Share

Bab 4

Author: bubukmerica
last update Last Updated: 2023-03-07 22:05:10

Devan mengacak rambutnya yang masih basah. Malas mengeringkan pakai handuk.

"Dari tadi pulangnya kah, Sayang?" Eleanora menaruh ember itu di kamar mandi. "Nggak mau bilang."

"Kamu dapat embernya di mana?" Bukannya protes soal Eleanora yang lagi-lagi masuk sesuka hati. Devan malah salah fokus ke ember yang Eleanora bawa. Seingatnya ia baru pulang dan embernya tidak pernah ia taruh di luar kamar.

"Di bawah jemuran, kan kamu yang simpan di situ. Habis ngejemur nggak dikasih masuk lagi."

Devan mengangguk. Ia tak ingat kapan terakhir kali mencuci dan menjemur pakaian. Rasanya tidak mungkin kalau karena saking capeknya ia sampai ngelindur dan melakukan semua itu.

Saat ini mereka sedang diam-diaman. Eleanora sibuk dengan ponselnya, sedang Devan tak tahu mau berbuat apa. Tak lama ia ingat sesuatu, ia harus cari kerja sesuai jurusan kuliahnya. Ia tak bisa kaya kalau hanya jadi kurir terus-terusan.

Devan mengambil laptop dan mejanya, lalu duduk di lantai, bersandar di tempat tidur. Berhadapan dengan Eleanora yang bersandar di dinding. Namun, tak lama Eleanora pindah ke atas tempat tidur, kepalanya berada tepat di belakang Devan. Tanpa suara memperhatikan Devan browsing lowongan pekerjaan di internet.

Tak lama berselang Eleanora keluar menerima telepon lalu masuk lagi membawa dua kotak makanan. Devan ingin senyum, tapi gengsi. Eleanora cukup royal jadi cewek, rajin membelikan makan. Devan tak peduli harga diri, yang penting uangnya utuh. Toh bukan dia yang minta. Kalau dikasih ya dia terima saja.

"Cemilan," kata Eleanora menjawab tatapan Devan.

Devan menyingkirkan laptopnya, mengambil satu kotak yang diberikan Eleanora. "Sushi kok cemilan."

"Kan sedikit, anggap saja pengganjal." Eleanora membuka miliknya.

"Daging mentah ya?"

"Ini yang mentah." Eleanora menunjuk punyanya. "Mau?"

Devan menggeleng. "Enggak."

Devan menikmati sambil membaca lagi lowongan-lowongan pekerjaan. Harapannya ada pekerjaan yang sesuai dengan kemampuannya.

"Sudah kenyang?"

Devan menoleh ke Eleanora yang sedang mengemut ujung sumpitnya. "Mungkin."

"Mau beli lagi?” Tanpa perlu menunggu jawaban Devan, Eleanora langsung sibuk dengan ponselnya.

Devan heran, dari keliatannya umur Eleanora masih di bawahnya, juga belum bekerja, tapi Eleanora tidak ragu mengeluarkan uangnya. "Kamu anaknya orang kaya ya?”

Devan agak ragu, karena menurutnya kalau orang kaya pasti akan cari kos-kosan yang jauh lebih bagus daripada ini. Memang isi kamar kos Eleanora lebih bagus daripada isi kamarnya atau kamar kos lain yang ada di sini.

Walaupun ukuran kamar mereka sama, tapi Eleanora masih punya meja. Di kamar Eleanora ada dua lemari, satu lemari pakaian, satu lagi lemari piring. Mungkin isinya bukan hanya piring, tapi barang-barang lainnya.

Eleanora berhenti memainkan ponselnya, ia fokus ke Devan. "Bukan, tapi aku punya banyak uang."

Devan berdecak. "Ya orang kaya berarti."

"Bukan, Sayang." Eleanora menusuk telapak kaki Devan dengan sumpit yang habis masuk di mulutnya. "Orang kaya itu punya mobil bagus. Kalo aku jangankan mobil jelek, motor aja nggak ada."

"Katanya kamu punya banyak uang? Kalo punya banyak uang berarti orang kaya." Dalam bayangan Devan punya banyak uang berarti punya uang sampai ratusan juta bahkan milyaran.

Eleanora mendekat, ikut bersandar di tempat tidur. "Emangnya kalo aku orang kaya, kamu mau nikah sama aku? Yuk kita nikah." Eleanora mengedipkan sebelah matanya, menggoda.

