Rafael tidak berhenti menatapku sejak dia datang untuk menemaniku mengerjakan tugas di salah satu coffee shop yang berada didekat kampus. Sementara aku asik sibuk mengerjakan tugas karena deadline yang terus menghantui.
Dengan sabarnya, Rafael masih menemaniku setelah dua jam mengerjakan tugas tanpa diganggu olehnya. Sesekali dia pun mengerjakan somasi yang harus dia selesaikan. Namun, dia bukan orang yang bisa fokus mengerjakan pekerjaan di tempat yang ramai. Hal yang dia lakukan hanya menatapku tanpa mengganggu sama sekali.
“Finally!!!! Selesai juga huffttt!!” Ucapku menghela napas sembari melepaskan kacamataku dan memejamkan mata sejenak
"Jangan dilepas kacamatanya. Kamu pake kacamata keliatan sensual banget tau, La." Ucap Rafael dan sontak membuatku terkejut saat aku tengah sibuk menggerai dan merapikan rambutku.
"Dih! Suka-suka gue, ya, Rafael!!" Seruku
"Emang kamu ngerjain tugas apasi?" Selama dua jam Rafael menemaniku, baru sekarang dia menanyakan tugas yang aku kerjakan
"Dih kepo! Kalo gue ngasi tau juga bapak pengacara mah pasti gak akan tau. Udah deh pengacara mah pengacara aja, gak usah kepo sama pelajaran Psikologi!!
"Dih gak tau aja kalo aku expert dalam bidang apapun." Jawab Rafael sombong.
"Bodo ah!" Semakin hari kelakuan Rafael semakin mengesalkan. Tetapi sikapnya seperti itu lah yang justru membuatku rindu kepadanya. Dibalik sikapnya yang dingin apabila bertemu orang dan juga bersikap dingin di tempat ramai, ternyata dia adalah sosok yang senang bercanda, receh, ngeselin, dan sedikit romantis sepertinya.
"La--"
"Hmm..." Aku menjawab singkat karena asik melihat Anstagram sembari menyeruput caramel macchiato
"Nanti malam kamu ada kegiatan gak?"
"Kayanya sih gak ada, Mas."
"Jangan panggil Mas, panggil Rafael aja."
"Dih songong! Iya deh iyaa. Mentang-mentang bukan orang Indonesia jadi gak mau dipanggil mas. Hmmm…"
"Astaga gak gitu maksud aku." Rafael mengatakan dengan nada kesal sambil mengacak rambutnya
"Haha iya-iya aku bercanda doang ih." Ucapku mengolok
"Kalo mau manggil Mas juga gak papa, sih.” Jelas Rafael sembari melemparkan senyum “Oh iya, nanti malam kita dinner yuk." Ajak Rafael dan aku pun menyetujuinya.
***
Rafael menghampiriku di depan sebuah restaurant dengan memakai baju kemeja berwarna biru dongker dan celana chino yang sangat cocok dengan tubuhnya yang tegap dan tinggi itu. Matanya yang bulat menatap kearahku tanpa meleset sekalipun.
Suasana malam di restaurant waktu itu sungguh sangat romantis. Cahaya yang hanya diterangi oleh lilin yang ada di meja serta iringan musik jazz membuatku merasakan kenyamanan sekaligus merasakan hal yang sangat romantis ditempat itu.
Sebelumnya aku belum pernah mengunjungi tempat yang romantis seperti ini bersama dengan lelaki. Yah, karena masalaluku mungkin sangat tidak menyenangkan, aku hanya dapat menikmati suasana romantis saat itu bersama Rafael.
"Laila, aku mau nanya deh sama kamu tentang hubungan kita." Tiba-tiba Rafael menatapku dengan tatapan serius.
"Lah, emang kenapa dengan hubungan kita? Serius amat sih Bapak Pengacara"
"Laila, ini aku serius. Jangan bercanda dulu. Kamu ngerasa gak sih kita tuh ngejalani hari-hari kita layaknya orang pacaran?"
"Hmm-- Gak tau deh. Iya kali ya?" Ada apa ini!! Mengapa tiba-tiba Rafael berbicara sangat serius dengan tatapan matanya yang sangat dalam kepadaku?
Aku hanya terduduk diam mengamati mata Rafael dan sesekali melihat gerakan bibirnya yang sensual itu.
