Tiara menggeleng. Dia menyembunyikan getar tangannya dibalik punggung. “Tidak. Bagaimana aku bisa masuk jika kamar selalu kau kunci?”
“Jangan bohong. Tadi pagi aku meninggalkan ponsel di kamar. Karena terburu-buru aku tidak sempat mengambilnya dan lupa mengunci pintu. Siapa lagi yang akan mengambil ponsel itu selain kamu.”
“Kalau tidak percaya periksa saja kamar ini. Geledah semuanya.” Tantang Tiara seolah tidak ada ponsel Rian yang ia sembunyikan.
Rian mendengkus kesal. Berjalan ke tempat tidur. Meraba setiap inci seprai. Memeriksa bantal dan guling. Membuka semua laci lalu kembali ke hadapan Tiara. “Minggir.”
Pria itu membuka lemari kanan. Memeriksa semua pakain Tiara yang tergantung. Lalu memeriksa pintu kiri. Mengeluarkan semua pakaian Tiara yang sudah terlipat rapi. Tiara hanya bisa menghela nafas. Mengambil semua pakaiannya lalu meletakan di tempat tidur. Saat berbalik, Tiara melihat Rian jongkok. Tubuh suaminya seperti mematung dengan pandangan tertuju pada kotak berisi foto pernikahan mereka.
Jantung Tiara berdegup kencang. Dia takut Rian akan membuka kotak itu. Keringat dingin mulai membasahi tangannya. Tiara terus menatap Rian yang masih diam di tempat yang sama. Tiba-tiba saja Rian berdiri lalu keluar kamar. Tidak menyentuh kotak itu sama sekali.
“Alhamdulillah,” ucap Tiara lega.
Tiara melipat semua pakaiannya selama satu jam. Menatanya kembali seperti semula. Pandangan Tiara tertuju pada kotak itu. Dia membuka kotak lalu mengambil album pernikahan. Tiara duduk di tepi tempat tidur. Membuka satu per satu foto yang menampilkan betapa bahagianya mereka sebagai pengantin baru. Di halaman terakhir adalah foto peringatan hari jadi pernikahan Rian dan Tiara yang kesembilan tahun.
Rian mengusulkan agar mereka memakai baju pernikahan yang berbeda. Tidak lupa mendadani Anggrek dan Lily dengan pakaian serupa. Mengambil foto bersama sebagai kado pernikahan kesembilan. Wajah mereka sangat ceria di foto itu. Sembilan tahun pernikahan yang sangat indah hingga sikap Rian tiba-tiba saja berubah.
Masih terekam dengan jelas dalam ingatan kejadian empat tahun lalu. Hari itu Tiara menemani Anggrek dan Lily menonton TV di lantai satu. Jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Namun Rian tidak kunjung pulang. Hingga jam menunjukkan pukul setengah sepuluh, tidak terdengar suara mobil suaminya. Saat itu Tiara sudah berada di kamar Anggrek dan Lily. Usia mereka baru delapan tahun dan tiga tahun.
“Kapan Ayah pulang Bu?” tanya Lily sambil memandang jarum jam yang terus bergerak.
“Mungkin tengah malam Dek. Tadi Ayah kirim pesan kalau harus lembur malam ini.” Tiara memegang lehernya bingung. Kebiasaannya jika berbohong.
“Tumben Ayah lembur Bu. Biasanya kalau ada pekerjaan dibawa pulang. Aku dan Lily sering bermain di ruangan Ayah kalau sedang bekerja di rumah.” Kening Anggrek mengkerut heran. Di usia delapan tahun, Anggrek termasuk anak yang kritis, peka dan banyak bertanya.
“Karena ada pergantian pimpinan Kak. Sederhananya bos Ayah diganti. Jadi Ayah terpaksa lembur.” Tiara terpaksa terus berbohong karena tidak ingin membuat anak-anak khawatir.
“Oh begitu.”
Saat anak-anak sudah tidur, Tiara turun ke lantai satu. Dia berjalan bolak-balik di ruang tengah sambil memegang ponsel. Terus menelepon Rian. Walaupun teleponnya tidak kunjung diangkat. Bahkan Rian menolak teleponnya. Membuat perasaan Tiara jadi tidak enak.
Tiara duduk di sofa. Dia tidak menyerah. Terus menghubungi Rian. Meski berulang kali ditolak. Puncaknya Rian tidak bisa dihubungi lagi. Karena tubuhnya juga sudah merasa lelah, Tiara berbaring di sofa. “Mudah-mudahan Mas Rian segera pulang.”