Devan meletakkan tangannya di wajah Eleanora lalu mendorongnya menjauh. Wajah gadis itu terlalu dekat dengannya. 

"Ayo kita nikah."

"Nggak."

"Kenapa? Aku kaya kok."

Devan memicingkan matanya ke Eleanora. "Kamu kira karena saya suka uang saya hanya akan cari istri yang kaya?" Devan merasa tersinggung. "Walaupun saya mata duitan, tapi saya masih punya prinsip."

Devan menghadap lagi ke laptop, mukanya kaku. Ia tidak suka dengan ucapan Eleanora, rasanya seperti mengejeknya.

Eleanora menyandarkan kepalanya di tempat tidur. "Terus gimana caranya biar kamu mau nikahin aku?”

"Apa sih tanya-tanya." Devan menoleh, tepat saat Eleanora mengintip ke dalam bajunya sendiri, entah melihat apa.

 Eleanora mengangkat kepalanya, melihat Devan lagi. "Aku mau loh kalo kamu mau DP duluan," ucapnya dengan cengiran khasnya.

Sudah. Devan tidak tahan lagi. Ia berdiri dan menarik Eleanora agar berdiri juga. Kebetulan suara pengantar azan sudah terdengar.

"Balik ke kamarmu sana. Kamu berisik."

Tanpa menunggu Eleanora keluar, Devan mengambil memakai sarung dan baju kokonya.

"Kamu mau solat?"

"Hmm."

“Di masjid? Ikuuuut." Eleanora bergegas berlari ke kamarnya.

Devan menyusul, ia menunggu di depan pintu. "Wudhu memang."

Eleanora tetap memakai mukenanya. "Nggak mau, nanti nggak bisa pegang kamu."

Devan memutar bola matanya, jengah dengan kelakuan Eleanora. "Saya sudah wudhu."

"Belum. Ayo." Eleanora menarik tangan Devan.

Devan menepis tangan Eleanora. "Jangan pegang-pegang. Dosa," katanya lalu berjalan lebih dulu.

Eleanora berdecak. "Makanya ayo nikah, biar aman kita mau ngapain aja."

Devan diam, tak menjawab. Pusing dengan Eleanora. Dikiranya nikah itu gampang. Padahal mereka belum lama kenal, tapi sudah berani ngajak DP duluan. Untung Devan bukan laki-laki kampret.

Kalaupun sudah kenal lama, Devan tidak mau nikah dengan Eleanora. Bukan karena Eleanoranya, tapi karena uangnya. Uangnya belum banyak, kalau dipakai untuk melamar anak orang nanti habis.

Devan pulang setelah isya, otomatis Eleanora pun mengikuti. Kalau Devan cepat pulang kerja, ia pasti magrib dan isya di masjid.

Saat pulang, Eleanora yang jalan beberapa meter di belakangnya bikin Devan malu di depan orang banyak. Perempuan itu meneriakinya saat ia sudah berjalan lebih dulu bersama beberapa orang yang ia kenal.

"Sayaaaang, tungguin dong!"

Devan berdecak. Ia tersenyum kecut pada kenalannya. Kenalan Devan tertawa dan menggoda Devan.

Dasar Eleanora tidak tahu tempat.

Sampai di kos, bukannya masuk ke kamarnya sendiri, Eleanora malah ikut masuk ke kamar Devan.

“Aku kan masih mau sama kamu, Sayang,” katanya memberengut. “Kangenku belum hilang tahu.”

 “Nggak peduli.” Devan melipat tangan di dada, bersandar di pintu. “Lebih baik sekarang kamu masuk ke kamarmu, belajar lalu tidur, besok sekolah. Sudah malam. Bye.”

Devan bergerak cepat masuk dan mengunci pintu kamarnya. Tangannya hampir terjepit karena ulahnya sendiri. Terdengar Eleanora berdecak kesal di depan pintu.

Devan ganti baju, dan membuka lagi laptopnya. Ia membuat surat lamaran pekerjaan untuk beberapa lowongan yang tadi dilihatnya sesuai dengannya.

Tak lama pintunya kembali di ketuk.

“Pakeeet,” ucap seseorang di balik pintu. Suaranya agak diberat-beratkan, yang mana Devan tahu kalau itu suara Eleanora.

