"Kamu niat bikin saya kena kolesterol ya?”
"Kok kolesterol, harusnya kan diabetes."
Devan memicingkan matanya menatap Eleanora, lalu mengangguk. "Pengetahuanmu agak kurang ya, nanti baca-baca lagi di internet, banyak kok."
Eleanora tertawa. "Loh benar kan, harusnya diabetes, kan tiap hari kamu kukasih senyuman manis." Ia menangkup wajahnya, bersikap sok imut.
Devan mendengkus lalu berdiri, mengisi magicom dengan air. Sepertinya berniat membuat mi instan. Pakai magicom karena tak punya kompor.
"Banyak loh kasus orang benci jadi cinta." Eleanora mengedip-ngedipkan matanya. "Kalo kamu terus-terusan benci, benci, benci sama aku, nanti kamu jadi cinta mati loh sama aku." Bibirnya menarik senyum simpul, geli.
Namun yang diajak bicara tidak bereaksi, ia sibuk melihati air yang ia masak di magicom. Sudah lima menit belum mendidih.
Eleanora gemas melihatnya. Entah berapa lama lagi Devan menunggu kalau magicomnya tidak ditutup.
"Udah sih, makan yang ada aja. Malah yang ini lebih enak."
Devan melirik nasi padang di sampingnya sekilas lalu sibuk main hape. Volumenya dikasih keras, tapi kendati demikian Eleanora masih bisa mendengar bunyi perut Devan yang keroncongan.
"Nggak mau beneran nih?” Eleanora turun dari tempat tidur Devan. "Ya udah, aku kasih kucing di sebelah aja."
Eleanora masih menunggu reaksi Devan, tapi beberapa saat Devan tetap bergeming. Akhirnya mau tidak mau Eleanora mengemas bawaanya. Ia punya rencana lain.
"Bye Sayang, masak mie instannya yang banyak yaa." Eleanora keluar kamar Devan dan menutup pintu. Membiarkan Devan dengan air panasnya.
Eleanora masuk ke kamarnya sendiri, menaruh makanannya di atas meja, lalu keluar lagi membawa sapu. Eleanora pergi ke tempat kWh meter kamar kos lantai 2, lalu mengubah saklar mcb listrik menjadi off. Setelah itu Eleanora buru-buru kembali ke kamarnya.
Berbaring sembari menunggu Devan mengetuk pintu kamarnya. Ia berselancar di media sosial sampai tidak sadar sudah tiga puluh menit berlalu. Dan Devan belum muncul juga.
Eleanora menatap nasi padangnya. "Masa ya mau dikasih kucing betulan."
Eleanora mendesah lalu berbaring lagi, matanya melirik jam dinding tempel yang ia beli di toko online pakai payleter. Sudah jam delapan malam lewat tiga puluh satu menit, Umay dan Aras, kenalannya di lantai bawah pasti sudah pulang.
"Tapi nasinya sudah dingin." Eleanora menelungkup, kecewa rencananya gagal.
Lalu tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk. Eleanora bangkit, semangat karena ia pikir itu Devan, tapi ternyata harapannya keselip di sela-sela sofa, yang di dalam sana ada banyak koloni kutu busuk.
"Kenapa, may?" Eleanora menyapa ramah, menyembunyikan rasa kecewanya. Ia membuka lebar pintu kamarnya.
Umay menggaruk kepalanya, terlihat kikuk. "Anu, kamu ada duit nggak?”
"Ada."
"Sepuluh ribu?”
"Ada."
"Seratus ribu?"
Eleanora mengangguk.
"Kalo dua ratus?”
Eleanora mengangkat sebelah alisnya. "Jadi mau pinjam berapa?” Eleanora mengambil dompetnya, masih ada beberapa lembar uang merah dan biru, yang paling banyak uang dua ribuan.
"Dua puluh ribu aja, El." Tiba-tiba Aras muncul sambil nyengir.
Eleanora tertawa. Ia mengerti, maksudnya dua puluh itu itu adalah dua ratus ribu. Eleanora memang belum lama berteman dengan mereka, tapi ia sudah mulai mengerti mereka.
"Nih, dua puluh ribu." Eleanora mengeluarkan uang dua ratus ribu.
Aras menerimanya sambil nyengir. "Tengkyu Eleanora cantik, cuma kamu yang mengerti diriku," ucapnya mendrama. Lalu uangnya yang ia bentuk kipas ditarik satu oleh Umay.
"Kapan harus balikinnya, El? Tanggal 2 bulan depan nggak apa-apa kah?"
Eleanora mengangguk. Derita anak kos memang biasanya kehabisan uang diakhir bulan. Apalagi mahasiswa seperti mereka, dapat kiriman orang tua saat awal bulan. "Bebas, sebisanya kalian aja kapan."
"Kalo gitu makasih ya, El. Laper nih mau beli makan."