"Aku mau kita berdua pacaran, La. Aku mau hubungan kita jelas dan kita juga udah sama-sama nyaman, kan?" Mataku membelalak terkejut ketika Rafael menyatakan perasaannya.
"Tapi, Raf. Kita gak bisa pacaran dan gak akan bisa bersatu. Kamu tau kan kita beda agama, suku, bahkan negara."
"Iyaaa. Aku tau. Tapi kalo kita perjuangin sama-sama menurutku itu gak masalah. Masalah negara, aku sekarang udah jadi Warga Negara Indonesia, aku punya KTP, dan aku udah pindah ke Indonesia dari umur 9 tahun, La. Bahkan aku gak akan balik lagi ke negara ku. Negara sama sekali bukan sebuah alasan untuk saat ini." Ucap Rafael serius sembari menunjukkan KTP-nya kepadaku.
"Hahaha jangan serius-serius amat atuh, Pak. Segitunya banget ya ngeyakininnya sampe nunjukin KTP." Aku mencoba mengalihkan pembicaraan untuk menutupi nervous yang aku rasakan saat itu.
"Iya aku tau, kalo kamu masih WNA ya mana bisa jadi pengacara di Indo. Walaupun kamu udah jadi WNI tapi ya sama aja asal kamu bukan dari Indonesia gimana si, Mas." Sambungku.
"Memang gak boleh ya kalo aku punya perasaan sama kamu karena aku bukan orang Indonesia?"
"Ga gitu, Rafael. Ini tuh berat, Raf. Kamu sadar gak si? Udah jelas banget orangtua kita pasti gak akan izinin kita berdua ngejalin hubungan."
"Tapi aku pengen perjuangin, La. Aku udah nyaman sama kamu, aku udah sayang sama kamu dan belum pernah aku segininya dengan wanita sebelumnya, La. Baru kamu yang buat aku semangat dan seneng ngejalani hari-hari aku. Aku yakin kamu juga ngerasakan itu, kan?"
"I--iyaa. Tapi aku nyaman ya sebagai temen doang bukan nyaman untuk mau lanjutin hubungan ke tahap serius karna hal itu pasti gak mungkin." Aku melipat kedua tanganku dan tidak menatap Rafael sama sekali
Rafael beranjak dari kursinya dan duduk disebelahku dengan sangat dekat "Kamu gak bisa bohong, Laila. Tatap mata aku, La." Rafael meraih dan menggenggam tanganku sembari menatap mataku dalam. Kemudian dia mengatupkan tangannya ke pipiku.
"Aku serius sama kamu dan aku akan perjuangin hubungan kita. Kita jalanin dulu ya. Aku sayang banget sama kamu. Kita ketemu kemarin pasti karna suatu alasan, La. Alasan yang buat kita bersatu."
Aku melepaskan tangan Rafael yang berada di pipiku "Kamu mikir gak sih, Raf? Orangtua kita pasti gak akan setuju. Kita tuh beda banget. Aku juga sayang sama kamu dan nyaman banget sama kamu. Tapi---"
"Kita jalanin dulu, La. Kamu belum melihat perjuanganku tapi kamu udah negative thinking."
"Sorry, Rafael. Aku gak bisa." Aku terus-terusan menolak Rafael untuk menjalin hubungan dengannya.
"Kenapa, Laila? Kita udah sering bareng-bareng. Selama tiga bulan, La-- Tiga bulan kita selalu chattingan bahkan hari-hari kita selalu dipenuhi dengan notif chat kegiatan satu sama lain." Tatapan Rafael penuh dengan penasaran dan kekecewaan.
"Aku ga bisa k-karenaaa. Hmm-- Duh gimana ya.” Aku sudah kehabisan alasan untuk menolak Rafael. Karena sejujurnya logikaku menolak Rafael mentah-mentah sementara hatiku ingin sekali menerimanya
“Aku gak bisa tuh alasannya karena aku gabisa nolak kamu, Raf."
Rafael terdiam sejenak seakan tengah mencerna kata-kataku "Maksudnya gak bisa nolak? Maksudnya kamu mau jadi pacar aku kan ya? Serius, La?" Tatap Rafael bingung kepadaku.
"Iiiiiihhhhhh gimana sih bapak pengacara!! Lemot banget. Ga bisa nolak ya artinya nerima dong. Tuh kan gak sweet jadinya." Aku mengolok agar bisa mencairkan suasana ini.