Tanpa sadar Tiara sudah tidur di sofa. Dia terbangun saat mendengar adzan subuh berkumandang. Wanita itu terlonjak kaget saat melihat jarum jam sudah menunjukkan pukul setengah lima pagi. Dia segera bangun lalu berlari masuk ke kamar.
“Mas Rian.” Tiara membuka pintu sambil memanggil nama suaminya. Rian tidur dengan posisi terngkurap.
Ia menghela nafas lega melihat keberadaan sang suami. Tiara berjalan mendekat. Hendak membangunkan Rian untuk salat subuh berjamaah. Langkahnya terhenti karena mencium bau yang menyengat. Bau yang tidak pernah Tiara cium sebelumnya.
“Bau apa ini?” tanya Tiara heran. Dia duduk disamping Rian lalu menggoyang tubuh suaminya.
“Bangun Mas. Salat subuh dulu,” kata Tiara mengingatkan. Dia ingin segera bertanya bau apa yang saat ini sedang bersarang di tubuh pria itu.
“Hnnng.” Rian mendorong tangan Tiara kesal.
“Pergi sana.”
“Tapi Mas.”
“Aku bilang pergi,” bentak Rian yang tiba-tiba bangun. Menatap Tiara dengan mata merah. Tiara semakin heran karena tiba-tiba saja pria itu marah padanya.
Tidak ingin ada keributan di pagi hari, Tiara mengalah. Dia bangkit lalu keluar dari kamar. Naik ke lantai dua untuk membangunkan anak-anak. Setelah salah subuh hanya dengan Anggrek dan Lily, Tiara memilih memasak bekal anak-anak dan suaminya.
Dia ingin bicara dengan Rian saat mereka akan sarapan. Setelah selesai memasak, Tiara masuk kamar utama. Hendak memberi tahu suaminya bahwa sarapan sudah siap. Betapa kagetnya Tiara saat melihat Rian sudah siap dengan baju kerjanya. Pria itu sudah menyisir rambut, memakai kaos kaki lalu menenteng tas kerja di punggung dan tangannya.
“Kamu mau langsung berangkat kerja Mas?” tanya Tiara heran.
Rian tidak menjawab pertanyaan sang istri. Dia pergi begitu saja tanpa berpamitan. Tidak ada sesi pamitan mesra seperti yang biasanya mereka lakukan. Biasanya Tiara akan menyalami tangan Rian yang dibalas dengan kecupan mesra di dahi dan pipi. Perubahan sikap Rian membuat Tiara bingung dan sedih.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa Mas Rian tiba-tiba marah padaku?” tanya wanita itu penasaran.
Tiara berjalan gontai ke dapur dimana anak-anak sudah menunggu. Tiara menarik kursi yang biasa ia tempati. Mengambil nasi dan lauk untuk Anggrek dan Lily. Baru mengambil makanan untuk dirinya sendiri. Tiara dapat melihat tanda tanya di wajah kedua putrinya melihat ia datang sendiri ke dapur. Tidak ada Rian yang menyusul.
“Ayah belum bangun Bu?” Anggrek melongokan kepalanya. Berharap melihat Rian turun dari sudut tangga yang masih terlihat dari dapur.
“Kok Ayah nggak makan sama kita?” Lily ikut bertanya dengan suara yang menggemaskan. Tiara bingung harus menjawab apa. Dia masih terdiam. Memikirkan alasan kenapa Rian melewatkan sarapan bersama mereka.
“Ayah belum pulang. Tadi malam baru telepon kalau harus pergi keluar kota untuk menemani bosnya.”
“Yaaah,” seru Lily kecewa.
Hari itu bergulir cepat. Langit cerah berubah gelap. Tiara hendak bertanya pada Rian saat ia pulang ke rumah. Namun sama seperti hari sebelumnya, Rian tidak pulang hingga tengah malam. Tiara baru melihat keberadaan suaminya saat bangun hendak salat subuh. Rian juga tidak mau lagi salat berjamaah dengan keluarga kecilnya.
Perubahan sikap Rian juga dirasakan oleh anak-anak. Pria itu menjadi tak acuh pada Anggrek dan Lily. Hari demi hari sudah berlalu. Genap sebulan perubahan sikap Rian. Berulang kali, Tiara bertanya, pria itu memilih bungkam. Jika sebelumnya Rian akan menatap Tiara marah, Rian menjadi jadi mengabaikan keberadaan sang istri.
Meski sudah berubah, tetapi Rian tidak ingin orang tuanya tahu. Dua hari sebelum orang tuanya datang berkunjung, Rian menghampiri Tiara yang tengah melipat baju di depan TV. Melihat Rian mau duduk disampingnya lagi membuat Tiara tersenyum senang.
“Tetaplah bersikap biasa saat orang tuaku datang. Jangan mengadu tentang masalah kita,” kata Rian dingin.
Senyum di bibir Tiara seketika luntur. Dia mengira Rian akhirnya mau bicara lagi dengannya. Ternyata untuk membahas kedatangan orang tua pria itu. Tiara menahan tangis. Dia kembali melipat pakaian. Memilih mendengarkan setiap ucapan Rian.
“Katakan juga pada anak-anak agar tidak mengadu pada kakung dan uti mereka. Aku tidak mau membuat penyakit ibu tambah parah,” ucap Rian lalu berdiri. Tiara segera menahan tangan suaminya.
“Apa salahku sampai kau berubah Mas? Jangan terus bersikap seperti ini.” Tiara menatap punggung lebar Rian yang berdiri tegak membelakanginya.
“Kau tidak perlu tahu.” Rian melepas pegangan Tiara lalu berjalan pergi.
Tiara menutup album foto lalu memasukannya lagi ke kotak. Masa lalu sudah tertinggal. Setelah empat tahun tidak tahu apapun tentang perubahan sikap suaminya, Tiara akhirnya tahu penyebabnya. “Besok aku harus mencari toko service agar bisa membuka layar ponsel yang kutemukan.”
Karena meras haus, Tiara berjalan keluar kamar. Dia mendengar suara Rian yang tengah bicara. Langkahnya terhenti, diam-diam Tiara menempelkan telinganya di pintu agar bisa mendengar suara Rian lebih jelas lagi.
“Kapan aku harus menceraikan Tiara? Aku sudah tidak tahan lagi sayang. Toh dia juga sudah tahu tentang hubungan kita.” Suara Rian yang pelan terdengar jelas di telinga Tiara, membuat wanita itu terkesiap kaget.
“Berarti aku harus menunggu sampai anak kita lahir baru membongkar kebusukan Tiara.” Perkataan Rian selanjutnya membuat badan Tiara semakin lemas.
‘Ternyata Mas Rian mempertahankan pernikahan ini bukan karena keinginannya, tetapi karena Dina.’ Batin Tiara menangis pilu.
Tidak terasa waktu sudah menunjukkan pukul dua siang. Waktunya dia untuk pulang ke rumah sebentar guna menemui Ustad Soleh dan timnya yang akan melakukan ruqyah kedua di rumahnya.Aurel menekan telepon yang menghubungkan dengan telepon di ruang sekretarisnya. Tidak lama kemudian, sekretarisnya masuk ke ruang kerja Aurel. Wanita itu memberikan sejumlah pekerjaan yang harus dilakukan saat ia pulang ke rumah nanti."Apa kamu mengerti?" tanya Aurel tegas. Aura pemimpinnya begitu jelas terlihat. Tidak dapat dipungkiri kalau didikan keras ibunya selama ini, sejak dia masih kecil dan belum mengerti apapun hingga dewasa sudah membentuk mengalnya jadi sedemikian tangguh."Baik Bu. Saya mengerti," jawab sektetarisnya sopan dan dapat diandalkan."Baik kalau begitu saya tinggal dulu. Nanti jam empat sore saya akan datang kembali kesini untuk memeriksa semuanya," ucap Aurel lagi sambil melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan tangan kanannya."Baik Bu," jawab sekretaris Aurel lagi.Setelah
Keesokan harinya sinar matahari menembus jendela kamar Aurel yang sangat besar. Bahkan saking besarnya ukuran kamar itu seperti rumah minimalis atau kamar kos mewah. Tidak hanya ada tempat tidur king size yang diletakan di tengah kamar, tapi juga ada sofa mewah dengan meja kecil dibalik dinding kaca sebagai penyekat dengan balkon kamar utama ini.Aurel bangkit dari tidurnya. Sebenarnya ia sudah bangun subuh dan melaksanakan salat sendoiri karena suami dan kedua anaknya pergi ke masjid. Namun setelah salat, Aurel melanjutkan tidurnya karena dia butuh tdur yang berkualitas sebelum nanti akan sibuk bekerja. Ia melihat kalender yang ada di atas nakas.“Hari ini Ustad Soleh dan timnya akan datang ke rumah lagi untuk melakukan ruqyah kedua,” gumam Aurel seorang diri.Wanita itu turun dari tempat tidurnya yang sangat besar. Dia berjalan menuju balkon kamarnya yang sangat luas. Berbeda dengan balkon kamar yang ada di hotel. Aurel duduk di kursi yang menghadap matahari terbit. Karena arah kama
Sehari sebelumnya saat Aurel baru saja pulang dari rumah sakit jiwa tempat Dina sekarang dirawat. Wanita itu menghela nafas saat melihat pemandangan rumah-rumah warga yang beragam bentuk dan ukurannya. Ia akan kembali sibuk dengan rutinitas pekerjaan seperti biasa. Meskipun Aurel masih sedikit harus mengurus tentang masalah Dina.Di rumah, dia melanjutkan pekerjaannya di ruang kerja. Membiarkan Bu Jumi menyiapkan makan malamnya seorang diri disana. Suaminya, Hendra juga masih berada di kantor. Kedua anaknya sibuk dengan tugas kuliah dan sekolah. Meskipun keluarga kecil itu terlihat sibukb dengan kegiatan mereka masing-masing, tapi Aurel selalu punya cara membuat suasanan intim diantara pasangan suami istri serta orang tua dan anak.“Pak Hendra tadi telepon kalau akan pulang tengah malam Bu. Sedangkan aden-aden berdua juga telepon kalau mereka menginap di kos teman untuk mengerjakan tugas kuliah bersama,” kata Bu Jumi begitu menghidangkan menu makan malam di hadapan Aurel. Tepat di ten
Mata Dina mengerjap berulang kali. Dia tidak merasakan keberadaan Dukun Deri disini lagi. Apalagi bisikan-bisikan aneh itu. Yang ada Dina justru merasakan ketenangan yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya. Ini seperti mimpi dia bisa berada di tengah keramaian. Setelah dua hari terakhir Dina selalu sendiri di ruangan ini.“Ada yang ingin kamu tanyakan?” tanya Ustad Soleh yang duduk di hadapan Dina.Ustad Soleh yang masih memakai sarung tangan sedang menekan jari jempol kaki Dina. Wanita itu memandang sekeliling ruangan. Jika dia hitung ada delapan wajah baru yang terlihat kelelahan mengelilingi tempat tidurnya. Ditambah dengan dua perawat utama yang ikut masuk ke ruang rawatnya. Jadi totalnya ada sepuluh orang yang masuk ke ruangan ini.“Apakah bapak dan ibu semua adalah orang kiriman Bu Aurel?” tanya Dina menanyakan hal pertama yang terlintas di benaknya.Ustad Soleh mengangguk. Senyum pria paruh baya itu terlihat sangat amat menentramkan. Senyum bijak yang terpancar dari orang baik.
Di rumah sakit jiwa tempat Dina mendekam,wanita itu sudah sadar. Kelopak matanya perlahan terbuka. Ditatapnya langit-langit rumah sakit jiwa ini. Di ruang isolasi dimana sekarang tempat Dina berada. Hanya dinding dan atap berwarna putih yang mengepungnya di ruangan ini. Dengan tempat tidur tanpa ranjang dan selang infus yang menancap di tangannya.Pikiran Dina teracak. Dia ingat beberapa kejadian, tapi melukan kejadian berikutnya. Sebelum kedua perawat utama datang bersama rombongan ustad yang Dina dengar saat perawat utama bicara, Dina tidak ingat apapun. Dia hanya ingat kalau sedang berada di ruangan yang sangat gelap gulita.Entah kenapa Dina merasa sangat bersyukur dan berterima kasih karena ada orang yang mengirim ustad untuk mengobatinya. Air mata Dina menitik. Dia tergugu membayangkan hari-hari ke depan. Dina takut dia akan jadi gila dan tidak ingat dengan apapun lagi seperti orang tuanya. Terlebih Dina takut jika tidak bisa melihat bapak dan ibunya lagi.“Apakah aku bisa sembu
Akhirnya mereka duduk di deretan kursi panjang yang ada di depan meja penerima tamu yang terletak di gedung depan. Aurel mengeluarkan amplop tebal dari dalam tasnya lalu menyerahkan amplop itu pada Ustad Soleh.“Terima kasih untuk bantuannya sejak kemarin Pak Ustad. Saya tidak tahu apa yang terjadi jika tidak ada anda yang bersedia membantu kami,” kata Aurel penuh sopan santun.Ustad Soleh menerima pemberian kliennya itu. Rasanya sangat tebal. Jadi Ustad Soleh bisa menebak kalau isinya dua kali lipat dari biasanya. Ustad Soleh memang tidak pernah mengenakan tarif pasti. Dia menyerahkan semuanya pada orang-orang yang sudah dibantu. Namun jika berurusan dengan orang kaya, maka para klien akan memberinya banyak uang. Termasuk keluarga Pak Hermawan.“Sepertinya uang ini terlalu banyak Bu Aurel,” kata Ustad Soleh jujur.Bukannya dia tidak mau menerima rejeki, tapi menerima uang sebanyak ini dan lebih dari biasanya tentu saja membuat hati jadi tidak tenang sama sekali. Bagi Ustad Soleh cuku