Share

Aset yang Dirahasiakan

    Abbas menarik paksa tubuhku meninggalkan ruangan tengah. Kami masuk ke kamar di tengah siang bolong. Aku memekik keras dan lantang ketika dia harus memaksa untuk melakukannya.

Abbas mendorong tubuhku ke tempat tidur. Rasa kesalnya semakin membabi buta kejantanannya.

Abbas duduk di atasku. “Kau itu istriku. Sudah sepantasnya kau melayaniku dengan baik!”

Aku malah menegang. Dia hampir saja menyentuhku di saat hatiku sedang kesal. Rasanya tanganku ingin menusuk jantungnya dengan pisau belati panjang.

Aku dipaksa oleh sang suami untuk melayaninya. Abbas beranjak dengan cepat, mengurungkan niatnya di saat itu juga. Rautnya malah mual memandang tubuhku yang sudah terbaring lemah di atas tempat tidur.

“Hei, kau ini pulang kerja bukannya langsung mandi. Tapi, malah tertidur di sofa. Badan kamu itu bau tahu!”

“Apa kau nggak sadar, hah?!”

Abbas menonjolkan bibir mencondong ke arah tubuhku yang sehingga menempel sisa dari keringat baju dinasku. Aku bangkit dari tempat tidur sambil melepaskan seragam pertama. Mataku melirik sinis ke wajah si suami.

“Kau itu yang bodoh! Sudah tahu aku baru pulang. Tapi kau malah memaksaku,” ketusku membalas.

Abbas tak sanggup lagi dengan omelan yang tiba-tiba terlempar dari mulutku. Tanpa harus melanjutkan pertengkaran lagi, kakinya berkirai. Tangannya menghempas pintu kamar dengan kasar.

Glegar!

Aku terlonjak diam ketika melihat tingkah suami yang tidak pernah berubah. Mulutku mulai mencibir sembarangan, sembari meraih handuk untuk segera membersihkan diri.

Langkahku mengguyur ruangan yang tadinya memiliki suara lucu dari dua bocah. Tapi kali ini aku tidak mendapati jejak keberadaan kedua anakku. Rasa penasaran menguras keringatku untuk mencari dua bersaudara itu.

“Fathan!”

“Vivin!”

Ehsan Fathan, nama lengkap anak sulungku yang baru saja pergi dari rumah bersama si adiknya, mungkin. Elvina, aku suka memanggilnya dengan sebutan Vivin.

Namun mereka menghilang. Tidak ada yang menyahut panggilanku. Satu kamar tidur tampak sepi, sedangkan satu ruang selanjutnya terlihat sama. Aku mulai curiga dari kehilangan dua anakku.

Tiba-tiba terdengar pintu utama terbuka pelan. Yang ternyata, dua bersaudara itu masuk ke rumah sambil mengendap-endap.

“Kalian dari mana?”

“Kami mau pergi ke rumah nenek, Ma. Tapi tadi—”

Fathan menghentikan ucapannya, mengingat tadi telah terjadi pertengkaran. Aku memperhatikan dua raut yang sedang tidak baik. Artinya, mereka takut akan dimarahi oleh orang tuanya.

“Pergilah! Pulangnya jangan sore.”

Aku menawarkan senyuman agar dua anakku terlihat bersemangat. Tanpa ragu, Fathan membawa si adik pergi ke rumah nenek. Mereka dengan begitu riang menunjukkan keceriaan. Anak kecil memang sangat mudah berpengaruh dalam hal perubahan situasi.

Aku memperhatikan kedua anakku yang berlalu dari rumah. Untungnya, rumah neneknya memang tidak terlalu jauh. Melihat mereka, aku jadi terngiang masa lalu, di saat aku masih memiliki seorang ibu. Tapi, aku malah mengingat kejadian terakhir ibuku pergi dari dunia ini.

***

Lima tahun yang lalu, tepat pada tanggal 10 Agustus 2017.

Situasi duka di sebuah rumah. Di tengah ruangan yang dipenuhi dengan suara-suara yasin dan doa dari para penduduk desa. Aku malah menyudutkan diri di ujung ruangan, menepi dari semua orang karena pilu.

Seorang pria paruh baya menghampiri diriku sambil melambaikan pelan ke depan wajahku.

“Haira, bisa ikut om sebentar?” Suara pria itu pelan, apalagi berisiknya ruangan tidak dapat didengar dengan jelas. Pria itu memberi kode kepadaku agar ikut dengannya.

Pada akhirnya, aku beranjak mengikuti pria paruh baya itu. Di satu ruangan sempit, sedikit orang yang berkumpul. Pria itu berhenti, membalikkan badan sambil memperlihatkan dokumen berwarna cokelat muda dari balik bajunya.

