Share

Bab 2

"Kamu niat bikin saya kena kolesterol ya?”

"Kok kolesterol, harusnya kan diabetes."

Devan memicingkan matanya menatap Eleanora, lalu mengangguk. "Pengetahuanmu agak kurang ya, nanti baca-baca lagi di internet, banyak kok."

Eleanora tertawa. "Loh benar kan, harusnya diabetes, kan tiap hari kamu kukasih senyuman manis." Ia menangkup wajahnya, bersikap sok imut.

Devan mendengkus lalu berdiri, mengisi magicom dengan air. Sepertinya berniat membuat mi instan. Pakai magicom karena tak punya kompor.

"Banyak loh kasus orang benci jadi cinta." Eleanora mengedip-ngedipkan matanya. "Kalo kamu terus-terusan benci, benci, benci sama aku, nanti kamu jadi cinta mati loh sama aku." Bibirnya menarik senyum simpul, geli.

Namun yang diajak bicara tidak bereaksi, ia sibuk melihati air yang ia masak di magicom. Sudah lima menit belum mendidih.

Eleanora gemas melihatnya. Entah berapa lama lagi Devan menunggu kalau magicomnya tidak ditutup.

"Udah sih, makan yang ada aja. Malah yang ini lebih enak."

Devan melirik nasi padang di sampingnya sekilas lalu sibuk main hape. Volumenya dikasih keras, tapi kendati demikian Eleanora masih bisa mendengar bunyi perut Devan yang keroncongan.

"Nggak mau beneran nih?” Eleanora turun dari tempat tidur Devan. "Ya udah, aku kasih kucing di sebelah aja."

Eleanora masih menunggu reaksi Devan, tapi beberapa saat Devan tetap bergeming. Akhirnya mau tidak mau Eleanora mengemas bawaanya. Ia punya rencana lain.

"Bye Sayang, masak mie instannya yang banyak yaa." Eleanora keluar kamar Devan dan menutup pintu. Membiarkan Devan dengan air panasnya.

Eleanora masuk ke kamarnya sendiri, menaruh makanannya di atas meja, lalu keluar lagi membawa sapu. Eleanora pergi ke tempat kWh meter kamar kos lantai 2, lalu mengubah saklar mcb listrik menjadi off. Setelah itu Eleanora buru-buru kembali ke kamarnya.

Berbaring sembari menunggu Devan mengetuk pintu kamarnya. Ia berselancar di media sosial sampai tidak sadar sudah tiga puluh menit berlalu. Dan Devan belum muncul juga.

Eleanora menatap nasi padangnya. "Masa ya mau dikasih kucing betulan."

Eleanora mendesah lalu berbaring lagi, matanya melirik jam dinding tempel yang ia beli di toko online pakai payleter. Sudah jam delapan malam lewat tiga puluh satu menit, Umay dan Aras, kenalannya di lantai bawah pasti sudah pulang.

"Tapi nasinya sudah dingin." Eleanora menelungkup, kecewa rencananya gagal.

Lalu tiba-tiba pintu kamarnya ada yang mengetuk. Eleanora bangkit, semangat karena ia pikir itu Devan, tapi ternyata harapannya keselip di sela-sela sofa, yang di dalam sana ada banyak koloni kutu busuk.

"Kenapa, may?" Eleanora menyapa ramah, menyembunyikan rasa kecewanya. Ia membuka lebar pintu kamarnya.

Umay menggaruk kepalanya, terlihat kikuk. "Anu, kamu ada duit nggak?”

"Ada."

"Sepuluh ribu?”

"Ada."

"Seratus ribu?"

Eleanora mengangguk.

"Kalo dua ratus?”

Eleanora mengangkat sebelah alisnya. "Jadi mau pinjam berapa?” Eleanora mengambil dompetnya, masih ada beberapa lembar uang merah dan biru, yang paling banyak uang dua ribuan.

"Dua puluh ribu aja, El." Tiba-tiba Aras muncul sambil nyengir.

Eleanora tertawa. Ia mengerti, maksudnya dua puluh itu itu adalah dua ratus ribu. Eleanora memang belum lama berteman dengan mereka, tapi ia sudah mulai mengerti mereka.

"Nih, dua puluh ribu." Eleanora mengeluarkan uang dua ratus ribu.

Aras menerimanya sambil nyengir. "Tengkyu Eleanora cantik, cuma kamu yang mengerti diriku," ucapnya mendrama. Lalu uangnya yang ia bentuk kipas ditarik satu oleh Umay.

"Kapan harus balikinnya, El? Tanggal 2 bulan depan nggak apa-apa kah?"

Eleanora mengangguk. Derita anak kos memang biasanya kehabisan uang diakhir bulan. Apalagi mahasiswa seperti mereka, dapat kiriman orang tua saat awal bulan. "Bebas, sebisanya kalian aja kapan."

"Kalo gitu makasih ya, El. Laper nih mau beli makan."

Eleanora mengangguk dan melambaikan tangan ke mereka. Sebelum sosok mereka tidak terlihat, mereka sempat menoleh dan melakukan cium jauh, membuat Eleanora tertawa. Mereka berdua memang sepasang sahabat yang agak-agak.

Saat Eleanora mau tutup pintu, Devan muncul, agak malu-malu.

"Nasi padangnya sudah dibuang?"

Eleanora mengulum senyum. "Katanya nggak mau," godanya.

"Tukar sama ini." Devan mengangkat tangannya, menunjukan mi instan goreng yang sudah dibuka, terlihat tinggal sedikit karena dimakan mentah bersama bumbunya.

