Share

Bab 3

Author: bubukmerica
last update Last Updated: 2023-03-07 22:04:59

Menjelang akhir tahun pasti pekerjaan setiap kurir pasti banyak. Diskon-diskon berterbaran di mana-mana. Penjualan online naik, paket yang dikirim makin banyak, Kang Paket makin capek, makin lama pulangnya.

Devan menipiskan bibir melihat tumpukan paket yang menggunung. Sudah bertahun-tahun dia jadi Mas Kurir, tapi tetap membuatnya merasa heran tiap kali melihat tumpukan paket sebanyak ini. Memang tidak sebanyak saat ramadhan menjelang lebaran, tapi kalau akhir tahun tetap saja banyak.

Devan dan teman-temannya bergerak cepat, memilah paket-paket yang harus segera diantar dan mana yang bisa ditunda. Meski begitu Devan tetap berharap bisa mengantar semuanya hari ini, karena bisa dipastikan besok akan menumpuk lagi.

Tidak apa. Demi uang, Devan rela berada di bawah teriknya matahari sepanjang hari. Hujan pun sebenarnya ia tak masalah, yang jadi masalah kalau paket yang dia bawa jadi basah. Nanti bukannya dapat bonus malah potong gaji gara-gara customer komplain.

Devan menghela napas ketika berhenti di depan sebuah kos-kosan. Paket yang ia antarkan atas nama Sofia. Tante-tante umur tiga puluan, dengan lemak lebih banyak diperut sampe berlipat lipat, tapi doyan sekali pakai baju kurang bahan.

"Assalamu'alaikum, paket." Devan mengetuk pintu kamar paling ujung, yang depan kamarnya banyak bergantung pakaian dalam.

Lima detik tak ada sautan, Devan mengetuk lagi. Gelisah karena orangnya lama. Padahal ia tahu penghuninya ada di dalam, soalnya jendelanya terbuka. Kalau bukan karena paket COD, sudah pasti ia selipkan lewat jendela.

"Pakeeet." Devan agak mengeraskan suaranya. Ia melihat lagi paketnya, alamat benar, nomor teleponnya ada, tapi Devan tidak mau menelepon. Ia kapok, pernah ia telepon dan berujung dapat kiriman gambar-gambar tak senonoh beberapa kali. Sering ditelepon juga dianya dengan modus tanya paketnya, padahal tidak ada. Akhirnya Devan memilih ganti nomor dan tak mau lagi membagi secara gratis nomornya pada tante-tante itu.

"Lama banget sih, Tante." Devan menggerutu. Malas menunggu dan memegang paketnya, pasalnya isinya beberapa mainan orang dewasa dan juga obat kuat. Devan geli dan jijik.

Tak lama si tante membuka pintu, tubuhnya basah dan hanya pakai handuk yang ukurannya kekecilan, biar bisa pamer paha.

"Mana uangnya, cepat." Devan menodong, menatap jidat si tante yang dirasa paling aman, putih mulus hasil mercuri. Tangan kirinya yang memegang paket agak dikebelakangkan.

"Tunggu sebentar yaaa," pinta si tante dengan centil lalu masuk kembali tanpa menutup pintu. Berjalan lenggak-lenggok kayak entok, lalu tiba-tiba menunduk sampai hutan rimbanya terlihat.

Devan langsung mengalihkan pandangannya sambil mengucap istighfar dalam hati. Menyesal karena tadi tak mau melihat kancut dan beha di jemuran. Kalau tahu matanya akan dinodai pasti mau saja ia lihat itu dalaman yang dari atas sampe bawah ada.

"Kamu nggak mau main-main dulu, Tante ada mainan baru loh."

Tante genit itu datang, tapi Devan masih tidak mau menolehkan kepalanya. Tangan kanan Devan meminta, tangan kirinya memberi.

"Ayo main dulu." Si Tante masih membujuk, ia mengambil tangan Devan yang langsung ditepis oleh yang punya.

Devan menghitung uangnya, lebih kelebihan dua puluh ribu. Devan mengembalikan, tapi Si Tante menolak.

“Tante bisa tambah kalo kamu mau main-main dulu.” Tangannya bergerak lagi menggapai lengan Devan.

"Makasih," balas Devan galak, lalu pergi menjauh.

