Sudah tiga hari semenjak perdebatan pagi itu, aku tidak menyentuh makanan yang dimasakkan Shane. Tiap kali aku lapar, aku akan pergi keluar dan makan di restoran terdekat. Kalau aku sedang tidak ingin keluar, aku akan berusaha memasak dengan bantuan tutorial di Youtube atau TikTok.
Di hari pertama dan kedua, Shane tampak tidak peduli. Sampai akhirnya di hari ketiga, ia mulai jengah dengan sikapku. Tiap kali ia berangkat kerja, aku sengaja masih mengurung diri di kamar. Sarapan yang ia masakkan tidak kusentuh sama sekali. Makan siang dan makan malam yang ia pesankan di restoran mahal kemudian dikirim ke penthouse kami juga tidak pernah kumakan. Semua makanan itu hanya kuletakkan di meja makan. Aku sedang duduk di ruang tengah dengan kamera yang tersorot padaku ketika Shane pulang kerja. Hari ini beberapa barang yang kupesan baru saja tiba. Seperti biasa, aku akan merekam ketika aku membongkar paket-paket yang semua isinya adalah mainan-mainan viral. Biasanya Shane hanya akan melewatiku, tapi kali ini ia berhenti dan bertolak pinggang di sampingku. "Mau sampai kapan kamu kayak gini?" tanyanya lelah. Aku mendongak dan mengerutkan kening. "Apa? Aku gak boleh beli-beli mainan lagi?" Shane mendengus. "Kamu tahu bukan itu maksudku. Aku tanya mau sampai kapan kamu mogok makan?" Aku berpura-pura sibuk dengan paket-paketku. "Aku gak mogok makan." "Tapi kamu gak pernah sentuh makanan yang aku sediain. Selama tiga hari ini kita selalu membuang-buang makanan, Mel." "Ya udah. Gak usah masak atau beliin aku makanan. Mulai sekarang urus urusan masing-masing aja," sahutku. Shane terdiam lama di tempatnya. Dia masih menatapku tak suka. Aku yakin dia masih ingin mendebatku, tapi ia terlampau lelah. "Aku tahu aku selalu merepotkan kamu. Kamu harus kerja mengurus perusahaan sementara aku seharian hanya di rumah. Aku gak pernah ngapa-ngapain dan segala sesuatu bergantung sama kamu," ucapku berusaha tenang. Aku tidak ingin menangis dan terlihat lelah di hadapan Shane. "Kamu gak suka sama aku dan pernikahan ini tidak dilandasi cinta sama sekali. Selamanya hanya ada Erina di hatimu dan selamanya juga aku gak akan pernah bisa sebaik dia di matamu. Karena itu, ayo kita hidup masing-masing saja. Kamu gak perlu ngurusin aku lagi. Aku udah sembilan belas tahun. Aku sudah bisa belajar mandiri." Aku mendongak untuk melihat Shane. Entah ini khayalanku atau bukan, aku bisa melihat tatapannya sedikit melembut. "Aku..." Shane membasahi bibirnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Aku minta maaf. Ucapan aku beberapa hari lalu memang keterlaluan." "Gak perlu. Itu semua kenyataan yang harus aku terima." Aku berdiri. Suasana hatiku memburuk, membuatku enggan untuk membongkar paketku malam ini. Barangkali akan kulakukan esok hari saat Shane tidak ada. Shane memperhatikan aku mengemas paket-paketku ke dalam sebuah box besar. Setelah semuanya sudah tersusun di dalam box, aku menarik box itu ke arah ruang penyimpanan. Karena isinya banyak, bebannya lumayan berat. Shane refleks mendekat. "Biar aku yang pindahin." Aku menggeleng. "Gak perlu. Aku bisa sendiri." Shane akhirnya terdiam dan pergi ke kamarnya. Setelah meletakkan box di ruang penyimpanan, aku pergi ke kamarku. Aku melirik ponselku yang kuletakkan di meja sebelah ranjang. Layar benda itu menyala dan menampilkan nama 'Mama'. Entah kenapa firasatku buruk soal ini, jadi aku memutuskan untuk tidak mengangkat panggilan mama. Suasana hatiku sedang tidak baik-baik saja dan