Shreya bergegas masuk ke kamarnya dan berdiri di samping box bayi. Ia harus berpura-pura bersikap biasa saja saat Felix masuk.
Ceklek!Terdengar suara pintu terbuka."Jagoanku rewel?" tanya Felix.Shreya menoleh. "Tidak. Dia terbangun tadi, minta mimik," dalihnya. "Mas dari mana?"Felix duduk di tepi ranjang. Shreya melihat sang suami menghela napas. Wajah muramnya sangat jelas terlihat. Shreya turut duduk dan bertanya, "Ada apa? Sepertinya ada sesuatu yang Mas pikirkan. Kalau Mas percaya sama Aya, ceritalah."Felix menatapnya bahkan tangan Shreya turut ia genggam. "Mas serahkan dan percayakan Pricilla padamu. Pun dengan semua urusan rumah tangga."Felix beranjak. Ia mengambil sesuatu di laci nakas. Semua itu tak luput dari perhatian Shreya. Mata memanglah melihat ke arah Felix, tetapi pikiran terfokus kepada Pricilla. Mampukan ia menaklukan hati Pricilla? Paling tidak, ia bisa merubah Pricilla menjadi lebih baik lagi. Shreya akan mengesampingkan urusan hati. Ya, Shreya harus menjaga hati disaat Pricilla tak menganggapnya atau mungkin akan bersikap lebih dingin.Felix kembali duduk di samping Shreya. "Sebutkan nomor rekeningmu.""Untuk apa?""Sebutkan saja."Shreya pun menyebutkan nomor rekeningnya."Oke, sudah, ya," ujar Felix sembari menunjukkan sebuah transaksi di ponselnya.Shreya melongo. Angka yang cukup fantastis menurutnya. Lima ratus juta rupiah."Besar sekali. Untuk apa, Mas?""Itu nafkahmu perbulan. Cukup?""Lebih dari cukup, Mas. Terima kasih.""Dan ini, ambillah!" Felix memberikan sebuah black card dan secarik kertas bertuliskan beberapa angka.Shreya tak lekas meraihnya. Wanita itu justru bertanya, "Untuk apa lagi? Yang barusan Mas transfer aja lebih dari cukup buat Aya.""Itu khusus buatmu. Untuk keperluan rumah tangga, Nathan juga Pricilla gunakan ini. Tapi, untuk uang saku Pricilla selalu Mas transfer ke rekeningnya, kok. Dan besok Mas akan buatkan tabungan juga untuk Nathan."Sungguh Shreya merasa beruntung bersuamikan Felix. Tidak pelit dan tidak membedakan siapa Nathan. Shreya tak mampu bicara sampai-sampai Felix meraih tangannya dan disimpannya kartu itu dalam genggaman."Dan ini adalah kode brankas itu," ujar Felix seraya menunjuk. "Kalau kamu perlu uang cash ambil saja, tidak usah sungkan.""I-iya, Mas." Shreya mengambil secarik kertas itu.Felix mengacak pucuk kepala Shreya. "Ya, sudah, Mas ke ruang kerja, ya? Ada beberapa dokumen yang harus Mas selesaikan. Kamu tidur duluan saja."Felix berlalu tanpa mendapat persetujuan dari Shreya. Akhirnya Shreya memutuskan untuk tidur. Tanpa malam pertama? Tentu saja.*Pagi menjelang.Sedari pagi Shreya sudah berkutat di dapur ditemani sang pembantu yang biasa memasak di sana. Sambil memasak, ia bertanya perihal menu favorit sang suami dan putrinya. Empat puluh menit berselang semua menu sudah tertata di piring."Bi, Aya mau bangunin tuan sama Pricilla, minta tolong siapin di meja makan, ya, Bi?!""Siap, Nyah."Shreya pun meninggalkan dapur.Tiba di kamar, tampak Felix sedang menggendong Nathan."Eh, Nathan sudah bangun? Dari tadi, Mas?"Felix tersenyum. "Tidak, kok."Shreya mengambil alih Nathan dan menyuruh Felix agar segera membersihkan diri. Sementara dirinya memberi ASI.Nathan sudah Shreya mandikan bahkan tertidur kembali. Felix