Share

Terus Seperti itu

            Aku melihat rautnya si suami dengan segala ketenangan. Tampaknya dia baik-baik saja dengan sikap diamnya melangkah. Namun tiba-tiba kakinya berhenti tepat di muka pintu yang masih tertutup. Kepalanya menoleh ke balik belakang, tepat di depanku.

“Hei, kamu nggak liat aku bawa banyak barang?!” tegurnya sedikit menyayat pikiranku.

Maka tanganku segera meraih bungkusan yang ada di tangannya. Tidak ada kesulitan bagiku untuk merampas dari tangannya. Kemudian suamiku ini langsung membuka pintu tanpa harus menatap ramah.

Ya, seperti biasa! Dia tidak akan seramah suami lain di depan mataku. Pikirku lagi.

Lagi-lagi, nasib sial menghantuiku. Dia melihat dulang yang tidak terlihat apa-apa. Maka kedua mataku memelotot kaku di hadapannya. Tanganku segera menaruh bungkusan di sudut ruangan dapur.

“Eh, kamu nggak masak?” Terdengar suaranya agak rendah. Tidak memulai pertengkaran, maka aku akan hati-hati untuk menyahut.

Tubuhku yang geloyor untuk menaruh bungkusan yang dibawa olehnya terpaksa menegak lagi. Secara berpura-pura aku tersenyum. “Hehe, baru mau masak, Bang.”

Wah! Jawabanku seolah-olah dia akan toleransi. Nyatanya tidak!

Tangannya spontan mengayun cepat mengarah kepalaku. Di saat bersamaan, kepalaku tertunduk sambil mengangkat kedua tanganku untuk melindungi kepala yang paling berharga.

Buk!

Kena juga kepalaku! Dia kasar lagi, entah tangannya terbuat dari apa? Sehingga, begitu entengnya memukul seorang perempuan. Rasa amarahku yang tertunda, bahkan suasana hatiku sedikit tenang menjadi pilu.

“Kerja apaan kamu ini? Kantoran kok nggak masak. Jadi pejabat kalo gitu! Masak tinggal panggil pembantu. Orang suami baru balik perut kosong, lauk nggak ada. Mau jadi istri apaan kamu ini!!”

Ya, dia mulai celoteh lagi. Suaranya bahkan melengking keras sampai ke depan rumah. Tidak heran kalau dia selalu memarahiku ketika pulang bekerja. Masak salah, tidak masak pun tetap salah. Karena kurang asin dia marah, maka tidak tahu lagi harus bagaimana.

Tanganku harus gesit meraih bahan-bahan masakan. Tidak peduli suaranya melengking, tetapi aku tidak boleh duduk termenung. Jika begitu, maka aku akan mendapat perlakuan kasar lagi. Kemungkinan akan lebih menyakitkan.

Aku tidak mau!

Walau aku sudah menyiapkan seluruh bahan masakan, tetapi celopar suamiku tidak henti. Masuk telinga kiri keluar telinga kanan.

“Punya istri malas! Pulang kerja pasti tuh ngobrol sama ibu-ibu. Udah kek pejabat aja!”

“Eeehh … nggak tahunya lauk zonk, rumah nggak disapu,”

“lihat tuh dua anaknya! Main terus sampe nggak usah mandi.”

Aduh! Aku harus memasak sambil meracik bumbu dengan omelan suamiku. Entah apa jadi masakanku kalau begini? Tangan-tangan bulat ini tidak lagi lentik untuk meracik bumbu lebih tenang. Padahal, memasak adalah seni yang dapat membuang rasa jenuh dan pikiran.

Jika mendengar ocehan yang dilontarkan pak suami, maka hanya bisa menahan dan bertabah untuk beberapa saat. Kelak, dia akan mereda seiringnya waktu berjalan.

Lalu, sekian lama aku menunggu masakanku hadir di depan kompor. Akhirnya aroma terpanggil untuk memenuhi menu di sana. Abbas benar-benar jahil dengan tangan, tetapi dia cepat mengubah situasi menjadi hangat.

“Nah, gitu dong! Jadi istri itu harus masak. Suami ini butuh asupan bergizi. Masa aku harus jajan di luar terus! Kantong juga bolong kalo lama-lama begitu.”

Dia tidak mau menerima piring kosong, tetapi aku harus menyiapkan nasi hangat di piring. Jika tidak, dia akan mengomel lagi. Lalu tanganku meraih nasi yang sudah aku tuang ke dalam piringnya.

Kekehannya mulai terpampang jelas di raut keningnya. Dia memang menyebalkan! Sudah marah malah ketawa kecil. “Hahaha.”