Eleanora menyelipkan rambutnya di belakang telinga. "Kalo ditukar dengan ciuman aku mau."

Mendadak raut wajah Devan menjadi datar. Ia balik badan. "Mending saya beli sendiri."

Eleanora tertawa lalu menarik Devan masuk ke kamarnya. Terlihat agak ragu karena ini pertama kalinya Devan masuk ke kamarnya, tapi akhirnya masuk juga.

Eleanora menyiapkan makanan seperti biasa.  Benar-benar terlihat seperti seorang istri idaman. Eleanora terkikik, merasa geli dengan pemikirannya.

"Ketawa terus, kayak kuntilanak."

Gerutuan Devan membuat Eleanora lagi-lagi berpikiran licik. Seketika ia memegang lutut Devan yang terbuka karena pakai celana pendek.

Sontak Devan berteriak dan mendorong Eleanora menjauh. Eleanora yang hilang keseimbangan jadi terjadi dan kepalanya terbentur meja. Eleanora mengaduh sakit, tapi masih bisa tertawa.

Devan membantu Eleanora agar duduk kembali. Dari raut wajah Devan kelihatan seperti merasa bersalah, Eleanora sadar itu tapi ia berusaha terlihat baik-baik saja, alias tidak terlalu sakit.

Sampai saat setelah selesai makan, ada darah mengalir melewati telinga Eleanora. Sejak tadi memang kepalanya berdenyut, tapi tidak menyangka kalau benturan itu bisa membuatnya terluka.

Eleanora biasa saja, tapi Devan yang panik, mungkin karena merasa itu salahnya. Sehingga tanpa persetujuan Eleanora, Devan membawa Eleanora ke puskesmas terdekat. Dibonceng pakai motor dan dipakaikan helm oleh Devan.

Tanpa Devan ketahui, kepala Eleanora makin berdenyut begitu pakai helm. Apalagi Devan berkendara tak kenal pelan. Ngebut sampai beberapa kali kepala Eleanora terbentuk kepala Devan.

Jujur Eleanora ingin mengumpat, tapi hal ini juga bikin ia senyum senyum sendiri melihat Devan mengkhawatirkannya.

Setelah diperiksa ternyata lukanya tidak serius, hanya robek sedikit. Sebenarnya darah yang keluar juga tidak banyak. Hanya mungkin karena panik, Devan langsung mengajaknya ke puskesmas. Bahkan Eleanora sampai tidak sempat mengunci pintu kamarnya.

"Kamu kok kita belum nikah aja udah KDRT?" tanya Eleanora membuka keheningan diantara mereka setelah sepuluh menit menunggu di apotek. Padahal sepi, tapi bisa-bisanya petugasnya lama. Tidur kah, tapi belum juga jam sepuluh malam. Masih lima menit lagi.

Devan tidak menjawab, ia hanya melihat Eleanora sekilas lalu kembali fokus ke hapenya.

Lalu Eleanora menyandarkan kepalanya ke pundak Devan. "Kepalaku pusing," ucapnya saat dirasanya Devan akan menjatuhkan kepalanya. Eleanora benar-benar tak mau kehilangan kesempatan ini. Ini saatnya ia mencuri kesempatan dalam kesempitan.

"Kamu khawatir banget ya tadi sama aku sampe langsung bawa aku ke sini." Walaupun agak kampret karena saat bawa motornya Devan bar-bar, tapi Eleanora tetap harus apresiasi.

"Nggak usah besar kepala, saya cuma nggak mau nanti keluar uang lebih banyak kalo kamu kenapa-kenapa."

Jawaban yang agak mengecewakan, tapi Eleanora merasa ini kemajuan.

Eleanora tidak jadi menyesal sudah memegang lutut Devan tadi. Kedepannya Eleanora berencana untuk menciptakan kesempatan-kesempatan yang lain.

"Tapi kamu nggak mau minta maaf udah buat aku kayak gini?"

"Iya, maaf."

 Eleanora menoleh, wajahnya sangat dekat dengan Devan. Selama menatap bibir Devan, Eleanora tidak berkedip. Apalagi saat bibir itu dibasahi oleh Devan. Eleanora bergelitik, mode mesumnya mulai tidak terkontrol lagi. Segara ia mengangkat kepalanya dari bahu Devan.

Tak lama kemudian namanya dipanggil, Devan dengan sigap maju, mengambil dan membayar obat untuk Eleanora.

Tanpa kata lagi, mereka pulang ke kosan. Saling diam. Entah apa yang ada dipikiran Devan. Namun di kepala Eleanora, ia memikirkan apa lagi yang harus dia lakukan untuk mendekati laki-laki yang memboncengnya itu. Ia tak mau lama-lama.

Eleanora melingkarkan tangannya ke perut Devan, membuat tubuh Devan kaku seketika. Untuk Devan mengendara dengan pelan. Tangan Eleanora berusaha dilepaskan Devan, tapi Eleanora semakin erat memeluk. Ia juga menyandarkan kepalanya dipunggung Devan. Nyaman.

Sampai dikosan, Devan meninggalkan Eleanora sendiri di parkiran setelah melirik kesal pada Eleanora. Eleanora menghela napas, ia tak langsung masuk ke kosnya. Ia memilih duduk dulu di dipan bawah pohon mangga. Ia baring dengan kaki menggantung.

"Aku pasti bisa dapatkan kamu." Eleanora tersenyum licik sembari menutup mata.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status