Share

Berpisah Untuk Bersatu
Berpisah Untuk Bersatu
Penulis: Humairah Samudera

Mas Tyas dan Segala Perubahannya

Tidak, itu tidak mungkin terjadi! 

Bagaimana bisa, Mas Tyas lebih memilih tinggal serumah dengan Ibu  padahal ada kami, isteri dan anak-anaknya? Lalu, untuk apa dia membangun rumah yang sebesar ini dulu, jika pada akhirnya hanya menjadi tempat untuk transit? Pulang sebentar mengantarkan jatah makan atau kebutuhan kami yang lainnya lalu pergi lagi. Tanpa mau berbicara barang sepatah kata pun denganku. Membisu, membeku. 

"Ibu sudah tua, Yung!" Mas Tyas mengulangi kata-katanya tadi, "Siapa lagi yang akan merawat Ibu kalau bukan aku? Aku yang paling dekat. Kamu tahu kan, adik-adikku semua tinggal di luar Jawa? Kebangetan, kalau kamu tetep nggak bisa nerima aku tinggal di rumah Ibu. Nggak punya perasaan!" 

Ya, aku tahu, Ibu sudah tua dan mulai sering sakit-sakitan.  Aku juga tahu kalau Dik Sri tinggal di Palembang dan Dik Bekti tinggal di Bali tapi kami? Bagaimana dengan kami? Kalau memang Mas Tyas tidak egois, bisa kan dia mengajak Ibu untuk tinggal bersama di sini? Atau sebaliknya, mengajak aku dan anak-anak pindah ke rumah Ibu. 

Kalau begitu kan, kami jadi bisa menjaga dan merawat Ibu bersama-sama. Toh, sekolah anak-anak juga tidak terlalu jauh dari Malioboro.  Walaupun akan menjadi dua kali lipat jaraknya jika dibandingkan dari Jalan Palagan.

"Lho, kok jadi aku yang kebangetan dan nggak punya perasaan, Mas?" 

"Lah itu, kamu nggak bisa terima aku jagain Ibu, ngerawatin …?" 

"Bukan gitu lho Mas, maksudku. Aku kan nggak pernah nggak setuju apalagi sampai melarang  kamu menjaga atau merawat Ibu, Mas. Aku hanya nggak bisa nerima cara kamu yang sama sekali nggak konfirmasi ke aku. Tahu-tahu berangkat ngojek, tahu-tahu nggak pulang. Pulang sebentar tengah malam, terus balik lagi ke rumah Ibu, tidur di sana. Padahal kan, kamu bisa tidur di rumah kan, Mas? Itu maksudnya apa ya, Mas? Bisa tolong jelaskan?" 

Mas Tyas diam. Tidak memandangku tapi juga tidak membuang muka. Tatapannya lurus ke depan, ke arah tangga ke lantai dua. Entah, apa yang ada dalam benaknya. Sampai aku menggendong Lova ke kamar, dia masih menatap ke arah tangga. Menyebalkan, cukup mengundang kemarahan. 

"Sampai kapan kita begini, Mas?" pelan-pelan aku bertanya, setelah menidurkan Lova di tempat tidur, kasihan juga dia kalau terus kupangku dalam situasi yang memanas antara aku dan Mas Tyas, "Kenapa kamu tega sama kami, Mas? Sama anak-anak terutama. Ingat Mas, mereka masih membutuhkan kasih sayang kamu! Mereka nggak hanya butuh makan tapi juga perhatian kita, Mas. Terutama Langit, sebentar lagi dia naik ke kelas sembilan. Butuh banyak perhatian dan kasih sayang untuk menyiapkan mentalnya mengikuti ujian akhir." 

Gusar, Mas Tyas meraih jaketnya yang tadi diletakkan begitu saja di meja ruang tamu, "Udah, nggak usah dibahas sekarang. Aku mau berangkat. Nanti nggak dapet duit, ngamuk lagi?"

Ngamuk?

Aku, ngamuk gara-gara Mas Tyas nggak dapat uang? Sejak kapan aku bisa mengamuk? 

"Lho, kamu kok, ngomongnya gitu sih Mas?" sergahku sambil menghentikan langkahnya yang terlihat gontai, "Sejak kapan coba, aku marah sama kamu gara-gara duit, ha?"