Eleanora mengangguk dan melambaikan tangan ke mereka. Sebelum sosok mereka tidak terlihat, mereka sempat menoleh dan melakukan cium jauh, membuat Eleanora tertawa. Mereka berdua memang sepasang sahabat yang agak-agak.
Saat Eleanora mau tutup pintu, Devan muncul, agak malu-malu.
"Nasi padangnya sudah dibuang?"
Eleanora mengulum senyum. "Katanya nggak mau," godanya.
"Tukar sama ini." Devan mengangkat tangannya, menunjukan mi instan goreng yang sudah dibuka, terlihat tinggal sedikit karena dimakan mentah bersama bumbunya.
Eleanora menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Kalo ditukar dengan ciuman aku mau."
Mendadak raut wajah Devan menjadi datar. Ia balik badan. "Mending saya beli sendiri."
Eleanora tertawa lalu menarik Devan masuk ke kamarnya. Terlihat agak ragu karena ini pertama kalinya Devan masuk ke kamarnya, tapi akhirnya masuk juga.
Eleanora menyiapkan makanan seperti biasa. Benar-benar terlihat seperti seorang istri idaman. Eleanora terkikik, merasa geli dengan pemikirannya.
"Ketawa terus, kayak kuntilanak."
Gerutuan Devan membuat Eleanora lagi-lagi berpikiran licik. Seketika ia memegang lutut Devan yang terbuka karena pakai celana pendek.
Sontak Devan berteriak dan mendorong Eleanora menjauh. Eleanora yang hilang keseimbangan jadi terjadi dan kepalanya terbentur meja. Eleanora mengaduh sakit, tapi masih bisa tertawa.
Devan membantu Eleanora agar duduk kembali. Dari raut wajah Devan kelihatan seperti merasa bersalah, Eleanora sadar itu tapi ia berusaha terlihat baik-baik saja, alias tidak terlalu sakit.
Sampai saat setelah selesai makan, ada darah mengalir melewati telinga Eleanora. Sejak tadi memang kepalanya berdenyut, tapi tidak menyangka kalau benturan itu bisa membuatnya terluka.
Eleanora biasa saja, tapi Devan yang panik, mungkin karena merasa itu salahnya. Sehingga tanpa persetujuan Eleanora, Devan membawa Eleanora ke puskesmas terdekat. Dibonceng pakai motor dan dipakaikan helm oleh Devan.
Tanpa Devan ketahui, kepala Eleanora makin berdenyut begitu pakai helm. Apalagi Devan berkendara tak kenal pelan. Ngebut sampai beberapa kali kepala Eleanora terbentuk kepala Devan.
Jujur Eleanora ingin mengumpat, tapi hal ini juga bikin ia senyum senyum sendiri melihat Devan mengkhawatirkannya.
Setelah diperiksa ternyata lukanya tidak serius, hanya robek sedikit. Sebenarnya darah yang keluar juga tidak banyak. Hanya mungkin karena panik, Devan langsung mengajaknya ke puskesmas. Bahkan Eleanora sampai tidak sempat mengunci pintu kamarnya.
"Kamu kok kita belum nikah aja udah KDRT?" tanya Eleanora membuka keheningan diantara mereka setelah sepuluh menit menunggu di apotek. Padahal sepi, tapi bisa-bisanya petugasnya lama. Tidur kah, tapi belum juga jam sepuluh malam. Masih lima menit lagi.
Devan tidak menjawab, ia hanya melihat Eleanora sekilas lalu kembali fokus ke hapenya.
Lalu Eleanora menyandarkan kepalanya ke pundak Devan. "Kepalaku pusing," ucapnya saat dirasanya Devan akan menjatuhkan kepalanya. Eleanora benar-benar tak mau kehilangan kesempatan ini. Ini saatnya ia mencuri kesempatan dalam kesempitan.
"Kamu khawatir banget ya tadi sama aku sampe langsung bawa aku ke sini." Walaupun agak kampret karena saat bawa motornya Devan bar-bar, tapi Eleanora tetap harus apresiasi.
"Nggak usah besar kepala, saya cuma nggak mau nanti keluar uang lebih banyak kalo kamu kenapa-kenapa."
Jawaban yang agak mengecewakan, tapi Eleanora merasa ini kemajuan.
Eleanora tidak jadi menyesal sudah memegang lutut Devan tadi. Kedepannya Eleanora berencana untuk menciptakan kesempatan-kesempatan yang lain.
"Tapi kamu nggak mau minta maaf udah buat aku kayak gini?"
"Iya, maaf."
Eleanora menoleh, wajahnya sangat dekat dengan Devan. Selama menatap bibir Devan, Eleanora tidak berkedip. Apalagi saat bibir itu dibasahi oleh Devan. Eleanora bergelitik, mode mesumnya mulai tidak terkontrol lagi. Segara ia mengangkat kepalanya dari bahu Devan.
