Tok! tok! tok!
Suara ketukan pintu membuyarkan lamunan seorang wanita yang sedang berendam di dalam bathtub. Dia tidak mengerti kenapa layanan kamar datang sepagi ini, bukankah itu akan mengganggu tamu hotel yang belum bangun?Tok! Tok! Tok!Lagi-lagi dia bisa mendengar suara pintu diketuk, yang memang lokasi pintu masuk tidak jauh dari pintu kamar mandi. Wanita itu mencebik, menunggu pria yang semalam tidur bersamanya bangun untuk membukakan pintu.Tok! Tok! Tok!"Dasar tuli!" geram wanita itu sambil menyentakkan tangannya di permukaan air.Akhirnya kesabaran wanita itu sudah di ambang batas. Dia bangkit dari dalam bathtub dengan tubuh penuh busa sabun. Kemudian membuka sedikit pintu kamar mandi agar kepalanya bisa menyembul keluar."ZACK!? Apa kamu tidak mendengar suara ketukan itu?" teriak wanita dengan rambut keemasan yang basah kuyup sambil memegangi daun pintu."Ya, aku datang, Laura. Tenanglah!"Mendengar jawaban Zachary Newman lantas wanita yang memiliki nama lengkap Laura Adams kembali melanjutkan aktivitasnya yang sempat tertunda. Pria yang biasa dia panggil Zack berhasil merusak moodnya pagi ini. Dia urung berendam lagi tapi justru membilas tubuhnya di bawah shower.Zack yang hanya mengenakan boxer hitam dengan malas beranjak dari tempat tidurnya. Dia mengintip dari celah pintu dan melihat seorang karyawan hotel berdiri tepat di depan kamar yang mereka tempati."Untuk apa mereka kemari? Bukankah terlalu pagi untuk layanan kamar?" Zack mengerutkan dahinya.Sesaat ketika Zack membuka pintu, tiba-tiba ...BUGH!Zack terhuyung lalu terjerembap ke lantai. Dia meringis ketika mendapati setetes darah di sudut bibirnya. Belum sempat dia bangkit dari lantai marmer yang dingin, tiba-tiba sebuah tendangan secara bertubi-tubi menghantam tubuhnya kembali.Mendengar keributan dari dalam kamar mandi lantas Laura mematikan shower, lalu menyambar bathrobenya. Samar-samar dia bisa mendengar derap langkah orang-orang di luar. Beberapa detik Laura membeku, memikirkan apa yang sedang terjadi pada Zack di kamar hotel yang mereka tempati. Akhirnya dia memilih keluar untuk melihat keadaan.Napas wanita yang tubuhnya hanya dibalut bathrobe itu tersengal ketika mendapati beberapa pria di dalam kamarnya. Dua orang berpakaian serba hitam dengan tubuh kekar, juga seorang pegawai hotel hendak menutup pintu kamar yang sedang ditempatinya."AAAAAA," pekik Laura setelah melihat pemandangan di depannya.Laura membelalakkan kedua bola matanya setelah melihat kondisi Zack yang mengerang kesakitan. Pria itu babak belur dengan noda darah di sekujur tubuhnya.Laura menatap sosok pria dominan yang sedang berdiri di depan jendela kamar. Kedua tangan pria itu mengepal seolah siap menghancurkan siapapun yang berani mempermainkannya. Andai saja Laura bukan seorang wanita, mungkin dia juga akan menghajar tunangannya itu."K-kamu?! B-bagaimana mungkin?" kata Laura ketakutan. Dia menggenggam simpul bathrobe di depan pinggangnya. Keadaan yang mencekam, juga raut wajah Dean yang seolah ingin membunuh lawannya membuat Laura kesulitan berkata-kata.Dean dengan tatapan jijik memandang Laura Adams dari ujung kaki hingga kepala. Dia membalikkan wajah Zack dengan ujung sepatu pantofel sebelum melangkahkan kakinya di atas tubuh Zack yang sudah tak sadarkan diri. Tiga langkah kemudian, dia berdiri tepat di hadapan Laura."Aku tidak menyangka kau serendah itu, Laura," desis Dean dengan netra yang diselimuti kebencian."Tu-tunggu Dean, dengarkan penjelasanku!" Masih dengan tubuh gemetar, Laura berusaha meraih tangan pria yang sedang mengepal karena menahan amarah."Tidak perlu penjelasan, Laura! Aku akan membatalkan pernikahan," tegas Dean dengan