"Cerewet … Bikin nggak betah di rumah!" umpat Mas Tyas sambil terus berjalan menuju pintu, "Asal ngomong aja, kayak orang gila!" 

Dug! 

Seketika detak jantungku terasa berhenti, mendengar kata-kata umpatan Mas Tyas. Tapi meskipun begitu, dengan cepat tanganku menarik lengan kanannya yang sudah hampir menyentuh gagang pintu. Sekuat mungkin aku menariknya ke belakang. Untung tidak terjatuh dan masih bisa melanjutkan pembicaraan ini. Benar-benar moment langka. Jarang sekali berbicara berdua, sekalinya bicara malah  langsung baku hantam. 

Mantap! 

"Kamu yang gila, Mas!" umpatku setengah menjerit, "Gila kamu, menelantarkan anak istrimu sendiri hanya demi menuruti ego!" lanjutku masih sambil memegangi lengan kanannya yang bergeming, "Aku minta kamu pikirkan dengan lebih baik lagi, Mas. Jangan sampai menyesal di belakang. Aku nggak apa-apa kalau kamu mau pulang ke rumah Ibu tapi tolong pikirkan anak-anak. Mereka juga butuh kasih sayang kamu, Mas!"

Plaaakkk …! 

Itulah jawaban yang kudapatkan dari Mas Tyas. Sebuah tamparan yang sangat keras di pipi kiriku. Apa salahku? Salahkah, jika seorang ibu membela hak anak-anaknya?

***

Dulu, Mas Tyas orang yang sangat baik. Lembut dan penyabar. Tidak banyak bicara tapi penuh perhatian. Pokoknya tidak pernah berbicara kasar apalagi sampai ringan tangan. Ngemong lah, bukan malah memain-mainkan perasaan seperti yang terjadi belakangan ini. Ambil contoh, aku mau menjenguk Bapak di Wonosari, ya dia langsung mengusahakan. Bagaimana caranya supaya kami bisa ke sana, meskipun harus bersabar menunggu, berhari-hari atau berminggu-minggu. 

"Sabar ya Yung, aku cari sangu dulu kalau kamu kangen pingin jenguk Bapak?"

"Iya, Mas. Aku juga ngerti, kok. Kamu kan, harus nabung dulu, Mas?" 

"Iya, Yung. Makasih ya, udah mau ngertiin aku?" 

Ya, tentu saja aku maklum, mencari uang juga bukan perkara yang enteng. Tak seenteng mengangkat kantong plastik kosong. Jadi, pasti bersabar menunggu sampai Mas Tyas bisa mengantarkan kami ke Wonosari. Terpenting, Bapak bahagia karena anak perempuannya ini bisa sering-sering menjenguknya. Lagi pula, orangtua juga tinggal Bapak satu-satunya. Kapan lagi kan, bisa membuatnya tersenyum gembira? 

Contoh lain, aku ingin mengajak anak-anak jalan-jalan di pantai waktu weekend. Mas Tyas tidak marah atau keberatan, sama sekali. Justeru, bekerja lebih keras lagi, supaya keinginanku terpenuhi. Memperbanyak dagangan dan lebih awal berangkat jualan tempura dan kawan-kawannya di Alun-alun Kidul.

Tapi sekarang?

Jangankan memperjuangkan keinginanku yang notabene family time, diajak berbicara pun sudah tak bisa menanggapi dengan baik. Adanya hanya satu hal saja, tidak setuju dan akhirnya marah tidak jelas. Kalau tidak, dia akan segera tancap gas ke rumah Ibu. Tak peduli susahnya kami di rumah, tetap saja begitu. Kami kelaparan, kekurangan, ada yang sakit … Tidak memperhatikan sama sekali. Tak jarang, malah memarahi kami. Menyalahkan aku. Seolah-olah semua keadaan dan kesulitan itu terjadi semata-mata karena kesalahanku.  Apa, suami seperti apa itu namanya? 

"Harusnya kamu diskusi dulu sama aku Yung, sebelum kamu bawa Lova ke sini!" 

Selalu itu yang diucapkan Mas Tyas setiap kali marah, frustrasi atau sejenisnya dengan keadaan hidup kami yang sedang terpuruk, "Sekarang, begini kan, jadinya? Dua juta cuma untuk Lova saja, Yung. Itu saja kadang-kadang kurang. Makanya, susunya jangan boros-boros!" 