pun sudah memakai pakaian kantor."Oh, iya, Mas, kalo Pricilla biasanya berangkat sama siapa?""Bareng sama Mas jam tujuh nanti.""Kalau begitu Aya ke kamar Pricilla dulu. Mas ke ruang makan sendirian gak pa-pa, kan?'Felix mengangguk seraya tersenyum. Keduanya pun meninggalkan kamar dan berjalan ke tempat tujuan masing-masing.Daun pintu kamar Pricilla sudah di depan mata. Shreya mengetuk dan masuk setelah sang empu mempersilakan."Yah, Kakak ... terus gimana, dong? Masa Papa yang ke sekolah! Aku bisa habis dimarahin Papa!"Rupanya Shreya mendapati Pricilla sedang bicara di sambungan telepon dengan tangan memegang selembar kertas. Percakapan itu terhenti saat mata Pricilla bertemu pandang dengan Shreya."Sarapan, yuk!" ajak Shreya. "Papa udah nunggu."Ajakan Shreya tidak Pricilla hiraukan. Gadis itu memasukan beberapa buku ke dalam tas dan sebuah bungkusan yang entah apa isinya, jelas Shreya tidak tahu. Disimpannya kertas tadi di atas meja belajar, kemudian keluar begitu saja.Shreya hanya bisa menggeleng dan berbalik hendak keluar, tetapi ia urungkan. Wanita bermata bulat itu merasa penasaran dengan isi kertas di atas meja. Shreya meraihnya, lalu membaca."Ya, ampun, rupanya surat panggilan orang tua. Masalah apa, ya, kira-kira?" gumam Shreya. Shreya menyimpan kembali kertas itu dan bergegas keluar.Sesampainya di ruang makan, ternyata Pricilla sedang menikmati sarapannya diiringi cuitan Felix. Shreya duduk di samping Felix, kemudian berkata, "Mas, tidak baik ketika sedang makan diomeli." Felix pun berhenti bicara.Shreya dengan sigap menyiapkan makan untuk suaminya. Setelah terhidang, ia berpamitan ke kamar untuk melihat Nathan.Tidak bsrselang lama, Shreya kembali sambil menggendong bayi gembul itu."Duduklah, biar Mas yang suapin kamu," ucap Felix kepada Shreya, tetapi Shreya dengan halus menolak."Mas, bisa titip dulu Nathan? Aya mau ambil roda bayi. Biar dia di roda saja.""Biar Mas yang ambil.""Ah, terima kasih, Mas." Felix pun pergi ke kamar.Kepergian Felix adalah sebuah kesempatan emas bagi Shreya. Tampan basa-basi Shreya berkata, "Biar Tante yang ke sekolah."Ucapan Shreya mampu membuat Pricilla berhenti mengunyah dan menatap dirinya dengan tatapan benci. Keningnya mengernyit, lalu bertanya, "Untuk apa?""Tante sudah baca surat itu."Shreya tersenyum samar ketika melihat Pricilla kembali menunduk karena mendengar langkah Felix. Nathan sudah berada dalam rodanya. Pun dengan Shreya yang bisa menikmati sarapannya.Ritual sarapan pun usai."Ayok, Cilla, berangkat!" ajak Felix."Emm ...,""Cilla biar Aya saja yang antar, Mas," timpal Shreya. "Gimana, Sayang?" Shreya balik bertanya kepada Pricilla."Ya!" jawab Pricilla singkat dan tentu saja terkesan dingin.Shreya melihat Felix mengernyit. Ia meyakini jika Felix merasa aneh dengan putrinya. Lain halnya dengan Pricilla. Sudah dipastikan gadis itu terpaksa menerima tawaran Shreya karena takut kepada Felix. Benar-benar situasi yang menguntungkan bagi Shreya.Felix tersenyum. "Baiklah! Kalau begitu Papa berangkat, ya?" Felix menggeser kursi yang ia duduki."Mas berangkat!" pamitnya kepada Shreya dan tak lupa mencium pipi Nathan terlebih dahulu.Shreya mengantar Felix hingga ke teras sembari mengendong Nathan."Pakai mobil yang ada