Tak lama kemudian namanya dipanggil, Devan dengan sigap maju, mengambil dan membayar obat untuk Eleanora.
Tanpa kata lagi, mereka pulang ke kosan. Saling diam. Entah apa yang ada dipikiran Devan. Namun di kepala Eleanora, ia memikirkan apa lagi yang harus dia lakukan untuk mendekati laki-laki yang memboncengnya itu. Ia tak mau lama-lama.
Eleanora melingkarkan tangannya ke perut Devan, membuat tubuh Devan kaku seketika. Untuk Devan mengendara dengan pelan. Tangan Eleanora berusaha dilepaskan Devan, tapi Eleanora semakin erat memeluk. Ia juga menyandarkan kepalanya dipunggung Devan. Nyaman.
Sampai dikosan, Devan meninggalkan Eleanora sendiri di parkiran setelah melirik kesal pada Eleanora. Eleanora menghela napas, ia tak langsung masuk ke kosnya. Ia memilih duduk dulu di dipan bawah pohon mangga. Ia baring dengan kaki menggantung.
"Aku pasti bisa dapatkan kamu." Eleanora tersenyum licik sembari menutup mata.
"Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b
Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har
Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki
Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah
"Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di
"Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti
"Jadi bagaimana, Mas? Apa perlu kita mengirim orang untuk mengecek ke sana?""Jangan, jangan." Keenan menggeleng, tidak menyutujui saran Yudi. "Lebih baik jangan, terlalu berbahaya. Kita tidak tahu situasi di sana seperti apa. Jangan sampai masih ada yang berusaha untuk masuk, atau mungkin lebih parah, kita tidak tahu. Saya tidak mau kalian kenapa-kenapa."Keenan menarik napas sejenak, ia menatap teman-temannya satu persatu. Tidak semua berada di dalam ruangan itu karena beberapa harus tetap berjaga di luar, tapi masing masing dari mereka bisa mendengar percakapan ini dan juga bisa mengutarakan pendapat."Dengar, kalian semua yang ada di sini adalah orang orang yang dipilih langsung oleh Tuan, itu tandanya beliau sangat percaya kalian bisa menjaga anak, menantu dan cucunya. Paham?"Semua serentak mengatakan paham."Jadi saya tidak mau kalian kenapa-kenapa. Apalagi sekarang dua tuan kalian dalam keadaan yang tidak baik, kalau terjadi sesuatu sama kalian, siapa yang akan menjaga dan me
Mendengar penuturan Ibu, Zia hanya bisa menghela napas. Sementara itu Devan bersama Yudi mendatangi penjara bawah tanah yang berada di bawah rumah salah satu pengawal. Di sana Damar dikurung. "Siapa namanya?" "Damar, Mas." Keenan menaikkan alisnya. Nama itu terdengar tidak asing, tapi ia tidak ingat siapa orang itu. Ia juga tidak bisa menduga hal gila apa yang sudah ia dan Eleanora lakukan sampai laki-laki itu membalas dendam dengan menculik Vanela. Ketika sampai di penjara itu, barulah Keenan ingat dan mengerti. Damar adalah laki-laki hidung belang yang pernah ia buang atas suruhan Eleanora karena mengganggu ketenangan kos-kosannya dulu dengan Devan. Keenan mendengkus keras, harusnya dulu ia tidak memberi ampun pada laki-laki itu sekalipun memohon sampai menangis darah. "Halo," sapa Damar dengan ekspresi yang menjengkelkan. "Tidak dapat anaknya, dapat suaminya, hmm lumayan," ucap Damar di akhiri tawa yang terdengar sangat memuakkan. Keenan hanya bisa mengepalkan tangan dengan
Keenan sampai di ruang rawat inap Zia dengan napas terengah. Ia di sambut Desi di depan pintu. Zia sudah keluar dari Icu, sudah sempat sadar tapi tapi langsung tidur lagi efek pengaruh obat. Keenan bernapas lega, masuk dengan mata sayu. Ia melihat ke arah sofa bed. Keenan bersyukur Desi cukup peka dengan tidak ragu-ragu memilih kamar inap, sehingga Baruna bisa beristirahat dengan nyenyak meski sedang berada di rumah sakit. Keenan menghampiri Baruna lebih dulu, mengecup kening anaknya cukup lama lalu menghampiri Zia. Lama Keenan memperhatikan wajah Zia yang tampak damai. Meski demikian wajah itu sedang tidak baik-baik saja, ada beberapa memar kecil dan luka gores menghiasi wajah cantik Zia. Mata Keenan memanas. Ia tidak tahu kalau rindunya pada Zia sebesar ini. Ia tahan tangisnya agar tidak terdengar. Dengan ragu-ragu ia mengecup satu persatu luka yang ada di wajah Zia. Berharap luka-luka itu cepat sembuh dan tidak meninggalkan bekas. Bukan karena ia tidak terima jika Zia punya bekas