"Astaga, Laila. Kamu buat jantung aku hampir copot karena aku mikir kamu emang gak bakal nerima aku.” Ucap Rafael menghembuskan napas lega “Lailaaaaa aku seneng banget akhirnya kamu jadi milik aku." Rafael langsung memelukku tanpa peduli dengan orang-orang yang ada di restaurant.
Aku menerima Rafael, kata hatiku akhirnya bisa mengalahkan logikaku. Ditambah lagi saat ini aku butuh seseorang untuk menemani hari-hariku. Lagipula, selama ini Rafael selalu memperlakukan aku layaknya tuan puteri. Apapun yang aku inginkan dia selalu memenuhinya.
WazzApp Group Notification
"Guysssss!!!!! gue pacaran sama Rafael!!"-Laila
"Haaa?? Demi apa? Kapan??"-Aurora
"Ini baru aja dan gue sekarang masih sama Rafael. Baru kelar dinner." -Laila
"Lo tau kan lo ambil resiko yang besar kalo pacaran sama dia."-April
"Kata Rafael dia bakal perjuangin dan gue ngeliat dia tulus banget pas ngomong itu." -Laila
***
Aku menjalani hari hariku bersama Rafael dengan sangat menyenangkan. Banyak sekali lelucon dan pengetahuan baru yang membuat hari-hari kami menjadi lebih bermakna satu sama lain. Melihat kekonyolan Rafael yang setiap hari semakin menjadi membuatku semakin menyayangi dan mencintainya.
"Good night baby. I love you so much. please stay with me yaaa!!!" Kata-kata yang selalu aku lihat sebelum tidur. Aku dan Rafael memang memiliki rutinitas untuk mengatakan kata-kata itu sebelum tidur.
Apabila aku tidak membalas, Rafael akan menunggu balasanku sebelum dia memutuskan untuk tidur. Terkadang, jika aku lupa membalas pesannya atau ketiduran dia menelponku hanya untuk memastikan apakah aku sudah tidur atau belum. Dia tidak ingin ketika dia tidur nantinya aku mengirimnya pesan dan dia tidak membalas sehingga membuat mood ku berubah. Sungguh... Aku semakin menyayangi.
You missed video call (Rafael)
"Rafael kenapa sih? Kan aku udah bilang aku lagi sama mama lagi ngopi. Jangan ganggu dulu." -Laila
"Lah... Kan Mama kamu udah tau kita pacaran." -Rafael
Ya, Aku sudah memberitahu Mama ketika aku sudah menjalin hubungan bersama Rafael selama satu minggu. Awalnya Mama ragu tetapi pada akhirnya aku bisa meyakinkan Mama
"Kalo kamu emang pacaran sama Rafael cuma untuk motivasiin kamu dan mengisi hari-hari kamu ya udah gak papa. Tapi jangan sampe serius ya, La." Mama menyetujui hubunganku dengan Rafael hanya sebatas pacaran saja, bahkan Mama melarangku untuk memiliki perasaan yang mendalam terhadap Rafael.
Untuk saat ini aku hanya memilih untuk menyetujui keinginan Mama karena aku masih percaya bahwa Rafael dapat memperjuangkan hubungan ini.
"Iyasih, Raf. Nanti yaa kalo mau video call sama Mama. step by step, okay?" -Laila
"Iya sayangggg. Anything for you. Duuhhh kangen banget sama kamuuuuu. Jangan lama lama ya cuekin chat aku. Aku gak bisa tidur kalo belum ngeliat calon istri idaman aku." -Rafael
"Iya, Raf. Istri idaman gak tuh haha. Aku masih kuliah. Masih belum mau nikah!"- Laila
"Ya udah kapan pun kamu siap aku bakal tetep nunggu. Oh iya nanti aku ngelamar bawa belut apa gimana?"-Rafael
Aku menyemburkan minumanku dan tertawa terbahak-bahak melihat pesan Rafael yang sangat polos menanyakan akan hal itu.
"Hahahahahaha, kamu receh banget sih. Darimana ceritanya ngelamar bawa belut? Aku bahkan baru denger, Raf." -Laila
"Salah ya? Aku googling kalo ngelamar di suku kamu itu syaratnya apa aja. Terus salah satunya bawa belut." -Rafael
"Coba cari dari sumber yang bener ya, Pak. Udah ah aku mau ngobrol sama Mama dulu. See yaa." -Laila
Aku melihat Rafael yang semakin hari semakin serius. Baru kali ini aku menjalin hubungan dengan seseorang sudah membicarakan hubungan sampai ke jenjang pernikahan.