Devan memijit kepalanya. “Kenapa lagi anak itu?” Devan berdiri, mendekati pintu. “Kenapa?” Ia mengintip dari jendela.

Eleanora mengacungkan dua kotak makan.

Devan mengambil uang tiga puluh ribu lalu membuka pintu, tapi tidak lebar. Kepala dan tangan kanannya keluar, sedang tangan dan kaki kirinya ia pakai untuk menahan, takut Eleanora membuka paksa.

“Aku mau masuuuk.” Eleanora merengek.

Devan memberikan uangnya dan mengambil satu kotak nasi. “Saya sibuk.” Lalu menutup pintu, tak lupa menguncinya.

Mendekati pukul dua belas malam, Devan tidur. Dan bangun lagi saat suara pengantar azan subuh terdengar.

Dan alangkah terkejutnya ia mendapati wajah Eleanora ada di depannya. Mata tertutup, napasnya teratur. Eleanora tidur dengan posisi duduk di lantai sedang kepalanya ada di tempat tidur Devan.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 92 Tamat

    "Assalamu'alaikum, Papa Mama," sapanya pura-pura mengantuk seakan baru bangun tidur, layar ponselnya ia dekatkan ke wajah agar pemandangan di belakangnya tidak terlihat. "Tidak usah pura-pura, Mama tahu kamu masih di jalan! Kenapa baru pulang jam segini?" Vanela menjauhkan ponselnya seiring suara Eleanora yang semakin nyaring. "Papa, Mama marah-marah." Bukannya menjawab, Vanela malah mengaduh pada Devan. Namun kali ini Devan tidak akan membelanya. "Kamu memang harus dimarahi. Kenapa baru pulang?" Suara dan tatapan Devan tampak tegas, tanda Vanela harus segera menjawab dengan benar, tidak bisa bermanja lagi. Vanela menunjukan lembar soal yang sejak tadi dipangkuannya. "Keasyikan ngerjain ini, lupa kalau nggak lagi di rumah." "Apa itu?" "Soal matematika untuk lomba tingkat SMA." "Papa tidak tahu kalau kamu ikut-ikut yang seperti itu." Memang selama ini Vanela selalu pulang tepat waktu dan bahkan saat jadwal kuliahnya tinggal dua jam lagi, Vanela menyempatkan pulang untuk sekadar b

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 91

    Beberapa tahun lagi mamanya akan kepala empat menyusul ayahnya, pasti akan sulit untuk hamil diusia seperti itu. Dan Vanela menyesal sudah mengatakan permintaannya itu, harusnya ia lebih memikirkan orang tuanya ketimbang diri sendiri.Hari ini Vanela memulai perkuliahannya lagi. Selama masa kuliah, Vanela tidak lagi pergi bersama Baruna. Bukan karena jadwal kuliah yang berbeda, melainkan karena Baruna tidak berkuliah di universitas yang sama dengan Vanela. Vanela tetap tinggal di Kota Kendari agar selalu dengan orang tuanya dan berkuliah di universitas Halu Oleo dengan mengambil jurusan yang sekiranya santai.Vanela tidak peduli dengan jurusan kuliah yang dia ambil. Yang dipikirkannya hanya bagaimana caranya ia menyelesaikan kuliahnya tanpa terlalu banyak membuat waktu di kampus. Sehingga Vanela benar-benar menjadi anak kupu-kupu, kuliah pulang kuliah pulang. Kendati demikian, Vanela masih memiliki teman walau tidak akrab.Pukul sebelas siang ketika Vanela baru pulang dari kampus, har

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 90

    Sudah sejak pertengahan SMP Devan tinggal jauh dari orang tua, tapi setidaknya ia tinggal bersama kakaknya yang jauh sudah dewasa. Kepindahannya kala itu karena ingin bersekolah di kota yang katanya pendidikan lebih bagus. Karena mendukung anaknya, orang tua Devan menyetujui. Kehidupan sekolah Devan lancar-lancar saja, ia tidak pernah di bully atau merasakan stres yang luar biasa menggangguk.Kemudian sewaktu awal masuk kuliah, Devan memutuskan hal yang besar, yaitu tinggal sendiri, mempertanggung jawabkan dirinya sendiri dengan tinggal di tempat kos-kosan. Hari-hari tenangnya mulai hilang, kegiatan kampus juga uang bulanan mulai memeras is kepalanya. Beberapa bulan pertama kehidupan Devan di kos-kosan terasa sangat berat baginya.Devan yang tadinya tidak perlu memikirkan uang saku habis, tidak perlu memikirkan kebutuhan hidupnya, kini harus memikirkan semuanya. Karena sudah tidak ada lagi kakaknya yang baik hati yang tidak pernah memperhitungkan uangnya dipakai Devan.Uang yang Laki

