“Mana gajimu!”
Kaget! Mataku membelalang ketika melihat tangan berlengan kekar itu menjulur panjang dan tegas. Baru saja aku membuka pintu untuk masuk ke rumah, tetapi pria di hadapanku sudah bertampang masam.
“Sebentar, aku harus masuk ke rumah dulu.” Aku bahkan melewati tubuh pria di depan pintu. Sudah biasa kalau dia selalu celopar dan membentakku dengan perlakukan kasarnya.
Pria itu menggeram dengan nada membuncah.
“Haira!! Aku ini suamimu, kenapa kamu lewatin aku gitu aja?! Kurang ajar banget kamu ini!” Suamiku membentak kasar, tidak peduli kalau aku baru saja pulang bekerja. Napas lelahku bahkan belum sempat meredam. Tapi dia malah menahanku. Aku harus menoleh, tapi tidak menyahut. Keringat dinginku memuncak dengan sangat cepat. Mulai cemas dan waspada.
Aku, lebih dikenal dengan nama panjang Haira Estiana. Usiaku sudah memasuki angka ganjil 35 tahun. Bermata bulat hitam, memiliki kulit putih, tetapi bertubuh agak gendut. Mereka sering mengataiku seperti babi.
Suamiku sambil menggeram, melangkah maju dan menjambak kerudungku dengan kasar. Sehingga, tubuhku terlonjak akibat penyerangannya. Bahkan tangannya membanting kasar tubuhku ke sembarang arah. Aku terpelanting spontan menghantam dinding ruang tamu.
Gedebuk!
Rasanya sedikit sakit, benar-benar terpental dan harus tertahan oleh tembok.
“Aw!!” ringisku spontan memegangi kepala.
“Kau ini pulang kerja atau dari mana, kenapa lama banget?! Fathan harus kujemput, kalau nggak dijemput dia bakal kelayapan ke mana-mana. Dasar istri tak tahu diri!” Tangan kekar suamiku kembali memukul kepalaku.
Buk!
Lagi-lagi, pukulan itu membuatku semakin merunduk. Tubuhku mengendur turun, dengan memegangi kepalaku untuk berlindung dari serangan kasarnya. Terdengar napas berat dari ujung hidungnya, akhirnya dia menjatuhkan kembali tangannya ke depan pandangan wajahku.
“Mana uang gajinya?” Kali ini dia sedikit menurunkan nada bicara.
“Bang, aku belum dapet gaji,” ungkapku gugup. Kepalanya keluar dari kedua lenganku, tubuhku mulai menegak lebih gagah.
Kesal, setelah mendengar jawabanku. Abbas Chafik—suamiku yang bersikeras untuk meminta jatah gaji bulanan. Padahal, aku hanya sebagai guru honorer. Umur kami hanya selisih dua tahun, dia berkisar 37 tahun, sekarang tahun 2022.
Namun Abbas terpaksa menubruk tas milikku, tapi aku mencoba menahan dan memberontak. Namun sayang, tangannya lebih tangkas merampas dari lenganku yang tidak kuat lagi menahan tas tersebut. Dia membongkar isi dari dalamnya. Semua yang ada di tas tumpah dan berantakan. Mataku hanya menyimak diam dari kelakuan memaksanya ini.
“Besok, besok aku bakal minta sama mereka.” Suaraku melemah, takut akan terkena makian serta pukulan lagi darinya. Tubuhku geloyor, bersama jemari yang merapikan buku dan peralatan kerja ke dalam tas ini lagi. Abbas berdiri sambil menahan emosionalnya, enyah dari hadapanku.
“Aku harus menjemput Elvina pulang.”
Abbas yang telah menikah denganku selama kurang lebih belasan tahun. Wanita mana yang peduli dan kuat jika harus mendapat perlakuan kasarnya? Aku menatap kepergian suamiku dengan napas berat.
Glegar!
Pintu utama rumah tertutup rapat dengan sangat keras. Menghantam telinga kecilku menjadi sangat panas setelah mendengar ocehannya.
Beruntung, rumah kami berada di sudut dari dalam gang. Sehingga, tidak ada yang bisa mendengar kami bertengkar hebat.
