Share

Bab 3

Menjelang akhir tahun pasti pekerjaan setiap kurir pasti banyak. Diskon-diskon berterbaran di mana-mana. Penjualan online naik, paket yang dikirim makin banyak, Kang Paket makin capek, makin lama pulangnya.

Devan menipiskan bibir melihat tumpukan paket yang menggunung. Sudah bertahun-tahun dia jadi Mas Kurir, tapi tetap membuatnya merasa heran tiap kali melihat tumpukan paket sebanyak ini. Memang tidak sebanyak saat ramadhan menjelang lebaran, tapi kalau akhir tahun tetap saja banyak.

Devan dan teman-temannya bergerak cepat, memilah paket-paket yang harus segera diantar dan mana yang bisa ditunda. Meski begitu Devan tetap berharap bisa mengantar semuanya hari ini, karena bisa dipastikan besok akan menumpuk lagi.

Tidak apa. Demi uang, Devan rela berada di bawah teriknya matahari sepanjang hari. Hujan pun sebenarnya ia tak masalah, yang jadi masalah kalau paket yang dia bawa jadi basah. Nanti bukannya dapat bonus malah potong gaji gara-gara customer komplain.

Devan menghela napas ketika berhenti di depan sebuah kos-kosan. Paket yang ia antarkan atas nama Sofia. Tante-tante umur tiga puluan, dengan lemak lebih banyak diperut sampe berlipat lipat, tapi doyan sekali pakai baju kurang bahan.

"Assalamu'alaikum, paket." Devan mengetuk pintu kamar paling ujung, yang depan kamarnya banyak bergantung pakaian dalam.

Lima detik tak ada sautan, Devan mengetuk lagi. Gelisah karena orangnya lama. Padahal ia tahu penghuninya ada di dalam, soalnya jendelanya terbuka. Kalau bukan karena paket COD, sudah pasti ia selipkan lewat jendela.

"Pakeeet." Devan agak mengeraskan suaranya. Ia melihat lagi paketnya, alamat benar, nomor teleponnya ada, tapi Devan tidak mau menelepon. Ia kapok, pernah ia telepon dan berujung dapat kiriman gambar-gambar tak senonoh beberapa kali. Sering ditelepon juga dianya dengan modus tanya paketnya, padahal tidak ada. Akhirnya Devan memilih ganti nomor dan tak mau lagi membagi secara gratis nomornya pada tante-tante itu.

"Lama banget sih, Tante." Devan menggerutu. Malas menunggu dan memegang paketnya, pasalnya isinya beberapa mainan orang dewasa dan juga obat kuat. Devan geli dan jijik.

Tak lama si tante membuka pintu, tubuhnya basah dan hanya pakai handuk yang ukurannya kekecilan, biar bisa pamer paha.

"Mana uangnya, cepat." Devan menodong, menatap jidat si tante yang dirasa paling aman, putih mulus hasil mercuri. Tangan kirinya yang memegang paket agak dikebelakangkan.

"Tunggu sebentar yaaa," pinta si tante dengan centil lalu masuk kembali tanpa menutup pintu. Berjalan lenggak-lenggok kayak entok, lalu tiba-tiba menunduk sampai hutan rimbanya terlihat.

Devan langsung mengalihkan pandangannya sambil mengucap istighfar dalam hati. Menyesal karena tadi tak mau melihat kancut dan beha di jemuran. Kalau tahu matanya akan dinodai pasti mau saja ia lihat itu dalaman yang dari atas sampe bawah ada.

"Kamu nggak mau main-main dulu, Tante ada mainan baru loh."

Tante genit itu datang, tapi Devan masih tidak mau menolehkan kepalanya. Tangan kanan Devan meminta, tangan kirinya memberi.

"Ayo main dulu." Si Tante masih membujuk, ia mengambil tangan Devan yang langsung ditepis oleh yang punya.

Devan menghitung uangnya, lebih kelebihan dua puluh ribu. Devan mengembalikan, tapi Si Tante menolak.

“Tante bisa tambah kalo kamu mau main-main dulu.” Tangannya bergerak lagi menggapai lengan Devan.

"Makasih," balas Devan galak, lalu pergi menjauh.

