Susana di kampus seketika rame, masing-masing mahasiswa bercanda ria sambil sesekali tertawa cekikikan, khususnya bagi kaum mahasiswi ketika membahas cowok masing-masing.
Selain itu, ada juga sebagian mahasiswa yang terlihat murung, karena berbagai macam persoalan. Mulai dari masalah keterbatasan hidup yang menuntut harus serba ada, masalah tetek-bengek yang menyangkut mata pelajaran. Hingga masalah asmara antara mahasiswa sesama mahasiswa, dan masalah asmara antara mahasiswi dengan dosen. Di antara ratusan para pejuang masa depan tersebut terlihat Roy yang tengah berjalan menyusuri koridor penghubung antar ruangan kampus. "Roy, kamu gak sakit kan?" Roy menoleh ke belakang, ketika tepat di belakangnya, entah sejak kapan Amella tengah berjalan mengikutinya. "Mel, kamu mengagetkan aku aja. Aku gak apa-apa kok, cuma butuh istirahat aja sepertinya," jawab Roy sambil berhenti sejenak agar berjalan bersisian dengan Amella. Amella menatap Roy seperti menyelidiki sesuatu, saat Roy belum menyadari keberadaannya di belakang, Amella memperhatikan Roy tidak seperti biasanya. Lemah dan lesu, penampilan kusut, dan mata sayu. Amella sempat berpikir kalau Roy telah terpengaruh oleh serbuk putih seperti garam yang telah banyak merusak masa depan para penerus bangsa ini. Namun dugaan buruk itu segera ditepis Amella, sejauh pengetahuannya, Roy tidak pernah mendekati barang haram tersebut. "Ya, sudah. Aku antar kamu pulang, sampai di kos langsung tidur," ujar Amella sambil mempercepat langkahnya mengimbangi langkah Roy. Sembari berjalan beriringan, Roy dan Amella tersenyum pada teman-temannya yang kebetulan menyapa. Hingga langkah kaki mereka tiba di samping mobil Amella di parkiran kampus. "Roy, aku gak mau kamu ikut-ikutan terpengaruh oleh teman-teman yang gak bener itu. Ingat janji kita, ingat cita-cita yang telah kita rencanakan sejak lama. Maaf, bukannya aku tidak percaya kamu, tapi perubahan sikap kamu yang membuat aku berpikir seperti ini." Setelah duduk di balik kemudi, Amella berkata sambil menoleh pada Roy yang duduk di sebelahnya. Jantung Roy berdegup lebih kencang, karena Amella masih membahas keadaannya yang seperti kekurangan nutrisi, walaupun sebenarnya memang seluruh nutrisi di tulang sumsumnya terkuras habis di sedot Sandra. Tante muda tersebut seperti makan tidak kenal kenyang saat di ranjang bersama Roy. "Aku masih ingat janji kita, Mel. Dan aku tidak akan mengingkarinya, kamu harus percaya itu. Sungguh, aku hanya kurang istirahat aja," jawab Roy meyakinkan mahasiswi cantik yang punya segalanya, yang telah ia pacari semenjak duduk di bangku SMA tersebut. Karena setelah berpacaran beberapa tahun, telah banyak harapan dan impian yang telah mereka rencanakan, semuanya untuk kebahagiaan mereka nantinya. "Aku percaya, aku hanya mengingatkan orang yang aku cintai supaya tidak ikut terpengaruh dengan hal-hal yang bisa menghancurkan mimpi kita." Amella menoleh sekilas pada Roy, karena ia harus tetap fokus mengemudi, saat jalanan mulai padat dan sedikit macet karena jam kuliah mereka berakhir pada jam-jam sibuk. Jarak dari kampus ke tempat kos-kosan Roy memang hanya beberapa ratus meter saja, namun pada jam sibuk seperti ini butuh waktu bagi Amella beberapa saat lamanya mengemudi untuk tiba di kos-kosan tersebut. "Aku gak mau kehilangan kamu, hmm udah tidur rupanya. Roy ..." Amella ingin meneruskan ucapannya, namun ketika ia menoleh, ternyata Roy sudah tidur dengan bersandar pada jok mobil. Ingin rasanya Amella membangunkan, namun ucapannya terputus ketika melihat wajah sang kekasih yang terlihat sangat kusut dan lelah. Amella tidak tega mengganggu Roy dalam tidurnya. Setelah melewati perempatan lampu merah, Amella membelokkan mobilnya ke arah deretan kos-kosan yang di tempati Roy bersama puluhan mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah. Rata-rata mahasiswa yang menempati kos-kosan