Tinggal di tengah kota, jalan Taman Indah, air itam, Pangkal Pinang. Memang sangat menjadi ancaman jika terdengar oleh telinga para tetangga.
Kota ini menjadi yang terbaru untukku. Bukanlah tempat kelahiranku, tetapi aku harus meninggalkan kampung halamanku yang ada di ujung Selatan kepulauan Bangka Belitung, yakni Toboali. Kampung halamanku yang sudah aku tinggalkan demi keluarga baruku.
Aku beranjak sambil memeluk tas kerjaku dengan raut kesal berkepanjangan.
Wajahku merengut, sedikit jenuh dari perbuatan suamiku selama ini. Apalagi umurku tak lagi muda untuk menjadi istri yang cantik. 35 tahun adalah umur dimana mereka akan menuju kesukesaan. Katanya.
Namun sayang, aku harus menjalani hidup sederhana demi menyembunyikan identitas terpendam. Lalu, kenapa aku harus menyembunyikan identitas itu?
Aku menaruh tas kerja di atas meja dekat ruangan tengah. Tak lama berkeliling dengan penglihatan ruangan yang agak sepi. Seorang anak lelaki berusia sembilan tahun muncul perlahan dari balik pintu kamar. Kepalanya sedikit menunduk dan harus kembali masuk ke kamar.
Kekesalanku terabaikan pada situasi sunyi. Mungkin, rasa lelahku cukup menghantui di hari yang berhawa panas. Ditambah ketika pulang kena semprotan makian. Tak sengaja diriku duduk di atas sofa kecil, lalu aku merobohkan tubuhku di atasnya. Kerudungku secepatnya kucopot, membiarkan rambutku terurai.
Rasa nyaman terlampiaskan setelah aku merobohkan tubuh ke atas sofa yang empuk. Pandangan mataku redup mengarah langit-langit ruang.
“Bagaimana kalau aku tidur sebentar??”
Kalimatku terputus, tak kuasa banyak celopar. Akhirnya mataku benar-benar berat seperti ada lem yang menempel di kelopaknya. Aku terlelap tanpa harus berganti pakaian dahulu. Daerah di sekitar mataku berkeringat tipis.
Sudahlah, aku tidak peduli lagi dengan urusan dunia ini. Akhirnya aku tertidur nyaman di atas sofa.
***
Tak lama aku tertidur, pintu kembali terbuka. Lebih kencang dan keras. Aku masih terjaga dalam tidur. Aku bahkan tidak memedulikan siapa yang akan memasuki rumah. Mungkin, si suami kembali pulang dengan napas terengah kesal.
Aku merasakan gerak-gerik dari suara langkah kaki suamiku. Dia cukup berwara-wiri dengan suara berisik dan sedikit mendengus kesal.
“Vivin, masuklah ke dalam!” Suara itu masih kudengar, dan benar kalau dia suamiku. Tapi aku masih saja masa bodoh. Aku mendengar langkah cepatnya, mungkin saja dia mendekatiku.
Antara mimpi dan kenyataan menyertaiku secara bersamaan.
Buk!
Dia memukul bahuku, mataku cepat terbuka lebar. Kepalaku sontak bangkit dan terayun dari tidur pulas.
“Akh!”
Mataku langsung terfokus pada tangan suami yang mengepal bulat. Tak segan-segan dia maju kembali mendekatiku, lalu memukuli wajahku dengan kasar.
Plak!
“Akh!”
Kepalaku ikut terayun. Menahan posisi kepala yang baru saja terbangun dari tidur siang.
“Kau ini memang enak, ya?! Baru pulang bukannya nyiapin makanan, tapi malah tidur. Terus bajunya nggak pake diganti lagi.”
Abbas menjatuhkan tangan ke samping tubuhnya. Aku harus bangkit demi suara yang membentak diriku. Padahal, kantukku masih terasa berat di mataku. Keriput tipis mulai menyelimuti kulitku yang putih.
“Udah gendut, malas lagi!”
Tak heran, kalau suamiku selalu mengolok-olokku.
“Siapin camilan untukku dulu!”
Aku harus menahan segala lara dari balik dapur yang terpisah dengan ruang tengah. Rasanya aku ingin menaruh cabai super pedas ke dalam makanannya jika mengingat kasarnya perilaku suami ini.
