Share

Bersama Tanpa Terpaksa
Bersama Tanpa Terpaksa
Penulis: bubukmerica

Bab 1

"Begitu syulit lupakan Rehan apalagi Rehan baik."

Devan asik bernyanyi dengan suara yang dibuat mendayu dayu sembari mengelap rambutnya yang basah. Ia baru selesai mandi dan hanya pakai boxer.

"Begitu syulit ...."

Tiba-tiba Devan dikejutkan dengan pintu kamarnya yang terbuka. Sontak Devan membalikkan badan.

"Wow," girang wanita itu.

Devan buru-buru menutup burungnya dengan handuk yang ia pakai mengelap rambut. "Siapa kamu? Ngapain kamu masuk ke kamar orang sembarangan."

"Yaaah." Wanita itu kecewa dengan tindakan Devan yang menutup burungnya. Lalu ia mendongak menatap Devan, ingat tujuannya mendobrak pintu. "Yang nyanyi tadi itu kamu?”

"Kenapa memangnya?” Wajah Devan memerah menahan amarah, plus malu.

Bukannya menjawab gadis itu malah memperhatikan tubuh Devan dari atas sampe bawah lalu kembali lagi ke atas. "Badan berotot, suara ngebass, eh nyanyi lagu Rehan, mendayu pula tuh."

Gadis itu menutup pintu dan mendekat membuat Devan melotot. "Mau ngapain kamu? Keluar!"

"Sayang, perempuan kayak aku cantik loh, lebih enak juga." Gadis itu meliukkan tubuhnya. Memamerkan bagian tubuhnya yang terlihat tepos depan belakang.

Devan mengerutkan kening. Berusaha mencerna maksud ucapan gadis itu. Begitu tersadar ia melotot lagi. "Saya emang doyan perempuan."

"Iyakah?" Gadis itu mendekat. "Tapi Sayang, jangan suka melotot lah, nanti keluar loh matamu." Tangannya berusaha menyentuh badan Devan.

Namun, belum disentuh, Devan sudah lebih dulu berteriak, mengejutkan gadis itu. Lalu ia tertawa keras. "Lucu banget, ya ampun. Jadi pacarku ya?"

"Dasar gila! Keluar sana!” Devan membuka pintu dengan kasar, ia kesal sampai di ubun-ubun.

Gadis itu cemberut, tapi tetap melangkah keluar. "Aku Eleanora, nama...."

Tanpa menunggu gadis itu selesai bicara, Devan menutup pintu keras-keras dan menguncinya. Ia merinding mengingat kelakuan gadis itu. Devan memang lumayan sering digoda perempuan, tapi rata-rata tante-tante yang kesepian atau paling tidak wanita dewasa yang sudah matang. Seumur-umur ia belum pernah digoda seperti itu oleh anak kecil.

"Eleanora ya." Devan rebahan tanpa memakai bajunya lebih dulu. Lagipula pintu kamarnya sudah dikunci, jadi aman.

Devan mengingat ingat, belum pernah ia lihat Eleanora di sekitar kosannya. Mungkin penghuni baru. Devan menebak-nebak. Kalau mungkin penghuni baru, di mana kamar gadis itu.

"Kalau dia sampai dengar suaraku, berarti …." Devan melirik tembok sebelah kanannya. Tetangga kamarnya itu kosong, mungkin kini Eleanora yang menempati.

Kos-kosan itu berbentuk L dan ada 24 kamar, 14 di bawah, 10 di atas dengan tangga di bagian tengah, sejajar dengan rumah ibu kos. Kamar Devan berada di paling ujung sebelah kanan lantai dua, berhadapan dengan tembok rumah ibu kos, berjarak satu meter dari teras.

Di balik tembok depan kamarnya itu adalah tempat menjemur pakaian ibu kos sekeluarga.  Untung saya bagian yang terbuka bukanlah depan kamar kosnya, kalau tidak, pemandangan yang ia lihat setiap hari pastilah dalaman bapak-bapak dan ibu-ibu.

Devan menutup mata, ingin tidur. Ia berharap gadis itu tidak lagi mengganggunya besok.

Namun, doanya tidak tidak terkabul. Pagi ini saat Devan baru keluar kamar untuk berangkat kerja, ia sudah disambut sapaan centil Eleanora.

