Share

Bab 6 : Hilang Semangat

Hilang Semangat

Menul kehilangan semangat. Notes merah jambunya benar-benar tidak ada kabar. Seperti raib ditelan bumi. Hampir seluruh ruangan kantor tidak lepas dari selidik Menul, tetapi dia tidak mendapati notesnya. Harapannya mulai pupus. Apalagi hari sudah menjelang petang. Beberapa menit lagi jam kantor akan berakhir. Bukan tentang notesnya, tapi isi di dalamnya. Berhari-hari ia merangkai kata demi kata. Ide dan berbagai ungkapan perasaan ada di dalamnya. Dan itu yang sulit untuk dituangkan kembali, karena feel-nya tentu beda, jik a ditulis ulang.

Menul mulai pasrah jika notes itu harus direlakan. Tidak mungkin ada yang merawatnya, Apalagi sampai menyimpannya. Kalau dibakar, barang kali. Atau dilempar di tempat sampah. Meski sangat berharga baginya, tetapi bagi orang lain, notes itu hanya seonggok buku kumal yang tiada arti. Beruntung dia tidak menuliskan nama di notes itu. Jadi meski ditemukan atau dibaca orang lain, dia tidak akan malu.

“Ada apa to Nul. Kok dari pagi tadi kamu seperti gelisah. Kamu tidak seperti biasanya?” tanya Harun, saat dia berkemas untuk pulang. Jam kantor tinggal sepuluh menit lagi.

“Biasa Mas. Lagi dapet,” jawab Menul malu-malu. Harun tersenyum kecil. Dia jadi malu sendiri mendapati jawaban Menul.

“O ya Nul. Aku tadi dapat uang dari Pak Andre.”

“Dapat tip?” jawab Menul masih ogah-ogahan.

“Iya. Tidak tahu, kenapa tiba-tiba Pak Andre memberiku uang. Katanya sebagai ucapan terima kasih.”

“Terima kasih untuk apa?” tanya Menul, mulai muncul penasaran.

“Tidak tahu persisnya. ” jawab Harun sambil memakai jaket. “Kamu mau makan apa malam ini, biar aku belikan?”

“Tidak Mas. Terima kasih,” jawab Menul sambil menarik kursi untuk kemudian duduk di dekat Harun. Dia merasa harus menuntaskan sesuatu. “Memang Pak Andre sedang dapat rejeki ya?”

“Aku sendiri juga tidak tahu Nul. Mungkin karena omelet itu,” ujar Harun tanpa ekspresi. Tapi entah kenapa, Menul jadi sedikit berdebar mendengar kata omelet.

“Omelet?”

“Iya Nul. Tadi setelah aku mengantar omelet dari pantri, dia langsung memberiku tip.

Tapi sudahlah,” jawab Harun sambil menyeruput kopi pahitnya. “Beneran kamu tidak mau aku belikan nasi bungkus, Nul?”

“Tidak Mas, terima kasih.”

“Kalau begitu aku pulang dulu ya.”

Menul terusik dengan kata omelet yang diucapkan Harun. Dia tahu betul kalau kata itu banyak tersebar di notesnya. Kalau benar Harun mendapat tip dari Pak Andre karena omelet, apa berarti notes itu ada di tangan Pak Andre? Begitu pertanyaan yang terlintas di pikiran Menul.

Tidak mungkin. Menul menepis sendiri pertanyaan itu. Sangat tidak mungkin Pak Andre berkenan membaca notesnya. Apalagi kemudian mendapat sesuatu dari tulisan di dalamnya. Sangat tidak mungkin. Begitu jawab Menul di dalam hati. Menul mencubit pipinya sendiri, berharap dia bisa menghilangkan halu di pikirannya. Ya masak, seorang Andre memberikan apresiasi pada tulisannya.

“Eh, kamu tahu belum kabar pernikahan Pak Andre bakan dimajukan?”

“Dimajukan? Kapan?” Menul balik bertanya. Belum tuntas rasa kehilangan akan notes merah jambunya, kini ia mendapat kabar yang sama sekali tidak ia harapkan.

“Iya. Dengar-dengar sih gitu. Cuma aku belum tahu persis kebenarannya. Hanya memang beberapa satpam bilang kalau akhir bulan bakal ada pernikahan.”

Meski sudah mengetahui jika Andre bakal menikah dengan Arra, namun Menul sedang tidak ingin mendengar kabar itu. Hatinya sedang gundah. Kabar itu terasa menyakitkan.

Menul memang sadar diri, dia hanya sebatas mengagumi Andre. Bahkan itupun disimpannya dalam-dalam agar tidak ada yang tahu. Bakal jatuh derajat Andre jika ada yang tahu jika secret admire-nya orang pantri yang bibirnya sumbing, tidak berpendidikan pula. Sang Pangeran itu sudah menemukan Si Putri, pujaan hatinya. Kuda putih itu pun tidak akan pernah menyambangi kastil Menul. Apalagi menyunggingkan seulas senyum untuknya.

“Oh, sukurlah kalau begitu. Aku ikut senang,” tukas Menul, menyembunyikan perasaannya.

“Siapin kado saja, Nul. Kita-kita pasti bakal diundang juga,” ujar Harun.

“Apa mungkin kita bakal diundang, Mas?”

“Kata Mas Dodo, Pak Andre bakal mengundang semua staf di kantor ini. termasuk bagian pantri.”

“Wah, semoga saja begitu,” sahut Menul, masih berpura-pura senang.

“Eh, aku balik dulu ya! Kalau nanti berubah pikiran tentang tawaranku tadi, wa saja. Aku antar ke kos, ntar.”

