Share

Bab 4: Kembali Pulang

Davika menyeret dua buah koper keluar dari kamarnya sambil menggenggam tangan Keenan. Entah harus ke mana ia pergi sekarang. Sejujurnya, perempuan muda itu masih ragu jika harus pulang ke rumah ibunya. Namun, jika ia tidak kembali ke rumah itu, harus ke mana lagi kakinya melangkah?

"Pa, andai Papa masih ada, mungkin Vika enggak akan segamang sekarang," gumamnya. Setitik air kembali lolos di pipi mulusnya. 

Ya, Ayah Davika telah pergi selama-lamanya meninggalkan kepedihan yang mendalam di hati perempuan itu. Tak hanya di hati Davika, kepedihan itu juga dirasakan oleh Aldo dan Irvan. Diaz--ayah Davika, Aldo, dan Irvan-- meninggal dengan keadaan yang sangat memprihatinkan. Lelaki paruh baya itu mengembuskan napas terakhirnya di dalam angkutan umum dalam perjalanan menuju rumah Aldo untuk menemui cucu pertamanya yang masih berusia dua tahun. Bukan karena kecelakaan, bukan pula karena terjatuh, beliau tiba-tiba tak sadarkan diri di kursi penumpang. Awalnya ia seperti tertidur di dalam angkutan tersebut. Namun, ia tak pernah bangun meski berulang kali dibangunkan oleh sopir maupun penumpang lainnya. 

Hal yang lebih menyakitkan bagi Davika, Aldo, dan Irvan adalah saat mengetahui Ayahnya meninggal dari viralnya foto almarhum di media sosial. Sebuah postingan dalam grup bernama kota tempat tinggal Davika di aplikasi berlogo F berwarna biru mengagetkan semua pihak. Di sana tertulis caption ucapan belasungkawa atas meninggalnya seorang pria paruh baya di dalam bus. 

Pria paruh baya itu tanpa pengenal karena tak membawa KTP atau pun tanda pengenal lainnya sehingga salah satu penumpang berinisiatif memberi kabar keluarganya lewat media sosial. Ia berharap keluarga almarhum segera mengetahui keadaan tersebut. Orang yang pertama kali memberi kabar pada Aldo adalah salah satu teman dekatnya. Setelah mendapatkan informasi tersebut pecahlah tangis dari putra-putrinya. Tak ada yang mengira bahwa Diaz akan pergi secepat itu.

Davika yang saat itu baru saja tiga bulan rujuk dengan Rafi menangis sejadi-jadinya. Ia tak pernah menyangka jika sang ayah akan pergi meninggalkannya dengan cara yang sangat menyesakkan. Kini, sesak di dadanya kembali terasa meski sudah hampir dua tahun Diaz pergi.

"Pa, Vika harus bagaimana?" Tenggorokan perempuan itu rasanya tercekat. Air mata itu kembali mengembun di pelupuk matanya. Ia merasa kini bukanlah seorang perempuan yang tegar. 

Davika melirik sofa ruang tamu. Dari sudut matanya, terlihat Rafi sedang duduk santai memainkan ponsel sambil menonton televisi. Lelaki itu lebih sibuk dengan ponselnya tanpa memedulikan acara yang disajikan di layar datar itu. Sesekali ia tersenyum dan tersipu seraya mengetik sesuatu di ponselnya.

"Sempat-sempatnya kamu tersenyum Kak, setelah tega mengusirku dan Keenan." Davika membatin dan tersenyum miring. 

Nyatanya, lelaki yang sudah ia cintai lebih dari lima tahun tak merasakan sedikit pun kesedihan di air mukanya. Ia sama sekali tak menyesal telah mencampakkan Davika hanya karena status i*******m. Sebegitu tak pentingnya kah hidup Davika di mata Rafi? Tak adakah sedikit pun rasa kasih di hati lelaki itu untuknya.

