"Pake dulu jaketnya, La. Astagaaa!!!" Rafael menarikku dan langsung memakaikan jaket ke tubuhku
Sore itu, tiba-tiba derasnya hujan mengguyur kota Jakarta saat aku dan Rafael tengah berada di food court dengan suasana outdoor. Aku dan Rafael memang sering mengunjungi food court itu jika ingin mencicipi makanan yang berbeda-beda.
"Aduuuhhhh!! ribet banget. Udah di bilangin gapapa dan aku tahan dingin tetep aja maksa." Jawabku kesal.
Rafael mendengus napas "Gak dingin tapi dari tadi bersin terus." Ucapnya dengan menatap mataku tajam "Ya udah sekarang kamu mau apa lagi?" Tanya Rafael yang tengah berdiri di hadapanku saat kami selesai mencicipi Es Kopi Susu yang memang terkenal di food court itu.
"Aku laper, Rafael. Mau pizza." Aku memberikan senyuman lebar kepada Rafael.
"Ya udah ayooo." Rafael langsung berjalan dan meninggalkanku menuju tempat pizza yang jaraknya hanya beberapa langkah dari tempat Es Kopi Susu itu.
Aku pun menyusulnya "Eh gak jadi deh, udah hampir malam. Nanti aku gendut lagi." Ucapku.
Rafael menghentikan langkahnya dan langsung menoleh kepadaku "Lailaaa, mau segendut apa pun kamu, aku akan tetap ada di samping kamu dan gak akan pernah ninggalin kamu. Da--
Aku tertawa sinis dan memotong pembicaraannya "Haha Kamu pikir aku percaya?" Aku memberikan pertanyaan sinis sembari mengangkat dagu.
"Oh jadi gak percaya, nih? Kalo gak percaya buktiin deh, kita makan pizza sekarang dan aku mau kamu gendut lagi kalo perlu naikin sampe berat badan kamu 80 kg. Nanti kamu lihat dan aku buktiin kalo aku gak akan ninggalin kamu." Ucap Rafael tegas dengan masih menatap mataku.
"Dih apaan sih. Nuruninnya aja setengah mampus eh malah minta dinaikin! Ya udah iya percaya." Aku memutar kedua bola mata dan melipat kedua tanganku.
"Nah gitu dong percaya" Rafael tersenyum sembari mengacak rambutku "Yaudah yuk makan pizza." Ajak Rafael namun aku pun belum merespon sembari melihat beberapa jenis makanan yang ada di sekelilingku.
"Gak jadi. Tiba-tiba maunya nasi goreng kambing." Ucapku sembari menunjukkan tempat nasi goreng kambing yang memang aromanya sangat menggugah pada waktu itu
"Ya udah ayooo!" Rafael menjawab dengan semangat dan membalas senyumanku. Aku pikir, Rafael akan kesal kepadaku karena sedaritadi aku membuatnya bingung dengan pilihanku yang labil. Tetapi ternyata tidak!!
"Raf--" Aku memanggil Rafael ragu "Hmm--"
"Kenapa, Laila?"
"Aku mau pizza sama nasi goreng kambing. Gimana dong?"
"Ya udah. Kita beli dua-duanya, ya. Mau beli yang mana dulu?"
"Terserah." Jawabku singkat
"Jawaban horror deh. Kamu yang milih please."
"Kok horror?" Tanyaku ketus.
"Biasanya nih, La. Kalo cewe ngomong terserah, kadang suka beda sama yang sebenarnya." Ucap Rafael menyindir.
"Oh jadi aku sama kayak cewe-cewe yang lain n--"
Rafael memotong pembicaraanku "Gak gitu, Laila. Hmm ya udah. Terserah kan?" Tanya Rafael memastikan "Ini aku pilih ya." Jawab Rafael sembari mengacak-acak rambutku.
"Okay." Ucapku singkat.
***
(WazzApp Notification - Rafael)
"Pagi, Lailaaaa. Have a good day yaaaa. Semangat kuliahnya." - Rafael
"Morning, Rafael!! Semangat juga kerjanya." - Laila
"Hari ini kamu kuliah jam berapa?" - Rafael
"Jam sembilan, nih. Hari ini kamu kemana?" - Laila
"Aku mau ke pengadilan dulu, setelah itu bakal ketemu sama klien untuk ngebahas perjanjian lagi. Kayanya bakal sampe malam nih. Aku jarang bales chat kamu gapapa kan?" - Rafael
"Oh ya udah gak papa. Have a nice day!!" - Laila
Aku melirik jam yang ada di meja dan sudah menunjukkan pukul setengah delapan. Jujur, rasanya aku ingin kembali tidur. Tapi tidak! Rafael saja bisa menunjukkan kesan pekerja keras dan bangun lebih awal, sementara aku baru kuliah saja sudah malas malasan. Aku pun beranjak dari tidurku dan langsung bergegas menuju ke kampus.
"Lailaa!!" Seketika April menghampiriku.
"Lah kok sendiri? Dina sama Aurora kemana?" Tanyaku bingung
"Mereka gak masuk kelas." Jawab April santai
"Lah kenapa?" Tanyaku dengan mengernyitkan dahi.
"Hari ini jadwal kelompok mereka presentasi dan mereka lupa. Jadi gak ada persiapan deh." April menjelaskan.
"Ooh. Terus hari ini gak ada yang presentasi dong?" Tanyaku sembari memainkan ponsel.
"Ya ada dong." Jawab April ketus.
"Lah kan mereka pada gak kelas." Aku menoleh kepada April.