suaranya yang dingin dan dalam. Perkataannya menyiratkan sebuah ancaman.Dean dan kedua pengawalnya meninggalkan Laura yang masih bergeming di tempatnya berdiri. Dia tidak menyangka tunangannya benar-benar berkhianat di belakang punggungnya.Mobil Rolls Royce hitam berhenti di depan bangunan megah Joos Tower. Sosok pria tinggi besar tampak menawan dengan stelan navy yang membalut tubuh atletisnya. Dengan langkah tegapnya Dean menyusuri lobi perusahaan. Tak satupun pegawai yang berani menyapa orang nomor satu di perusahaan itu. Melihat ekspresi gelap dan suram yang tampak di wajahnya menandakan kondisi hatinya sedang tidak baik-baik saja.Lift khusus membawa Dean David Joos pada lantai dimana ruangan CEO berada. Tepat ketika Dean keluar dari dalam lift, seorang pegawai wanita yang sedang duduk di belakang meja sekretaris segera berdiri dan sedikit membungkukkan badannya."Dimana Kevin?""Di dalam, Sir," jawab wanita itu dengan sigap.Dean membelokkan langkahnya, dan berhenti tepat di depan pintu sebuah ruangan yang berdampingan dengan ruang CEO. Dia melirik pada dua pengawal yang masih berdiri di belakangnya."Tinggalkan aku di sini!"Kedua pengawal Dean yang sejak tadi mengikutinya beranjak dari tempatnya berdiri.Kevin bangkit dari kursi ketika mendapati CEO Joos Corporation memasuki ruangannya. Melihat raut wajah kerasnya, Kevin tahu bosnya sedang menahan amarah yang siap meledak."Sial! Aku benar-benar memergoki perempuan itu dengan selingkuhannya," geram Dean. Kevin sebagai satu-satunya pendengar jelas tahu apa yang dimaksud bosnya.Dean mengusap wajahnya dengan kasar. Sebelah tangannya menyugar rambut coklat gelap yang mulai menyentuh daun telinga."Jadi, apa rencanamu selanjutnya, Dean?"Kevin merasa puas akhirnya dia bisa membuktikan pada bosnya tentang skandal tunangannya. Sudah lama Kevin curiga kalau selama ini Laura 'bermain api', tapi Dean tak pernah mempercayainya. Kini Dean telah membuktikan dengan mata kepalanya sendiri."Tidak akan ada pernikahan," desis Dean. Keputusannya mutlak dan tak bisa diganggu gugat.Melihat betapa memerahnya wajah bosnya, Kevin segera menuangkan segelas air dan menyerahkannya pada Dean. Dean mengambil gelas yang diberikan Kevin lalu meneguknya hingga tandas."Yah, sebaiknya memang begitu. Mengingat kalian beda agama. Bukankah akan lebih menenangkan jika kau menikah dengan wanita yang seiman?"Dean mengangguk membenarkan pendapat Kevin, tapi masalahnya tidak semudah itu mencari wanita muslimah yang sesuai dengan kriterianya.Kevin menghela napas, "Oh, aku hampir lupa. Kita ada pertemuan dengan pengusaha kayu asal Indonesia siang ini."*****Brukk!Beberapa dokumen berhamburan di lantai ruang meeting Joos Corporation. Suara gaduh menarik perhatian pria maskulin pemilik perusahaan itu. Dia memiliki iris mata berwarna hazel, terdapat campuran coklat terang dengan aksen hijau dan oranye."Biar kubantu."Dean membungkukkan tubuhnya meraih berkas yang berceceran di lantai. Sebuah majalah tampak menyembul di antara tumpukan berkas yang sedang dipungutnya."Ah, itu pasti punya putriku." Sultan Syah Alam dengan rambut yang sudah memutih tampak meringis melihat majalah milik putri bungsunya ada dalam genggaman rekan bisnisnya.Dean mengamati majalah yang menarik pehatiannya itu. "Boleh untukku?" Dean tersenyum ramah pada pria yang mungkin seusia ayahnya, jika saja pria berdarah latin itu masih hidup."Ya, silakan. Kurasa putriku sudah tidak membutuhkannya lagi," kata Sultan dengan canggung."Terimakasih," ucap Dean sambil menggenggam majalah yang kini menjadi miliknya. Dia lalu menyimpannya bersama tumpukan berkas di atas meja.Ryan baru saja kembali dari kamar kecil. Keponakan