Varen. Dialah yang datang ke ruang perawatan. Mulanya lelaki sahabat Arash itu tampak khawatir, tapi kemudian dia bersikap tengil.“Gimana rasanya ketusuk jarum infus? Enak?” tanya Varen.“Enak, kok. Kau mau coba?” Dio balik bertanya. “Rasa apa?”“Kau sukanya rasa apa, Ren?”“Cappucino cincau.”“Bungkus! Sekarang, kau pergi ke ruang perawat jaga, lalu minta diinfus sepertiku! Jangan lupa bilang yang rasa Cappucino cincau ya.”Varen dengan tanpa sungkan menepuk lengan kiri Dio, lantas tertawa dengan kencangnya.“Karena aku baik, gimana kalau buat kau saja. Ini nih, punggung tanganmu yang satunya masih nganggur,” canda Varen. Hanya candaan biasa, tapi rupanya cukup berhasil membuat Dio jadi ikutan tertawa. Kini, tiada kecanggungan yang tergambar di sana. Suasana menghangat, diikuti sikap Varen yang melembut. “Gimana keadaanmu?” tanya Varen kemudian.“Aku masih beruntung. Hanya luka ringan. Tuh, lihat!”Luka ringan yang dimaksud Dio bukanlah luka lecet biasa, melainkan luka yang sudah
Perkara cinta, bukan hal yang melulu menyuguhkan suka cita. Gerimis hingga hujan badai pun sesekali menyapa, menoreh duka. Sebagian insan menyerah pada ujian. Sebagian lagi bertahan sembari menunjukkan posisi pantas di hadapan dia yang tersayang.Arash, dia telah memasuki semester kedua masa kuliah. Bermodal beasiswa dan uang pemberian sang ibu, semangat gadis bermata kecoklatan dengan rambut sebahu itu semakin menggebu. Tidak hanya gelar sarjana yang ingin dia gapai, melainkan juga cinta kasih sang ayah yang ternyata bukan ayah kandungnya. Fakta itu diketahui Arash tiga bulan lalu, tepat ketika ayah dan ibunya resmi berpisah. “Ibu senang karena kamu semakin mandiri, Arash. Kamu bahkan sudah memiliki banyak penggemar melalui video ulasan makanan tradisional,” ungkap Lestari, ibunya Arash yang baru tiba lima menit lalu di kos-kosan yang ditempati Arash. “Jumlah mereka memang beribu, tapi aku tetap merasa kesepian, Bu. Ibu datang dua pekan sekali. Itu pun tidak menginap, lalu pergi. S
Pantas itu pembuktian. Bukan sekadar perkataan, apa lagi hanya untuk diangan-angan. Arash justru menundukkan pandangan ketika mendapati sang pujaan hati melangkah mendekat. Sikap yang dia tunjukkan sungguh jauh berbeda dibandingkan gema cinta dalam hatinya. Ingin hati menyambut dengan senyuman, tapi yang tercipta justru sikap biasa yang seolah tidak memedulikan keberadaan sang pujaan.“Bisa pegangkan kameraku sebentar?” tanya Dio usai berdiri tepat di hadapan Varen.Arash memerhatikan Varen dan Dio dalam diam. Usai Varen memegang kamera digital, Dio merogoh tas ransel, lantas mengeluarkan syal rajut berwarna keabuan. Syal rajut itu lekas dia berikan kepada Varen.“Terima kasih,” ucap Varen sembari menerima syal, dan bergegas mengembalikan kamera digital milik Dio.Syal itu adalah milik Dio. Varen sengaja meminjamnya karena iseng, demi bisa mengetahui reaksi Arash. Di luar dugaan Varen, Arash justru bersikap pasif ketika ada Dio. Momen temu antara Dio dan Varen berlangsung cepat. Tid
Katanya, perasaan cinta itu anugerah. Tetapi, kenapa bisa sepilu ini bila bertepuk sebelah?Nafsu makan Arash seketika hilang. Bahkan, nasi lalapan ayam yang sudah dipesankan oleh Varen dengan begitu saja diabaikan. Arash, dia baru saja bertemu sang ayah di warung lalapan. Sungguh pertemuan yang tidak disengaja, bahkan ada Dio pula.Seharusnya pertemuan itu membawa bahagia. Nyatanya, Arash justru diabaikan oleh sang ayah, oleh Dio pula. Pertanyaan Arash sama sekali tidak dijawab. Padahal, dia hanya bertanya kabar sang ayah dan mau makan menu apa. Lebih menyakitkan lagi ketika kedua lelaki yang dicintai olehnya itu kompak memilih pindah tempat makan usai menolak memberi jawaban.“Orang kalau lagi dicuekin, dia pasti sebal. Apa lagi nasi lalapan ayam. Lama-lama itu ayam bisa hidup lagi cuma buat ngomel,” celetuk Varen lantas kembali mengunyah.“Candaanmu sama sekali tidak lucu, Ren.”“Yee, siapa yang sedang bercanda. Aku cuma sedang berusaha membuatmu berbicara.”Kurang lebih sudah lim
