Share

Besar Kema(l)uan dari Kemampuan
Besar Kema(l)uan dari Kemampuan
Author: irbatkO

Sepenting itu jadi PNS?

Setelah tubuhku bersih dan wangi, aku merayap naik ke ranjang. Istriku sudah terlelap entah sudah sejak beberapa jam yang lalu. Kuelus betisnya, tapi tidak ada reaksi. Kujamah pahanya, dia masih saja tak merespon. Akhirnya, aku nekat naik ke atas tubuhnya, mengunci dia di bawah tubuhku menggunakan kaki dan lenganku. Sengaja aku bernapas tepat di atas wajahnya dan dugaanku benar, dia pun akhirnya terbangun. Hari ini adalah perayaan. Aku akan libur setelah menyelesaikan syuting FTV Siksa Batin Seorang Istri yang rutin tayang di salah satu stasiun televisi.

“Sudah pulang kamu?”

Masih dari atas tubuhnya, aku terkekeh. “Sudah lama, dan aku juga sudah mandi.”

Istriku menjangkau telepon genggamnya di atas nakas, melirik petunjuk waktu di sana. Tiga dini hari. Aku ingat karena memang biasanya aku pulang selarut ini. Diletakkannya kembali ponsel itu lalu tatapannya diarahkan padaku lagi. Aku memberinya senyum semanis mungkin. Kemudian, aku menelusuri tulang rahangnya dengan batang hidungku yang bangir. Rati, satu-satunya perempuan yang aku cintai, mulai bergerak gelisah di bawah tubuhku. Dia tidak pernah suka tiap kali kuperlakukan seperti ini. Bersikap mesra dan menunjukkan kasih sayang lewat sentuhan sama sekali bukan gayanya.

“Udah, sana. Kamu enggak ngantuk?”

Aku berbisik tepat di lubang telinganya. Kukatakan, “Aku enggak ngantuk sama sekali kalau sedang berdua sama kamu.”

Sekeras apa pun Rati menyembunyikannya, aku tahu tubuhnya bergidik akibat ucapanku. Entah karena geli atau jijik. Sementara, di bawah sana, tubuh kami berdua hanya dibatasi oleh selembar kain saja. Celana dalamnya.

“Aku menginginkanmu, Sayang.” Aku berbisik, lalu mengigit cuping telinganya.

Kusingkap pembatas di antara kami dan aku mendorong tubuhku maju. Rati tak bisa lagi mengelak. Hari ini, seperti hari-hari sebelumnya, kami bercinta lagi. Aku tidak tahu sudah berapa lama tepatnya sejak malam pertama kami melakukannya, tapi aku tidak pernah absen barang satu kali pun menunjukkan cintaku padanya.

Ketika aku telah selesai dan memisahkan diri darinya, Rati terdiam menatap langit-langit kamar cukup lama. Napasnya masih terengah-engah. “Besok kita berangkat,” ucapnya lirih.

“Berangkat ke mana?” tanyaku di sela-sela napas yang tak beraturan.

Rati bangkit, lalu duduk di tepi ranjang. Dia menunjuk kotak tisu di sebelah telepon genggamnya di atas nakas. Meminta aku mengambilkan tisu untuknya. “Bukannya aku sudah cerita? Aku lulus seleksi CPNS dan harus segera pergi ke daerah itu karena aku akan mulai mengajar lusa nanti.”

“Oh, waktu kamu sibuk bolak-balik ke luar pulau itu, ya? Harus secepat ini berangkatnya? Seburu-buru ini? Kok kesannya kita sedang melarikan diri dari sesuatu?”