Sultan yang sepantaran dengan anak sulungnya itu mengambil berkas yang sedikit berantakan lalu merapikannya kembali.Sultan Syah Alam adalah pemilik perusahaan penyedia kayu mentah dari Indonesia. Dia baru saja menandatangani kerjasama dengan Joos Corporation dalam memasok kayu untuk kebutuhan konstruksi dan infrastruktur perumahan.Persaingan bisnis yang tidak sehat mendesak Dean untuk mencari pemasok kayu dari negara lain. Dean sangat tertarik dengan beberapa jenis kayu asal Indonesia, terutama kayu Ulin yang terkenal dengan kekuatannya. Bahkan bukan hanya kayu, tapi dia juga tertarik dengan salah satu foto wanita berjilbab di belakang majalah yang baru saja didapatnya."Hanna Kirana. Jakarta, Indonesia. Hmmm ... manis," gumam Dean saat ruangan sudah sepi dan dia melihat-lihat kembali majalah yang baru saja didapatnya. Nampaknya Dean terpesona dengan keunikan paras salah seorang wanita Asia yang terpampang di bagian belakang majalah itu.*****Dengan langkah lebar Hanna menyusuri jalan menuju rumahnya. Beberapa anak kecil dengan pakaian lusuh tampak gembira melihat kedatangan wanita dengan jilbab pastel itu.Hanna menyapa mereka lalu merogoh tasnya, dia memberikan sejumlah permen dan coklat pada bocah yang sedang mengerubunginya. Dia lalu meninggalkan mereka setelah masing-masing anak menerima hadiahnya. Terkadang jika sedang libur, Hanna akan mengumpulkan anak-anak itu untuk belajar di rumahnya."Assalamu'alaikum."Hanna melepas sepatunya lalu menempatkannya pada rak yang terletak di pojok teras."Wa'alaikumussalam. Han, tadi ada surat tuh?" Bu Yana menyambut putrinya yang hendak mencium tangan keriputnya."Surat? Mana?" kata Hanna penasaran."Di meja." Wanita paruh baya yang usianya menginjak setengah abad melanjutkan aktifitasnya menyetrika pakaian kedua anaknya.Hanna mengambil amplop putih yang tergeletak di atas meja kerjanya. Dia memeriksa nama si pengirim surat yang tertulis di bagian belakang amplop.'Dave Joos? US?' gumam Hanna dalam hati. Seingatnya dia tidak memiliki teman atau kenalan dari Amerika."Surat dari siapa?" Bu Yana sangat penasaran dengan surat yang baru saja diterima putri sulungnya. Pasalnya dia merasa asing dengan alamat yang tertera di surat itu."Kalau dilihat dari alamatnya, sepertinya ini dari Amerika, Ma," kata Hanna sambil sekilas menatap ibunya. Dia menyobek bagian atas amplop lalu mengeluarkan selembar foto dari dalamnya."Rayyan sudah pulang, Ma?" tanya Hanna pada ibunya.Dia teringat pada adik satu-satunya yang masih duduk di bangku kuliah. Sebelum Hanna bekerja, hidup mereka sepenuhnya bergantung pada dua ruko peninggalan ayahnya yang disewa untuk klinik umum dan apotik. Namun, tiga bulan Hanna mengajar di TK internasional dia bisa membantu kebutuhan harian keluarga dari gaji bulanannya."Belum", jawab Bu Yana singkat. Kedua matanya menangkap selembar foto di tangan putrinya."Wih, ganteng banget. Siapa ini? Model ya? atau artis?" Decak kagum Bu Yana ketika menatap sosok maskulin di dalam foto."Hanna juga nggak tahu, Ma. Seingat Hanna nggak pernah kirim surat ke Amerika," ujarnya seraya mengeluarkan selembar surat dan membuka lipatannya."Lah, kok bisa dia kirim surat ke sini?" tanya Bu Yana dengan penuh antusias.Mata Hanna menerawang, dia teringat tentang alamat dan fotonya yang dimuat di majalah muslimah beberapa bulan yang lalu. Mungkinkah majalah itu bisa sampai ke Amerika?Hanna meneguk salivanya ketika mengamati foto yang masih dipegangnya. Seumur hidup dia baru pertama kali ini menerima surat dari pria yang lebih cocok menjadi aktor Hollywood.Foto itu menampakkan sosok pria muda dengan wajah tegas dan tatapan setajam mata elang. Tampak dalam foto