“Iya, Mas. Terima kasih sebelumnya.”

Sepeninggal Harun, Menul kemudian melakukan pekerjaan rutinnya. Beres-beres pantri. Tapi kali ini Menul tidak sedang ingin mengontrol setiap ruangan. Selain karena bukan jadwalnya, Menul tidak lagi berselera. Kalau biasanya dia berharap akan ada majalah atau tabloid yang tertinggal di tempat kerja para atasannya, kali ini Menul memilih untuk segera pulang.

Menul tidak sedang berselera untuk membaca. Pikirannya baru sedikit terganggu. Jika pun toh ada ide setelah membaca, ia juga tidak segera bisa menuliskannya. Hari ini, Menul hanya ingin istirahat. Makanya ia ingin segera balik ke kos. Bahkan meski Andre dan beberapa atasannya masih berada di kantor. Menul sedang ingin pulang awal.

“Mau ke mana Nul?”

Dodo yang melihat Menul pulang awal sengaja menghampirinya. Apalagi dia melihat Menul seperti sedang tidak bersemangat.

“Mau pulang Mas.”

“Lha, kok tumben. Biasanya kan pulang telat?”

“Baru tidak ada ide untuk nulis Mas.”

“Tapi kan biasanya kalau tidak nulis, kamu senang membaca majalah atau buku di pantri?”

“Sedang malas saja Mas.”

“Wah, ternyata kamu juga punya malas ya Nul.” Menul hanya tersenyum kecil. “O ya. Aku masih penasaran dengan pertanyaan kamu tadi pagi Nul. Tentang sesuatu yang ada di meja Pak Andre tapi bukan milik Pak Andre. Apa maksudnya Nul?”

“Lupakan saja Mas.”

“Jangan begitu Nul. Siapa tahu aku bisa membantunya.”

Menul terdiam sejenak. Mencoba meyakinkan dirinya untuk ngomong dengan Dodo tentang notesnya.

“Notes saya hilang Mas.”

“Notes? Apaan itu?”

“Buku yang biasa saya bawa untuk nulis di pantri itu lho Mas.”

“Hilang Nul?”

“Iya Mas. Saya sudah mencarinya ke mana-mana.”

“Apa menurutmu notes itu tertinggal di ruangan Pak Andre?”

“Siapa tahu saja begitu Mas. Soalnya, pas kemarin saya bantu menurunkan barang bawaan Mas Dodo, saya masih memegangnya.”

“Kamu sudah periksa di ruangan Pak Andre?”

“Sudah Mas. Tapi tidak ada.”

“Apa dengan begitu kamu menduga notes itu dibawa Pak Andre?”

“Ya tidaklah Mas. Mana mungkin Pak Andre mau berurusan dengan buku jelek itu. Kalau dibuang Pak Andre, bisa jadi.”

“Kamu sudah cari di tempat lain?”

“Saya sudah menyusuri hampir semua ruangan kantor Mas. Tapi sudahlah. Kalau masih menjadi milik saya, pasti nanti ketemu.”

“Jadi ini yang membuat kamu tidak bersemangat pulang telat lagi?”

“Saya ingin istirahat Mas.”

“Ok. Aku nanti akan coba cek lagi di ruangan Pak Andre dan ruangan lainnya.”

“Terima kasih sebelumnya Mas. Tapi jangan terlalu dijadikan beban. Toh saya bisa beli lagi.”

“Oalah Nul, Menul. Cuma kehilangan buku saja kayak kehilangan suami, wkwkwk,” seloroh Dodo. “Tetap semangat, dong.!”

“Iya, Mas. Harus semangat,” tukas Menul.

“Aku mau ke ruangan Pak Andre dulu. Barusan  Pak Andre wa aku, kalau mau kasih aku uang.”

“Dikasih juga?” sahut Menul.

“Dikasih juga? Memang kamu juga dikasih?” tanya Dodo.

“Bukan. Barusan Mas Harun cerita kalau dia dikasih uang oleh Pak Andre. Sebagai rasa terima kasih, katanya.”

“Oh, karena buku itu, ya?” sahut Dodo.

“Buku?” Menul sedikit terperangah.

“Iya. Semalam kan aku bantuin angkut-angkut buku Pak Andre. Terus tadi Pak Andre bilang mau kasih uang sebagai ucapan terima kasih karena sudah bantu bawakan buku-bukunya.”

“Oalah, gitu. Kirain apa,” tukas Menul kecut.

““Memang kirain apaan?”

“Bukan apa-apa,” tukas Menul. “Aku mau pulang dulu, Mas!”

“Tidak nunggu aku dulu. Ntar aku bagi deh uang dari Pak Andre.”

“Tidak usah, Mas. Terima kasih. Tadi Mas Harun juga menawariku. Tapi terima kasih, Kalian sudah baik padaku saja sudah sangat berterima kasih.”

“Ok deh, kalau begitu. Hati-hati di jalan!”

Menul segera meninggalkan kantor. Pikiranya sedang tidak ingin berlama-lama dengan notes merah jambu, Andre dan semua urusan kantor. Dia ingin segera sampai kos, mandi dan membaringkan penatnya.

Dia sudah tidak mau memikirkan notes merah jambu itu lagi. Mau ditemukan orang, dan ia bakal mendapat bully juga tidak apa-apa. Mau ditemukan orang lalu dibuang di tempat sampah juga tidak apa-apa. Itu sudah resiko. Toh, itu hanya sebuah tulisan. Ia masih punya akal dan rasa, yang dari situlah tulisan-tulisan di notes merah jambu bermula.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status