Apakah aku sudah gila?
Mungkin. Lebih tepatnya aku tak tahu. Terlalu takut untuk menarik sebuah kesimpulan di sini. Tapi yang jelas, rasa-rasanya aku mengalami perubahan tiga ratus enam puluh derajat dari biasanya. Serius. Banyak berubah tapi tak kuasa untuk mencegahnya. Salah satunya, jadi lebih sensitif dan emosional.
Bahkan, kadang-kadang ada kecenderungan untuk temperamental padahal hanya berhadapan dengan hal-hal kecil seperti Lova yang merengek minta jalan-jalan di sekitar rumah. Ya, jujur ya … Kalau sudah seperti itu, aku sampai menggendongnya dengan kasar sambil menggerutu dalam hati. Belum hal-hal yang lain, seperti Bumi yang tak sengaja menumpahkan es tehnya atau Laut yang terlalu banyak menggunakan sampo pada saat keramas. Sudah jelas aku mengomel panjang kali lebar oleh karenanya sampai-sampai Langit menegur dengan mimik wajah canggung. Percayalah, semua itu hal yang belum pernah terjadi sebelumnya. Seluruh orang di dunia ini juga t
Sudah lima bulan berlalu dari sejak menikah dengan Sari, Mas Tyas tidak pernah pulang ke rumah. Pernah sekali, itu pun hanya sebentar. Mengambil pakaian, laptop, kamera dan tas kerjanya lalu pergi lagi. Sedihnya, dia pulang saat Lova masih tidur sedangkan mas-masnya sudah berangkat ke sekolah, termasuk langit. Setelah kubujuk mati-matian, akhirnya mau juga dia kembali ke pesantren. Dengan berat hati dan terpaksa, aku membolehkan Laut mengantarkannya dengan berboncengan sepeda motor. Bagaimana lagi? Lova rewel berat waktu itu, tak mau ditinggal sebentar saja. Tak mau lekang dariku walaupun hanya satu detik.Mas Tyas tak banyak bicara denganku waktu itu. Nyaris tak berbicara sama sekali, malah. Tapi aku tak mungkin diam, mumpung dia pulang. Sesakit dan seremuk apa pun hati ini, berusaha untuk mengabaikannya. Demi anak-anak. Mereka jauh lebih penting dari pada setiap rasa pedih yang mendera."Kamu nggak kangen anak-anak, Mas?" tanyaku sambil menjajarinya berdiri di
Berbeda dengan kepulangannya yang dulu, sekitar tiga minggu setelah menikah dengan Sari, kali ini Mas Tyas terlihat lebih baik. Artinya tidak memasang wajah masam, cemberut atau tak peduli lagi. Dia malah tersenyum tipis sambil menatapku sebentar---sekitar tujuh detik---saat aku membukakan pintu ruang tamu. Anehnya, semua sikapnya itu justru menciptakan sebentuk rasa muak yang begitu besar dalam benak. Ingin rasanya memukuli Mas Tyas sampai babak lemur. Tapi tentu saja itu tak pernah terjadi, karena Payung Teduh ini bukan perempuan yang kasar, pada dasarnya."Kamu, Mas?" entah mengapa, pertanyaan itu yang terlontar begitu saja dari mulutku, "Kenapa kamu pulang, Mas? Ada apa?"Mas Tyas menghentikan langkah, persis di depan pintu yang berhadapan dengan tangga ke lantai dua. Memutar tubuh dengan ringan dan melemparkan senyum tipis lagi padaku. Karena masih merasa aneh dengan sikapnya---rasa muak pun masih mengisi benak---aku duduk di kursi kayu ruang tamu. Menguliti
Tidak!Ini tak bisa dibiarkan lagi. Tanpa memberikan isyarat dalam bentuk apa pun sebelumnya, tiba-tiba Langit pulang dari pesantren. Bukan pulang karena liburan tetapi sudah tidak mau kembali belajar di sana lagi. Bukan hanya pakaian, bahkan semua perlengkapannya pun dibawa pulang. Termasuk sandal jepit yang khusus untuk di pesantren.Tolong jangan tanyakan bagaimana perasaanku saat ini! Tak tergambarkan baik dengan kata-kata maupun coretan."Lha, kamu kenapa e Mas Langit?" tanyaku masih dengan kesadaran yang belum penuh, "Ada masalah apa, Mas?"Anak sulungku yang selama ini kugadang-gadang menjadi Ustadz atau Da'i itu hanya menggeleng-gelengkan kepala. Memejamkan mata rapat-rapat seolah menahan sesuatu yang sangat berat dan menyakitkan. Bibir terkatup rapat dan baru kusadari wajah profesor kecilku itu pucat, berkeringat. Aku yang mati-matian berusaha untuk mengendalikan diri sekarang, jangan sampai menambah beban pikirannya. Takkan ada asap jika t