Pernah ia ditawari jadi gigolo sama Si Tante. Katanya biar dapat uang cepat dan enak, daripada susah-susah jadi kurir antar paket, panas dan melelahkan.

Sepertinya Devan harus bilang ke temannya, kalau sama Tante Sofia ini dapat tip yang lumayan.

Hari sudah malam dan paket Devan masih bersisa lumayan. Devan memberhentikan motornya di depan sebuah rumah berpagar dan dua lantai. Paketnya Mas Eki, Devan harap ada orangnya, atau paling tidak bisa ia lewat pagar.

Devan memencet bel beberapa kali, dan belum ada juga yang keluar. Akhirnya Devan menyelipkan di pagar. Dan mengirim pesan kalau paketnya ia taruh di depan, tak lupa juga bilang alasan kenapa baru malam ia antar.

Devan balik lagi ke kantornya, saat sampai ada lagi paket yang diturunkan. Akhirnya Devan dan teman-temannya janjian untuk jangan dulu pulang, tetapi memilah dulu paket-paketnya agar besok pagi mereka bisa mengantar lebih cepat.

"Ayo semangat, demi bonus."

Sebelum lanjut, Devan memilih untuk makan malam dulu, mumpung temannya masih di jalan. Setelah itu barulah ia duduk memilah paket sampai jam sebelas malam.

Devan membuka ponselnya, puluhan chat dari nomor tak dikenal. Saat Devan membukanya, pertanyaan kamu di mana dan kenapa belum pulang, lengkap dengan sapaan "sayang". Ia tahu itu siapa, dan Devan tak membalasnya. Nanti saja.

Devan pulang dan kembali lagi esok paginya. Ia dan teman-temannya janjian datang jam enam pagi. Begitu terus sampai tahun berganti. Devan sampai tidak pernah makan bersama Eleanora lagi. Padahal kalo makan sama Eleanora, ia bisa menghemat 20-30 ribu seharinya.

Beberapa hari ini ia dan Eleanora hanya berpapasan sebentar. Perempuan itu seperti mengerti kalau Devan sedang lelah, sehingga setiap bertemu cuma tersenyum dan memberikan semangat. Bukan berpapasan sih, lebih tepatnya Eleanora seperti menunggu dirinya pulang dan berangkat kerja.

Kadang Devan jadi merasa bersalah karena seakan masa bodoh dengan luka yang ia berikan di kepala Eleanora. Namun, mau bagaimana lagi, saat pulang ia sangat lelah, dan tak jarang ia pulang jam 12 malam, dan kalau pagi, ia harus buru-buru agar tak kesiangan mengantar paket.

Semua itu ia lakukan bukan demi memberi kepuasan pada customer karena cepat mengantar paketnya, tapi demi duit, demi bonus yang banyak. Devan rela pergi pagi pulang malam.

Hari ini Devan pulang cepat. Masa-masa paket menggunung sudah habis. Hari ini juga yang menerima gaji dan bonus yang lumayan, lebih banyak dari tahun lalu.

Masuk kamar, Devan baru menyadari satu hal. Seingatnya selama beberapa hari sibuk, ia tidak pernah menyapu kamarnya tapi kamarnya selalu bersih dan rapi. Dan yang bikin bingung, ia tidak pernah mencuci baju, tapi baju di lemarinya tidak habis habis.

Devan membuka jaketnya, sadar dengan baju yang ia pakai saat ini. Baju itu ia pakai tiga hari lalu, tapi tadi pagi sudah terlipat rapi di lemari, wanginya juga bukan wangi deterjen, pasti ada tambahan pewangi. Devan tidak bisa menebak, tapi dia suka wanginya.

Devan tidak ambil pusing, mungkin dia yang sudah mencuci pakaian dan menyapu kamarnya, hanya dia saja yang lupa. Ia langsung mandi tanpa pikir apa-apa lagi. Soalnya sudah lama ia tidak mandi sore.

Selesai solat asar, ia ganti pakaian. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, Eleanora masuk terlihat kaget. Sedang Devan sudah mulai terbiasa dengan Eleanora yang muncul tiba-tiba.

"Ehehe, Sayang, udah nggak sibuk?” Eleanora masuk, ada ember di tangannya. Itu ember Devan.

Kenapa embernya bisa ada pada Eleanora?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status