"Selamat pagi, Devan Sayang," sapa Eleanora dengan senyum yang manis, tapi buat Devan bergidik.

Buru-buru Devan turun dari sana. Ia tidak mau berhadapan lama-lama dengan Eleanora. Apalagi gadis itu sudah tahu namanya. Pasti semalam Eleanora mengkepoi dirinya pada penghuni kos yang lain.

Namun, begitu sampai di parkiran, motor bututnya tidak mau lekas bunyi. Bikin geram saja. Apalagi kini Eleanora sudah di dekatnya sambil tersenyum.

“Biar kamu semangat,” kata Eleanora, ia mencuri cium pipi Devan lalu berlari menjauh.

Sontak Devan menjerit histeris membuat para penghuni kos yang masih ada juga ibu bapak kos keluar melihat Devan.

“Maaf, Bu, saya kaget ada ulat bulu.” Devan tersenyum kikuk, malu dan tak enak hati telah membuat kehebohan.

Sampai di tempat kerjanya, Devan segera menyortir paket-paket yang akan dikirim bersama teman-teman kerjanya. Hari ini masing masing mereka dapat jatah 150an paket. Dan sebisa mungkin paket-paket itu diantar hari itu juga, malah kalau bisa ia nerharap bisa mengantar lebih banyak dari itu. Supaya tidak makin menumpuk.

Dulu semasa Devan kuliah, waktu pengiriman paketnya disesuaikan dengan jadwal kuliahnya. Tidak ada waktu itu bermain atau sekedar nongkrong bersama kawan-kawan, membuat Devan tidak punya teman akrab. Bahkan ketika ada dosen yang berhalangan hadir, Devan menjadi salah satu mahasiswa yang paling senang. Sebab ia bisa mengantar paket lebih banyak.

Sebenarnya keadaan ekonomi keluarganya tidak termasuk sulit. Namun, ia tetap memilih bekerja sambil kuliah karena merasa sudah dewasa. Hitung-hitung hasil kerjanya bisa ia tabung.

Devan suka ditanya, untuk apa uang tabungannya.

"Untuk biaya nikah," kelakarnya kala itu. Padahal pacar saja ia tidak punya. Devan jomlo dari lahir.

Devan menelepon satu persatu pemilik beberapa paket yang akan ia antarkan. Sebagian besar ia sudah biasa mengantarkan, sisa beberapa yang masih asing. Sehingga harus konfirmasi lebih dulu, apalagi jika paketnya cukup besar untuk diangkut oleh motor maticnya.

Setelah selesai mengkonfirmasi, Devan segera mengemasnya untuk diangkut. Keluar dari kantor ia sambut dengan senyum. Berharap hari ini lancar tanpa kendala.

Devan mulai mengantarkan dari yang paling dekat dengan kantornya. Dari pagi sampai siang pekerjaannya lancar. Walau cuacanya sudah mirip dengan tetangga neraka, Devan tetap tersenyum. Apalagi jika ada customer baik yang memberi uang lebih atau sekadar air putih untuk meredakan rasa haus.

Pernah sekali ia beruntung karena memaksa mengantarkan paket ke customer pada tengah hari bolong yang sedang panas-panasnya. Dan ternyata si customer sedang buat acara kecil-kecilan di rumahnya. Sehingga ia pun ditawari untuk ikut menikmati sebelum melanjutkan misi.

Tentu saja dengan senang hati Devan menyambut, dan ia pun mengambil es buah yang ternyata isinya bukan kaleng-kaleng. Es buah itu benar-benar es buah, isinya buah beneran, bukan sekadar agar-agar beda warna yang biasa ia temui di acara-acara di kampungnya.

Karena customernya baik, ia tidak malu untuk tambah. Alhasil hausnya hilang, perut pun kenyang.

Namun, tak jarang juga ia merasa buntung. Apalagi saat mengantar paket dengan sistem pembayaran COD. Cukup sering ia mendapat customer yang pelit dan sombong. Bahkan ada yang sampai mengerik gajinya. Seperti sekarang ini.

"Maaf, Bu. Uangnya kurang lima ribu." Devan menegur ramah, sembari memperlihatkan uangnya yang hanya delapan puluh ribu lima ratus.