aku tidak ingin memperparah keadaan. Akhirnya panggilan itu berhenti dan berubah menjadi panggilan tak terjawab. Aku segera berbaring di ranjang dan memejamkan mata. Baru beberapa detik aku memejamkan mata, pintu kamarku diketuk. "Apa?" tanyaku setengah berteriak. "Keluar dulu. Mamamu nelpon," sahut Shane. Aku mengerang kesal sebelum akhirnya menendang bantal dan bangkit dari tempat tidur. Aku berjalan ke pintu dan membukanya. Shane berdiri tepat di depan pintu. Ia menatapku sebentar sebelum akhirnya memberi kode agar aku mengikutinya ke ruang tengah. Kami duduk bersebelahan di sofa. Shane mengaktifkan loudspeaker ponselnya. "Ma, ini aku udah bareng Melody," ucapnya pada mama. "Kenapa gak ngangkat telepon Mama, Mel?" tanya mama terdengar kesal. "Ketiduran, Ma," dustaku. Kudengar helaan nafas mama di ujung sambungan. "Kebetulan karena kamu dan Shane lagi bersama, ada yang ingin Mama bicarakan." Aku dan Shane menegakkan punggung kami secara bersamaan.Melody tersenyum selagi menatap lembar terakhir album foto yang berada di pangkuannya. Sudah dua puluh dua tahun berlalu semenjak foto itu diambil. Foto yang tertempel di dalam album itu memang terlihat sedikit usang, tapi dia masih memiliki file foto yang bisa ia cetak ulang kapanpun ia mau. Hanya saja, foto yang pertama kali dicetak inilah yang paling berkesan baginya. Di foto terlihat wajahnya ketika baru memasuki usia delapan belas tahun. Bibirnya sedikit merengut selagi mengenakan gaun pengantin yang indah. Bahkan untuk ukuran masa sekarang, gaun itu tidak terlihat kuno sama sekali. Dan di sebelahnya terdapat Shane yang sudah cukup matang di usia dua puluh sembilan tahun. Rautnya tak kalah masam dibandingkan Melody. Namun, siapa yang sangka kalau pernikahan yang diawali dengan paksaan itu kini menjadi pernikahan yang tidak akan pernah mereka lepaskan sampai kapanpun. Masih terekam jelas tiap kejadian yang pernah Melody lalui. Di usianya yang masih sangat muda, dia harus me
Melody tidak ingat berapa kali ia dan Shane bercinta semalaman. Pukul sembilan pagi, dia terbangun dengan rasa ngilu di sekujur tubuhnya. Biasanya Melody bangun paling lambat pukul enam pagi semenjak tinggal bersama Seira. Tadi dia sempat terbangun pukul tujuh, tapi matanya masih terasa berat sehingga memutuskan untuk lanjut tidur. Dengan susah payah, Melody membuka matanya. Tubuhnya masih terbalut dengan selimut yang hangat. Seingat Melody ketika ia jatuh tertidur karena kelelahan, dirinya tidak sempat mengenakan pakaian. Namun kini, sebuah gaun tidur terpasang di tubuhnya. Bisa dipastikan, Shane yang memakaikan gaun itu padanya. Diliriknya tempat tidur Shane yang sudah kosong. Saat Melody membuka mata pukul tujuh tadi, Shane sudah tidak ada di sana. Pria itu pasti tetap bangun di waktu biasa dia bangun. Tidak peduli selarut apapun dia tidur atau selelah apapun, Shane selalu bangun pagi. Melody menyingkap selimut kemudian bangun dari tidurnya. Ia meraih jepit rambutnya kemudian
Selagi menunggu Shane yang masih berada di kamar mandi, Melody tetap duduk di sisi ranjang. Kakinya bergerak-gerak gelisah. Melody tidak ingin mengingat kapan pertama atau terakhir kali dia pernah melakukan ini karena baginya itu bukan bagian yang penting dari masa lalunya. Sepuluh menit kemudian, Shane keluar dari kamar mandi dengan sehelai handuk yang melilit di pinggangnya. Shane sempat tersenyum pada Melody ketika dia berjalan memasuki ruang ganti. Melody berdecak. "Ngapain harus pakai baju lagi sih?" gumamnya tak habis pikir. "Walaupun nanti berakhir dilepas, setidaknya harus pakai pakaian dulu," sahut Shane yang rupanya mendengar gumaman Melody. Melody hanya memutar matanya. Kegugupannya sirna sudah, digantikan dengan kekesalan. Padahal tadi Shane terlihat begitu bersemangat. Sekarang pria itu malah menghabiskan waktu lumayan lama di ruang ganti. Melody sudah membuang jauh-jauh ketakutannya agar bisa melayani Shane selayaknya pasangan suami istri. Namun seakan sengaja