Rati tidak menanggapi. Dia terlalu sibuk menyeka sisa-sisa percintaan kami di tubuhnya. Mengelapnya sampai bersih, lalu berjalan ke kamar mandi yang letaknya di dekat dapur dengan berkimono mandi. Aku putuskan untuk mengecek buku agenda di dalam laci nakas, tepat Rati biasa mencatat jadwal syutingku. Dan ternyata memang benar. Setelah syuting FTV yang seharusnya berakhir kemarin—tetapi terpaksa mundur karena pemeran utamanya menghilang selama beberapa jam—aku tidak punya jadwal apa-apa lagi. Kutemukan tiga lembar tiket pesawat terselip di halaman berikutnya yang masih kosong. Tidak ada pilihan. Aku harus ikut bersamanya, meninggalkan Jakarta.

Jadi inilah akhirnya. Karierku di dunia seni peran harus kandas di tangan istri yang sekaligus manajerku sendiri. Apa tidak ada cara lain agar aku bisa bertahan?

Rati kembali setelah membasuh tubuh dan mukanya. Dia melirik tiket di tanganku lalu satu alisnya terangkat naik. “Jangan bilang kamu tidak mau ikut dan sedang memikirkan cara lain supaya bisa bertahan di sini?”

Tidak ada salahnya mencoba, kan? Aku pun melancarkan serangan pertama. “Sejak kapan aku setuju akan ikut pindah?”

Rati melepaskan kimono, lalu menggantungnya kembali di balik pintu. “Kamu bilang aku harus mengaturnya sendiri karena kamu percaya aku pasti bisa.”

“Itu bukan berarti aku setuju, kan?” serangku untuk kedua kali. “Sudah kubilang, ini terlalu terburu-buru. Seolah kamu sedang berusaha membawaku melarikan diri. Kamu tidak melakukan kesalahan yang besar di sini, kan?”

Rati tidak menanggapiku.

“Kamu enggak menipu orang atau punya banyak utang, kan? Atau jangan-jangan kamu ketahuan selingkuh sama suami orang dan sekarang istrinya sudah tahu?”

Wajah Rati kali ini mengeras. Namun, lagi-lagi dia tetap bersikeras tidak mau menanggapi pertanyaanku. Membuatku semakin mencurigainya. Setidaknya satu dari tuduhanku pasti ada yang benar. Jika tidak, untuk apa Rati jadi murka seperti sekarang? Benar, kan?

Kesalahan apa yang dia lakukan? Menipu? Punya utang? Selingkuh?

“Terus kamu maunya apa? Tinggal sendirian di sini, sementara anak dan istrimu di pulau seberang. Mau sampai kapan? Sudahlah, Owen. Sebaiknya kita tidur saja. besok pagi kita harus ke bandara sebelum terjebak macet,” sergah Rati dengan gusar.

Untuk ketiga kalinya, aku menyerang lagi. “Kenapa tidak bisa? Banyak, kok, keluarga yang bertahan walaupun harus berpisah jauh. kamu tahu sendiri karierku sedang bagus belakangan ini. Dan bisa-bisanya kamu membelikan aku tiket padahal aku belum tentu mau ikut.”

Rati mengesah. Dia tidak jadi merebahkan tubuhnya lagi di ranjang. Dia duduk tegak, tangannya dengan cepat menyambar tiket dari tanganku. “Kamu bilang akan ikut apa pun keputusanku. Ingat?”

Kutatap halaman agenda yang kosong di tanganku. Tiba-tiba saja rasanya seperti hidupku direnggut paksa. Yang tadinya penuh dengan jadwal syuting jadi kosong sama sekali. bagaimana aku akan bertahan hidup setelah ini? “Kamu menelepon waktu aku sedang syuting, sialan!”

“Tidak perlu kasar begitu, Owen!”

“Salahmu sendiri! Memangnya tidak bisa kita bicara seperti sepasang manusia normal? Kamu enggak tahu seperti apa rasanya hidupmu dipaksa berubah dalam seketika?”