di garasi saja. Kuncinya ada di kamar, di laci," kata Felix. "Atau kalian biar diantar sopir saja.""Tidak, Mas. Kita butuh waktu untuk berdua."Felix menganggukkan kepalanya. "Ya, kamu benar. Tapi, Mas merasa heran saja kenapa Pricilla langsung mau, ya? Emm ... maksud Mas, ya ...,""Mungkin Cilla takut sama Mas kalo nolak tawaran Aya," ucap Shreya memotong ucapan Felix."Ya, pasti. Ya, sudah, Mas berangkat, ya?" Perhatian Felix berganti kepada Nathan. "Papa berangkat dulu. Baik-baik kamu di rumah sama Mama, ya?!""Iya, dadah, Papa ...." Shreya melambaikan tangan Nathan."Ah, tunggu. Apa sebaiknya kita cari baby siter saja, ya? Jadi, ketika kamu pergi biar dia saja yang gendong Nathan. Kamu juga tidak kerepotan. Gimana?"Sejenak Shreya terdiam. Saran Felix ada benarnya. Akan tetapi, Shreya ingin sepenuhnya bersama Nathan walaupun suatu saat mungkin kepayahan, tetapi tak mengapa. Ia akan menjalaninya dengan suka cita."Ah, tidak, Mas. Aya mau urus Nathan sendiri. Bagaimanapun situasinya.""Baiklah, kalau itu keputusanmu."Felix menaiki mobilnya dan mobil pun melesat hingga tak terlihat dari pandangan.Shreya kembali menghampiri Pricilla yang masih betah duduk di kursi meja makan."Sebentar, ya, Tante ambil kunci mobil dulu." Shreya pergi walau tak mendapat jawaban dari Pricilla.Tak lama berselang, Shreya kembali dengan membawa kursi bayi dan bergegas keluar karena Pricilla tak lagi di ruang makan. Benar saja, putrinya itu sedang duduk di teras sambil bercermin. Shreya mengernyit. Pricilla ternyata sedang berdandan.Shreya mendekat. "Sayang, kok, pake make-up? Bukankah aturan sekolah itu tidak boleh, ya?"Pricilla menghentikan aktivitasnya dan melirik ke arahnya. Lantangnya ia berkata, "Jangan ikut campur urusanku! Tante cukup mengantar ke sekolah saja!"Shreya menghela napas dan lekas ke garasi. Shreya mengatur posisi Nathan di kursi depan. Setelah dirasa aman, ia menjalankan mobilnya.Tin!Shreya menyalakan klakson agar Pricilla segera naik. Gadis itu pun naik dan menutup pintu mobil cukup kencang membuat Nathan terperanjat. Shreya hanya bisa menggeleng dengan sikap anak tirinya itu."Nanti tolong tunjukkan jalannya, ya? Tante tidak tau.""Kalo tidak tau kenapa mau ke sekolah segala, sih?!" ketus Pricilla.Terlalu malas bagi Shreya untuk berdebat. Ia meraih ponselnya yang disimpan di dasbor."Halo, Mas, Aya gak jadi antar Cilla ke sekolah, Nathan rewel. Oh, iya, pihak sekolah meminta Mas untuk datang ke sekolah, tuh!"Shreya melihat Pricilla melalui kaca spion. Gadis itu terbelalak dan wajahnya seketika terlihat panik. Shreya meletakan kembali ponselnya dan membuka sabuk pengaman. Tiba-tiba saja ..."Tunggu, Tante! Iya, iya, aku tunjukin jalannya. Kenapa Tante telepon Papa coba, ih?!" ucap Pricilla merajuk.Shreya memakai sabuk pengaman lagi. Tanpa Pricilla tahu, ia tersenyum puas. Ternyata berpura-pura menelepon Felix adalah senjata ampuh untuk menaklukkan Pricilla."Jangan harap kamu bisa tenang setelah merebut papaku...." sinis gadis itu dalam hati.Ketika mobil sudah terparkir di halaman sekolah, Shreya dan Pricilla bergegas turun.Nathan sudah dalam gendongan Shreya. Keduanya pun segera masuk.
"Kelasmu di mana?" tanya Shreya ramah.
"Tuh!" Pricilla menunjuk salah satu kelas di sana.
