Masuk"Sial ... aku ingat sekarang kapan dia minta tanda tangan ini," gumam Azzan berbicara pada dirinya sendiri.Bayangan ketika Airin menumpuk berkas Alvaro yang katanya sekolah butuh tanda tangan dari orang tua kembali menyeruak dalam ingatannya. Azzam berdiri terpaku menyesali kebodohannya yang tidak teliti membaca berkas tersebut. Karena Airin menumpuk di atasnya bersama berkas yang lain sehingga tidak jelas kalau itu adalah surat perceraian.Tangan Azzam gemetar memegang surat perceraian itu. Tulang-tulangnya seakan lemas seketika. Semua yang terjadi hari ini seakan seperti mimpi. Ia memegang erat flasdisk yang di temukannya bersama berkas surat perceraiannya. Dengan gugup dia masukkan flasdisk itu ke dalam laptopnya. Tampilan pertama saat video berputar adalah pernikahan bahagia dirinya dan Airin ketika itu. Janji pernikahan yang pernah di ucapkannya di depan penghulu. Untuk saling setia baik dalam suka dan duka.Tayangan berikutnya adalah ketika bersama-sama dengan Alvaro yang ber
"Rin, tolong buatin aku teh!" seru Azzam sembari mengundurkan dasinya. Dua hari ini dia pergi ke luar kota bersama Lidya. Tentu saja tanpa sepengetahuan Airin.Tak ada jawaban.Azzam pun bangkit dari tempat duduknya. Bukannya mencari Airin dia justru ke kamar Alvaro. Ia sudah rindu sekali pada putra semata wayangnya."Varo Sayang ... kamu sudah tidur belum?" tanya Azzam dari balik pintu. Tak ada sahutan juga, akhirnya dia putuskan untuk membuka pintunya. CeklekMatanya menyapu ke seluruh ruangan. Tak ada siapapun di sana. Kamar masih tertata rapi, baik seprei maupun mainan Varo masih berada di tempatnya.'Mungkin dia bersama Airin di kamar,' batin Azzam.Ia beralih ke kamarnya, dan saat membuka pintu tak ada siapapun di sana. Sama seperti di kamar Alvaro. Perasaan Azzam tak enak. Jantungnya berdetak tak menentu. Ia berganti membuka pintu kamar mandi tak ada siapapun juga. Lantai kamar mandi masih kering. Seolah sudah beberapa hari tidak di pakai.Azzam segera keluar kamar mandi. Hal
Aku mendorong tubuh Fikar ke belakang, saat Alvaro tiba-tiba berteriak mencariku."Mama!" serunya.Kesempatan ini tidak ku sia-siakan Langsung saja aku menyingkir dari hadapan Fikar."Iya Sayang, kamu sudah bangun?" tanyaku.Varo melihat ke sekeliling, ia merasa aneh dengan suasana kamarnya."Mah, ini kita dimana?" Aku bingung harus menjawab apa. Tapi sebisa mungkin Varo tidak boleh tahu dulu kalau aku tengah minggat dari rumah."Sayang, kita ini sedang menginap di rumah temen Mama. Karena Mama mau ajak Varo jalan-jalan. Papa nggak bisa ikut kamu tahu sendiri kan Papa sangat sibuk akhir-akhir ini," ucapku beralasan.Ia tidak sepenuhnya mendengarkanku. Matanya sibuk melihat ke sekeliling kamar."Kamar ini sangat kecil, Ma. Beda sama kamar Varo selama ini," ucapnya."Kalau kamu mau, Om akan bawa kamu pindah ke rumah yang lebih besar. Kamu mau?" tawar Fikar."Mau Om!" Jawab Varo dengan mata berbinar."Kalau begitu, ayo sekarang kita pindahan," ajak Fikar. Tatapannya justru berkedip ke
Sore itu aku menjemput Alvaro dari sekolah. Dari kejauhan kulihat tubuh mungilnya berlari kecil sambil mengayunkan tas. Wajahnya ceria, polos, sama sekali tidak tahu apa yang sedang terjadi di antara aku dan papanya.“Mama!” serunya sambil memeluk pinggangku erat.Aku tersenyum, meski hatiku terasa sesak. “Ayo, Sayang. Kita pulang.”Di dalam mobil, Alvaro terus bercerita tentang teman barunya, tentang nilai gambarnya yang katanya dipuji bu guru. Aku hanya mengangguk, mengusahakan senyum setiap kali ia melihat ke arahku.Padahal… ia tidak tahu bahwa hari ini bukan perjalanan pulang seperti biasanya.Ia tidak tahu bahwa aku akan membawanya pergi jauh dari rumah dan papanya.Dada ini terasa berat. Tangan yang memegang setir bergetar ringan. Aku menarik napas panjang, menyembunyikan kekacauan dalam hatiku.“Mama kenapa? Kok diam?” tanya Alvaro sambil memiringkan kepala."Nggak apa-apa Sayang, Mama hanya capek habis kerja," ucapku pelan. Lanjut Alvaro bercerita tentang teman-temannya deng
Guru kelas Alvaro menatapku dengan bingung. “Bu Airin, kenapa ya Alvaro harus pindah? Padahal dia baru mulai sekolah beberapa bulan. Dia juga sudah mulai dekat dengan teman-temannya.”Aku menelan ludah, mencoba menahan getaran di suaraku. “Iya, Bu… saya juga sebenarnya berat.” Kutundukkan kepala, menyembunyikan mataku yang mulai panas. “Tapi… rumah tangga kami sedang ada masalah. Ada beberapa hal yang membuat kami harus pindah, dan mau tidak mau Alvaro juga harus ikut.”Guru itu terdiam sejenak, raut wajahnya berubah menjadi penuh simpati. “Saya mengerti, Bu. Yang penting Alvaro tetap baik-baik saja. Dia anak yang pintar dan cepat beradaptasi.”Aku mengangguk pelan. “Terima kasih, Bu."“Nanti sore saya akan menjemput Alvaro ketika pulang sekolah,” ucapku dengan suara yang berusaha ku buat setenang mungkin.Guru itu mengangguk pelan. “Baik, Bu Airin.”Aku menarik napas dalam-dalam sebelum menambahkan, “Tolong… jangan beritahu Alvaro dulu, ya Bu. Saya ingin dia tahu perlahan-lahan nanti
Malam pun tiba, sudah saatnya aku melancarkan rencanaku. Sengaja berkas tanda tangan perceraian itu ku tumpuk bersama berkas sekolah anakku. Sehingga ketika menandatanganinya Mas Azzam tidak akan menyadarinya.Jantungku berdegup lebih cepat dari biasanya.Sudah saatnya, pikirku.Ketika Mas Azzam keluar dari kamar mandi sambil mengeringkan rambutnya dengan handuk, aku pura-pura sibuk merapikan map berisi dokumen-dokumen itu."Ada yang harus ditandatangani, Mas. Ini soal sekolah Alvaro," ucapku seolah tak terjadi apa-apa. Nada suaraku dibuat senatural mungkin, padahal telapak tanganku basah oleh keringat gugup.Azzam mendekat tanpa curiga sedikit pun. Ia mengambil map itu dari tanganku lalu duduk di tepi ranjang, membuka lembar demi lembar.Aku berdiri di sampingnya, jari-jariku saling menggenggam erat. Hanya satu tanda tangan itu… satu goresan pena yang akan mengubah seluruh hidupku.“Yang ini ditandatangani juga?” tanya Azzam santai, matanya hampir tak meneliti isi dokumen karena foku