Pernah ia ditawari jadi gigolo sama Si Tante. Katanya biar dapat uang cepat dan enak, daripada susah-susah jadi kurir antar paket, panas dan melelahkan.

Sepertinya Devan harus bilang ke temannya, kalau sama Tante Sofia ini dapat tip yang lumayan.

Hari sudah malam dan paket Devan masih bersisa lumayan. Devan memberhentikan motornya di depan sebuah rumah berpagar dan dua lantai. Paketnya Mas Eki, Devan harap ada orangnya, atau paling tidak bisa ia lewat pagar.

Devan memencet bel beberapa kali, dan belum ada juga yang keluar. Akhirnya Devan menyelipkan di pagar. Dan mengirim pesan kalau paketnya ia taruh di depan, tak lupa juga bilang alasan kenapa baru malam ia antar.

Devan balik lagi ke kantornya, saat sampai ada lagi paket yang diturunkan. Akhirnya Devan dan teman-temannya janjian untuk jangan dulu pulang, tetapi memilah dulu paket-paketnya agar besok pagi mereka bisa mengantar lebih cepat.

"Ayo semangat, demi bonus."

Sebelum lanjut, Devan memilih untuk makan malam dulu, mumpung temannya masih di jalan. Setelah itu barulah ia duduk memilah paket sampai jam sebelas malam.

Devan membuka ponselnya, puluhan chat dari nomor tak dikenal. Saat Devan membukanya, pertanyaan kamu di mana dan kenapa belum pulang, lengkap dengan sapaan "sayang". Ia tahu itu siapa, dan Devan tak membalasnya. Nanti saja.

Devan pulang dan kembali lagi esok paginya. Ia dan teman-temannya janjian datang jam enam pagi. Begitu terus sampai tahun berganti. Devan sampai tidak pernah makan bersama Eleanora lagi. Padahal kalo makan sama Eleanora, ia bisa menghemat 20-30 ribu seharinya.

Beberapa hari ini ia dan Eleanora hanya berpapasan sebentar. Perempuan itu seperti mengerti kalau Devan sedang lelah, sehingga setiap bertemu cuma tersenyum dan memberikan semangat. Bukan berpapasan sih, lebih tepatnya Eleanora seperti menunggu dirinya pulang dan berangkat kerja.

Kadang Devan jadi merasa bersalah karena seakan masa bodoh dengan luka yang ia berikan di kepala Eleanora. Namun, mau bagaimana lagi, saat pulang ia sangat lelah, dan tak jarang ia pulang jam 12 malam, dan kalau pagi, ia harus buru-buru agar tak kesiangan mengantar paket.

Semua itu ia lakukan bukan demi memberi kepuasan pada customer karena cepat mengantar paketnya, tapi demi duit, demi bonus yang banyak. Devan rela pergi pagi pulang malam.

Hari ini Devan pulang cepat. Masa-masa paket menggunung sudah habis. Hari ini juga yang menerima gaji dan bonus yang lumayan, lebih banyak dari tahun lalu.

Masuk kamar, Devan baru menyadari satu hal. Seingatnya selama beberapa hari sibuk, ia tidak pernah menyapu kamarnya tapi kamarnya selalu bersih dan rapi. Dan yang bikin bingung, ia tidak pernah mencuci baju, tapi baju di lemarinya tidak habis habis.

Devan membuka jaketnya, sadar dengan baju yang ia pakai saat ini. Baju itu ia pakai tiga hari lalu, tapi tadi pagi sudah terlipat rapi di lemari, wanginya juga bukan wangi deterjen, pasti ada tambahan pewangi. Devan tidak bisa menebak, tapi dia suka wanginya.

Devan tidak ambil pusing, mungkin dia yang sudah mencuci pakaian dan menyapu kamarnya, hanya dia saja yang lupa. Ia langsung mandi tanpa pikir apa-apa lagi. Soalnya sudah lama ia tidak mandi sore.

Selesai solat asar, ia ganti pakaian. Tiba-tiba pintu kamarnya terbuka, Eleanora masuk terlihat kaget. Sedang Devan sudah mulai terbiasa dengan Eleanora yang muncul tiba-tiba.

"Ehehe, Sayang, udah nggak sibuk?” Eleanora masuk, ada ember di tangannya. Itu ember Devan.

Kenapa embernya bisa ada pada Eleanora?

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 92 Tamat

    "Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 91

    Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 90

    Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 89

    Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 88

    "Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 87

    "Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status