"Kak, Vika pamit." Davika menghampiri Rafi seraya mencium tangan lelaki itu. Rafi sempat mengerutkan kening saat melihat perilaku Davika padanya. Perempuan itu hanya menganggukkan kepala untuk memberikan kode pada Rafi kalau ia tak mau Keenan tahu permasalahan mereka.

"Hati-hati ya jagoan Papi!" ucap Rafi seraya mengacak rambut Keenan. 

"Papi enggak ikut?" Ucapan polos dari Keenan membuat suasana mendadak kaku. 

"Papi banyak kerjaan, Sayang. Keenan perginya sama Mami aja ya!" sambar Davika mencoba membuat Keenan berhenti berceloteh.

"Oke! Kalau Papi udah enggak sibuk nyusul Keenan dan Mami ya? Promise?" pinta Keenan manja.

Rafi hanya mengangguk. Setelah itu, Davika berlalu sambil menggenggam tangan Keenan menuju lobi apartemen. Keenan hanya mengikuti langkah kaki Davika tanpa tahu hati Ibunya terluka. Anak kecil itu tetap menyunggingkan senyuman manisnya di sepanjang perjalanan.

♡♡♡

Saat ini, Davika berdiri di depan gerbang rumah ibunya. Terselip perasaan ragu, apakah ia harus masuk atau lebih baik ia menenangkan diri terlebih dahulu di rumah sahabatnya? Ah, perempuan muda itu bingung. Dadanya bergoncang hebat. Ia takut menghadapi keluarga besarnya. Apakah keluarganya akan tetap menerimanya atau justru akan menertawakan kebodohannya karena dulu memilih Rafi?

"Mami, kok diem aja sih? Ayo masuk! Keenan udah kangen sama Nenek!" ajak Keenan semangat. 

"Assalamualaikum!" Tanpa aba-aba Keenan langsung mengucapkan salam dengan suara yang cukup kencang. Perbuatan Keenan sontak membuat jantung Davika berdebar dengan begitu hebatnya. Beberapa kali wanita muda itu menghela napas panjang.

Seorang wanita berusia sekitar 49 tahunan segera membukakan pintu untuk tamu yang datang. Meski guratan-guratan usia yang tak lagi muda tak dapat disembunyikan, tetapi wanita itu masih terlihat sehat, bugar, serta cantik. Ia sangat mirip dengan Davika, putrinya. Erna tipikal wanita yang modis dan cukup pandai bergaul sehingga tubuhnya masih langsing meski usianya hampir mencapai kepala lima.

“Waalaikum salam. Eh, Keenan cucu Nenek yang ganteng. Sini Sayang, masuk!” Erna menyambut Keenan dengan wajah semuringah. Davika langsung mencium tangan ibunya dengan khidmat.

“Tumben pulang! Kirain udah enggak inget sama Mama,” sindir Erna.

“Bisa nanti aja enggak, Ma, ngobrolnya? Tunggu Keenan tidur,” sela Davika. Wanita itu sudah menebak jika Erna takkan bersikap manis padanya. Namun, ia sadar diri sikap ibunya bisa seperti itu karena sudah terlampau kecewa dengan keputusan putrinya dua tahun yang lalu. Erna tak menghiraukan Davika dan langsung fokus pada Keenan. Davika menghela napas berat. Bodoh! Kenapa ia begitu bodoh menerima Rafi kembali?

Keenan langsung berhambur memeluk sang nenek. "Nenek! Keenan kangen banget sama Nenek lho!"celotehnya manja.

"Nenek juga kangen banget sama Keenan." Erna membalas pelukan sang cucu dengan hangat. Diciuminya wajah Keenan dengan bertubi-tubi. 

"Nenek tahu enggak, Papi tumben lho baik ngizinin Keenan sama Mami nginep di rumah Nenek! Katanya kita boleh nginepnya lama banget!" celoteh Keenan panjang lebar. Erna mengernyitkan dahinya. Sebenarnya apa yang terjadi? Apakah Rafi kembali menalak anak gadisnya?