Tanganku segera meraih piring kecil untuk menaruh beberapa camilan ke atasnya. Tanpa ragu saya membawanya kepada sang suami yang sedang berbaring nyaman sambil menonton televisi. Melihat tingkah suamiku, aku semakin bosan.
Aku tak memedulikan tingkah suami yang jelek, dia malah menjauh tanpa adanya raut kemacetan. Abbas tak sengaja melihat raut wajahku ini. Keningnya bertautan, sampai-sampai tangannya kembali gatal.
“Eh, kamu ini mau apa?!” geram Abbas meninggi.
Tangannya begitu gesit menjamah rambutku. Aku menahan rasa sakit yang menyiksa serigala harus tercekik oleh jambakan suami. Aku berbalik dan menghadang suami agar dia tidak kembali menyerang.
Tangan kasarnya kembali menarik rambutku, sedangkan aku berusaha melepaskannya. Memberontak dengan segala kekuatanku.
Hingga akhirnya, rambutku selamat dari jambakan yang ingin berulang-ulang.
“Aku ingin bebas, Bang. Jangan perlakukan aku seperti binatang!”
Satu kalimat muak terlampiaskan di ujung bibirku. Abbas mulai menahan kekesalannya, setelah mendengar bantahanku.
“Jadi, apakah kamu mau lebih sedih sekarang juga? Oke!”
“Fathan, ini kenapa? Nenek kenapa marahin kamu?”Dengan nada paling lemah, garis keningku mulai mengeriput, kemudian ditundukkan ke arah Fathan yang tubuhnya belum setinggi diriku.Di sekujur tubuh Fathan mematung bisu. Nada irama ibu mertuaku belum juga menurun, tetapi Fathan sudah menunjukkan reaksi cemas. Dua tangannya saling menyatu, sedangkan pandangannya diarahkan ke lain tempat.Melihatnya cukup tak tega karena dia buah hatiku yang pertama. Dengan penuh perasaan, aku harus membujuk ibuku yang sedari tadi keluar sambil mengeluarkan kata-kata buruknya. “Ma, maafin Fathan kalo udah buat salah ke neneknya.” Aku sambil menarik lengan Fathan agar tidak jauh dariku.Mata nanar ibu mertuaku menyorot tajam. Lekukan urat nadinya menggeliat di sekitaran badan leher. “Apa?! Iya, kamu pasti mau bela dia kan? Punya anak jangan terlalu dimanjakan, lihat kelakuannya.”Tangan ibu mertuaku menunjuk ke dua sisi berbeda, belakang hingga ke depan kami. “Ambil sandal mau lemp
Ninda yang muda dan tidak banyak bicara. Sementara Elina berkebalikan dari Ninda, dia setara denganku, dan dia sangat aktif.Setelah mengisi perut di kantin, kami kembali disibukkan di ruang kelas masing-masing. Tampak guru lain yang sama sekali tidak menghiraukan hiruk pikuk di salah satu kelas. Tapi sudahlah, itu sudah menjadi urusan wali kelas di kelas tersebut.Beberapa jam berlalu mengajar murid di kelas, perasaan yang nyaris padam. Mata hampir lelah karena sekian menit per detik dilewati. “Sampai jumpa lagi, Bu Haira!”Teriakan anak manis dari kelas ini sangat ceria. Mereka menyenangi guru yang lemah lembut. Tentunya aku tidak begitu. Aku hanya berkamuflase, ah sebenarnya aku memang tidak ingin kasar-kasar terhadap anak kecil.Mereka butuh kasih sayang supaya pikiran serta hatinya tidak cedera.Dengan sepeda motor, aku pun menempuh perjalanan yang lumayan memakan waktu. Seperti biasanya, aku pun mendapati panggilan masuk dari ponsel di balik tas ransel sa
