Malam begitu cepat menyapa, menyisakan banyak kisah di sepanjang hari yang terasa lelah. Arash tidak tertidur. Dia tengah mengecek jadwal mata kuliah untuk besok. Sempat terbersit dalam hatinya untuk urung izin kuliah lagi, tapi tiba-tiba niatan itu berganti karena teringat dengan kesehatan diri.“Andai ibu tau kalau aku sakit, pasti dia akan memaksaku untuk rawat inap di rumah sakit meski hanya flu. Ibu tidak boleh tahu,” ucap Arash lirih ketika teringat ucapan sang ibu.Bu Lestari, saat ini beliau hanya memiliki Arash sebagai orang terdekat dan satu-satunya yang begitu dipedulikan. Itu sebabnya dia giat bekerja demi mendapat banyak uang guna membantu kebutuhan kuliah Arash. Akan tetapi, yang Arash butuhkan bukan hanya uang, melainkan juga kasih sayang. Bahkan, Arash sering merasa kesepian.“Aku harus bagaimana? Aku sayang ayahku meski dia bukan ayah kandungku. Melihat sikap Tante Kristal yang seperti itu, aku jadi tidak yakin kalau ayah bisa bahagia. Masih lebih baik ketika bersama
Zen mendapati meja makan kosong tanpa makanan. Satu-satunya yang tertutupi oleh tudung saji hanyalah bungkus nasi goreng sisa semalam. Ya, benar-benar hanya tinggal bungkus kertas minyaknya saja. Isinya telah tandas dihabiskan Kristal sejak semalam. “Kau tidak memasak?” tanya Zen begitu melihat sang istri keluar dari kamar mandi.“Malas,” jawab Kristal singkat.“Malas karena tidak ada uang? Bukankah semalam aku sudah membagi 50% keuntungan penjualan es tebu?”Kristal menatap tidak suka ke arah suaminya. Dia tidak suka dibantah. “Perhitungan sekali, sih? Semalam yang kau berikan padaku masih belum cukup untuk mengganti jatah harian yang tidak kau berikan selama seminggu penuh.” Yang dimaksud Kristal adalah ketika Zen mengalami krisis keuangan karena bisnisnya bangkrut. Kedai kopi yang kini mendapat keuntungan banyak karena penjualan es tebu, menjadi satu-satunya bisnis yang memberi harapan bagi Zen untuk mengembalikan kondisi keuangannya yang sempat jatuh. Sayang sekali, respon Kri
Dio menepis tangan Vina dengan kasar. Dia sungguh tidak nyaman. “Ah, kau nggak asik banget, sih. Yang romantis dikit, dong. Niatku baik, nih, mau bikin tenang,” protes Vina yang tak segan memberondong kata sembari menampilkan wajah jutek.“Bomat! Bod*oh amat!” sahut Dio tanpa melihat ke arah Vina.Sementara Dio masih bersikap cuek dan kukuh pada pendirian, Vina bersedekap tangan. Dia mencoba memahami keadaan, khususnya memahami keadaan Dio yang seolah tengah banyak pikiran.“Kalau misalkan hanya Arash yang aku beri tahu, gimana?” tanya Vina tiba-tiba.Dio langsung menoleh sembari melebarkan bola mata.“Jangan lakukan!”“Ah, ternyata memang benar. Kau memang ada apa-apa sama si Arash sia*lan itu!”“Jaga bicaramu, Vin! Kau tidak tahu apa-apa!”“Aku memang tidak tahu apa-apa, tapi satu hal yang aku tahu, kau sering memperhatikan Arash dari kejauhan dan diam-diam.” Bidikan telak. Tebakan Vina tidak asal. Semua itu berdasar pengamatan, dan benar. Buktinya, ekspresi wajah Dio menunjukkan
Varen. Dialah yang datang ke ruang perawatan. Mulanya lelaki sahabat Arash itu tampak khawatir, tapi kemudian dia bersikap tengil.“Gimana rasanya ketusuk jarum infus? Enak?” tanya Varen.“Enak, kok. Kau mau coba?” Dio balik bertanya. “Rasa apa?”“Kau sukanya rasa apa, Ren?”“Cappucino cincau.”“Bungkus! Sekarang, kau pergi ke ruang perawat jaga, lalu minta diinfus sepertiku! Jangan lupa bilang yang rasa Cappucino cincau ya.”Varen dengan tanpa sungkan menepuk lengan kiri Dio, lantas tertawa dengan kencangnya.“Karena aku baik, gimana kalau buat kau saja. Ini nih, punggung tanganmu yang satunya masih nganggur,” canda Varen. Hanya candaan biasa, tapi rupanya cukup berhasil membuat Dio jadi ikutan tertawa. Kini, tiada kecanggungan yang tergambar di sana. Suasana menghangat, diikuti sikap Varen yang melembut. “Gimana keadaanmu?” tanya Varen kemudian.“Aku masih beruntung. Hanya luka ringan. Tuh, lihat!”Luka ringan yang dimaksud Dio bukanlah luka lecet biasa, melainkan luka yang sudah
