Share

4

Author: Elysian
last update Last Updated: 2025-03-02 17:06:58

Shane segera menyeka dagunya kemudian menyodorkan tangannya padaku. "Siniin ponselnya."

"Mami, Mas Shane mau ngomong lagi," ucapku seraya mengembalikan ponsel itu pada Shane.

Rahang Shane menegang pertanda ia benar-benar sedang kesal. "Mami udah janji untuk gak memaksakan aku dan Melody untuk punya anak sampai kami siap. Itu syarat dari aku sebelum aku menyetujui perjodohan ini."

"Iya, iya. Mami tahu. Tapi kan ini udah setahun, Shane. Lagian juga dengan punya anak, kamu pasti bakal lebih bahagia."

Shane mengurut keningnya. "Cukup, Mi. Aku mau lanjutin sarapan. Aku sudah nurutin Mami dan Papi untuk menikah dengan pilihan kalian. Aku harap kalian juga tidak mengingkari kesepakatan kita di awal."

Aku hanya terdiam sampai Shane memutuskan sambungan. Setiap kali Shane membicarakan pernikahan kami, rasanya menyakitkan. Padahal aku sendiripun dipaksa dalam perjodohan ini. Seharusnya aku bereaksi sama seperti Shane. Makin ke sini, aku merasa ada yang salah dengan diriku.

Tidak. Aku tidak boleh membiarkan perasaan itu muncul. Begini saja sudah menyesakkan, apa lagi kalau aku harus merasakan cinta bertepuk sebelah tangan pada laki-laki yang jelas tidak menginginkanku.

"Jadi... pertemuan kamu dan Erina itu hanya kebetulan?" Aku memberanikan diri untuk bertanya sembari memotong omeletteku.

Shane mengangguk singkat.

"Memangnya gak bisa kalian hanya bertukar sapa dan gak perlu makan bareng?"

Shane menautkan alisnya, pertanda ia tidak suka dengan ideku. "Memangnya kenapa kalau aku makan bareng Erina?"

"Mas--"

Shane segera memotong ucapanku. "Apa lagi yang perlu aku korbankan demi kamu, Mel?" tanyanya dingin.

"Aku sudah pernah cerita tentang berapa lama aku berkencan dengan Erina kan? Dua belas tahun bukan waktu yang singkat. Selama itu juga baik aku dan Erina mati-matian untuk mendapatkan restu orang tua kami," ungkap Shane penuh penekanan. "Coba kalau kamu yang berada di posisinya. Bertahun-tahun bertahan, tetapi hasilnya nihil. Gimana perasaanmu?"

Aku menggigit bibir bawahku. Jika sudah seperti ini, rasanya aku kalah telak.

"Erina perempuan mandiri. Gak pernah sekalipun aku terbebani selama kami bersama. Aku gak harus selalu was-was tiap kali kami berjauhan karena aku tahu dia selalu bisa diandalkan. Begitu aku menikah dengan kamu, duniaku berubah. Aku harus selalu memikirkan apa kamu sudah makan atau belum. Apa kamu baik-baik saja di rumah. Semua itu karena kamu hanya anak manja yang tumbuh besar di keluarga kaya raya. Itu yang orang tuaku tidak pernah pertimbangkan. Mereka hanya melihat Erina sebagai gadis miskin yatim piatu."

Aku mengepalkan tanganku. Semua ini mulai terasa tidak adil bagiku.

"Aku selalu ingin belajar masak, tapi kamu yang ngelarang. Aku selalu mau bantu bersih-bersihin penthouse ini, tapi kamu gak pernah membiarkan aku belajar. Lalu sekarang kamu mengungkit semuanya?" balasku tak terima.

Shane mendengus. "Karena aku tahu semua itu percuma. Kamu gak dilahirkan untuk hal-hal semacam itu. Lagian aku gak mau kamu malah mengacaukan semuanya dan ujung-ujungnya aku juga yang repot."

Aku tertawa hambar. "Kamu sengaja kan?"

"Apa?" tanya Shane bingung.

"Kamu sengaja membiarkan aku seperti ini. Kamu ingin membuat aku selalu bergantung ke kamu biar kamu selalu punya cara untuk membanding-bandingkan aku dengan Erina."

"Terserah kamu mau berpikir seperti apa. Yang jelas, kenyataannya memang ada beberapa orang yang harus selalu dilayani. Toh sebenarnya aku gak keberatan melakukan semua itu asalkan kamu juga tahu diri untuk gak membebani aku dengan hal-hal semacam melarang aku untuk bertemu atau makan dengan siapa."