Sebelumnya Rafael memang sudah sering membicarakan hal ini, bahkan di tengah tengah perbincangan Rafael sering mengatakan ‘La, kalau nanti kita nikah aku mau rumah kita di design kaya yang di foto ini deh ada perpustakaannya.’ Ucap Rafael sembari menunjukkan design ruangan perpustakaan dengan gaya minimalis.
‘Disini khusus ruangan baca buku. Nah nanti disini ada buku-buku aku dan buku kamu juga. Ntar kita baca bukunya berdua sambil nyantai. Duh gak sabar!!! Cepet lulus ya sayang.’
Rasanya senang sekali jika ada laki-laki yang serius sampai membicarakan hal ini kepadaku. Tetapi, mengapa harus Rafael? Tentunya ini akan menjadi perjuangan yang sangat sulit bagi aku dan Rafael. Bahkan aku pun tidak bisa memenuhi keinginan Mama hanya untuk sekedar pacaran dengannya.
Aku sudah terlanjur menyayanginya. Sungguh... Hanya Rafael lelaki yang dapat mengerti sifatku.
Tetapi... Mengapa disaat sudah ada yang sangat setia dan mengerti akan sifatku justru hubungan ini terhalang oleh adanya perbedaan?
Aku mencari-cari wujud Mas Daffin diseluruh ruangan villa namun aku belum juga menemukannya. Aku bergegas keluar dari ruang santai dan memutuskan untuk mencari Mas Daffin di coffee shop dan ruangan gym. Berharap dia ada disana. Aku menuruni anak tangga dan merogoh saku untuk mengambil ponselku dan langsung menghubungi Mas Daffin. Seketika aku sangat familiar dengan nada dering yang samar-samar ku dengar. Ya, nada dering itu adalah nada dering ponsel Mas Daffin. Perlahan aku pun mulai mengikuti arah suara itu sembari menunggu Mas Daffin menjawab teleponku. “Mas Daffin kamu kenapa jahat banget sih gak ngomong ke aku kalo kamu ke Bali.” Ucapku kesal kepada Mas Daffin yang akhirnya menemukannya di ruangan gym “Astaga, La. Ngagetin aja. Aku cuma mau ngasi surprise.” Jawab Mas Daffin sembari meletakkan dumbbell yang berurukan 30kg di atas lantai. Lalu, Mas Daffin pun duduk dan mendongakkan wajahnya kehadapanku. “Terus tadi kenapa pas di pantai tiba-tiba pergi?” Tanyaku menatap Mas Daffin
“Aahhhh!!! Baliiiii!!! Here we come!!!” Ucapku penuh semangat sembari menuju ke tempat pengambilan bagasi bersama teman-temanku. Aku, Aurora, Dina, dan juga April, Mas Dirga, dan Jonathan pada akhirnya sampai di Bandara Ngurah Rai Bali. Perjalanan kami ke Bali pun ditempuh dalam waktu dua jam. Aurora seperti biasa membawa Jonathan dan Dina pun membawa Mas Dirga. Hanya aku dan April saja yang tidak membawa pasangan karena mereka harus bekerja. Sementara Mas Dirga dan Jonathan, mereka berdua hanya bisa menikmati liburan di Bali selama tiga hari karena mereka tidak bisa cuti berlama-lama. Seperti yang aku katakan sebelumnya, semenjak kebangkrutan orangtua Jonathan dia pun harus kuliah dan bekerja disaat bersamaan. Sementara Aku, Dina, April, dan Aurora memang berencana menghabiskan waktu liburan kami di Bali sampai dua minggu lamanya. “Guys kita buat story dulu. Kita udah di Bali.” Ucap Dina sembari membuka aplikasi Anstagram miliknya. “Din, kita masih di Bandara. Masih nunggu baggage.