"Kok bawa koper besar?" tanya Erna ingin memastikan dugaannya. Erna memang sengaja bersikap ketus pada Davika walau dalam hati sebenarnya ia tak tega.

"Vika boleh istirahat dulu enggak, Ma?" pinta wanita itu datar. Sang ibu hanya mengangguk sambil membantu membawakan salah satu koper ke kamar Davika. Meski Davika sudah tak pernah berkunjung selama hampir dua tahun lamanya, kamar Davika masih setia Erna rawat. Begitulah hati seorang ibu, seberapa besar pun kesalahan anaknya ia akan membuka pintu maaf selebar-lebarnya.

Erna hanya sesekali menatap Davika bingung. Setelah dipersilakan masuk, anak gadisnya itu mengunci mulutnya rapat-rapat. Tak ada pembicaraan yang terjalin di antara keduanya. Erna meminta Irvan mengajak Keenan bermain. Sementara itu, ia masuk ke kamar dan menelepon Aldo, anak sulungnya.

"Assalamualaikum. Al, lagi sibuk enggak?" tanya Erna.

"Waalaikum salam. Enggak kok, Ma. Ada apa? Mama perlu bantuan Aldo?" sahut Aldo.

"Adik kamu ...." Ucapan Erna terpotong.

"Kenapa lagi tu anak, Ma? Irvan bikin masalah lagi?" tebak Aldo.

"Bukan Irvan, tapi Vika. Barusan Vika datang ke rumah dengan Keenan. Anehnya dia bawa koper. Apa dia berantem sama Rafi lagi atau jangan-jangan Rafi menalak Vika lagi?" Terdengar nada khawatir dari ucapan Erna.

"Mama ngapain sih nerima Vika? Mama lupa, dia udah lama enggak nganggap kita keluarga, Ma! Udahlah biarin aja dia ngurus hidupnya sendiri, toh itu jalan hidup pilihannya dia! Biar dia ngerasain gimana sakitnya ditinggalkan oleh orang-orang yang bener-bener menyayangi dia hanya demi si berengsek Rafi!" Ucapan Aldo meletup-letup disertai amarah yang tak terkendali. Rasanya kepala lelaki berusia 29 tahun itu mendidih.

Bagaimana ia dan keluarga besarnya tidak marah? Saat kejadian KDRT yang dialami Davika, semua keluarga memberikan supporting sistem maksimal pada adiknya itu. Davika mendapatkan perawatan intensif dari rumah sakit, melakukan visum untuk menuntut Rafi ke pengadilan, mendapatkan dukungan moral dengan perhatian dan kasih sayang dari saudara-saudaranya. Bahkan, Tante Nina sampai rela merogoh kocek yang cukup dalam untuk menghibur keponakannya itu dengan mengajaknya berlibur ke Singapura. Namun apa yang terjadi? Seminggu setelah pulang dari Singapura, Davika dengan bodohnya memaafkan Rafi dan rujuk kembali. Bagi Aldo, she is a freak girl!

"Mama enggak bisa Al, biar bagaimana pun Vika tetap anak Mama." Mendengar ucapan sang ibu, gemuruh di dada Aldo kembali membesar.

"Terserah Mama aja lah! Yang jelas, untuk saat ini Aldo belum bisa bersikap baik-baik aja pada Vika. Aldo enggak mau nunjukin rasa peduli pada Vika." Erna menghela napas kasar. Ia tahu bagaimana kerasnya hati putra sulungnya itu. Namun, wanita itu juga tahu jauh di dalam hatinya, Aldo sebenarnya sangat menyayangi Davika. Kemarahan Aldo adalah bukti bahwa ia sangat peduli dengan adiknya.

"Yaudah, Mama tutup dulu teleponnya ya. Nanti kalau Vika udah mau cerita apa yang terjadi, Mama kabari kamu lagi, assalamualaikum." Erna mematikan teleponnya. Wanita cantik yang  tak lagi muda itu kembali menghampiri Davika.

"Vika, Mama pengen tahu apa yang sebenarnya terjadi pada kalian?"

================

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status