Padahal, kalau dirunut ulang aku sudah konfirmasi lho, waktu keluarga Lova datang ke rumah untuk menawarkannya siapa tahu kami mau mengadopsi. Kasihan, ibunya hamil di luar nikah tapi tak ada yang mau bertanggung jawab. Ya, terus terang aku langsung jingkrak-jingkrak. Toh, setiap anak terlahir dalam keadaan suci, kan? Mas Tyas juga sih  sebenarnya, sungguh. Sampai kiamat pun aku tidak akan lupa, bagaimana raut wajah plus gesture Mas Tyas waktu tahu kalau akhirnya akan ada bayi perempuan di rumah. 

"Gimana, Mas?" 

"Ya udah … Kita ambil aja, Yung. Kapan lagi, mumpung perempuan, kan?"

"Yes! Iya, Mas. Makasih banyak ya, Mas?"

"Iya, sama-sama, Yung. Akhirnya, setelah sembilan tahun … Kok bisa pas gini ya Yung, aku juga tadi pagi kepikiran sama janjiku yang dulu, sebelum kamu melahirkan Laut."

Masa Mas Tyas lupa, sih? Lova kan, baru berumur enam bulan? Itu pun masih kurang satu minggu lagi. Hemmmhhh! Eh, apa Mas Tyas juga lupa ya, kalau kami sempat berpelukan setelah sepakat untuk mengadopsi Lova? Di depan semua keluarganya, malah. Bukannya permisi ke belakang dulu atau bagaimana. Bukankah itu menandakan kalau dia juga bahagia dengan kehadiran Lova? 

Tapi ya begitu, setiap ada masalah sedikit saja, dia pasti marah-marah. Pasti mengungkit bagaimana aku langsung jatuh cinta pada pandangan pertama begitu melihat wajah cantik Lova. Bukan hanya cantik tapi lembut, imut-imut, wangi, kulitnya seputih susu … Siapa yang tidak jatuh hati kalau seperti itu? Kalau aku sih, sama sekali tidak menampik. Aku yakin, Mas Tyas juga. Buktinya, dari sejak kami sampai di klinik bersalin untuk menjemput Lova, dia terlihat lengket, tuh? Tidak sedikit pun menjauh dari box bayi, terus menerus memandang ke arah Lova. 

Tok, tok, tok! 

"Assalamu'alaikum Yung, Payung?" suara Ajeng membuatku terkesiap, "Dek, Dek Lova. Ini, Mbak Cindy mau main!" 

Klik, klik … Kriiit! 

"W*'alaikumussalam … Ehhh, Mbak Cindy. Masuk dulu, Mbak. Itu Dek Lova masih bobok."

"Sehat, Yung?"

"Alhamdulillah. Kalian, Jeng?"

"Sehat juga, cuma mumet mikirin bapak Cindy!"

Kami sama-sama tertawa kecil lalu sama-sama masuk ke ruang tamu, "Baru saja aku mbatin kamu, Jeng. Kok lama nggak main? Eh, malah dateng. Seneng banget lah, aku!" 

"Sorry Yung, aku ribet banget ngurusin bapak Cindy." sahutnya dengan mimik wajah menderita, "Ih, cerewetnya itu lho Yung, yang buat aku mumet! Kok, kayak perempuan gitu lho, mulutnya. Ngomel saja, kayak nggak ada habisnya. Pusing, aku tinggal saja, main ke sini!" 

Mendengar curahan hati Ajeng, aku hanya nyengir kuda poni lalu tertawa kecil, mengikutinya. Ajeng memang hebat, kesabarannya seolah tak berbatas. Walaupun kalau mencurahkan segala sisi hatinya selalu penuh dengan emosi tapi tetap sabar menerima dan mendampingi suaminya. Padahal, kalau dipikir-pikir, masalahnya justeru jauh lebih besar dari pada masalahku, lho. Sungguh. Tidak diberi nafkah lahir batin, tidak diajak bicara selayaknya suami isteri. Serba salah dan masih banyak lagi masalah yang lain. Intinya, tersakiti lah, setiap harinya. Kalau aku jadi Ajeng, entah sanggup atau tidak. 

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Rieca Chandra
Buset pemilihan namanya kayak ndak ada yg bagusan aj. Masa payung langit laut. Ndak sekalian gayung, ember, baskom, mangkok, piring, sendok, garpu gitu? Ada2 aj
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status