kemudian mengantarkan semua yang diperlukan Dastan ke kamarnya. Dia mengetuk pintu kamar dengan sopan, menaruh barang-barang yang majikannya minta di atas nakas, dan keluar tanpa menanyakan identitas wanita yang dia pikir sedang tidur dalam gendongan Dastan.Setelah bunyi klik dari pintu kamar terdengar di belakangnya, Dastan lalu membaringkan Alice yang masih belum sadar di ranjang. Pakaian Alice basah dan Dastan tahu dia harus segera menggantinya. Alice benci suhu dingin, kenangnya."Sudah dua tahun dan itu waktu yang cukup lama, tetapi pesonamu masih sama seperti dahulu." Dastan berbisik di dekat bibir Alice, jemarinya menyentuh ujung rambut Alice yang lembut dan setenga
"Itu tidak akan terjadi." Alice sadar suaranya serak, tetapi dia tidak peduli."Kau salah. Jika aku ingin itu terjadi, maka pasti akan terjadi." Nada Dastan merendah berbahaya."Dastan—""Ya, Alice. Panggil aku. Panggil namaku." Dastan kembali menyeringai dan ekspresi pria itu membuat Alice takut.Bukan karena wajah Dastan yang menawan. Bukan juga karena senyumnya yang meremehkan. Namun, Alice tahu Dastan akan mendapatkan apa pun yang dia mau."Aku tidak sedang ingin bermain-main denganmu, Dastan Lancaster." Alice menyentak kedua tangannya dan menatap Dastan dengan sorot mata yang mengancam."Kau bahkan menyebutkan nama lengkapku. Haruskah aku merasa tersanjung karenanya?" goda Dastan yang lalu mendekatkan wajah mereka dan membuat Alice bisa merasakan napas Dastan yang menggelitik permukaan bibirnya. "Menjauhlah dariku," pinta Alice tegas, meskipun tubuhnya mulai gemetar di bawah kungkungan Dastan."Aku tidak bisa melakukannya, Alice. Aku tidak bisa menjauh darimu lagi. Setelah dua t
"Karena seperti yang kau tahu. Aku pria berengsek. Aku akan membuat duniamu tidak lagi sama. Menyisipkan sedikit kekacauan dan lebih banyak gairah. Bagaimana kedengarannya?" sambung Dastan menelengkan kepala lalu mendaratkan bibirnya di ibu jari kaki Alice."Kedengarannya seperti sedang mengundang masalah." Alice menggigit bibir."Masalah yang besar dan kita akan kesulitan membereskannya?"Alice mengawasi Dastan yang menjelajahi betisnya dengan jari telunjuk. Menciptakan sengat beruntun yang membuat punggungnya terangkat. "Hm. Mung-mungkin saja.""Berapa persentasenya?" gumam Dastan selepas penelusurannya mencapai paha Alice."E-entahlah. Lima puluh banding lima puluh?" jawabnya asal."Mengapa harus lima puluh banding lima puluh?" Dastan menggunakan semua jarinya untuk melabuhkan sentuhan di kulit Alice sekarang."Lima puluh pertama untuk penyesalan yang akan datang selepasnya." Suara Alice bergetar seiring dengan jauhnya jari-jari Dastan merayap ke bawah."Well, itu masuk akal. Bagai
Tubuh Alice gemetar. Dia mendongakkan kepala, membusungkan dada dengan gaya sensual, dan menggigit bibirnya kuat-kuat. Kedua tangannya terangkat ke atas, menggapai tiang ranjang, mencengkeramnya seperti sedang menarik tali pelana pada kuda.Celaka, pikir Alice. Mengira bahwa dia akan hancur berkeping-keping di bawah dominasi Dastan yang sudah lama tidak dirasakannya. Sensasinya bahkan jauh lebih hebat dan menggairahkan.Alice tidak pernah menggunakan morfin, tetapi Dastan akan jadi candu yang mematikan untuknya. Rasanya seperti menyuntikkan energi baru pada setiap pembuluh darah Alice. Kulit kontak kulit di antara mereka telah menciptakan badai besar yang berpusar pada dirinya, seolah-olah tubuh Dastan memiliki koneksi magnetis di setiap sentinya."Luar biasa, Alice. Kau cantik dan luar biasa dalam posisi ini," geram Dastan yang kembali bergerak melesakkan tubuhnya ke tubuh Alice.Daya tarik dan kepiawaian dalam bercinta merupakan kombinasi yang berbahaya. Dan Alice, yang sedang membu