dia sedang duduk bersimpuh dengan kedua lututnya yang menghadap ke depan.Pria itu mengenakan kaos putih polos lengan pendek yang dipadu celana bahan berwarna krem. Rambut tipis tumbuh dari kedua cambang sampai ke dagu. Kedua tangannya saling bertaut dan diletakan di antara kedua paha. Sebuah turban berwarna putih melilit kepalanya.Hanna memperhatikan setiap detail pria di dalam foto itu, sekilas dia mendapati sepotong tato salib di lengan kanan dan tato dengan inisial huruf D di leher kirinya. Memang tidak terlalu jelas, tapi Hanna yakin itu tato.Assalamu'alaikumDear Hanna, apa kabar?Namaku Dave Joos, panggil saja aku Dave. Usiaku 29 tahun, tinggiku 5'10". Aku single dan belum pernah menikah. Aku menemukan alamat dan fotomu di sebuah majalah muslimah. Aku berinisiatif mengirimi surat untukmu supaya kita bisa menjalin pertemanan.Aku memeluk Islam sejak dua tahun yang lalu. Saat ini aku bekerja sebagai karyawan di perusahaan real estate. Aku suka menulis dan diskusi. Aku biasa memulai rutinitas pagi dengan berolahraga, berenang atau fitnes. Kadang aku lari pagi 2 mil di taman kota kecuali saat musim dingin.Hanna, cukup dariku dan jangan lupa untuk membalas suratku. Ceritakanlah tentang dirimu dan kirimkan aku fotomu jika kamu tidak keberatan. Aku tidak sabar membaca balasan surat darimu.Dave JoosAssalamu'alaikum. Hallo Readers, Terimakasih telah membaca novel "Berdamai dengan Takdir". Kisah di dalam novel ini semata-mata hanyalah fiksi belaka, mohon maaf jika ada kesamaan nama dan tempat. Namun, salah satu tokoh utama di dalam novel ini terinspirasi dari seorang sahabat pena author yang tinggal di Tampa, Florida. Meski dia seorang mualaf tapi pemahaman agamanya tidak diragukan, bahkan author yang muslim sejak lahir banyak belajar agama dari dia. Sejak tahun 2005 author lost contact dengan dia. Terakhir author melihat keberadaannya sekitar tahun 2018 di fanpage sebuah perusahaan di Tampa, tapi sayangnya author tidak berhasil mendapatkan kontaknya. Author sempat menyesal karena tidak banyak bertanya tentang perjalanan hidupnya. Padahal itu bisa author jadikan novel true story. Jadi, mohon maaf author hanya bisa menyajikan cerita fiksi hasil imajinasi author sendiri. Satu harapan author, semoga dia masih dalam keadaan sehat dan istiqomah dengan keislamannya. Salam Lit
Suasana di pemakaman pagi itu tampak suram. Sebagian besar tamu memandang penuh rasa iba pada dua anak yang sedang berdiri bersisian. Mereka baru saja ditinggal kedua orangtuanya di usia yang masih sangat belia. Alexander Slavik, anak tertua Ivander Slavik dengan Alicia Sashenka secara otomatis menjadi kepala keluarga Slavik menggantikan posisi ayahnya. Meski usianya yang baru menginjak delapan belas tahun, Alex harus terjun langsung mengurus beberapa perusahaan peninggalan Ivander Slavik. Di bawah bimbingan Mikhailov Dmitry-asisten mendiang ayahnya, Alex akan memimpin perusahaan minyak terbesar di Rusia. Beruntung selama ini Alex banyak menghabiskan waktunya belajar bisnis bersama ayahnya di tengah kesibukannya mengikuti homeschooling. Alex bersama adik kandungnya-Ruslan Slavik yang usianya hanya terpaut dua tahun maju ke sisi pusara di mana ayah dan ibunya dimakamkan secara berdampingan. Dia kemudian meletakkan rangkaian bunga tulip di atas makam kedua orangtuanya. Begitu juga Rusl