Si Customer mendelik. "Kurang apanya, itu sudah pas."

"Maaf, Bu, harga paketnya 85.500, bukan 80.500." Devan masih tersenyum.

Si Customer memperhatikan label pengiriman paketnya. "Halah, Mas, mahal banget, kurangin lah itu lima ribu."

"Tugas saya cuma ngantar, Bu. Saya bukan penjualnya, jadi ibu jangan nawar sama saya," jawab Devan kaku, ia sudah tidak bisa tersenyum ramah. Apalagi sekarang sudah jam dua belas, panas dan ia lapar belum istirahat.

"Jangan pelit dong, Mas, masa segitu doang ditagih." Urat di leher si customer mulai tampak. "Kalo nggak mau sini saya ambil lagi uangnya." Tangan si customer bergerak cepat merebut uangnya kembali.

Untung saja refleks Devan cukup bagus sehingga si customer tak berhasil merebut uang itu. "Jangan gitu dong, Bu."

Si customer berkacak pinggang dengan napas naik turun. “Pergi sana, mengganggu saja.” Lalu menutup pintunya keras-keras tanpa berucap apa-apa lagi.

Devan mengembuskan napasnya lewat mulut keras-keras. Berharap panas di dada dan kepalanya keluar. Tak ingin perkara uang lima ribu ia ribut dan memancing orang lihat. Devan keluar halaman rumah si customer dengan mengelus dada. Berusaha ikhlas uang lima ribunya hilang.

Memang tidak seberapa, tapi uang lima ribu itu bisa ia belikan mi instan dua bungkus dan dimakan empat kali karena satu bungkus dibagi dua. Di makannya pakai nasi biar kenyang. Irit ala anak kos.

Devan pulang dengan lunglai. Payah sekali ia hari ini. Doanya tidak terkabul. Bukannya untung, ia malah buntung. Sudahlah ada yang bayar paketnya kurang, kena amuk gara-gara isi paketnya tidak sesuai, eh malah dikasih uang palsu sama customer. Ia jadi rugi seratus lima ribu.

Dan sekarang saat Devan akan beristirahat dengan tenang, tetangga barunya datang lagi. Dengan mata sayu, Devan mendorong kaki Eleanora yang menghalang agar pintu kamarnya tidak bisa ditutup.

Beberapa detik tatap-tatapan, Devan kehilangan kendali sehingga Eleanora menyusup lewat bawah lengannya. Devan menguap dan menggaruk kepalanya kesal. Dia capek dan ingin tidur.

"Tolong ya, saya capek dan mau tidur." Devan membuka lebar lebar pintu kamarnya.

"Ayo makan, Sayang." Cepat-cepat Eleanora mengeluarkan bawaannya. Menatanya di pantai, di samping tempat tidur Devan. Sepasang piring, nasi dan lauk pauknya.

Devan mengumpat dalam hati, Eleanora menyogoknya dengan nasi padang. Tahu dari mana Eleanora kalau dia suka nasi padang?

Devan berdeham, tenggorokannya tiba-tiba serak. Ia mau tapi malu. Jari kakinya bergerak-gerak tidak jelas. Perutnya mulai bergemuruh minta diisi.

"Ayo Sayang keburu dingin."

"Sayang-sayang, saya bukan pacarmu." Devan masih enggan untuk ikut duduk bersama Eleanora.

Eleanora berdiri. "Bacoot." Lalu menarik Devan untuk duduk.

Devan pun membuka jaket dan menaruh tasnya di atas tempat tidur, sedang Eleanora mengambilnya air cuci tangan untuk Devan. Karena sudah kepalang duduk depan makanan, Devan melahap tanpa malu-malu.

Eleanora menambahkan tiga potong daging ke piring Devan. "Tambah daging kambingnya, Sayang. Biar ototmu makin gede," ucapnya menatap nakal ke selangkangan Devan.

Devan langsung menutup rapat kakinya. Ngeri sama tatapan Eleanora. Macam tante-tante genit nan kesepian yang biasa ia temui saat mengantar paket. Tampaknya Eleanora berbakat.

Komen (1)
goodnovel comment avatar
asroni
good job toppppp
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status