"Ya, sudah, masuk, sana. Tante langsung ke ruang kepala saja." Pricilla berlalu tanpa permisi.
Setelah bertanya kepada seorang siswa, akhirnya Shreya tiba di ruang kepala sekolah.
"Silakan duduk, Bu," kata sang kepala ramah.
"Terima kasih, Pak." Shreya pun duduk.
"Sebelumnya mohon maaf, Pak. Kedatangan saya ke sini untuk memenuhi panggilan," lanjut Shreya.
"Ibu ini orang tua dari ...,"
"Pricilla, Pak. Saya ibu sambungnya."
"Oh, akhirnya saya bisa bertemu dengan orang tua Pricilla langsung, karena biasanya Tantenya'lah yang datang."
Shreya mengernyit. "Tante?"
Mendengar itu Pricilla berjalan mundur. Tak hanya Pricilla yang merasa kecewa, tetapi juga semua keluarga terlebih-lebih Shreya. "Tunggu!" titah Nathalie, membuat Pricilla menghentikan langkah. "Aku belum selesai bicara!" tukas Nathalie. Pricilla mencoba tersenyum walau bulir bening hampir saja menetes. "Ah, apa itu, Dek?""Sayangnya, tidak mungkin jika Liki tidak memaafkan Kakak.""Jadi, Adek maafin Kakak? Serius?"Nathalie mengangguk. "Iya, dua rius malah!"Nathalie memeluk Pricilla erat. Kata maaf terlontar dari mulut keduanya. "Makasih udah siapin ini untukku, Kak. Seandainya Kakak gak bikin pesta ini pun Adek pasti maafin Kakak, kok. Tapi, waktunya aja yang lama. Hehehe ...," ujar Nathalie dengan polosnya. Pricilla melerai pelukan. "Yaaah ... kalo gitu rugi, dong, Kakak bikin pesta ini!""Iiih, si Kakak, ya, gak, lah. Kan, aku seneng."Pricilla mengatakan jika semua ide datangnya dari Shreya. Mulai dari konsep, kostum dan lainnya. Sedangkan dirinya hanya pendanaan saja. Itu
"Ini tolong susunnya yang betul, ya?""Masakan sama kuenya udah aman, kan?""Coba yang itu, tolong kursinya tata yang rapi!"Itulah Pricilla saat dirinya disibukkan dengan acara yang ia persembahkan untuk Nathalie. "Sayang, istirahat dulu. Acaranya, kan, nanti malam. Kamu sampe lewatin makan siang, loh!" kata Jody. "Nanti saja, Kak. Aku mau mastiin acara ini bener-bener terselenggara mewah dan sempurna!""Gak, gak, bisa! Pokoknya kamu harus makan dulu. Kalo kamu sakit gimana?"Pricilla hanya diam. "Kakak gak mau, ya, gara-gara ini kamu sakit!" lanjut Jody. Akhirnya Pricilla menyerah. Ia memakan makanan yang Jody bawa. Semua tak luput dari pengawasan Jody. Pricilla yang sebenarnya sudah merasa kenyang pun mau tidak mau melahap semuanya. "Haaah, selesai. Kenyang banget, Kak."Jody tersenyum. "Bagus!""Kalo gitu, sekarang antar aku ke butik."Jody menepuk kening. "Istirahat, Yang! Malah ke butik."Pricilla hanya tersenyum memperlihatkan barisan giginya yang putih dan rapi. "Sekalian
Satu minggu sudah berlalu. Satu minggu juga Nathalie tidak memberi Pricilla kesempatan untuk berbicara empat mata dengannya."Ma, hari ini Lili izin menginap lagi di rumah Nela, ya?" kata Nathalie. Perkataan Nathalie mencuri perhatian Felix, Lorenza, Jody dan Pricilla yang sedang sama-sama menikmati sarapan. Shreya menggeleng. "Tidak boleh?""Loh, kenapa?"Shreya menyimpan sendoknya. "Mama mau kalau weekend kita semua kumpul. Kita gunakan waktu senggang untuk bercengkrama.""Abang gak ada, gak asyik!" ucap Nathalie cepat. "Kan, ada Kakakmu. Mumpung dia menginap di sini," balas Shreya. Nathalie hanya menunduk dan mengaduk sup yang ada di mangkuk saja. Sikap Nathalie tak luput dari pandangan Pricilla. "Ma, nanti sore kita pulang," kata Pricilla. "Loh, katanya mau seminggu lagi di sini."Pricilla tersenyum. "Maaf, semalam lupa kasih tau Mama. Kakak kasian sama Kak Jody bulak-balik kantornya jauh."Embusan napas kasar yang terkesan lega terdengar dari mulut Nathalie. Remaja itu berd