Upayaku untuk membuat Rati merasa bersalah malah berujung sebaliknya. Dia semakin meradang. Wajahnya merah padam. Sudah lama sekali aku tidak melihat Rati semarah ini. “Coba tanyakan pada dirimu sendiri, Owen. Bisa tidak satu hari saja kamu pulang syuting lebih awal dan kita bicara seperti pasangan pada umumnya? Yang ada kamu pulang dini hari, minta bercinta terus tidur. Atau malah pulang pagi untuk bercinta lagi. Seolah dalam hidupmu yang mahapenting itu tugasku hanya sebagai pemuas nafsu saja,” cecar Rati.

Kali ini aku yang terdiam. Kalau dia sudah membahas hal yang satu itu, aku semakin yakin salah satu tuduhanku ada yang tepat. Dia ketakutan dan berusaha melindungi dirinya sendiri dengan balas menyerangku. Kebiasaannya.

Jangan bilang Rati berselingkuh di belakangku. Dia benar-benar berengsek jika melakukan hal itu. Bertahun-tahun menjalani karier sebagai aktor, banyak sekali godaan yang datang tapi tidak pernah sekalipun aku menghianatinya. Kalau dia benar-benar selingkuh, aku akan membalasnya. Aku akan tidur dengan banyak cewek dan membuat Rati menyesali perbuatannya!

Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Apa dia benar-benar berselingkuh? Dengan siapa? Sudah berapa lama? Ah, benarkah hal itu yang terjadi?

“Oh iya, kalau kamu lupa, biar aku ingatkan lagi. Aku sangat tahu seperti apa rasanya hidupku dipaksa berubah dalam seketika. Semua itu terjadi ketika aku tahu ada bayi di rahimku di umur sembilan belas tahun. Masa depanku yang masih panjang direnggut oleh kekeraskepalaanmu yang tidak sudi memakai kondom!”

“Rati!” Aku terkejut bukan main mendengarnya mengungkit masalah itu.

“Kenapa? Sekalian saja kalau kamu mau ribut, ayo kita ribut sampai pagi. Atau kalau kamu maunya kita mengobrol seperti orang normal, akan kulayani kamu mengobrol senormal mungkin yang kamu mau asalkan pagi ini kita tetap berangkat.”

“Sepenting itu, ya, jadi PNS?”

Ucapanku itu niatnya murni hanya pertanyaan, tetapi bagi Rati itu malah terdengar seperti serangan. Dampaknya barangkali lebih keras daripada tiga seranganku sebelumnya. Dia mulai menangis. Rati sama sekali tidak berusaha menyeka air mata yang mulai mengalir melintasi pipinya.

“Bagi kamu yang merasa dunia gemerlap keartisan adalah segalanya, mungkin bukan hal yang penting. Berbeda dengan aku, dan jutaan orang di luar sana. Jadi PNS bagaikan mimpi indah yang bisa dijalani seumur hidup. Aku rindu mengajar, Owen. Aku juga ingin merasakan sensasi mengerjakan sesuatu yang kucintai, seperti yang kamu rasakan selama belasan tahun terakhir.”

Aku terdiam. Kucoba memahami maksud dari pengakuannya, kata demi kata, kalimat demi kalimat. Ketika Rati menyebut perihal sensasi mengerjakan sesuatu yang kucintai, bisa kurasakan sesuatu meleleh di dalam dadaku. Ya, aku mengerti. Atau setidaknya aku mencoba mengerti.

Yang tidak bisa kupahami adalah, jika dia serindu itu ingin mengajar, kenapa tidak mencoba melamar ke sekolah di Jakarta saja? Kenapa kami semua harus pindah? Kenapa aku harus ikut pindah? Aku yakin, bukan cuma itu alasannya. Bapakku—atau harus kubilang mantan Bapak?—adalah seorang pegawai negeri dan gajinya tidak sebesar itu. Aku yakin Rati hanya ingin melarikan diri dari sesuatu di Jakarta ini, tapi aku tidak punya apa pun untuk membuktikan kecurigaanku.

Comments (1)
goodnovel comment avatar
als sim
kapan sambunganya bos ?
VIEW ALL COMMENTS

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status