Enam bulan kemudian… Hari ini aku, April, Aurora, dan Dina tengah berada di Jakarta Convention Center untuk menghadiri upacara wisuda setelah empat tahun berjuang untuk mendapatkan gelar sarjana. Aku tidak pernah menyangka pada akhirnya aku bisa lulus tepat waktu setelah apa yang sudah menimpaku waktu itu. Tidak pernah kuliah dan meratapi nasib hanya karena aku pernah dicampakkan. Namun hari ini aku benar-benar bahagia dan bangga dengan diriku. Dihari special ini, aku dan teman-temanku benar-benar tampil maksimal. Kami semua memakai kebaya dengan model yang berbeda-beda pastinya. Aku dan teman-temanku memilih kain motif jawa untuk rok-nya seperti baju wisudawan pada umumnya. Aku mengenakan kebaya berwarna biru dongker, April mengenakan kebaya berwarna pink muda, Aurora berwarna merah, dan Dina berwarna cream. Rambut kami pun disanggul oleh penata rambut seperti wisudawan-wisudawan yang lainnya. Hanya Dina saja yang memilih rambutnya digerai dengan diberikan model ikal pada ujungnya.
Setiap kali aku menulis novel ini, ada beberapa halaman tentang penyesalan yang sering membuatku menangis. Aku pun pernah menghentikan tulisan ini untuk sementara waktu karena jiwaku masih belum kuat untuk mereka ulang kejadian dan kenangan yang pernah aku ukir bersama masalaluku dulu. Bukan, aku menangis bukan karena aku merindukannya. Bukan pula merindukan kenangan yang pernah kami ukir bersama. Aku menangis karena kesal terhadap diriku sendiri dengan setiap penyesalan yang terus menghantuiku. Saat aku berada di dunia yang gelap. Aku menyalahkan diriku atas keputusan yang aku pilih. Aku merasa aku adalah orang yang paling tidak bisa memilih keputusan yang tepat. Beberapa bulan, aku harus bertanya mengenai keputusan yang harus aku ambil kepada orang terdekatku. Aku merasa takut untuk bertanggung jawab atas konsekuensi keputusan yang akan aku ambil. Aku masih tak menyangka dengan diriku, aku bisa melewati setiap harinya dengan perlahan bisa bangkit dan melupakannya dengan ikhlas.
Tok… tok… tok… Sedikit demi sedikit aku membuka mataku yang masih melekat saat terdengar suara ketukan pintu apartemenku dari luar yang membuatku terbangun dari tidur. Cklek! “Ya ampun sayang. Kamu tidur?” Tanya Mas Daffin keheranan ketika melihat wajahku kusut dengan rambut acak-acakan “Iya, Mas. Aku capek banget tadi pulang magang. Sini masuk dulu.” Jawabku dengan mata yang masih melekat. Mas Daffin masuk ke apartemenku dan duduk di ruang tamuku yang tampak berserakan. Aku pun duduk di samping Mas Daffin sembari memeluknya dengan memejamkan mata. “Kamu masih ngantuk banget ya, La?” “Iya. Mau tidur lagi.” Jawabku singkat. “Jangan tidur lagi sayang. Bentar lagi udah maghrib. Pamali tidur pas lagi maghrib.” Aku membelalakkan mata dan menatap Mas Daffin panik “Serius udah mau maghrib?” “Iya, sayang. Kamu mandi gih. Masih pake baju magang malah di bawa tidur. Aku mau ngajak kamu nongkrong bareng temen aku. Yuk?” “Ya abisnya aku capek, Mas. Banyak banget kerjaan di kantor. Duh m
Aku dan Mas Daffin duduk di sudut rooftop dengan pemandangan yang menyuguhkan lampu-lampu gedung pencakar langit di Jakarta. Awalnya, aku memang mengingat setiap memori yang pernah ku ukir bersama Rafael disana. Namun, lama kelamaan aku melupakannya begitu saja ditambah dengan adanya Mas Daffin yang selalu menceritakan setiap guyonannya. "Mas, aku mau ngomongin keputusan aku. Aku nerima kamu sebagai pacar aku dan kita mulai berbagi setiap hari bersama-sama." Ucapku spontan. "Kamu serius kan, La?" Tanya Mas Daffin membelalakkan matanya. "Iya, Mas." Aku melempar senyum Mas Daffin meraih dan menggenggam tanganku "La, aku seneng banget bisa ngejalani hubungan sama kamu. Aku gak mau menaruh janji. Tapi selama aku dan kamu bersatu, aku masih bisa janjiin kalo aku akan nemenin kamu ke psikolog dan hilangin trauma kamu." "Thanks, Mas. Tapi, Mas--" Ucapku melas. "Kenapa, La?" "Hmm-- aku harus pake piyama teddy bear ya biar bisa dapetin tas sama espresso machine?" "Hahaha. Ya ampun polos