“Makanya jadi orang harus sabar!” ketusku memulai pembicaraan.

“Kamu tuh ngelawan, ya.” Tapi nada Abbas tidak membentak. Dia hanya seloroh menanggapi ucapanku. Kemudian dia pergi dari dapur dan makan di dekat anak-anaknya.

Dia memang begitu, kalau ada maunya harus cepat dan cekatan. Maka, balasan untukku adalah sebuah pukulan keras.

Lagi-lagi, aku siap menerima ocehannya setelah aku minggat dari rumah. Walau ada sedikit perbedaan yang kecil, tetapi aku masih belum merasa yakin.

“Eh, kamu udah sholat belum? Kenapa berdiri doang kek patung?!” tegur Abbas menyertaiku.

Kakiku segera bergegas dari sana, tidak ingin dimarahi aku menjawab. “Udah, Bang!” Mungkin dalam hatiku belum sepenuhnya berkata jujur.

            Setelah kisah sore berlalu begitu saja. Sepertinya keadaan rumah tanggaku setelah diusir terjalin lebih akrab. Layaknya orang yang baru saja menikah. Mungkin, karena suamiku takut akan sikapku yang tidak main-main.

Jika diusir, maka dengan senang hati aku menurut. Nyatanya kehangatan itu tidaklah sempurna yang berlangsung berlama-lama.

Lagi-lagi, suara ibu mertuaku memekik dengan keras dari ujung pintu rumahnya.

Malam di saat kami sedang duduk bersantai.

“Haira!!” pekiknya melengking.

“Abbas!! Sialan!!”

Wah! Ini sudah malam, kenapa ibu memanggil kami dengan suara kerasnya? Apalagi orang-orang pasti akan mudah mendengar suara ini. Aku secepatnya bangkit dari ruang tengah bersama keluargaku. Tampaknya, suamiku juga merasa curiga dari suara ibunya yang tampak tidak baik.

Tanganku segera mendorong kedua anakku untuk memasuki kamar. Dengan rasa cemasku, mereka jadi penurut.

Jadi, aku membuka pintu depan rumah. Suara itu bahkan memekik telingaku secara bersamaan. Ibu mertuaku tampak melepaskan urat malunya di tengah kegelapan.

“Apa yang kau sembunyikan dariku? Kau pasti pulang untuk menceritakan keburukanku kepada keluargamu di sana, bukan? Bahkan mereka, tetangga kita jadi sinis melihatku. Apa yang kau bicarakan di depan semua orang tadi sore, hah!”

Nada ibu mertuaku sudah tidak lagi hangat, tidak seperti ketika aku baru pulang dari bekerja. Melihat rautnya membuncah tak bisa dihentikan dengan kata-kata. Tapi aku memberanikan diri untuk melawan emosinya.

“Nggak ada kok, Ma. Aku nggak pernah ngomong apa-apa,” sahutku berani.

Ya, sedikit mencoba-coba karena ibu mertuaku pasti tidak akan mendengarkanku. Tampaknya dia benar-benar serius dalam mengatakan setiap ucapannya.

“Alah! Jangan sok pura-pura baik deh. Aku tahu kok kamu udah cerita ini itu ke tetangga kita. Apa lagi kamu udah pulang ke sana, pastilah kamu banyak cerita. Mending, jangan pulang lagi!”

Bahkan suara itu memuncak, Abbas keluar di waktu yang tepat.

“Ma, mama tuh malu nggak sih? Banyak tetangga yang lewat lho! Kayak orang gila tahu nggak!” ketus suamiku menikam jeritan ibunya sendiri.

Sialnya, ibu mertuaku semakin naik pitam. Dia melempar sapu lidi yang ada di depan halaman rumah kami.

“Ya, aku memang gila! Lain kali, kalian tidak usah melihatku lagi. Ngurusin anak kalian itu udah cukup, nggak usah banyak cerita ke orang lain tentang ini itu.”

Ibu mertuaku akhirnya berbalik. Dia menghentikan ucapannya begitu Abbas membentak sangat kasar. Kami melihat kepergian ibu menuju rumah yang ada di depan.

“Kamu nih kok kasar banget ngomong ma mama? Nggak usah disahut gitu juga kali.”

Aku melirik pelan wajah suamiku yang menggertak. Wajahnya sedikit resah karena ucapan ibunya yang sempat meradang. Dia malah berbalik dan masuk ke dalam rumah, sepertinya dia tidak mengindahkannya.

Tapi aku tidak bisa melangkah untuk meninggalkan pintu depan, mataku masih memperhatikan posisinya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status