Nafsu makanku hilang seketika. Aku membanting alat makanku ke lantai lalu berdiri.

"Melody!" tegur Shane.

Aku tak peduli. Aku mendorong kasar piring dan gelasku hingga gelas terjatuh dan hampir menggelinding ke lantai kalau bukan Shane yang dengan sigap menangkap benda itu.

"Berhenti bertindak seperti anak kecil, Melody!"

Aku menatapnya penuh kekesalan. "You are the one who always call me 'kiddo', right?" (tr: kamu yang selalu memanggilku anak kecil bukan?)

Setelah berucap demikian, aku berjalan meninggalkan ruang makan dengan menghentak-hentakkan kakiku. Aku mendorong apapun yang kutemui sepanjang perjalananku ke kamar. Hingga akhirnya aku tiba di kamar, aku masuk kemudian membantingkan pintu kuat-kuat.

Benar yang diucapkan Shane. Tidak ada yang dapat diharapkan dari seorang anak manja sepertiku. Aku susah mengendalikan amarahku karena terbiasa hidup dalam tekanan selama tinggal bersama orang tuaku. Aku tahu pola asuh orang tuaku merupakan salah satu faktor yang membuatku seperti ini. Mereka begitu tegas padaku, tetapi juga begitu memanjakanku untuk urusan makanan, pakaian, dan sebagainya. Akhirnya begitu aku tinggal bersama Shane yang tidak begitu peduli padaku, aku menjadi bertingkah seenaknya.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   55

    Perjalananan dari resort menuju rumah sakit membutuhkan waktu selama hampir satu jam lamanya. Selama di dalam taksi, aku tidak bisa tenang sama sekali. Semua kemungkinan-kemungkinan terburuk hilir mudik di kepalaku. Ponselku di dalam tas terus bergetar, namun aku tak berani membukanya. Aku takut kalau itu adalah kabar buruk. Aku tidak ingin mendengar kabar buruk sementara aku masih dalam perjalanan. Kalaupun ada hal tak diinginkan yang terjadi, lebih baik aku tahu setelah tiba di sana. Aku yakin Papa akan baik-baik saja. Mana mungkin Papa meninggalkanku sendiri 'kan? Papa sangat menyayangiku. Setelah perceraianku dengan Shane, dan kini Mama juga pergi, aku hanya memiliki Papa. Tuhan, aku tidak meminta banyak. Ketika Shane tidak menginginkanku, aku rela mundur dari kehidupannya tanpa menuntut padaMu untuk membuat Shane mencintaiku. Lalu ibuku sendiri memilih untuk pergi bersama laki-laki pilihannya. Aku ikhlaskan dia jika itu adalah kebahagiaannya. Tapi tolong, jangan ambil Papa.

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   54

    Tepat setelah lima hari Papa dirawat di rumah sakit, Mama kembali ke kota ini. Aku tidak mengizinkan Mama untuk datang ke rumah sakit, melainkan aku meminta untuk bertemu di tempat lain. Aku tidak mau kondisi Papa memburuk karena bertemu Mama yang merupakan pemicu utama sakitnya Papa. Kami memutuskan untuk bertemu di resort Pantai Putih. Aku tiba lebih dulu dan memutuskan untuk duduk di teras resort sambil menunggu Mama. Sepuluh menit kemudian, Lita datang mengantar Mama. Begitu melihatku, Mama langsung memelukku dan menangis tersedu-sedu. Aku hanya terdiam, bingung harus bereaksi seperti apa. Aku merindukan Mama, namun di sisi lain, rasa kecewaku lebih besar. Aku memberi isyarat pada Lita untuk meninggalkan kami. Perlahan, aku melepaskan pelukan Mama. Aku berpindah tempat duduk hingga kini aku duduk di seberang meja. Ekspresi Mama terlihat semakin sedih karena aku terang-terangan menjauhinya. "Kenapa Mama melakukan ini semua?" tanyaku tanpa ekspresi. Mama mengusap air matan