tersebut berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah, sama seperti Roy. Sejenak Amella memandangi deretan kos-kosan yang boleh di bilang sedikit berantakan, maklum penghuninya para mahasiswa yang kurang peduli dengan kata rapi. Amella menoleh pada Roy yang masih tidur pulas. "Roy, bangun. Udah sampai lho, di kamar aja kamu lanjutkan tidurnya." Sambil menggoyangkan pundak Roy, Amella memanggil supaya Roy terbangun dari tidurnya. "Emm, udah sampai? Huaahh." Roy mengerjapkan matanya sambil menguap saat Amella membangunkan tidurnya yang rasanya baru beberapa menit saja. "Udah sampai dari tadi, sana lanjutkan tidurnya di kamar aja," jawab Amella sembari memandangi wajah Roy dengan tatapan teduh menenangkan. Roy membalas tatapan itu, ketika pandangan mereka bertemu pada satu titik, ada getar halus dalam dada membuat rasa rindu di hati keduanya untuk melepaskan rindu itu untuk sesaat. "Mampir dulu, Ayuk," jawab Roy sambil membuka pintu mobil di sampingnya, lalu berjalan ke pintu samping Amella. "Gak kangen apa?" tanya Roy sambil merunduk supaya wajahnya sejajar dengan wajah Amella yang masih duduk di balik kemudi mobil. "Apaan sih?!" jawab Amella gugup sambil mendorong wajah Roy yang sangat dekat ke wajahnya ketika dari jarak yang begitu dekat, Roy mengedipkan matanya menggoda sang kekasih. Roy tertawa kecil, ketika Amella keluar dari mobil dengan wajah bersemu merah. Jujur, baru satu kali dua puluh empat jam tidak mendengar suara dan tidak ada kabar dari Roy, ia sudah sangat rindu. Roy tidak mempedulikan mahasiswa lain yang usil menggoda Amella, malahan dengan senyum bangga Roy menggandeng sang kekasih. Hal tersebut memancing suara riuh sambil bersuit-suit teman-temannya di kos-kosan tersebut. "Berisik banget!" cetus Amella sembari mendaratkan cubitan kecil di pinggang Roy yang sengaja memanas-manasi teman-temannya. Roy membuka sebuah ruangan kecil yang terdapat di kos-kosan tersebut sebagai kamarnya yang ia tempati sendiri. Roy masuk dan Amella mengekor dari belakang, setelah Roy kembali mengunci pintu dari dalam, dan ... "Cuupp, emmmhh," Amella sedikit berontak ketika bibir mungilnya sudah dalam pagutan bibir Roy. Dalam dekapan Roy, Amella masih mencoba berontak untuk melepaskan lumatan bibir Roy pada bibirnya. Perlahan Amella akhirnya terbuai dengan cumbuan sang kekasih. Amella yang tadinya mencoba untuk berontak, perlahan kedua lengannya melingkar di leher Roy, membalas lumatan bibir Roy yang melahap bibirnya. "Roy, oohhh," Amella melenguh pendek ketika ciuman Roy berpindah pada leher jenjangnya. Amella mendongakkan kepalanya menikmati setiap inci lehernya jenjangnya di jilat dan di kecup Roy dengan buas. Amella membalas memeluk Roy dengan erat sambil mendesis saat kedua gundukan kembar di dadanya dalam remasan tangan Roy, sementara kecupan dan jilatan serta ciuman pada leher jenjangnya tak di hentikan Roy, membuat kedua kaki Amella terasa lemas seakan ia tidak sanggup lagi berdiri. "Roy, kamu sudah berjanji tidak akan memetik bunga sebelum mekar. Ingat janji kamu Roy, ahhhh." Tak puas hanya sekedar meremas, tangan Roy menelusup kebelakang, melepas pengait agar pembungkus gundukan kembar di dada Amella juga terlepas. Amella berbisik lirih dengan suara berat mengingatkan Roy untuk tidak melakukannya sekarang, karena mereka sudah berjanji untuk saling mempersembahkan kesucian sebagai hadiah terindah pada malam pertama mereka nantinya setelah menikah. "Mel, aku sayang kamu." "Roy, hhmmm." Roy berbisik di telinga Amella sebelum kembali menyumpal mulut Amella dengan kecupan. Amella bergumam sambil menggelinjang ketika dua gundukan kembar di dadanya di remas Roy tanpa pembatas apapun lagi karena penutup daging kenyal tersebut sudah terlepas. "Roy, aku mohon jangan sekarang." Sambil menggeliat meresapi setiap sentuhan tangan Roy di dadanya, Amella berbisik lirih. Sambil masih tetap berdiri dalam kamar, napas mereka memburu seperti serigala kehausan di padang tandus. Untuk beberapa saat suasana dalam kamar tersebut sepi, hanya hembusan napas memburu yang terdengar. Dua sejoli tersebut saling pagut, saling mencengkram bagian-bagian sensitif pada tubuh mereka masing-masing. "Mel, maafkan aku sayang," bisik Roy sambil memeluk Amella dengan erat ketika mendengar suara Amella terisak. Karena sudah merasa gagal mempertahankan janji mereka untuk sama-sama suci hingga malam pertama, Amella menangis sebelum Roy benar-benar melakukannya sekarang, namun Amella tidak kuasa menolak karena ia juga sedang menginginkannya. "Aku sayang kamu, Roy." Hanya kata itu yang bisa di ucapkan Amella sambil menangis. Roy menghentikan remasan tangannya di dada Amella, kemudian mereka saling memeluk dengan erat sambil berdiri. "Aku tidak akan merusak kesucianmu sebelum ijab qobul ku ucapkan bersama Papa kamu di hari pernikahan kita." Roy berbisik di telinga Amella, membuat air mata mahasiswi cantik tersebut semakin luruh. Suasana dalam kamar benar-benar hening, Roy dan Amella saling memeluk dengan erat. Amella menelusupkan wajahnya ke dada bidang sang kekasih, sementara Roy membelai rambut Amella sambil mengecup pucuk kepalanya. "Sekarang kamu pulang ya, aku mau tidur," ujar Roy sembari memegangi kedua pipi Amella yang menengadah memandanginya. Amella mengangguk pelan, namun pandangan matanya tertuju pada seberkas tanda merah di leher Roy ketika kemeja yang di kenakan Roy berantakan saat mereka bergumul dalam ciuman barusan. Seingat Amella tanda merah di leher Roy bukan bekas kecupan darinya, namun Amella masih ragu. Mungkin saja dalam keadaan tidak sadar ia telah menggigit leher Roy tanpa sengaja. Bersambung ...Kondisi kesehatan papa Arumi semakin drop, meski Arumi memohon dengan berurai air mata, sang papa tetap menolak untuk dirujuk ke rumah sakit yang lebih besar."Tunggu papa sembuh dulu, saya akan memenuhi permintaan papa," ujar Roy, ia duduk di sisi brangkar sambil mengusap lembut lengan papa Arumi. Namun pria uzur yang semakin lemah tersebut menggeleng lemah, dari sudah matanya mengalir tetesan bening. Bukan karena rasa sakit ataupun belum siap ajal menjemputnya, namun terbayang anak semata wayang. Arumi bakal tinggal sebatang kara jika Roy tidak segera menikahinya."Mas Roy, boleh ikut saya sebentar, ada sesuatu yang ingin saya jelaskan," ujar dokter, saat melihat kondisi papa Arumi semakin lemah."Baik, dok," jawab Roy, sekilas ia melirik pada Arumi yang terus-menerus menangis di sisi brangkar berhadapan dengan Roy, di batasi oleh brangkar yang di tempati papanya. Kemudian Roy mengikuti dokter ke ruang sebelah."Mas Roy, kondisi pasien saat ini sudah tidak bisa ditolong, kangker par
"Liburan ini kita jalan, yuk. Entah kemana gitu, suntuk berteman tabel dan rumus mulu." Saat bersantai di taman kampus, Alya tiba-tiba nyeletuk punya ide. Ia lirik sang kekasih dengan mesra, berharap mendapat dukungan."Boleh juga tuh, gimana Roy?" jawab Enda, sembari menoleh pada Roy yang lagi asik scrol layar ponselnya."Mau jalan kemana? Mel, punya ide gak?" Roy mengalihkan perhatiannya dari layar ponsel, ia menoleh pada Amella yang juga tengah mabar sama teman-teman satu hobinya, main game kesukaannya."Jangan tanya aku, kamu ada waktu gak? Kalau aku oke-oke aja maunya kemana," jawab Amella, tanpa mengalihkan perhatiannya dari layar ponselnya. Game yang ia mainkan lagi seru-serunya.Roy, Enda dan Alya saling lempar pandang saat melihat Amella yang lagi seru-serunya main game. Sampai-sampai gadis tersebut seperti ingin meremas ponselnya yang ia genggam dengan kedua tangan, sembari menatap layar ponsel tanpa berkedip."Yahhh, kalah! Kalian sih, ganggu konsentrasi aku aja, kalah aku
"Duh, nyonya menir udah nungguin rupanya," bisik Roy dalam hati, begitu muncul dari balik pintu, Sandra sudah menunggu sembari memeluk kedua tangannya di depan dada. Tatapan Sandra yang tajam berdiri sambil bersandar di dinding membuat Roy mencelos."Roy, aku mau bicara!" Seru Sandra, saat Roy melipir langsung masuk kamar belakang untuk menghindari tatapan tajam Sandra. Mendengar suara Sandra yang memanggil dengan setengah berteriak, Roy menghentikan langkahnya, kemudian ia berbalik."Gak perlu teriak, bicara pelan aku masih bisa dengar," jawab Roy setelah berbalik menghadap Sandra."Dari mana kamu seharian, udah malam gini baru pulang?" sembari melangkah mendekati Roy, Sandra bertanya. Dari sorot matanya, Tante muda tersebut tengah memendam emosi yang siap meledak. Pergi dari pagi, sudah malam Roy baru pulang ke rumah."Ke kampus," jawab Roy singkat, ia berusaha setenang mungkin saat Sandra semakin dekat. Jujur, karena baru sekali ini Sandra terlihat begitu marah, Roy sedikit menciut
"Calon menantu papa, supaya Arumi tidak lagi menjadi sumber masalah antara papa dan mama," ujar Arumi memperkenalkan Roy pada papanya. Pria pensiunan aparatur sipil negara tersebut terenyuh menatap Arumi, kemudian tatapannya beralih pada Roy yang diam tertunduk. Ucapan Arumi mengandung sindiran halus pada papanya, dan Roy tidak berani ikut campur sebelum diminta."Papa minta maaf, Arumi. Bukannya kamu yang menjadi sumber masalah pertengkaran papa dan mama, itu semua terjadi karena papa membela kamu saat dimarahi. Kamu dengar sendiri kan? Tidak ada yang baik tentang kamu, saat mama kamu marah. Sekarang dia sudah pergi, dan papa berjanji tidak ada kesempatan untuk dia kembali," jawab papa Arumi, menatap anak perempuan satu-satunya.Tak kenal waktu, kadang tanpa sebab dan alasan. Mama Arumi yang merupakan ibu tirinya sering marah, hingga menyebabkan pertengkaran demi pertengkaran dengan papanya. Puncak dari semuanya, Arumi kabur dari rumah dan bertemu dengan Roy di sebuah tempat hiburan
"Senang banget nonaktifkan ponsel! Gak, aku gak akan ganggu kamu, mas. Aku tahu kalau kamu sibuk terus." Untuk pertama kalinya Arumi merengut, mungkin bawaan janin yang mulai berkembang dalam rahimnya. Roy hanya menjawab dengan mengucek pucuk kepala Arumi, sembari tersenyum."Kita pergi sekarang," ujar Roy, begitu melihat sebuah tas Arumi yang sudah berada di atas ranjang dalam kamar penginapan yang telah di tempati Arumi selama hampir dua bulan."Mas, antarkan aku pulang aja. Perempuan sundel itu udah pergi ninggalin papa, kasihan papa di rumah sendirian gak ada yang urus," jawab Arumi, ia minta diantar pulang kerumahnya.Roy tentu saja melongo mendengar permintaan Arumi, padahal selama ini Arumi selalu menolak untuk diantar pulang, meskipun Roy sudah membujuk dengan berbagai cara. Hingga terjadilah kecelakaan yang tak disengaja, yang menyebabkan Arumi hamil."Perempuan sundel? Siapa? Mama kamu?" tanya Roy, saat bicara terlihat Arumi begitu membenci istri papanya."Bukan mamaku, tapi
Hampir tengah malam Roy baru pulang, biasanya Sandra menunggu di balik pintu untuk memberikan kejuta, berlanjut hingga ke ranjang. "Apakah Sandra udah tidur kali ya?" tanya Roy dalam hati, setelah membuka pintu dengan kunci cadangan, suasana dalam rumah terlihat sepi.Selama tinggal satu atap dengan Sandra, supir pribadi hanyalah kedok untuk mengelabuhi suaminya. Padahal yang sebenarnya Sandra dan Roy sepasang kekasih tanpa ikatan pernikahan, Sandra menjadikan Roy selingkuhan untuk memuaskan hasratnya yang tak ia dapatkan dari sang suami."Mungkin beneran udah tidur, mendingan aku tidur, capek!" gumam Roy dalam hati, setelah mendekatkan telinganya ke pintu kamar Sandra, tidak ada suara apapun. Roy masuk kamarnya, yang sebelumnya selalu tidur satu selimut dengan Tante muda tersebut.Tidak butuh waktu lama, Roy akhirnya terlelap dalam tidurnya. Capek raga, capek pikiran. "Kabarilah orang tuamu, dalam waktu dekat saya ingin kalian bertunangan dulu, setelah wisuda kalian akan segera meni