Di sekolah, mood Nathalie belum seutuhnya kembali sampai-sampai apa yang guru jelaskan di depan kelas tak sepenuhnya ia dengar. "Lili, coba jelaskan kembali apa yang Ibu terangkan barusan!"Nathalie terkesiap. "Sa-saya, Bu?""Iya, kamu!"Nathalie tersenyum canggung. "Ma-maaf, Bu. Sa-saya tadi tidak fokus.""Sekali lagi kamu tidak perhatikan, silakan ke luar kelas! Mengerti?!""Ba-baik, Bu."Guru tersebut kembali mengulang menjelaskan. Beruntung, Nathalie bisa kembali fokus dan mampu menjawab semua pertanyaan yang guru tersebut ajukan. Bel istirahat diperdengarkan. "Kenapa lu?" tanya Nela --teman Nathalie. "Tumben amat lu lemot.""Lagi bete gue, La.""Cerita di kantin, yuk! Laper, nih!" Setelah mengambil ponsel di masing-masing loker, keduanya ke kantin. Baru saja tiba di kantin, ponsel Pricilla berdering pertanda satu panggilan masuk. Kak Cilla, nama yang tertera di layar ponsel. Rasa benci yang masih menggelayut membuat Nathalie menolak panggilan. "Lu mau makan apa?" tanya Nela
Di apartemen. Ada Pricilla yang sedang sibuk menyiapkan keperluan Jody untuk bekerja. "Sayang, maaf, ya? Kakak harus kerja hari ini," ucap Jody. Pricilla yang sedang memilih dan memilah kemeja pun menjawab, "Iya, tidak apa-apa. Aku yang harus berterimakasih sama Kakak atas waktunya. Hampir satu minggu Kakak temani aku.""Iya, Sama-sama, Sayang."Sebelum berangkat ke kantor, Pricilla meminta Jody agar mengantarnya ke rumah Shreya. Setelah menikmati sarapan keduanya pergi. *"Kak, sebelum ke rumah mama, antar aku ke toko kue Nenek Melani," pinta Pricilla. "Buat oleh-oleh?"Pricilla menggeleng. "Lalu?"Rupanya Pricilla ingin meminta maaf kepada Melani atas semua kesalahan yang sudah ia perbuat. Jody tersenyum mendengar itu. Tiba di toko kue, rupanya Melani yang menyambut. "Wah, ada ka--""Nenek!" Pricilla memeluk Melani membuat wanita tua itu tercengang. "Maafin aku, ya, Nek? Maaf atas semua kesalahan yang sudah aku perbuat."Melani tersenyum dan membalas pelukan. Diusapnya rambu
Mata Jody perlahan terbuka. Senyumnya mengambang melihat Pricilla yang tidur sembari memeluknya tanpa sehelai benangpun. Dilihatnya jam yang terpasang di dinding. Ternyata jarum jam sudah menunjuk pada angka tujuh malam. Rasa lelah yang meraja rupanya membuat mereka tidur sangat pulas. Maklum saja, pergulatan siang tadi berlangsung berjam-jam.Pricilla menggeliat. Perlahan mata indahnya terbuka. Cup! Jody mengecup pucuk kepala Pricilla. Pricilla mendongak. "Eh, Kakak udah bangun?""He'em, dari tadi."Pricilla hendak bangun. Namun, ia urungkan saat menyadari tubuhnya polos. Wanita itu memilih menenggelamkan wajahnya pada dada bidang Jody. "Ih, malu," cicit Pricilla. Jody tersenyum. Sembari mengeratkan pelukan, ia bertanya, "Malu kenapa, sih, Yang? Toh, Kakak udah liat semuanya."Plak! Pricilla memukul dada Jody. "Gak usah disebutin juga, Kak, ih!""Sakit, Yaaang!" Jody mengusap-usap dadanya yang dipukul. Pricilla yang tak enak hati tentu saja meminta maaf sembari turut mengusap