“Nak, kau perlu ingat satu hal!”

“Om hanya mau kamu bahagia.”

Pria di hadapanku ini adalah pamanku. Adik dari mendiang ibuku, menjulurkan sebuah dokumen berwarna cokelat muda kepadaku.

Aku memperhatikan dokumen yang segera dibuka oleh sang paman untukku.

“Sebagai anak tunggal, hanya kau yang bisa dapetin aset terbanyak. Sisanya, terserahmu. Tapi, om mau kamu merahasiakan ini dari orang lain, termasuk keluarga barumu,”

“om pengen kamu jaga wasiat kedua orang tuamu sampai salah satu anak kamu dewasa.”

Tuturan paman sedikit puas setelah menyampaikan wasiat penting kepada keponakannya. Itu aku.

“Om, apa aku harus berpura-pura miskin hanya karena memiliki harta ini?” Aku mendongakkan wajah untuk menunggu kepastian dari sang paman.

Paman meranggul, menepuk pelan pundakku. Aku mulai mendengus napas lesu, dimana aku akan menjadi orang biasa dengan berpura-pura miskin. Aku menarik ujung bibir, tersenyum kecil. Hingga mulai terangguk-angguk.

Sekilas senyuman yang berarti menerima.

***

Ingatan yang telah berlalu, aku mengerjapkan mata sesekali. Kepalaku menggeleng tidak ingin mengingatnya lagi. Kakiku bergeser menuju kamar mandi yang ada di sebelah dapur.

Waktu yang berlalu begitu cepat. Tidak terasa kalau dua anakku belum kembali pulang. Aku mengkhawatirkan dua anakku yang belum pulang dari rumah neneknya. Namun tubuhku secepatnya ke ruang tengah.

Tak lama menunggu, terdengar suara pintu terbuka. Suara tangis dari seorang anak perempuan menjerit kencang.

Aku sontak terperanjak dan melihat situasi yang berisik itu.

“Ayo cepat masuk! Cengeng banget sih kamu!”

Itu ibu mertuaku yang sangat cerewet dan jutek, usianya memang tak lagi muda. Berkisar 63 tahun, cantik, dengan tinggi badan yang melebihi diriku lima sentimeter—165 sentimeter. Seorang mualaf yang sudah berumur sekitar 30 tahun yang lalu.

Tubuh si kecil berlari ke dekatku untuk segera digendong olehku. Dengan cekatan, aku menggendong tubuh Elvina sambil membelai rambut lurusnya. Diikuti oleh Fathan yang hanya menunduk, kemudian berlari dengan cepat memasuki kamar.

“Hei, Haira! Dia nangis mulu tuh. Nggak tahu lagi dia mau apa? Dikasih apa aja tetap rewel.” Ibu mertuaku mengacungkan jemarinya meninggi, resah dari kelakuan dua anakku.

Aku merunduk, “Maaf, Ma. Mungkin Elvina udah ngantuk.”

Kakiku melawan dari hadapan ibu mertua yang sudah membawa pulang Elvina. Namun tangan kasar ibu menarik kuat lenganku. Menatap dengan visus, tajam. Sorotan matanya seakan meminta sesuatu dariku.

“Eh, kamu belum ngerti sama kedatangan mama ke sini?” sambar ibu mertuaku—Cantika.

“Ma, nanti aku bakal ke rumah mama. Aku bahkan belum dapet gaji,” keluhku secepat kilat membaca situasi.

“Alah! Jangan banyak alasan. Kalo kamu telat kasih uang, mama nggak mau jagain Vivin lagi!”

Aku harus diam ketika melihat ibu mertua berkirai dengan napas resah. Bersamaan dengan tangis yang hendak memicu situasi ricuh. Tanganku hanya bisa membelai dan menepuk punggung si kecil, membujuknya agar berhenti merengek.

Elvina terus menderu tangis. Aku terus berusaha sambil menepuk punggung Elvina perlahan-lahan. Apa lagi, baru saja aku mendapat desakan keras dari ibu mertuaku. Tentang uang lagi, mereka tidak akan bersabar kalau demi sepeser uang.

Fathan keluar dari kamar sembari menampakkan wajah kesal menyorot ke arahku. Aku sedikit curiga dan iba.

“Nenek jahat, Ma! Nenek jahat!” teriak Fathan kembali mengamuk. Dengan kasar dia membanting pintu kamar hingga menutup pintu rapat-rapat.

Aku bingung harus berbuat bagaimana?

‘Seharusnya aku nggak ngizinin kalian datang ke rumah nenek.’

Semua menjadi serba salah. Mataku sendu sambil menatap putriku menangis serta si sulung merajuk.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status