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   53

    Sudah tiga hari semenjak Papa dirawat di rumah sakit. Keadaan Papa berangsur-angsur membaik. Setidaknya menurutku begitu karena Papa kini sudah bisa membuka mata dan merespon tiap kali kuajak bicara. Papa juga mulai berusaha untuk berbicara meski aku berkali-kali melarangnya untuk memaksakan diri. Aku tidak mau Papa semakin tertekan dan merasa harus dituntut sembuh secepatnya. Dokter bilang, Papa harus menjalani terapi nantinya agar dapat berbicara dan beraktivitas lagi. Sambil mengurus Papa di rumah sakit, aku tetap pergi ke kampus. Jena banyak membantuku dengan membuatkan daftar tugas-tugas dan mengurutkannya sesuai deadline. Jena juga berbaik hati mencatat semua materi yang disampaikan dosen untukku ketika aku kelelahan dan tertidur di kelas atau saat aku harus melewatkan kelas karena mengurusi Papa. Sepulang dari kampus, Pak Arman lah yang selalu menjemputku dan mengantarkanku ke rumah sakit. Aku tidak pernah pulang ke rumah selama tiga hari belakangan. Aku mempercayakan rumah

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   52

    Aku pulang ke rumah naik taksi setelah menolak penawaran Shane untuk mengantarku pulang. Bisa-bisa Papa marah lagi padaku kalau sampai Papa tahu aku semalaman tidak pulang karena menginap di tempat Shane. Saat aku berjalan mendekati gerbang mansion, dua satpam yang sedang berjaga segera berlari ke arahku. "Nona Melody akhirnya pulang." Aku berhenti dan menatap mereka bingung. "Ada apa?" tanyaku. "Tuan masuk rumah sakit, Nona." Kakiku terasa lemas seketika. Sekuat tenaga aku berusaha untuk tetap berdiri meskipun tubuhku mulai bergetar. "Kapan? Papa kenapa?" "Sekitar tiga puluh menit yang lalu, Nona. Pagi tadi Bu Nani menemukan Tuan terjatuh di halaman belakang." Aku menyentuh kepalaku. "Kenapa gak ada yang hubungi saya?" "Tuan melarang kami, Nona. Tuan bilang barangkali Nona menginap di hotel tempat pesta Tuan James diselenggarakan. Tuan berpesan agar kami cukup memberitahu Nona saat Nona tiba." Tidak ada gunanya aku marah sekarang. Aku harus segera tiba di rumah sa

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   51 (Chaos)

    Aku terbangun dengan pening luar biasa. Untuk duduk pun rasanya tak sanggup. Dengan mata masih tertutup, aku menyentuh kepalaku. Aku menggeliat tak nyaman di atas ranjang yang begitu empuk. Bayang-bayang mimpi tadi malam terasa begitu nyata. Mulai saat ini aku harus lebih berhati-hati dengan alkohol. Aku tidak mau berhalusinasi liar lagi terutama tentang Shane. Perlahan, kubuka mataku. Aku mengerjap beberapa kali, berusaha beradaptasi dengan cahaya matahari yang masuk melalui dinding kaca yang menampilkan pemandangan langit biru di pagi hari. Tunggu... Dinding kaca? Langit biru? Mansion milik keluargaku hanya terdiri dari dua lantai. Kamarku berada di lantai dua dan tidak menggunakan dinding kaca, melainkan hanya sebuah jendela besar yang tirainya selalu tertutup rapat jika aku masih tidur. Tidak akan ada pelayan yang berani masuk ke kamarku tanpa seizinku. Aku mengedarkan pandanganku. Seiring pengelihatanku semakin jelas, aku kini yakin bahwa ini bukan kamarku dan ini j

  • Beri Kesempatan Untuk Pernikahan Kita   50 (Ilusi?)

    Suaraku sedikit bergetar di awal lagu karena aku masih merasa gugup. Untungnya aku mulai bisa mengendalikan diriku hingga perlahan, suaraku menjadi stabil. Sudah lama aku tidak bernyanyi, terutama di depan banyak orang seperti ini. Aku rindu saat di mana aku selalu tampil percaya diri di depan teman-teman sekolahku. Aku rindu dengan ekspresi kagum dan tepuk tangan dari mereka. Aku merindukan kehidupanku yang dulu. "I wish I could lay down beside you, when the day is done... and wake up to your face against the morning sun..." Tatapanku bertemu dengan mata Shane tanpa sengaja. Biasanya aku tidak pernah benar-benar menatap mata orang ketika aku sedang berada di panggung karena itu hanya akan membuatku gugup. Ajaibnya ketika melihat Shane, aku malah merasa tenang. Erina masih duduk di sisinya, namun aku merasa Shane seolah sedang sendiri. Ia hanya memperhatikan aku dan bukannya Erina yang menjadi pendampingnya malam ini. Pernikahan kami tidak dibangun di atas lahan yang rata,

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status