Sembari menangis Pricilla berjongkok membantu Jody berdiri. Beruntung, Jody hanya mengalami lecet di tangan saja karena mobil Dio menabrak gerobak seorang pedagang yang turut menyebrang. Jody terjatuh tertimpa gerobak. Ramai orang berkerumun, bahkan sebagian dari mereka memecahkan kaca mobil Dio. "Turun, anj*ng!""Udah tau jalanan ramai, malah ngebut!""Ganti rugi!"Banyak dari mereka yang turut menghujat. Dio pun turun. Tak ada rasa sesal darinya. Ia menatap tajam ke arah Jody dan Pricilla. Bugh!Bugh! Bogem mentah Dio dapatkan dari beberapa orang. Ia pun terkapar. "Hentikan!" seru Jody. "Dia sodara saya! Untuk kerusakan, biar saya yang ganti," lanjut Jody. Orang-orang pun membubarkan diri. "Sayang, tunggu di sini," ucap Jody kepada Pricilla. Pricilla mengangguk, Jody pun berlari menuju mobilnya. Tidak lama berselang, Jody kembali dengan membawa selembar cek. Tertulis nominal sebesar lima puluh juta. "Segini cukup untuk mengganti rugi gerobak dan dagangan Bapak?" tanya Jo
Jody memaksa Pricilla pergi dari rumah Dio. Meninggalkan Lira yang menangis karena tak tahu siapa mamanya. "Kenapa diam?" tanya Jody di balik kemudi. "Kakak keterlaluan!""Apanya yang keterlaluan?""Aku gak habis pikir kalo Kakak picik."Jody tersenyum samar. "Picik lawan picik. Itu!""Kak Dio gak picik, tuh!" ujar Pricilla sembari mendelik. "Bela aja terusss!""Apa Kakak gak kasihan sama Lira tadi?"Jody hanya tersenyum sarkas menanggapi pertanyaan Pricilla. Pricilla diam. Pun dengan Jody. Jody memilih fokus menyetir dan akan bicara empat mata dengan Pricilla di rumah saja.Lima menit lagi mereka akan sampai di apartemen milik Jody. Namun, tiba-tiba saja Pricilla berkata, "Aku mau pulang ke apartemenku!""Sebentar lagi kita sampe, Yang.""Kalau begitu Kakak turun dan biarkan aku pulang sendiri!"Jody menghela napas. Ia memutar balik mobil yang dikendarai. Tidak masalah memang, hanya saja ke apartemen milik Pricilla cukup jauh belum lagi jalanan yang sudah mulai macet. Kapan merek
Jody tetap menjaga jarak dengan mobil Pricilla. Ia benar-benar harus memastikan jika sang istri selamat sampai tujuan. Mobil Pricilla sudah terparkir di basement. Setelah wanita itu turun, Jody turut memarkirkan mobilnya. Pricilla sudah masuk ke dalam unit apartemennya. Jody tak lekas pulang, ia menghubungi Ronald. "Kamu tinggal di Apartemen Green Street, kan?""Iya, Pak. Ada apa, ya?""Lantai berapa dan kamar nomor berapa?"Jody tersenyum lebar. Ternyata unit apartemen milik Ronald berada di lantai yang sama. "Keluar!" titah Jody. "Maksud Bapak?""Aku ada di luar, tepat di depan kamarmu!"Tidak berselang lama, Ronald menampakan diri. Tanpa basa-basi Jody menerobos masuk. Sang tuan rumah hanya melongo melihat sikap sang bos. Jody duduk di sofa, lalu memberitahu nomor unit apartemen Pricilla. "Wah, kebetulan sekali, Pak. Tapi, apa hubungannya dengan saya, Pak?" tanya Ronald, kemudian tersenyum canggung. "Ah, pertanyaan yang bagus. Sebelumnya saya minta maaf karena sudah menggan