Jet pribadi milik Dean mendarat di Moskow menjelang siang. Istri dan kedua anaknya sudah memakai mantel mereka mengingat saat ini Rusia sudah memasuki musim dingin.Beberapa bodyguard dengan mantel hitam yang diutus Alex tampak berbaris di samping tiga mobil SUV hitam. Mereka menunggu Dean beserta keluarganya turun dari pesawat dan mengantarnya ke mansion Slavik."Kita akan menginap di mana?" bisik Hanna pada suaminya. Mereka berjalan melewati para bodyguard yang membungkukkan badan penuh hormat."Mansion Slavik," jawab Dean sambil mengangguk pada para bodyguard milik Alex. Hanna cukup terkejut dengan jawaban suaminya, tapi dia hanya bisa menurut meski ada rasa takut yang merasuki jiwanya. Dia membayangkan Alexander Slavik adalah sosok yang dingin dan kejam.Iring-iringan mobil itu meninggalkan bandara dan melaju di jalanan kota Moskow yang ditutupi salju putih. Mobil sempat berhenti di depan gerbang besar berwarna hitam sebelum dua orang penjaga membukakan pintu untuk mereka. Setelah
"Berikan tanganmu!" pinta Hanna pada suaminya. Dean mengulurkan tangannya, dan Hanna memasukkan tangan kanan suaminya ke dalam lengan baju. Kemudian memasukkan lengan kiri dan merapikan bagian depannya. Dia lalu menyematkan butir-butir kancing bagian depan dan pergelangan tangannya. Hanna mengambil sebuah dasi berwarna biru metalik dari dalam salah satu laci, kemudian memasangkannya di leher Dean dengan apik. "Sampai jam berapa rapatnya?" tanya Hanna sambil membuat simpul dasi di leher suaminya. Dean tampak menawan dalam balutan jas dan kemeja berwarna biru tua senada dengan dasinya. Rambut halus di dagunya menambah kemaskulinan dalam dirinya. "Aku usahakan tidak sampai malam." Dean membingkai wajah Hanna lalu memberikan kecupan yang dalam di keningnya. Dia tahu istrinya sedang mengkhawatirkan dirinya, maka dia melakukan hal itu untuk menenangkannya. "Pastikan dua bodyguard mu selalu bersamamu. Aku tidak ingin kejadian kemarin terulang lagi." Dean terkekeh mendengar nada cemas istr
Samar-samar Dean bisa mendengar suara dengung di depan bangunan tempat dia dan Noura disekap. Setelah hening beberapa saat, telinga Dean kembali menangkap suara gemerincing rantai yang membelenggu pintu.Sinar matahari yang menyilaukan masuk ke dalam ruangan hingga membuat Dean menyipitkan mata. Kedua tangannya secara refleks mengangkat untuk menghalangi cahaya yang menyorot matanya.Dean bisa melihat dua sosok anak kecil memasuki satu-satunya pintu."Menjauhlah dari perempuan itu, Dad! Kami tidak suka melihatmu dekat-dekat dengan dia," kata Ethan dengan suara tegasnya. Sedangkan Elena memberengut sambil mengepalkan kedua tangannya.Melihat betapa marahnya kedua anak itu lantas Dean mengangkat kepala Noura dan meletakkannya di lantai. Dia lalu menggeser tubuhnya agar menjauh dari wanita itu.Setelah ayahnya membuat jarak dengan Noura lantas Elena membuka tasnya, mengambil sebotol air mineral dan meminumkannya pada Dean. Ethan memeriksa kondisi ayahnya dan segera mencari alat untuk mem
"Saya sudah menemukannya." Mark berhasil memindai lokasi terakhir mobil Dean. Dia lalu menyimpannya di ponsel dan bergegas meninggalkan apartemen."Aku akan menemanimu, Mark." Nick hendak bangkit mengikuti langkah Mark."Kau terluka, Nick. Tetaplah di sini," pinta Hanna yang merasa tidak tega melihat kondisi Nick."Tidak apa-apa, Nyonya. Berbahaya jika Mark pergi sendiri. Jika terjadi sesuatu, salah satu dari kami bisa pergi mencari bantuan." Nick berusaha meyakinkan Hanna dengan argumennya."Baik. Tetaplah berhati-hati, segera berkabar jika sudah menemukan suamiku."Hanna kemudian melepas kepergian dua pengawalnya. Apartemen mulai terasa hening kembali setelah kepergian Nick dan Mark. Sedangkan Grace membenahi segala peralatan yang baru saja dipakai untuk mengobati luka Nick."Ingin kubuatkan teh, Nyonya? Atau Anda ingin istirahat dulu?" tanya Grace sebelum meninggalkan Hanna di ruang tengah sendirian."Tolong buatkan aku teh hijau, Grace. Aku masih ingin di sini menunggu dua pengawal