"Kan kalo ada anggota kelompok yang gak dateng, kelompoknya jadi di undur ke kelompok selanjutnya." Ucap April.
"Ooh iya gue lupa." Ucapku dan langsung memainkan ponsel lagi
"Eh wait! Abis kelompok Dina dan Aurora bukannya kita yang presentasi? Tapi karna mereka hari ini gak dateng, berarti yang presentasi hari ini kita dong?" Aku bertanya kepada April untuk memastikan."Emang iya. Kan udah di bahas di group chatnya kita tadi pagi." April memberikan senyuman lebar kepadaku.
"Serius???" Aku membelalakkan mata ke April.
"Hmm" April mengangguk sembari memfokuskan mata ke ponsel miliknya.
"Aduh, gue belum belajar lagi buat materinya." Aku bergumam sendiri.
"Emang lu gak buka group?" Tanya April.
"Ya nggak. Semalam gue jalan sama Rafel. Jadi gue gak liat group deh." Jawabku kesal.
"Pantesaaannn!!! Apa kita mau kabur aja" Tiba-tiba April memberikan ide.
"Maksudnya? Emang bisa?" Tanyaku bingung.
"Kita nyusulin Aurora dan Dina aja di mall. Kan yang presentasi kelompok selanjutnya lagi karna kelompok kita gak lengkap."
"Boleh! yuk!!" Aku pun menyetujui ide April untuk menyelamatkan diri. Pada akhirnya, aku menertawai diriku sendiri. Aku baru saja menunjukkan sikap bahwa aku bukan pekerja keras seperti Rafael.
Sesampainya di Mall, aku dan temanku memutuskan untuk menghabiskan waktu bersama di salah satu restaurant favorit kami.
"Gimana semalam jalan sama Rafael? Kayaknya berbunga mulu. Awas aja sih sampe lupa dan salah escalator lagi." Ucap Aurora mengolok
"Hmm" Aku belum sempat menjawab karena masih fokus dengan foto-foto yang aku ambil bersama Rafael.
"Di kacangin anjir." Ucap Aurora kesal sembari mencubit lenganku
"Aww! apa sih?" Tanyaku kesal
"Gue nanya!" Ucap Aurora meninggikan nadanya
"Oh iya. Nanya apaan?" Tanyaku polos
"Gimana semalam jalannya sama Rafael????" Teriak Aurora
"Jangan teriak dan ngegas kenapa, sih?" Ucapku sembari menjauh dari Aurora
"Gak tau ya, dia tuh beda aja. Semalam tuh gue labil banget milih makanan dan dia tetep sabar." Aku pun menceritakan semua sikap Rafael kepada temanku.
"Kalo milih makanan labil sih gue ga heran lagi. Lu emang kaya gitu. Gue aja kesel liat elu." Cetus Dina
"Tapi dia sweet banget sih omg!! Harusnya Rafael di kenalin Faris sama gue aja ya waktu itu." Sambungnya.
"Haha enak aja lo." Ucapku kesal.
"Tapi emang bener sih dia beda banget dan sabar banget ngehadapin kelabilannya elu, La. Kalo gue sih gue bentak." April berkomentar.
Mendengar respon teman-temanku, aku merasa sebagai orang yang paling beruntung bisa memiliki Rafael di hidupku. Aku rasa, Rafael berbeda dari lelaki lainnya. Aku berharap dengan sikap Rafael yang seperti ini, Rafael dapat meluluhkan hati keluargaku.
(WazzApp Notification - Rafael)
"La, kamu dimana?" - Rafael.
"Aku lagi di mall nih sama temen aku. Mau balik ke apartemen. Kamu dimana?" - Laila.
"Aku mau balik ke apartment. Mau aku jemput dan anter ke apartemen?" - Rafael.
"Gak usah, Raf. Aku bawa mobil." - Laila.
"Ya udah, hati-hati yaaa, La. Ntar malem kita video call. I love you." - Rafael.
"Iyaaaa. I love you too, Raf." - Laila.
Aku sampai di apartemen pukul delapan malam lewat beberapa menit dan aku langsung bergegas ke kamar, merogoh saku untuk mengambil ponsel dan mengabari Rafael.
"Raf, aku udah sampe nih. Kamu dimana?"
Setelah mengabari Rafael, aku pun memutuskan untuk membereskan apartemenku yang sudah terlihat seperti kapal pecah.
Beberapa menit kemudian…
(WazzApp Notification - Rafael)
"Hai Sayang. Sorry ya baru bales chat kamu. Aku baru sampe nih. Kita video call yuk" – 15 minutes ago
Missed video call from Rafael – 5 minutes ago
Aku mengambil ponsel dan melihat ada pesan masuk serta panggilan video dari Rafael. Aku pun bergegas menghubunginya
Video Call (Rafael)
"Akhirnyaaaaa aku bisa lihat kamu. Aku kangen banget sama kamu, Lailaaaa."
"Gombal nih, Pak?"
"Ngga, Lailaaa. Duh, kapan ya aku bisa lihat muka kamu langsung pas pulang kerja gini. Pasti rasa lelah aku tadi pas kerja langsung hilang pas ngelihat muka kamu secara langsung."
"Hmm... Yaudah sabar yaaaa. Kamu lihatnya dari video call dulu."
Aku pun menghabiskan waktu selama dua jam berbincang dengan Rafael melalui panggilan video. Aku dan Rafael menceritakan banyak hal tentang hari-hari yang kami yang melelahkan.
Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos