Share

CHAPTER 4

Suasana kamar yang temaram menjadi lebih terang ketika pagi tiba. Suara dering yang berasal dari ponsel, membangunkan Eiji dari tidur panjangnya. Pria itu melenguh seraya mengeluarkan suara decakan karena kesal tidur lelapnya terganggu. Meskipun enggan, dia tetap membuka mata, refleks memijit pangkal hidung ketika rasa sakit menghantam kepalanya. “Shit, sepertinya aku mabuk semalam,” gumamnya pelan.

Eiji mengubah posisi terlentang menjadi duduk di atas ranjang, ia menelisik sekitar untuk mencari sumber suara yang begitu mengganggu tersebut. Eiji menghela napas panjang begitu menyadari asal suara itu berasal dari celana jeans miliknya yang tergeletak di lantai. Bukan hanya celananya saja yang dia lihat berserakan tak beraturan di lantai, melainkan kemeja yang dia kenakan semalam pun ikut teronggok di sana. Eiji menatap dirinya sendiri, menyadari penampilannya polos tanpa sehelai benang pun yang menutupi, dia tahu apa yang sudah terjadi padanya semalam. Kegiatan panas yang dia lakukan semalam terasa samar di ingatannya, Eiji nyaris tak mampu mengingatnya. Hanya saja dia yakin semalam menghabiskan malam yang menyenangkan bersama Yuko karena kamar tempatnya berada saat ini tidak salah lagi merupakan kamar Yuko, kekasihnya.

Mengabaikan ketelanjangannya, Eiji turun dari ranjang dan mengambil celana yang tergeletak di lantai. Pria itu merogoh saku celana untuk mengambil ponsel yang terselip di sana. Ada satu panggilan masuk, nama Shuji terpampang di layar ponsel. Eiji mengangkatnya tanpa ragu. “Ada apa, Shuji?” tanyanya, dengan nada suara ketus karena masih kesal tidur lelapnya terganggu oleh pria yang meneleponnya pagi-pagi seperti ini.

Suara dengusan Shuji mengalun di seberang telepon, “Lama sekali mengangkatnya? Kau ada di mana? Aku ke apartemenmu barusan tapi kau tidak membuka pintu.”

Sambil memejamkan mata karena sebenarnya dia masih mengantuk, Eiji menjawab, “Aku memang tidak pulang ke apartemen.”

“Hah? Terus kau di mana sekarang? Jangan bilang kau sedang bersama Yuko?”

Mendengar tebakan Shuji yang tepat sasaran, Eiji tertawa. “Menurutmu di mana lagi aku mencari hiburan jika bukan dengan pacarku sendiri? Jangan samakan aku dengan kalian yang bisa mencari hiburan bersama sembarang wanita. Aku ini tipe pria setia.”

“Omong kosong. Aku tidak percaya kau ini setia,” sahut Shuji, ikut tertawa di akhir ucapannya.

“Serius. Aku ini setia. Memangnya kau pernah melihatku pergi bersama wanita selain Yuko? Tidak, kan?”

“Ya, ya, ya. Lantas kenapa kalau kau setia? Perlu aku puji?”

“Harusnya kau menjadikan aku panutan. Berhenti bermain-main, Shuji. Sudah saatnya kau mencari pacar dan serius dengan satu wanita.”

Eiji yakin baru saja mendengar helaan napas panjang dari Shuji di seberang sana.

“Mencari pacar ya? Bagaimana aku bisa mencari pacar jika wanita yang kusukai selalu muncul di kepalaku?”

Eiji berdecak, “Sampai sekarang aku penasaran siapa sebenarnya wanita yang kau sukai. Kenapa kau tidak pernah mau menceritakannya padaku atau pada yang lain?”

“Aku sudah pernah bilang, kan? Dia mustahil untuk kugapai karena cintaku bertepuk sebelah tangan. Dia juga sudah menjadi milik orang lain. Jadi, tidak ada alasan bagiku untuk menceritakan tentangnya pada kalian.”

Eiji seketika tertegun, telinganya menangkap dengan jelas ada nada getir dalam suara Shuji yang menandakan pria itu memang sedang memendam luka.

“Cari wanita lain kalau begitu. Aku yakin kau pasti akan menemukannya jika kau mau membuka hatimu. Lupakan wanita itu. Wanita tidak hanya satu di dunia ini.”

Shuji tertawa di seberang sana membuat Eiji memicingkan mata, tak suka nasihatnya ditertawakan.

“Kenapa kau tertawa? Aku serius memberimu saran karena aku kasihan padamu,” protes Eiji.

“Daripada kasihan padaku, seharusnya kau kasihan pada pacarmu. Aku yakin kau melakukannya dengan brutal karena dari wajahmu saja sudah bisa ditebak kau sedang kesal pada Yuko semalam. Bagaimana kondisinya? Jangan bilang dia tidak bisa berjalan sekarang?” Eiji tahu Shuji hanya bercanda karena pria itu sedang tertawa.

Namun, Eiji ikut penasaran setelah mendengar penuturan Shuji. Lagi pula, dia sedikit heran karena tak menemukan Yuko bermanja-manja padanya seperti biasa. Padahal biasanya setelah mereka bercinta, gadis itu akan bermanja padanya dengan menjadikan dadanya sebagai bantalan.

Eiji refleks menatap ke arah samping, pada sosok wanita yang sedang berbaring menyamping sehingga memunggunginya. Tubuh telanjangnya tertutupi selimut tebal sebatas dada. Eiji memperhatikan sosok gadis itu dan dia mengerjapkan mata ketika menyadari ada yang aneh dengannya.

“Eiji! Hei, Eiji!”

Suara teriakan Shuji dari ponsel yang masih menempel di telinganya, menyadarkan keterkejutan Eiji. “Hm, aku putus dulu teleponnya,” katanya, dia sudah tak berminat lagi berbincang dengan Shuji karena ada sesuatu yang harus dia pastikan detik ini juga.

“Kenapa? Aku belum selesai. Ada yang harus aku …”

Namun, suara Shuji tak terdengar lagi karena secara sepihak, Eiji memutus sambungan telepon. Kini, tatapan Eiji kembali tertuju pada si gadis yang masih berbaring dalam posisi yang sama. Meskipun dari belakang, ada perbedaan jelas sosok gadis itu dengan Yuko yang Eiji sadari. Yuko memiliki rambut pendek sepundak, tapi gadis itu memiliki rambut panjang sepunggung yang tampak berantakan di atas bantal. Eiji meneguk ludah, entah kenapa dia merasa gadis itu bukan Yuko.

Ingin memastikan siapa gadis itu sebenarnya, Eiji mengulurkan tangan kanan. Tangan itu gemetaran tatkala sesaat lagi akan menyentuh bahu telanjang si gadis yang putih mulus tanpa cela. Memberanikan diri karena dia harus tahu siapa partner bercintanya semalam, Eiji pun dengan berani memegang bahu gadis itu dan membaliknya sehingga wajahnya kini terlihat jelas.

Eiji terkejut bukan main sehingga kedua matanya melebar sempurna. “K-Kau … kenapa kau ada di sini, Izumi?”

Ya, Eiji tak tahu lagi harus menunjukan keterkejutannya dengan cara apa karena ternyata gadis yang berbaring di ranjang yang sama dengannya dan dalam kondisi sama-sama polos sepertinya itu adalah Izumi, sosok gadis yang Eiji tahu persis merupakan pembantu di rumah kekasihnya.

***

Eiji mengusap wajahnya kasar berulang kali, dia tak tahu harus melakukan apa sekarang terlebih melihat Izumi yang sedang menangis sembari duduk di sampingnya. Gadis itu sudah menceritakan kejadian semalam padanya, Eiji menyesal karena sudah melakukan tindakan sebodoh ini. Namun, dia tak mampu melakukan apa pun karena nasi terlanjur menjadi bubur. Apa yang sudah dia lakukan bersama Izumi semalam sudah tidak mungkin lagi untuk diubah.

“Izumi, kau tahu kan semalam itu aku mabuk berat? Kenapa kau tidak menolakku?” tanya Eiji, berusaha mati-matian agar suaranya tidak meninggi karena dia tak ingin memarahi sosok gadis yang terlihat menyedihkan tersebut. Izumi sejak tadi terus menangis, semenjak Eiji menyadari bahwa gadis yang tidur di sampingnya adalah dia, bukan Yuko.

“Aku sudah menolak. Tapi … tapi …” Izumi tak melanjutkan ucapannya, gadis itu menutup wajah yang banjir air mata dengan kedua tangannya.

Eiji terlihat frustrasi, suara decakan sejak tadi terus meluncur dari mulutnya. Dia merasa bersalah karena semalam telah mengkhianati sang pacar yang begitu dia cintai. Eiji menatap pada jam yang bertengger kokoh di dinding kamar, waktu menunjukan jam tujuh pagi. Dia mulai panik, takut perselingkuhannya ini akan terbongkar jika Yuko tiba-tiba masuk ke dalam kamar.

“Jadi, semalam itu Yuko pergi bersama teman-temannya?”

Izumi mengangguk, “Iya.”

“Kau tahu dia pergi ke mana bersama mereka?”

Kali ini Izumi menggeleng karena dia memang tak tahu menahu ke mana Yuko dan teman-temannya menghabiskan waktu semalaman bersama karena Yuko tidak memberitahunya.

Eiji semakin menggeram marah, Yuko pergi tanpa meminta izin padanya. Seandainya dia tahu Yuko pergi bersama teman-temannya, tentu kejadian seperti ini tidak akan menimpanya bersama Izumi. “Kapan dia bilang akan kembali?”

“Nona Yuko bilang dia akan langsung pergi ke kampus. Dia tidak akan pulang dulu ke asrama.”

Detik itu juga Eiji mengembuskan napas lega, setidaknya Yuko tak akan memergokinya dalam kondisi memalukan seperti ini bersama Izumi. Tetapi Eiji tahu persis dirinya sudah melakukan kesalahan fatal yang jika Yuko sampai mengetahuinya maka akan mengancam hubungan mereka. Eiji sangat mencintai Yuko lebih dari apa pun, tentu kehilangan gadis itu merupakan sesuatu yang paling tidak dia inginkan.

Menarik napas berulang kali, Eiji mencoba menenangkan diri dan sebisa mungkin berusaha menormalkan perasaannya yang sedang tak karuan, dia harus membuat kesepakatan dengan Izumi agar perselingkuhan tak disengaja ini tidak sampai bocor pada siapa pun, terutama pada Yuko.

“Izumi. Hei, Izumi,” panggil Eiji karena gadis itu sejak tadi terus menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Izumi akhirnya menjauhkan tangan dari wajahnya, gadis itu menatap Eiji dengan raut takut yang begitu kentara.

“Kau dengarkan aku baik-baik. Kejadian semalam itu hanya kesalahan. Kesalahan bodoh yang tidak disengaja. Aku sedang mabuk. Aku pikir kau ini Yuko. Kau mengerti, kan?”

Izumi menundukan kepala karena tanpa sepengetahuan Eiji kata-katanya begitu melukai perasaan gadis itu. “Aku tahu,” sahut Izumi, memberikan respons.

“Bagus kalau kau tahu. Jika aku sadar kau ini bukan Yuko, aku tidak mungkin melakukan kebodohan seperti semalam. Karena itu, aku minta kau lupakan kejadian semalam. OK?” pinta Eiji, terlihat serius karena tatapan pria itu begitu tajam. “Lupakan kejadian semalam. Anggap tidak pernah terjadi apa pun di antara kita. Mimpi buruk … ya, anggap saja kejadian semalam itu sebagai mimpi buruk. Aku akan melupakannya jadi kau juga harus begitu.”

Air mata Izumi yang sempat mengering, kini kembali menetes. Bukan karena dia sedih memikirkan kegadisannya yang telah direnggut oleh Eiji, melainkan dia terluka dengan semua yang Eiji katakan seolah-olah bagi pria itu kenyataan mereka tidur bersama merupakan sesuatu yang menjijikkan untuk diingat.

“Aku minta maaf untuk kejadian semalam, Izumi.” Izumi kembali menatap wajah Eiji begitu permintaan maaf dari pria itu tiba-tiba mengalun. “Aku tahu kau pasti marah juga sama sepertiku. Kau tenang saja, aku janji tidak akan pernah membahas masalah ini lagi. Aku juga tidak akan menceritakan masalah ini pada siapa pun karena itu aku mohon kau juga jangan menceritakan kejadian semalam pada siapa pun. Terutama pada Yuko.”

Izumi membuka mulut hendak menyahut, tapi harus dia urungkan karena suara Eiji kembali menginterupsi.

“Kau pasti tidak mau kan Yuko terluka? Jika dia sampai tahu perselingkuhan kita semalam, bisa kau bayangkan bagaimana perasaannya?”

Eiji sama sekali tak tahu di balik selimut, Izumi tengah mengepalkan tangan. Berbagai perasaan kini campur aduk di dalam benak Izumi; kesal, marah, sedih, kecewa dan hatinya yang terluka lebih mendominasi.

“Berjanjilah padaku, Izumi. Kau harus merahasiakan masalah ini dari semua orang, teutama dari Yuko.”

Izumi memalingkan wajah, ke arah mana saja asalkan tidak menatap wajah Eiji yang begitu menyeramkan di matanya. Pria itu menatapnya dengan sorot mata tajam. Di mana tatapan lembut yang diberikan pria itu untuknya semalam? Sosok Eiji yang berada di hadapannya kini sangat jauh berbeda dengan Eiji yang memperlakukannya dengan lembut, penuh cinta dan gairah.

“Izumi, kenapa diam? Kau …”

“Aku janji,” sela Izumi cepat karena sudah bisa menebak yang akan dikatakan Eiji selanjutnya. “Kau tenang saja, Tuan Muda. Aku akan merahasiakan masalah ini dari semua orang, termasuk Nona Yuko.”

Kedua bahu Eiji yang sejak tadi tampak tegang, kini mulai terlihat rileks. Dia yakin masalah ini tidak akan berkepanjangan. Ya, pasti semuanya berakhir baik-baik saja.

Eiji terenyak tetkala melihat Izumi yang tiba-tiba turun dari ranjang. Gadis itu memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai sebelum melangkah menuju kamar mandi. Awalnya, Eiji menatap punggung Izumi hingga menghilang di balik pintu kamar mandi, tapi saat tatapannya tanpa sengaja tertuju pada seprei yang sempat diduduki Izumi, seketika dia terbelalak.

“Oh, shit. Eiji, kau bodoh sekali,” gerutunya seraya menjambak rambutnya sendiri begitu menyadari dia baru saja merenggut kesucian seorang gadis karena bercak merah yang tertinggal di seprei berwarna putih itu merupakan bukti tak terbantahkan. Kini Eiji merasa menjadi pria paling bodoh dan berdosa di muka bumi. Bukan hanya mengkhianati pacarnya, dia bahkan telah merusak seorang gadis yang masih suci seperti Izumi.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status