Perkara cinta, bukan hal yang melulu menyuguhkan suka cita. Gerimis hingga hujan badai pun sesekali menyapa, menoreh duka. Sebagian insan menyerah pada ujian. Sebagian lagi bertahan sembari menunjukkan posisi pantas di hadapan dia yang tersayang.Arash, dia telah memasuki semester kedua masa kuliah. Bermodal beasiswa dan uang pemberian sang ibu, semangat gadis bermata kecoklatan dengan rambut sebahu itu semakin menggebu. Tidak hanya gelar sarjana yang ingin dia gapai, melainkan juga cinta kasih sang ayah yang ternyata bukan ayah kandungnya. Fakta itu diketahui Arash tiga bulan lalu, tepat ketika ayah dan ibunya resmi berpisah. “Ibu senang karena kamu semakin mandiri, Arash. Kamu bahkan sudah memiliki banyak penggemar melalui video ulasan makanan tradisional,” ungkap Lestari, ibunya Arash yang baru tiba lima menit lalu di kos-kosan yang ditempati Arash. “Jumlah mereka memang beribu, tapi aku tetap merasa kesepian, Bu. Ibu datang dua pekan sekali. Itu pun tidak menginap, lalu pergi. S
Pantas itu pembuktian. Bukan sekadar perkataan, apa lagi hanya untuk diangan-angan. Arash justru menundukkan pandangan ketika mendapati sang pujaan hati melangkah mendekat. Sikap yang dia tunjukkan sungguh jauh berbeda dibandingkan gema cinta dalam hatinya. Ingin hati menyambut dengan senyuman, tapi yang tercipta justru sikap biasa yang seolah tidak memedulikan keberadaan sang pujaan.“Bisa pegangkan kameraku sebentar?” tanya Dio usai berdiri tepat di hadapan Varen.Arash memerhatikan Varen dan Dio dalam diam. Usai Varen memegang kamera digital, Dio merogoh tas ransel, lantas mengeluarkan syal rajut berwarna keabuan. Syal rajut itu lekas dia berikan kepada Varen.“Terima kasih,” ucap Varen sembari menerima syal, dan bergegas mengembalikan kamera digital milik Dio.Syal itu adalah milik Dio. Varen sengaja meminjamnya karena iseng, demi bisa mengetahui reaksi Arash. Di luar dugaan Varen, Arash justru bersikap pasif ketika ada Dio. Momen temu antara Dio dan Varen berlangsung cepat. Tid
Katanya, perasaan cinta itu anugerah. Tetapi, kenapa bisa sepilu ini bila bertepuk sebelah?Nafsu makan Arash seketika hilang. Bahkan, nasi lalapan ayam yang sudah dipesankan oleh Varen dengan begitu saja diabaikan. Arash, dia baru saja bertemu sang ayah di warung lalapan. Sungguh pertemuan yang tidak disengaja, bahkan ada Dio pula.Seharusnya pertemuan itu membawa bahagia. Nyatanya, Arash justru diabaikan oleh sang ayah, oleh Dio pula. Pertanyaan Arash sama sekali tidak dijawab. Padahal, dia hanya bertanya kabar sang ayah dan mau makan menu apa. Lebih menyakitkan lagi ketika kedua lelaki yang dicintai olehnya itu kompak memilih pindah tempat makan usai menolak memberi jawaban.“Orang kalau lagi dicuekin, dia pasti sebal. Apa lagi nasi lalapan ayam. Lama-lama itu ayam bisa hidup lagi cuma buat ngomel,” celetuk Varen lantas kembali mengunyah.“Candaanmu sama sekali tidak lucu, Ren.”“Yee, siapa yang sedang bercanda. Aku cuma sedang berusaha membuatmu berbicara.”Kurang lebih sudah lim
Menu nasi lalapan ayam yang telah tandas, menjadi penegas waktu yang semakin terbatas. Varen harus pulang demi bisa segera memberikan nasi bungkusnya pada sang ibu di rumah. Sementara Arash, dia harus segera menuju salah satu toko kue. Dia perlu mengambil beberapa rekaman video ulasan tentang ‘Kue Cucur’.Arash memiliki banyak penggemar di sosial media, salah satunya lantaran video-video ulasan tentang kue tradisional. Semua bermula dari keisengan ketika menjadi mahasiswa baru. Kini, keisengan itu justru menjadi pundi-pundi rupiah meski banyaknya belum seberapa.“Anak muda zaman now wajib cobain kue tradisional yang satu ini, nih. Kue Cucur gula merah. Sekali coba, bikin kamu terus-terusan ingin mengunyah. Yuk, coba! Lokasinya aku sematkan di akhir video, ya.”Tiga puluh menit yang begitu menyenangkan bagi Arash. Tidak ada naskah. Tidak ada pula arahan apa pun sebelumnya. Kalimat-kalimat ulasan meluncur dengan ringan dari mulut Arash yang sudah tampak seperti pengulas jajanan dengan b