Kisah tentang bu Maina cukup mengesankan. Ternyata, setelah ditelusuri, ibu Maina memiliki ikatan kekeluargaan yang sudah jauh dari keluarga sang suami. Herannya, aku tidak pernah melihat mereka saling berkumpul atau setidaknya bertemu.Dari kejadian dan cerita para tetangga, hari ini aku paham betul, semuanya memiliki rahasia jitu. Sudahlah, hari ini akan fokus mengajar di kelas tercinta.Di sekolah dasar sudah menunggu kehadiranku, walau pada dasarnya, aku hanyalah pendidik honorer.Setelah mengajar setidaknya empat puluh lima menit di kelas, istirahat pun memanggil. “Hore, makan nasi liwet!” “Mana ada nasi liwet?”Beberapa dari mereka berombongan mulai bercakapan. Antar gadis—dan anak laki-laki. Mereka langsung keluar tanpa harus mengantre, bahkan ada yang saling mendorong. “Eh, hayo jangan saling dorong, ntar temennya kecedat pintu!” seruku mengkhawatirkan seisi ruangan kelas. “Oke, Bu.”Dasar jawaban anak zaman now. Mereka tak perna
Dari sore hingga ke malam. Setelah mandi dan menjalankan kewajiban ibadah. Malam menyongsong indah dengan menampilkan suasana dingin di depan rumah. Sinar putih bersinar malu-malu menerobos ke pepohonan.Bulan terang, alias bulan purnama di malam hari. Sampai saat ini, kami tak pernah mendiami rumah dengan keharmonisan. Suamiku bukan orang yang romantis. Memberinya kejutan di hari ulang tahun pun tak diinginkannya. Jangan mau berharap sesuatu yang manis, dirinya bahkan tak pernah merayakannya. “Kenapa bengong lihatin bulan? Kerjaan masih numpuk nih!”Abbas mulai berteriak ringan, sekarung bawang sudah dimasukkan ke dalam gudang sebelah rumah. Buatannya yang menjadi andalan menyimpan barang dagangan. Tangan serta penglihatanku salah tingkah. Tadinya yang sempat mengintip warna bulan, akhirnya mengurungkan niat untuk berkhayal. “Udah selesai,” ucapku sambil memasukkan sebagian kol yang sudah dibersihkan ke dalam karung.Sayuran yang besoknya akan diba
Gosip, itu yang biasa dilakukan oleh para ibu-ibu di kampung—tempat aku bermukim. Setidaknya, aku hanya bisa mendengar setiap ocehan mereka, tidak menanggapi terlalu mengerikan. Kelak, aku pasti akan menjadi sorotan bahwa diriku termasuk anggota kampung yang sok.Bagaimana mungkin? Aku masih termasuk orang baru tinggal di sini. Terhitung sejak usia pernikahan kami yang sudah menginjak 10 tahun lebih. Bahkan Fathan pun sudah sembilan tahun bersama kami.Sulit dipercaya kalau aku bukan yang pertama kalinya bergabung dengan mereka mendengar gosip terhangat. “Nongkrong mulu! Kerjaan suami masih banyak, istrinya kelayapan.” Keluhan pertama Abbas ketika aku belum sempat menginjakkan kaki ke halaman rumah.Elvina masih dalam gandenganku, tak lama kemudian, Fathan menyusul dari arah berbeda—dan dia pasti baru pulang dari rumah neneknya. “Mama!” teriaknya dengan kencang. “Jarang-jarang, Bang, lagian kerjaan saya udah beres kok di rumah.”
Sepertinya hubungan baik dalam keluargaku mulai rukun. Namun, tentu saja aku tak boleh memperlihatkan wajah ceriaku yang berlebihan. Takut jika aku melakukan kesalahan. Terutama kepada ibu mertuaku, yang dimana nanti dia tiba-tiba berubah drastis. Marah besar.Dalam keseharian ini, aku berjumpa dengan banyak orang di sekolah, maupun dengan tetangga. Ada waktunya aku menetap pada satu kerukunan antar tetangga. Duduk bersama mereka yang selalu melontar ghibah. “Eh, kalian kenal sama Maina nggak?” Salah satu ibu mulai menggerakkan tangannya. Ya, si pemilik toko depan memulai gosip baru, ketika beberapa ibu-ibu lainnya sedang asyik berbicara ceria.Dalam sesaat suasana wajah mereka hening. Tak hanya mereka, tetapi juga diriku. Menoleh karena begitu penasaran. “Maina, siapa?” Lena—pengasuh Elvina tanggap.Kali ini perkumpulan kami hanya orang-orang pilihan. Ada tiga ibu lainnya yang masih sebaya denganku. “Itu tetangga lama kita, katanya sih