Dalam perawatan yang tepat, lengan Shane pulih hanya dalam beberapa hari. Pria itu tidak pernah mengeluh tiap kali dokter datang untuk membersihkan dan merawat lukanya. Shane benar-benar totalitas karena ia ingin segera pulih dan menyelesaikan urusan-urusan yang tertunda selama beberapa hari belakangan. Hari ini mereka akhirnya bisa pindah ke rumah baru karena tangan Shane sudah bisa digerakkan dengan lebih leluasa. Shane sudah bertekad untuk tidak menunda-nunda lagi karena dia sudah tidak sabar menjalankan rumah tangganya dengan Melody. Sejak menikah, Shane merasa pada dasarnya dia dan Melody hidup di atap yang terpisah. Shane tinggal di apartemen yang baru dia beli sedangkan Melody tinggal di mansion milik keluarganya. Shane bisa saja pindah ke tempat Melody, tapi dia tidak bisa melakukannya. Mansion itu bukan miliknya, melainkan milik keluarga Kusuma. Membawa Melody ke apartemennya juga dirasa kurang bijak karena Seira suka bermain di halaman yang luas. "Rasanya kayak gak lag
Entah sudah berapa kali Shane melirik Melody yang sejak kemarin pagi mendiaminya. Melody hanya berbicara ketika ada dokter dan perawat yang memeriksa Shane atau orang perusahaan yang mengunjunginya. Sore ini Shane sudah diperbolehkan pulang dan sekarang mereka tengah duduk bersampingan di kursi penumpang sementara supir tengah mengemudikan mobil. Jam pulang kerja menyebabkan jalanan menjadi macet sehingga mereka menghabiskan waktu lebih lama di mobil dalam situasi yang canggung. Shane menahan diri untuk tidak langsung bertanya pada Melody karena dia tahu jika dia sampai salah bicara saja sudah bisa dipastikan akan terjadi perang. Keadaan Melody yang kini sudah hampir mengingat semua kejadian yang pernah dilupakan juga membuat Melody mulai mendapatkan sifat aslinya kembali. Shane tidak masalah akan hal itu, tapi menghadapi Melody yang asli memang membutuhkan ekstra kesabaran. Shane mencoba mengingat-ingat kembali apa dia telah melakukan tindakan yang tidak sesuai atau salah bicar
Matahari belum terbit ketika Shane terbangun. Posisi tidurnya masih sama seperti semalam. Berbaring miring ke arah kanan. Sementara Melody, dia masih terlelap dengan posisi membelakangi Shane. Shane menahan diri untuk tidak menarik wanita itu ke dalam dekapannya. Karena jika dia berbuat demikian, kemungkinan lukanya kembali terbuka dan mengakibatkan proses penyembuhan yang lebih lama. Dengan sedikit meringis, Shane duduk. Ia meraih ponselnya yang terletak di atas meja nakas. Ada beberapa pesan yang belum terbaca. Shane membuka pesan-pesan itu satu persatu. [Tasya: Saya sudah menjadwalkan ulang seluruh agenda Pak Shane selama dua minggu ke depan. Dan sesuai permintaan Bapak, untuk sementara Pak Yogas yang menggantikan Bapak untuk mengawasi proyek-proyek yang sedang berjalan.] [Yogas: Woi! Seenaknya saja ngasih beban berat ke aku tanpa konfirmasi dulu! By the way, lekas sembuh. Si Leo bocah brengsek itu gak bakal aku ampuni kali ini.] Shane menghela nafas membayangkan Yogas pa