Menu nasi lalapan ayam yang telah tandas, menjadi penegas waktu yang semakin terbatas. Varen harus pulang demi bisa segera memberikan nasi bungkusnya pada sang ibu di rumah. Sementara Arash, dia harus segera menuju salah satu toko kue. Dia perlu mengambil beberapa rekaman video ulasan tentang ‘Kue Cucur’.Arash memiliki banyak penggemar di sosial media, salah satunya lantaran video-video ulasan tentang kue tradisional. Semua bermula dari keisengan ketika menjadi mahasiswa baru. Kini, keisengan itu justru menjadi pundi-pundi rupiah meski banyaknya belum seberapa.“Anak muda zaman now wajib cobain kue tradisional yang satu ini, nih. Kue Cucur gula merah. Sekali coba, bikin kamu terus-terusan ingin mengunyah. Yuk, coba! Lokasinya aku sematkan di akhir video, ya.”Tiga puluh menit yang begitu menyenangkan bagi Arash. Tidak ada naskah. Tidak ada pula arahan apa pun sebelumnya. Kalimat-kalimat ulasan meluncur dengan ringan dari mulut Arash yang sudah tampak seperti pengulas jajanan dengan b
Tangisan Arash tidak berlangsung lama. Hanya beberapa detik dia tunjukkan di depan Dio dan sang ayah. Bahkan, satu senyuman sempat disuguhkan sebelum akhirnya dia pergi dari kafe, tanpa diikuti oleh satu pun di antara dua lelaki yang dia cintai.Langkah kaki Arash mulanya terayun pelan. Tatapan matanya seperti orang-orang pada umumnya, tapi dalam hatinya membuncah perasaan yang tak karuan rasanya. Langkah kaki gadis yang tengah diselimuti kesedihan itu pun dipercepat. Dia sama sekali tidak berniat menggunakan jasa ojek apa lagi angkutan umum. Hanya satu yang dia fokuskan, yakni segera sampai di kos-kosan tanpa menggunakan kendaraan. Karena, bekas air mata di wajahnya sangat rentan memicu kekhawatiran dari orang yang menyaksikan.Tiba-tiba saja, klakson mobil dari arah belakang membuat Arash terkejut sampai spontan menghentikan langkah. Begitu dia menengok ke arah pengemudi, barulah dia mengubah ekspresi dan siap memaki.“Vareeeen! Keluar kau!” seru Arash sembari melangkah mendekati m
Arash menarik lengan Varen hingga ke tepian jalanan besar, dekat gerbang utama kampus. Kurang lebih jarak yang sudah ditempuh adalah seratus meter. Sejauh itu pula Varen hanya manurut saat Arash menarik lengan kirinya. Dia hanya diam, tanpa menyuarakan protes seperti biasanya. Padahal, Arash tak henti-hentinya mengomel di sepanjang perjalanan.“Berhenti dulu!” tegas Varen sembari melepas cengkraman tangan Arash di lengan kirinya.Varen tidak membiarkan tangannya bebas begitu saja. Dia justru ganti menggenggam tangan Arash, bahkan kedua tangan gadis itu digenggam. “Kau ngapain, sih, Ren?” Arash melepas genggaman tangan Varen.Di luar dugaan, Varen justru melakukan tindakan lain. Dia ganti menyentuh kedua pipi Arash. “Varen! Kau nggak sopan!” protes Arash seraya mundur beberapa langkah ke belakang.“Diam di situ sebentar!” titah Varen, dan kali ini dia menyentuh bagian kening Arash. “Kau demam,” ungkapnya kemudian.Arash menepis lengan Varen, lantas memalingkan wajahnya ke sebelah kan
Tubuh yang semula hanya terasa hangat, kini bertambah suhunya. Tenaga yang semula terjaga, seketika melemah. Akan tetapi, Arash berusaha menahan dirinya hingga angkutan umum sampai di depan gang kos-kosan. Arash berjalan gontai, lantas berhenti untuk mengatur nafasnya yang mulai terasa berat. Suhu tubuhnya pun semakin meningkat. Kaki-kaki jenjang terbalut celana jeans keabuan lekas diayunkan kembali hingga tepat di seberang kos-kosan. Ada sebuah warung yang juga menjual obat-obatan sederhana. Arash membeli sebotol air mineral, sebungkus roti tawar, juga beberapa tablet obat penurun panas.“Lagi nggak enak badan, ya, Mbak?” tanya ibu pemilik warung.Arash hanya tersenyum, lantas mengangguk ringan. Rasa-rasanya tubuhnya semakin melemah sampai-sampai tak sanggup berucap kata.“Tunggu sebentar, ya. Ibu punya sesuatu untukmu,” pinta ibu pemilik warung.Sebenarnya tubuh Arash sudah tidak kuat, tapi dia tetap menghargai ibu pemilik warung. Sekitar lima menit lamanya dia berdiri di depan wa