Di depanku, Limas tertunduk pilu. Bagaimana ya membahasakannya? Sejujur-jujurnya aku sangat terkejut, terpukul dengan berita yang dibawanya sore ini. PAYUNGMAS, perusahaan moover peninggalan Bapak jatuh bangkrut entah mengapa. Menurut versi Limas sih karena ada beberapa klien yang melakukan kecurangan. Mereka hanya membayar DP tapi tidak segera melakukan pelunasan ongkos kirim barang. Ya, aku memang tidak paham apa dan bagaimana sistem operasional di Payung Mas tapi kok, sepertinya aneh? Masa hanya karena perilaku negatif beberapa klien saja, perusahaan bisa sampai kolaps?Ah!Tapi itu tidak penting lagi sekarang. Ada hal yang jauh lebih besar dan penting di atas berita menyedihkan sekaligus memprihatinkan itu. Intinya, Limas menagih hutangku tempo hari. Bukan hanya melanggar kesepakatan, Limas juga mengharuskan aku untuk melunasinya. Sesegera mungkin. Padahal jelas-jelas dia sendiri yang memberikan solusi waktu itu. Untuk pembayaran hutang, dia akan
"Mama mau kerja ke mana e, Ma?" pertanyaan Bumi yang sepolos kanvas mengejutkan sekaligus menapakkanku pada selasar kenyataan, tentu saja, "Jangan jauh-jauh Ma, kerjanya. Nanti kalau aku kangen sama Mama gimana? Terus, kalau Mama capek yang mijitin siapa? Kalau masuk angin juga, Mama nggak bisa kerokan sendiri kan, Ma? Jangan jauh-jauh Ma, kerjanya. Yang deket-deket saja biar aku bisa bantuin Mama."Aku memutar kembali anak kunci sepeda motor ke kiri, demi bisa memperhatikan Bumi dengan lebih sesama. Walaupun dada ini sudah seperti daratan yang kejatuhan bom atom, sih. Oh, mungkin sebentar lagi air mataku akan segera membanjir."Le, Mas Bumi … Mama harus kerja Le, demi masa depan kita." aku berusaha memberikan jawaban yang mudah dicerna oleh akal kanak-kanaknya, "Kalau Mama kerja di dekat-dekat sini, nanti gajinya nggak cukup buat bayar hutang. Belum lagi untuk kebutuhan hidup kita yang lainnya. Sekolah ka---""Aku nggak sekolah juga nggak apa-apa k
Mau tidak mau, rela tidak rela aku harus melepaskan sepeda motor satu-satunya pada Hero Finance. Ulah jahat siapa lagi kalau bukan Mas Tyas? Dia menggadaikan BPKB sepeda motorku tanpa sepengetahuanku, tentu saja. Ah, bagiku bukan hal yang aneh lagi, bagaimana bisa Mas Tyas bisa mendapatkan tanda tangan seorang Payung Teduh. Iya, kan? Sedangkan memalsukan hati dan segala isinya saja bisa kok, apalagi hal yang berupa tanda tangan!"Mama, Mama!" Bumi duduk selonjor dengan lemasnya di hadapanku, disusul oleh Langit dan Laut yang terlihat emosional.Lova sudah tertidur lelap di pangkuanku. Inilah, untuk pertama kalinya dalam hidupku sebagai seorang ibu aku menumpahkan air mata di depan mereka. Oh, rasanya tak sanggup lagi menahan semua beban. Gemetar sekujur tubuh oleh karenanya."Mama … Gimana ini, Ma?" tanya Laut tersendat-sendat menahan air mata, "Mama nggak punya motor lagi sekarang."Langit yang biasanya diam menyimak keadaan &nbs
Hampir saja aku membatalkan semuanya. Tidak jadi bekerja di Jerman demi bisa terus hidup bersama anak-anak. Bukankah kebahagiaan terbesar seroang ibu adalah ketika bisa berdekatan dengan anak-anaknya? Tanpa sekat walaupun hanya setebal kain gorden. Tapi bagaimana dengan semua hutangku pada Mbak Kinan? Bagaimana juga dengan perjanjian kerja kami?Ah!Tak mungkin aku menciderai nama baik sendiri. Terlalu bahaya. Lagi pula, hidup bersama dengan hidup berlima itu dua konsep yang berbeda bukan? Kebersamaan kami tetap akan bulat dan utuh, karena kami akan sama-sama berjuang setelah ini. Aku, akan berjuang sekuat jiwa dan raga untuk mencari nafkah hidup. Sedangkan anak-anak akan berjuang sekuat jiwa dan raga untuk menuntut ilmu. Ya, meskipun mereka juga harus belajar untuk lebih mandiri lagi, berani menghadapi kenyataan dan bertanggung jawab. Lebih dewasa dalam berpikir, mengambil sikap dan keputusan. Oh, semoga keberangkatan bekerja di Jerman ini bisa menjadi awal yang
Sumpah!Baru kali ini aku menangis hingga tak bersuara. Hanya linangan air mata yang menciptakan sebentuk banjir bandang di hati. Bagaimana tidak? Akhirnya karena keegoisan dan sikap jahat Mas Tyas, aku harus meninggalkan anak-anak sendirian di rumah. Mana, ibu mana yang dengan senang hati melakukannya? Siapa yang rela? Aku yakin tidak ada, kecuali ibu yang sudah kehilangan kewarasan. Kalau tidak percaya, tanyakanlah pada seorang mama bernama Payung Teduh sekarang juga. Dia pasti menjawab dengan kejujuran yang hakiki."Mas Langit, Mas Laut, Mas Bumi … Maafkan Mama, Le!" isakku dalam tangis yang tak kunjung surut, "Maafkan Mama karena terpaksa meninggalkan kalian seperti ini. Oh Le, semua ini Mama lakukan demi kalian, Le. Demi masa depan kita. Oh, ooohhh, Le … Peluk Mama, peluk?"Lova menggeliat sebentar lalu kembali tertidur di sebelahku. Hal kecil yang justru berhasil menyurutkan banjir bandang di hati. Menyusut air mata. Ah, mungkin itulah yang d