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 89

    Tidak disangka ujian kelulusan sebentar lagi, kurang dari dua minggu lagi, tapi Vanela tidak pernah belajar. Ia lebih sering latihan bersama Yudi dan pengawal yang lain ketimbang membuka buku pelajaranBanyak yang mengira kalau setelah Vanela berhijab gadis itu akan berubah jadi lembut seperti yang terlihat jelas diwajahnya. Namun sayang hal itu hanya harapan semata. Nyatanya Vanela masih suka sadis, apalagi saat sedang kesal. Gadis itu belum bisa yang satu itu.Beberapa kali saat emosi, Vanela menggunakan salah satu pengawal untuk menjadi tempatnya menaruh objek sasaran saat olahraga lempar pisau atau panahan. Seperti saat ini. Tadi Vanela secara random memanggil salah satu pengawal yang sedang duduk asyik sembari merokok. Pengawal itu tadinya tenang-tenang saja sampai di ajak ke tempat latihan, ia langsung panas dingin.Ketika Eleanora sudah bersiap menarik busurnya, tiba-tiba Keenan datang."Diego Lim datang," bisik Keenan yang langsung dibalas lirikan oleh Vanela."Cukup kasih tah

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 88

    "Papa, Nela kangen," lirih Vanela sembari mengelap tubuh ayahnya. Padahal ia tahu sudah ada yang bertugas menjaga dan merawat orang tuanya, tapi ia tetap ingin berbakti meski sedikit."Nela."Vanela menoleh. Zia datang dengan membawakan makanan untuknya. Vanela menyudahi menyeka tubuh Devan, ia menghampiri Zia yang menata makanannya di meja."Padahal Tante nggak usah repot-repot antar ke sini. Aku kan bisa ambil makan sendiri." Vanela duduk di samping Zia. Ia mengambil air putih yang Zia siapkan, menghabiskannya hingga nyaris tandas."Kapan? Nanti malam?"Vanela tertawa kecil. Zia sudah mengenal Vanela dari kecil. Zia sudah hapal dengan kelakuan Vanela yang kalau sudah masuk ke ruang perawatan orang tuanya ini susah keluar lagi. Kecuali ada buku pelajarannya yang harus dia ambil."Kamu sudah kelas tiga, apa tidak lebih nyaman belajar di kamar?""Iya ini belajar di kamar kan?" Vanela tersenyum menbuat Zia merasa gemas.Padahal maksud Zia, Zia ingin Vanela punya kehidupan lain selain di

  • Bersama Tanpa Terpaksa   Bab 87

    "Sayang! Kamu bikin apa?" Devan melongok dari semak-semak, melihat Eleanora memetik bunga. "Kenapa kamu petik?" Devan menyayangkan tindakan Eleanora."Bunga-bunganya sudah jelek. Kalau mau tumbuh bunga bunga baru yang segar, bunga yang lama harus disingkirkan. Begitu juga kehidupan Vanela."Vanela terkejut namanya dipanggil ia kira ia sedang bermimpi sekarang, tapi mimpinya cukup indah karena orangnya sadar akan kehadiarannya."Kamu harus membuang kenangan, agar hidupmu terus berjalan."Tiba-tiba pemandangan orang tuanya yang sedang ditaman bunga kini berganti menjadi pemandangan yang setipa hari ini lihat, orang tuanya terbaring tak berdaya dengan tak sadarkan diri.Lalu tiba-tiba lagi pemadangan itu hilang tergantikan ruang putih yang kosong. Vanela berlari ke tempat orang tuanya tadi berada, tapi sepanjang berlari ia hanya menemukan ruang putih yang terasa hampa."Maamaaaa! Papaaaaaaa!" Vanela berteriak sekuat tenaga sampai tenggorokannya habis. Sampai ia terbangun seketika dari ti

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status